
Bayu yang sudah punya calon sendiri, dijodohkan dengan Anita, gadis yang sejak remaja sudah memujanya.
Orang tua Bayu sangat menyukai Anita yang paenyayang dan keibuan.
Namun, hati yang telah tertambat ke orang lain, membuat Anita tak mudah berjuang mendapatkan cinya utuh dari Bayu.
Simak kisahnya sampai tamat ya...
SAAT HAMPIR MENYERAH (1)
“Saya terima nikah dan kawinnya Anita Prameswari binti Arya Wiguna dengan maskawin perhiasan emas seberat 20 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Suara lantang dalam satu tarikan napas tak ayal membuat hati Anita berbunga-bunga.
“Saksi sah?”
“Sah!”
“Sah!”
"Sah!"
Anita tersenyum lebar. Impiannya nikah muda dan menjadi nyonya Bayu Wicaksono tercapai sudah. Hatinya mengembang bahagia.
Lelaki di sebelahnya pun tak henti-hentinya menarik kedua unjung bibirnya ke samping. Memberikan senyum terbaiknya pada semua yang hadir di hari bersejarah bagi kedua mempelai.
Suasana bahagia pun menyelimuti perhelatan itu. Para tetamu juga memberikan selamat dengan suka cita karena melihat roman bahagia terhias di wajah kedua mempelai.
“Makasih ya, Mas. Akhirnya kita menikah, ” kata Anita saat keduanya usai menunaikan sholat dua rekaat di kamarnya. Diciumnya punggung tangan Bayu yang kini telah resmi menjadi suaminya. Anita tak bisa menyembunyikan binar kebahagiaannya.
Berbeda dengan lelaki yang duduk bersila di depannya. Lelaki itu lalu bangkit usai menempelkan punggung tangannya ke kening Anita. Ia lalu duduk di sisi pembaringan.
“Kenapa, Mas? Kamu tidak bahagia? Bukannya kamu barusan sudah berdoa untuk pernikahan kita?” tanya Anita seraya menatap Bayu.Perempuan itu lalu membereskan sajadah yang masih membentang. Melipatnya dan meletakkan di tempat mukena dan sajadah di sudut kamar.
Anita yang masih mengenakan mukena, menatap Bayu lekat. Dadanya bergemuruh menanti apa yang hendak Bayu katakan padanya.
Bayu, sosok ideal. Lelaki pujaan yang dikaguminya sejak remaja. Dan kini seolah mimpinya menjadi kenyataan. Doa dan harapannya telah dikabulkan. Lalu, apa yang hendak Bayu katakan padanya?
“Dik, aku tahu pernikahan ini adalah impianmu. Tapi aku tidak!”
Deg.
Kata-kata Bayu serta merta bagai belati menusuk ke ulu hati, bagai sembilu menyayat kalbu.
Namun, Anita berusaha mengendalikan diri. Bagaimanapun dia sudah tahu bahwa alasan dia harus menikah dengan Bayu bukan karena Bayu mencintainya. Bukan pula kesepakatannya mereka berdua. Tetapi, tak lebih karena perjodohan.
Ya, perjodohan. Bagi Anita, ini adalah perjodohan yang menyenangkan, karena dia mendapat apa yang dia impikan. Lelaki yang tak hanya tampan, namun juga memiliki kepribadian yang baik. Siapapun wanita, pasti tak mampu menolak pesonanya.
Sebaliknya, bagi Bayu, pernikahan ini bukanlah hal yang ia inginkan. Cintanya sudah berlabuh pada orang lain.
Sayangnya, orangtua Bayu tidak menyukainya. Sinta, pacar Bayu, adalah pribadi yang elegan, cantik dan cerdas. Sayangnya, dengan kelebihannya itu, dia sangat sibuk dengan impian karirnya.
Tapi Bayu tidak bisa menolak perjodohan ini. Bagaimanapun, orangtuanya lebih memilih Anita yang penurut dan keibuan. Dia begitu pengecut untuk tidak bisa menolak keinginan orantuanya.
Anita menunduk. Gemuruh dalam dada seolah bertalu-talu. Dadanya naik turun karena menahan sesak.
Tadinya, dia pikir Bayu sudah menerimanya. Bagaimanapun siang tadi lelaki itu terlihat sangat bahagia. Rupanya Bayu mampu menyembunyikan perasaannya.
“Aku tak akan menyentuhmu, hingga aku benar-benar bisa menerimamu...” kata Bayu lirih.
Seketika Anita jatuh terduduk di lantai tempatnya berdiri. Bulir bening di ujung matanya tak dapat ditahan. Kini, Anita sadar, dia memang sudah memiliki fisik Bayu. Tapi, tidak dengan hatinya.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (2)
“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa.
Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami.
Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur.
Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini.
Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sempit, bisa untuk ruang tidur. Dan petak ketiga adalah kamar mandi, yang depannya ada sedikit sisa ruang untuk dapur.
“Kamu nggak papa kan, kita tinggal disini?” kata Mas Bayu, tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangku.
“Oh, nggak masalah,” jawabku pendek. Asal bersamaku, pasti semua terasa indah. Itu dulu! Sebelum aku tahu bahwa hatinya belum menerimaku. Entah apa yang terjadi setelah ini, tampaknya aku harus memupuskan harapanku.
Tak lama, terdengar Mas Bayu menerima telpon seseorang. Kuduga itu adalah orang yang akan mengantar lemari dan tempat tidur yang dia pesan.
Benar saja, tak lama kulihat beberapa orang menggotong lemari, kasur, kulkas, kipas angin, dan tabung gas.
Bagimanapun, aku takjub. Dia sudah bisa membeli beberapa benda-benda utama yang kami perlukan. Mas Bayu lalu memberi instruksi dimana akan diletakkan barang-barang itu.
“Ayo, Dik, kita keluar sekaligus cari makan,” kata Mas Bayu setelah urusan rumah beres.
“Apa kita kenalan ke tetangga dulu?” tawarnya saat melihat dari balik jendela banyak tetangga yang duduk-duduk di luar rumah.
“Nanti saja, Mas. Sepertinya siang begini kita tidak bisa membedakan mana penghuni sini, mana tamu,” usulku.
Ya, kontrakan yang kami sewa memang area padat penduduk. Ada sepuluh pintu yang saling berhadapan dengan dipisahkan gang yang cukup untuk lewat satu mobil. Dan hari ini memang terlihat ramai sekali di depan rumah. Mungkin karena Hari Minggu, orang-orang semua ada dirumah.
“Mari, Bu,” sapa Mas Bayu ke gerombolan ibu-ibu yang kami lewati. Aku mengikutinya sambil memberikan mengangguk dan memberikan senyuman terbaikku kepada mereka yang melihatku.
“Motor Mas masih di kosan Mas yang lama. Besok sepulang kerja sekalian Mas ambil,” katanya seperti menjawab penasaranku.
Kami berjalan menyusuri gang. Sesekali kulihat Mas Bayu bertegur sapa dengan orang yang dilewatinya. Ini lah salah satu hal yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Sikapnya yang ramah ke semua orang. Baik yang dikenalnya, ataupun tidak.
Yang aku tidak tahu, kenapa Mas Bayu memilih mengontrak disini? Apakah uang gajinya tidak cukup untuk mengontrak di kontrakan yang letaknya lebih strategis? Padahal, aku bisa saja menawarkan gajiku untuk berbagi jika dia mau. Tapi ya sudahlah. Mungkin nanti aku akan tahu.
Kami berdua naik angkutan umum. Aku tidak tahu, apakah Mas Bayu memang terbiasa naik angkutan umum? Sepertinya, dia sudah hafal daerah sini.
Kami berdua pergi tanpa kata. Aku tak tahu harus bertanya apa. Aku takut dia akan tidak menjawab pertanyaanku jika aku mengajaknya bicara. Siapalah aku. Hanya Anita pengagum gelapnya. Biarlah kita berdua sesaat tenggelam dalam kebisuan.
Angkutan yang kami tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan setelah Mas Bayu memberi aba-aba untuk turun.
Kami berdua menyusuri pusat perbelanjaan itu. Dan lagi-lagi, Mas Bayu sangat hafal lokasi yang hendak kami tuju. Sepertinya dia audah terbiasa dengan pusat perbelanjaan ini.
“Kita tidak punya alat masak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Belilah apa yang sekiranya kita butuhkan,” katanya datar setelah kami masuk dan berdiri di salah satu rak yang menjual aneka perabot rumah tangga.
Aku mengangguk mengerti. Aku sudah terbiasa pindah-pindah kos. Dari kota tempat kuliahku, ke kota ini, tentu saja aku sudah hafal apa yang aku butuhkan.
“Bawa kartu ini, pin-nya tanggal pernikahan kita. Belilah apa saja yang kamu inginkan. Aku keluar sebentar,” pamit Mas Bayu usai menerima telpon.
Lagi-lagi Aku hanya bisa mengangguk.
Entahlah, setelah kata-katanya kemaren, rasanya seperti hambar. Rasa sukaku kepadanya, sepertinya sedikit pudar.
Aku bergegas mencari tempat barang-barang yang dibutuhkan. Selain perkakas dapur, aku juga membeli perkakas mandi, perkakas bersih-bersih, dan tak lupa bahan makanan dan cemilan. Hingga akhirnya trolly yang aku dorong sudah hampir penuh.
Kulirik jam yang tertera ponsel. Mas Bayu belum kelihatan. Kuputuskan untuk berlalu dan membayar saja belanjaan ini. Toh, Mas Bayu sudah memberikan kartu ATM nya.
Kukeluarkan barang-barang dari trolly, lalu satu per satu dipindai oleh Mbak kasir. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang ada di luar supermarket yang berbatas dinding kaca.
Sosok yang kutunggu-tunggu kedatangannya, sedang asyik ngobrol seorang wanita.
Dadaku bergemuruh. Tulang-tulang kakiku seolah lolos dari tubuhku. Tapi kutahan. Cepat ku keluarkan belanjaanku dan kupindahkan barang-barang yang sudah di pindai ke tas belanjaku. Sesak rasa dadaku.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (3)
Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku.
“Sudah semua, Dik?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku.
“Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku.
“Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi.
Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan.
Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan.
“Mau masakan Sunda, Padang, atau Jawa?” tanyanya saat berhenti di sebuah meja yang kosong.
“Samain saja,” jawabku singkat.
Sebenarnya sejak kulihat bersama perempuan tadi, otakku sudah tidak mampu berfikir. Selera makanku mendadak lenyap. Tapi, aku harus makan. Bagaimanapun di kontrakan belum ada apa-apa. Bahkan gas dan akua galon saja belum beli.
Mataku benar-benar dibuat pias lagi. Saat kulihat kemana Mas Bayu berjalan dan tampak perempuan yang tadi bertemu dengan Mas Bayu. Ya, benar. Bajunya sama persis. Tiba-tiba aku jadi ingin tahu, siapakah perempuan itu.
Segera kupalingkan pandangan, saat Mas Bayu menunjuk ke meja di mana aku duduk. Jantungku berdesir. Aku takut kalau-kalau dia akan mengajak perempuan itu ke meja ini. Aku memilih pura-pura memainkan ponsel yang ada ditanganku untuk mengusir kegalauan.
Dan benar saja. Entah bagaimana, Mas Bayu dan perempuan itu sudah ada di depanku.
“Anita, kenalkan. Ini teman Mas, “ kata Mas Bayu seraya tersenyum menatapku dan menatap temannya itu bergantian.
Aku segera berdiri seraya mengulurkan tangan.
Perempuan yang menjabat tanganku ini sungguh cantik. Jauuuuhh lebih cantik dariku. Aku segera mengangguk dan kembali duduk.
“Senang bertemu denganmu Anita. Selamat makan,” kata perempuan yang bernama Sinta itu dengan hangat, lalu ia pergi menjauh meninggalkan kami.
Mas Bayu menatapnya, sampai perempuan itu hilang dari pandangan.
Aku menatap Mas Bayu yang seolah belum merelakan kepergiannya sambil menarik napas dalam. Ada getar kecewa dalam sanubariku melihat semua ini.
Saat makanan datang, kami hanya makan dalam diam. Kami berdua menghabiskan makanan kami dalam kebisuan. Lidahku terasa kelu. Aku ingin tau. Aku ingin bertanya. Tapi aku tak bisa. Apakah aku akan terus bertahan menjadi yang kedua? Yang kedua di hatinya.
--
Kami pulang dengan menumpang taxi online. Tak mungkin kami membawa barang sebanyak ini dengan angkutan umum.
“Wah belanja ya, Mbak?” sapa tetangga depan kontrakan kami.
“Iya, Bu. Mari, Bu kami masuk dulu,” jawabku basa-basi.
Tinggal di pemukiman padat penduduk seperti ini memang mengharuskan kami harus banyak basa-basi dan bertegur sapa.
Kami segera membereskan isi rumah. Mas Bayu segera menyapu dan mengepel lantai. Kemudian dia mengeluarkan isi koper dan menyusunnya di lemari. Sedang aku sibuk mengeluarkan belanjaan, menyusun alat-alat dapur dan berbagai keperluan dapur.
“Kalau kamu capek, kita sore cari makan di luar saja. Nggak usah masak dulu,” kata Mas Bayu.
Aku mengangguk setuju. Memang aku masih belum kepikiran mau masak apa. Tapi yang jelas, sore ini rumah kontrakan kami sudah bersih dan rapi. Di ruang depan kami hanya beri gelaran karpet agar simple dan tidak makan tempat. Sedangkan kamar tidur, kami hanya menggunakan kasur busa yang tiap hari bisa kita angkat dan sandarkan ke dinding agar bawahnya tidak lembab.
--
Kami akhirnya keluar mencari makan usai salat maghrib.
Sebelum keluar, kami berkenalan dengan tetangga-tetangga samping dan depan rumah. Alhamdulillah, kami sudah kenalan semua. Ada yang profesinya supir angkot, driver ojek online, tukang becak, penjual pecel lele, guru ngaji, karyawan logistik, tukang sampah, tukang bangunan, dan lain-lain.
Aku menghela nafas. Betapa bersyukurnya aku. Pekerjaan tetanggaku bukan pekerjaan hina, tapi aku yakin pasti berat. Mereka harus membanting tulang. Tidak sepertiku yang duduk di kantor ber-AC.
Umumnya tetanggaku sudah memiliki anak. Hanya kami berdua yang pengantin baru. Mereka berdoa dengan ketulusannya, agar kami segera mendapat momongan. Kulirik Mas Bayu, dia tampak tersenyum senang dan mengaminkan. Apakah ini nyata?
Kami berjalan menyusuri gang, lalu terhenti saat melihat jajanan malam yang berderet-deret di ujung gang.
“Mau makan apa?” tanya Mas Bayu lagi.
“Penyet aja,” aku berusaha membuat usulan. Dia mengangguk. Kami menuju warung makanan penyetan.
Langkahku mendadak terhenti. Serta merta mataku membulat. Kulihat perempuan yang siang tadi aku lihat sedang makan di situ.
“Hai Anita, mau makan ya?” sapanya ramah.
Aku mengangguk. Lidahku kembali kelu. Sepertinya hampir seharian aku tidak bicara. Hanya anggukan yang aku berikan.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (4)
“Di bungkus saja boleh?” bisikku ke Mas Bayu.
Lelaki itu menatapku sejenak, lalu mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk.
Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam?
Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya.
Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya.
Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami.
Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku ke kasur. Kulihat Mas Bayu yang sedari tadi asyik dengan ponselnya segera meletakkan ponselnya, lalu merebahkan badannya di sampingku.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Mas Bayu membuka pembicaraan.
Aku menghela nafas. Aku pun binggung mau menjawab apa. Tak bisa kah dia sedikit saja memahamiku?
“Apa karena Sinta?” tanya Mas Bayu lagi.
Ingin sekali aku membalikkan tubuhku dan menghadap tembok jika tidak takut ngga sopan. Tapi kutahan.
“Aku nggak akan cerita ke kamu jika kamu nggak ingin tahu, “ tambahnya. Lalu dia menarik selimutnya. Tak lama, kudengar nafasnya sudah teratur.
Aku sama sekali tak bisa memicingkan mata. Aku memilih bangun pelan-pelan dari tempat tidur.
Kubuka laptop di ruang depan. Barangkali ada yang bisa kukerjakan, sekedar nonton drama atau lihat y*utube.
Tiba-tiba aku melirik ke ponsel Mas Bayu yang tergeletak di rak. Bolehkah aku membukanya? Kutarik nafas dalam-dalam. Kuraih ponsel itu. Kugeser layarnya, dan violaaaa! Tidak dikunci!
Segera kucek pesan atas nama Sinta. Bahkan, Mas Bayu tidak mengubah nama wanita itu. Masih nama Sinta tanpa embel-embel apapun. Jantungku berdegup kencang, saat perlahan kubuka pesan yang masuk.
Pesan terakhir, tadi siang. Ya, saat kami belanja. Ternyata memang dia janji ketemu di sana. Kuulir dengan jari ke atas menuju pesan sebelumnya. Ucapan hari pernikahan kami. Lalu kulihat lagi, pesan-pesan sebelumnya.
Mataku panas. Pesan-pesan yang berisi penyesalan, curahan hati dan semuanya yang belum dihapusnya. Aku tak sanggup membacanya satu persatu. Aku tidak kuat lagi. Kututup aplikasi pesan itu. Hatiku sakit. Airmataku tak kuasa kutahan. Bulur bening itu berjatuhan begitu saja. Kuseka mata ini dengan punggung tangan.
Pelan-pelan kuletakkan ponsel itu ke tempat semula. Napas kutarik dalam-dalam. Lalu kuhembuskan lagi. Aku terpekur sendiri sampai mataku terasa panas karena begitu banyak airmata yang kukeluarkan.
Hingga tiba-tiba,
“Dik, Dik Anita, bangun! Kenapa tidur disini?” suara yang kukenal itu membangunkan kesadaranku. Rupanya aku tertidur di ruang depan.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya sambil menempelkan punggung tangannya ke dahiku.
Aku menggeleng.
“Mas mau ke masjid, sudah subuh. Kamu segera wudhu ya,” kata pria yang sudah memakai baju koko itu.
Lagi-lagi, Aku hanya mengangguk.
Berangsur aku berdiri dan mengambil air wudhu. Segar rasanya air pagi ini menyapu wajahku. Entah aku tak tahu bagaimana kondisi wajahku. Yang jelas, mataku terasa berat dan pedih. Mungkin karena terlalu lama menangis.
Selesai menunaikan salat, kurebahkan badanku ke kasur. Pagi ini aku masih cuti kerja. Seharusnya aku menyiapkan sarapan buat suamiku. Tapi badanku terasa lemah.
“Mas carikan sarapan, ya. Kamu di sini saja,” kata Mas Bayu usai membuatkanku teh panas.
Tak kusangka sebenarnya Mas Bayu demikian perhatian, meski mau tak mau aku masih merasa sakit. Sakit dengan kejujurannya. Sakit pula dengan kelancanganku membuka ponselnya.
Pikiranku benar-benar kacau. Pernikahan impianku ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Menikah dengan orang yang kucintai, melayaninya dengan sepenuh cinta, dan akan menjadikan pernikahanku bahagia.
Tapi mengapa? Mengapa cinta yang kuharapkan telah layu sebelum berkembang?
Aku segera beristighfar. Memohon ampun kepada dzat yang maha pemberi ampunan. Adakah banyak dosa yang telah kuperbuat hingga aku harus menjalani cobaan seperti ini?
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (5)
Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren.
“Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng.
“Biar aku sendiri, Mas," ucapku.
Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah.
Kami berdua makan dalam diam.
“Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu.
Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu.
“Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kantor.
Laki-laki itu mengenakan stelan kemeja dan celana bahan. Semakin meningkatkan ketampanannya. Mungkin, jika aku tak tahu ada wanita lain di hatinya, penampilan ini akan membuatku jatuh hati berkali-kali. Sayang, melihatnya kini, justru membuat hati merasa pedih.
Seharian aku hanya mengurung diri di kontrakan. Aku tidak ingin melakukan apapun. Dapur masih kubiarkan seperti kemaren. Bahkan, mangkuk bekas makanku tadi pagiku pun enggan kucuci. Gelas bekas teh juga masih ada. Lantai belum disapu ataupun dipel. Cucian baju masih di ember. Tapi hatiku sudah lelah.
Seperti janjinya, siang hari ada kurir mengantar makan siang. Sungguh, hati macam apa yang dimiliki Mas Bayu. Dia masih mengingatku, meski aku tak banyak berharap. Pasti ini hanya sekedar tanggung jawabnya. Tak ada hati yang tersisa dalam kebaikannya ini.
Kulihat sudah jam lima sore lewat tiga puluh menit saat kudengar suara motor menderu di teras kontrakan kami. Mas Bayu pulang dengan motornya, sama persis dengan yang dijanjikannya kemaren. Membawa pulang motornya yang tertinggal di kosan lama.
Pria itu masuk sambil membawa tentengan.
“Pisang goreng! Mas nggak tahu kamu suka atau tidak,” ujarnya sambil mengangsurkan kotak yang dibungkus plastik sebelum kucium punggung tangannya.
Meskipun dadaku terasa terhimpit oleh kenyataan ini, namun kewajibanku sebagai istri untuk sekedar mencium tangannya tak hendak kulewatkan.
“Kamu sudah sehat?” tanyanya sambil menyentuh pelipisku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk lemah.
Hatiku terasa seperti teriris sembilu. Andai Mas Bayu tak pernah berkata pernikahan ini terpaksa, pasti hatiku bisa terbang ke awan dengan kebaikannya.
Sayangnya, dia sudah berujar kalau dia belum sepenuhnya menerimaku. Jadi kebaikannya hanya layaknya kebaikan yang sama yang selalu dia berikan pada siapa saja.
Aku tahu, seharusnya saat dia baru pulang begini, harusnya kuambilkan dia minum atau kutanyakan dia sesuatu. Tapi entahlah, hatiku masih bergemuruh. Sakit sekali rasanya.
Kulihat dia berlalu hari hadapanku. Setelah mengambil baju ganti di lemari pakaian dan handuk di jemuran handuk, dia bergegas ke kamar mandi.
Aku menghela nafas, teringat cucian mangkuk, gelas, bahkan cucian baju yang masih ada di kamar mandi belakang.
Setelah terdengar pintu kamar mandi terkunci, kuraih ponsel Mas Bayu yang diletakkan di nakas ruang depan.
Dengan sekali usap, aku dapat membuka kembali ponsel itu. Tapi kali ini tidak ada nama Sinta. Pun tidak ada pesan-pesan dari perempuan itu. Mungkin sudah dihapuskannya. Mungkin Mas Bayu menyadari kalau aku telah membukanya. Tentu saja itu bagus buatnya. Agar dia sadar diri, kalau kini statusnya sudah beristri. Bukan sendiri lagi.
Aku beralih dari aplikasi pesan ke daftar kontak. Aku tidak yakin kontaknya dihapus. Kutelusuri satu persatu. Aku yakin pasti ada. Kubuka history last call di ponsel itu. Dan benar dugaanku. Masih ada. Hanya namanya saja yang diganti dengan inisial.
Kembali kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan perlahan. Kupejamkan mataku yang sudah tidak sanggup membendung genangan air mata.
Ketika kudengar suara kunci kamar mandi dibuka dari dalam, segera kuletakkan ponsel Mas Bayu di tempat semula.
Kugeser dudukku menyandar tembok. Kuhapus air mata dengan punggung tangan. Tapi ekor mataku menangkap dia sedang manatapku.
“Kenapa, Dik?” katanya sambil berjongkok di depanku. Aku yang hanya duduk di karpet bisa mencium harum sabun mandi yang menguar dari tubuhnya.
Diri ini hanya mampu menggeleng dan menggeleng lagi. Tapi tiba-tiba aku kaget, dia merengkuhku dalam pelukannya. Seketika tangisku pecah.
“Maafin Mas ya, kalau kemaren menyakitimu,” katanya kemudian sambil mengusap punggungku.
Tangisku semakin tak tertahankan. Dia mengusap kepalaku. Kepala yang memang masih kututup dengan jilbab, sejak dia mengatakan padaku belum bisa menyentuhku. Aku masih sakit hati.
“Mas sudah banyak memikirkannya. Saat Mas sudah menerima perjodohan ini, artinya Mas harus bisa menerimamu. Tapi tolong beri waktu Mas ya,” bisiknya.
Aku melepaskan pelukannya. Beri waktu? Apa maksudnya? Apakah dia minta waktu untuk bisa melepaskannya? Apakah dia belum bisa melepaskannya.
Kuamati wajahnya lekat. Kucari jawaban disana. Aku tahu, saat ini mukaku sudah sembab dengan banyaknya tangisan yang kukeluarkan. Tentu saja, aku menjadi tidak secantik Sinta.
Kami kembali saling diam. Kuharap malam ini segera berlalu. Besok aku akan bekerja kembali. Kukompres mataku yang sembab agar besok terlihat segar. Aku ingin kembali bertemu teman-teman kerjaku. Ingin mendengarkan hal-hal yang lucu, hingga terlupa pikiran yang kusut. Aku ingin sejenak melupakan semuanya.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (5)
Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren.
“Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng.
“Biar aku sendiri, Mas," ucapku.
Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah.
Kami berdua makan dalam diam.
“Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu.
Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu.
“Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kantor.
Laki-laki itu mengenakan stelan kemeja dan celana bahan. Semakin meningkatkan ketampanannya. Mungkin, jika aku tak tahu ada wanita lain di hatinya, penampilan ini akan membuatku jatuh hati berkali-kali. Sayang, melihatnya kini, justru membuat hati merasa pedih.
Seharian aku hanya mengurung diri di kontrakan. Aku tidak ingin melakukan apapun. Dapur masih kubiarkan seperti kemaren. Bahkan, mangkuk bekas makanku tadi pagiku pun enggan kucuci. Gelas bekas teh juga masih ada. Lantai belum disapu ataupun dipel. Cucian baju masih di ember. Tapi hatiku sudah lelah.
Seperti janjinya, siang hari ada kurir mengantar makan siang. Sungguh, hati macam apa yang dimiliki Mas Bayu. Dia masih mengingatku, meski aku tak banyak berharap. Pasti ini hanya sekedar tanggung jawabnya. Tak ada hati yang tersisa dalam kebaikannya ini.
Kulihat sudah jam lima sore lewat tiga puluh menit saat kudengar suara motor menderu di teras kontrakan kami. Mas Bayu pulang dengan motornya, sama persis dengan yang dijanjikannya kemaren. Membawa pulang motornya yang tertinggal di kosan lama.
Pria itu masuk sambil membawa tentengan.
“Pisang goreng! Mas nggak tahu kamu suka atau tidak,” ujarnya sambil mengangsurkan kotak yang dibungkus plastik sebelum kucium punggung tangannya.
Meskipun dadaku terasa terhimpit oleh kenyataan ini, namun kewajibanku sebagai istri untuk sekedar mencium tangannya tak hendak kulewatkan.
“Kamu sudah sehat?” tanyanya sambil menyentuh pelipisku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk lemah.
Hatiku terasa seperti teriris sembilu. Andai Mas Bayu tak pernah berkata pernikahan ini terpaksa, pasti hatiku bisa terbang ke awan dengan kebaikannya.
Sayangnya, dia sudah berujar kalau dia belum sepenuhnya menerimaku. Jadi kebaikannya hanya layaknya kebaikan yang sama yang selalu dia berikan pada siapa saja.
Aku tahu, seharusnya saat dia baru pulang begini, harusnya kuambilkan dia minum atau kutanyakan dia sesuatu. Tapi entahlah, hatiku masih bergemuruh. Sakit sekali rasanya.
Kulihat dia berlalu hari hadapanku. Setelah mengambil baju ganti di lemari pakaian dan handuk di jemuran handuk, dia bergegas ke kamar mandi.
Aku menghela nafas, teringat cucian mangkuk, gelas, bahkan cucian baju yang masih ada di kamar mandi belakang.
Setelah terdengar pintu kamar mandi terkunci, kuraih ponsel Mas Bayu yang diletakkan di nakas ruang depan.
Dengan sekali usap, aku dapat membuka kembali ponsel itu. Tapi kali ini tidak ada nama Sinta. Pun tidak ada pesan-pesan dari perempuan itu. Mungkin sudah dihapuskannya. Mungkin Mas Bayu menyadari kalau aku telah membukanya. Tentu saja itu bagus buatnya. Agar dia sadar diri, kalau kini statusnya sudah beristri. Bukan sendiri lagi.
Aku beralih dari aplikasi pesan ke daftar kontak. Aku tidak yakin kontaknya dihapus. Kutelusuri satu persatu. Aku yakin pasti ada. Kubuka history last call di ponsel itu. Dan benar dugaanku. Masih ada. Hanya namanya saja yang diganti dengan inisial.
Kembali kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan perlahan. Kupejamkan mataku yang sudah tidak sanggup membendung genangan air mata.
Ketika kudengar suara kunci kamar mandi dibuka dari dalam, segera kuletakkan ponsel Mas Bayu di tempat semula.
Kugeser dudukku menyandar tembok. Kuhapus air mata dengan punggung tangan. Tapi ekor mataku menangkap dia sedang manatapku.
“Kenapa, Dik?” katanya sambil berjongkok di depanku. Aku yang hanya duduk di karpet bisa mencium harum sabun mandi yang menguar dari tubuhnya.
Diri ini hanya mampu menggeleng dan menggeleng lagi. Tapi tiba-tiba aku kaget, dia merengkuhku dalam pelukannya. Seketika tangisku pecah.
“Maafin Mas ya, kalau kemaren menyakitimu,” katanya kemudian sambil mengusap punggungku.
Tangisku semakin tak tertahankan. Dia mengusap kepalaku. Kepala yang memang masih kututup dengan jilbab, sejak dia mengatakan padaku belum bisa menyentuhku. Aku masih sakit hati.
“Mas sudah banyak memikirkannya. Saat Mas sudah menerima perjodohan ini, artinya Mas harus bisa menerimamu. Tapi tolong beri waktu Mas ya,” bisiknya.
Aku melepaskan pelukannya. Beri waktu? Apa maksudnya? Apakah dia minta waktu untuk bisa melepaskannya? Apakah dia belum bisa melepaskannya.
Kuamati wajahnya lekat. Kucari jawaban disana. Aku tahu, saat ini mukaku sudah sembab dengan banyaknya tangisan yang kukeluarkan. Tentu saja, aku menjadi tidak secantik Sinta.
Kami kembali saling diam. Kuharap malam ini segera berlalu. Besok aku akan bekerja kembali. Kukompres mataku yang sembab agar besok terlihat segar. Aku ingin kembali bertemu teman-teman kerjaku. Ingin mendengarkan hal-hal yang lucu, hingga terlupa pikiran yang kusut. Aku ingin sejenak melupakan semuanya.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (6)
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya.
Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam.
Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja.
Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.
“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.
Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa tahu sedetil itu daerah sini. Besar dugaanku, Sinta, mantan pacarnya -sudah mantan atau belum aku tak tahu- itu tinggal daerah sini. Buktinya aku bisa bertemu dua kali di sekitar sini. Bisa jadi, jika aku sering klayapan disekitar sini, aku akan lebih sering bertemu dengannya.
"Mau lihat suasana sini? Rame biasanya,” ujar Mas Bayu seperti memprovokasi.
Aku terdiam. Bingung antara ingin membuang bosan, atau tetap di rumah.
Aku menimbang dalam hati. Jika aku pergi, aku takut ketemu Sinta lagi, dan akan menoreh luka yang sedikit demi sedikit terobati setelah kembali bekerja dan melupakan semuanya.
“Kamu nggak mau?” tanyanya lagi karena aku tak kunjung menjawab. Matanya menatapku lekat. Jujur aku tak tahan menatap seperti ini. Jantungku bergemuruh. Ketampanan yang dulu selalu kupuja, kini ada di depan mata. Sayangnya, aku sudah kalah sebelum bertanding. Kalah dengan hatinya yang ruangannya telah terpatri nama yang lain.
“Ayo,” jawabku sambil menepiskan rasa luka yang menganga.
Kuputuskan untuk pergi bersamanya. Bagaimanapun aku harus menerima kenyataan. Akulah istri Mas Bayu. Kenapa aku menjadi lemah? Menjadi seperti orang kalah? Bukankah jalan berdua dengannya adalah suatu yang kuimpikan sejak lama. Bahkan, bisa jadi ini adalah buah doaku, menjadi istri Mas Bayu.
Aku segera bersiap-siap. Mengganti baju dengan baju yang paling nyaman dikenakan untuk pergi bersama kekasih hatiku. Ah! Betapa sakitnya mengingat itu. Harusnya aku bersama orang yang mengasihiku, bukan yang kukasihi.
Kami berjalan menyusuri gang menuju jalan raya.
Pagi itu banyak orang yang berjalan menuju arah yang sama dengan tujuan kami.
Banyak di antaranya yang pergi sekeluarga, berpasangan, atau gerombolan beberapa remaja yang seusia.
Tak lama, kami sudah sampai di jalan raya yang di kanan dan kirinya penuh dengan tenda-tenda orang berjualan.
Jalanan ini benar-benar penuh. Bahkan di tengah jalan pun ada yang membuka lapak. Orang lalu lalang di tengah jalan. Rupanya, jika weekend jalan ini ditutup. Hanya ada pejalan kaki yang boleh lewat di jalur ini.
Tiba-tiba jantungku berdesir saat aku merasa jemari tanganku bertangkup dengan jemari tangan Mas Bayu.
Kutatap tangan ini, lalu tatapanku berpindah ke wajah Mas Bayu untuk meyakinkan diri. Namun, raut wajah Mas Bayu seolah tak menyiratkan terjadi apa-apa. Dia sibuk melihat ke sekitarnya. Hingga kami tiba di sekitar tenda-tenda yang menjual beraneka makanan.
“Kamu mau makan apa, Dik?” tanyanya tanpa melepaskan pegangan tangannya.
Aku tak dapat menghindarkan gemuruh dalam dadaku. Genggaman tangan ini dan tawarannya seolah menyihirku kembali dalam buaian angan silamku. Lelaki yang kupuja, kini benar-benar nyata menjadi kekasih halalku.
“Bubur ayam saja, Mas,” sahutku saat melihat penjual bubur ayam tak jauh dari tempat kami berdiri.
Setelah Mas Bayu memesan dua porsi bubur ayam, kami mencari tempat duduk.
Ada tikar lesehan yang disediakan menhadap danau. Aku baru tahu, di belakang jajaran tenda-tenda pedagang ini ada danau yang dibatasi dengan track pejalan kaki. Dan kamipun duduk di atas tikar itu.
Kulihat suasana memang riuh sekali. Banyak orang yang jalan sekedar melihat-lihat, atau berolah raga pagi. Tapi, tak sedikit memang yang sengaja mencari kuliner.
Kami sengaja duduk di tempat yang sepi, jauh dari lalu lalang. Tak lama, penjual bubur itu datang membawa dua mangkuk bubur dan dua gelas berisi teh tawar hangat.
“Ayo dimakan,” kata Mas Bayu sambil mengaduk buburnya. Aku sendiri tidak menyukai bubur yang diaduk.
Belum sempat aku menyuapkan buburku, Mas Bayu menggeser duduknya ke dekatku. Lalu membalikkan tubuhnya seolah memberi kode kepadaku untuk menikmati danau di belakang kami.
“Kalau kamu mau bicara sesuatu, bicaralah. Aku akan mendengarkan,” kata Mas Bayu sambil menoleh sekilas ke arahku. Lalu dia kembali mengaduk buburnya, menyendoknya dan memasukkan ke mulutnya.
Aku menatapnya sekilas.
“Kenapa kita memilih tinggal disini, Mas?” ujarku tanpa sadar kata-kata itu mengalir begitu saja. Seolah ambang kesadaranku telah hilang. Mungkin karena keingintahuanku yang terlalu dalam, hingga tak sadar aku mengatakannya.
Raut muka Mas Bayu tidak berubah. Dia tampak biasa saja mendengar pertanyaanku. Sambil menelan buburnya, dia menoleh ke arahku. Lalu kembali memindai pandangan di sekitar danau.
“Karena aku sangat mengenal daerah sini. Aku suka beberapa tempat disini. Dan kuharap, kau akan menyukainya,” sahutnya.
“Bukan karena Sinta ada disini?” tanyaku dengan suara setengah bergetar. Menyebut namanya terasa sangat berat bagiku. Aku membencinya. Aku tak menyukainya. Karena dia telah mengambil Mas Bayu dariku. Dia lah yang mengambil hati Mas Bayu hingga tak utuh lagi buatku.
Meski sesak hati ini, tapi terpaksa kutanyakan juga padanya. Aku ingin tahu. Benar-benar ingin tahu. Tak ingin lagi ada prasangka.
Mas Bayu meletakkan mangkuknya yang sudah kosong. Sedang mangkukku baru berkurang beberapa sendok.
“Ya, aku mengenal daerah ini karena dulu aku sering menghabiskan waktuku dengan Sinta di sini,” jawabnya datar. Tatapannya masih ke arah danua.
Deg,
Hatiku terasa panas. Bergejolak. Ada rasa tidak terima disana. Apakah dia benar-benar belum mau melepasnya? Hingga kenangan yang ada dengan Sinta pun, tak ingin dilepaskannya. Sakit hatiku.
“Sudahlah, kamu nggak usah membahas dia lagi. Itu tidak baik untukmu. Toh, aku sudah menikah denganmu,” katanya kemudian.
Aku mengangguk. Benar apa katanya. Memang sebaiknya aku tidak tahu apa-apa. Sebaiknya aku tidak boleh mencari tahu. Semakin aku tahu, semakin sakit hati ini.
Mas Bayu segera bangkit dari duduknya saat melihat aku menyuap sendokan bubur terakhir. Kulirik dia sedang membayar bubur itu, dan…
Aku menoleh lagi untuk meyakinkan diri. Mataku melebar kembali.
Dia, Mas Bayuku, kini sedang ngobrol dengan wanita itu lagi? wanita itu ada disini?
Jantungku berdegup kencang. Tak bisakah kamu menghindarinya, Mas? Tak bisakah kamu sedikit menghargai perasaanku, Mas? Tak bisakah kamu sedikit saja tidak bertemu dengannya saat bersamaku?
Kutarik nafasku dalam-dalam. Kupalingkan pandanganku ke danau seolah-olah tidak melihatnya. Hingga Mas Bayu menghampiriku, dan meraih jemariku. Dia menggenggam jemariku dan membimbingku untuk bangkit dari duduk.
“Ayo kita jalan lagi. Siapa tahu kamu melihat sesuatu yang kamu suka,” katanya.
Aku mendengus kesal. Bukan bertemu sesuatu yang aku suka, Mas. Tapi bertemu seseorang yang aku benci, batinku.
--
SAAT HAMPIR MENYERAH (7)
Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong.
“Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak.
“Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu.
“Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya.
Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu.
Akhirnya aku berjongkok di sebelahnya. Mengambil aneka sayuran segar dan bahan lain untuk membuat urap.
“Kamu mau lauk apa, Mas?” tanyaku sambil melihat-lihat dagangan penjual di hadapanku ini. Hatiku seperti sudah mencair.
“Terserah kamu. Mungkin tempe mendoan sama ayam goreng juga boleh,” katanya sambil mengulas senyum padaku. Aku mengangguk setuju.
Kami segera beranjak setelah membayar belanjaan kami. Tangan kanan Mas Bayu menenteng belanjaan. Sedang tangan kirinya kembali menggandeng tanganku. Romantis bukan? Ah, andai dia melakukannya dengan tulus. Andai tak ada wanita lain di hatinya. Tentulah aku merasa seperti ratu.
“Ramai seperti ini, kalau nggak digandeng bisa ilang,” bisiknya seolah memberi kode agar aku tidak terlalu GR.
Pyar! Aku hanya bisa menghembuskan napasku. Ternyata benar. Dia melakukan bukan karena cinta seperti khayalanku di film-film romantis.
“Kalau kamu ilang, nanti nggak bisa pulang. Kamu kan belum hafal daerah sini,” sambungnya lagi.
Aku mengangguk saja. Menekan gemuruh dalam dadaku. Rasa kesal yang menyelimuti kalbu.
Hampir saja langkahku terhenti, saat kulihat Sinta berjalan dengan seorang temannya berlawanan arah dengan kami. Dia melihat ke kami dan melambaikan tangannya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, meski hatiku sesak. Bukan tak mau membalas lambaian tangannya, karena tangan kananku masih digenggam oleh Mas Bayu.
Sementara Mas Bayu tampaknya tidak menyadarinya, atau dia pura-pura tidak melihatnya. Aku tak tahu.
--
Sesampai di rumah, aku bersemangat ingin segera memasak. Ya, aku kangen memasak. Sekaligus ingin membayar rasa bersalah ke suamiku. Aku merasa menjadi istri yang gagal, yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya dari sekedar melayani kebutuhan perutnya.
Segera kubuka belanjaan. Sebagian langsung kucuci dan kutiriskan.
“Mau Mas bantu?” tawar Mas Bayu.
Aku bingung mau menjawab apa. Tapi sepertinya ini lebih baik. Bagaimanapun, aku harus memberi banyak kesempatan berinteraksi dengannya. Kecuali aku akan kehilangannya.
Kuberikan padanya beberapa siung bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. Aku paling benci mengupasnya.
Aku tak dapat menahan senyum kala melihatnya kesulitan mengupas bawang. Bisa ditebak kalau dia tidak pernah sekalipun ke dapur. Wajahnya sudah memerah dan matanya mulai berair. Namun, dia tidak menyerah. Biar lah. Batinku.
Jujur saja, aku senang Mas Bayu mau membantuku memasak. Hal yang sama sekali tak terlintas olehku. Bahkan, jauh sebelum kata penolakannya.
Dulu impianku adalah menjadi istrinya dan melayani seutuhnya. Tapi itu dulu, sebelum dia mengatakan tak akan menyentuhku sebelum jatuh cinta padaku.
“Yah, kita lupa belum masak nasi,” pekiknya saat aku sudah mematikan kompor, tanda memasak sudah selesai. Aku hanya dapat tertawa geli. Aku tahu dia sudah lapar, dan semua makanan sudah siap tersaji, kecuali nasi!
Jangankan masak nasi, bahkan magic com nya saja masih di kardus.
Kami menunggu nasi matang sambil duduk di ruang depan, menghadapi trancam, tempe mendoan dan ayam goreng.
“Nanti sore kita masak apa ya?” tanya Mas Bayu memecah kebisuan.
Ya, kami tadipun memasak bersama dalam diam. Tak ada obrolan. Ataupun sendau gurau. Kadang hatiku masih seperti rollercoaster. Kadang aku menjadi lunak, tapi tak jarang hatiku kembali keras jika ingat kata-katanya yang menyakitkan.
“Ayo kita makan,” katanya tak sabar saat mendengar tombol menanda nasi matang berbunyi. Dia mengangsurkan satu piring yang sudah dia isi nasi panas kepadaku.
“Hmm, masakanmu enak, benar kata mamaku!” katanya sesaat setelah menyuapkan suapan pertama.
Hatiku berdesir. Sebenarnya sudah biasa orang memujiku. Tapi, akan beda rasanya karena yang memujiku Mas Bayu, pria yang sejak dulu kukagumi, dan ternyata, kini begitu menyakiti.
“Wah, kalau tiap hari makan masakanmu, bisa-bisa aku cepet gendut kayak bapak-bapak,” selorohnya sambil mencomot mendoan untuk yang ketiga kalinya.
Aku tidak tahu, dia benar-benar tulus, atau hanya ingin menghiburku. Tapi aku bertekad akan membuatnya bahagia dan mencintaiku. Aku harus menghilangkan bayang-bayang Sinta di benakku, juga benak Mas Bayu. Tapi aku belum tahu caranya. Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana cara mengambil hati mas Bayu yang telah hilang.
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
