PETAKA SALAH POSTING BAB 1-7

10
4
Deskripsi

Reno salah mengirim foto yang seharusnya ke stafnya, tapi terkirim ke status WA nya. 
Apa jadinya jika seluruh kantor dan keluarganya tahu kedekatan Reno dengan stafnya?

PETAKA SALAH POSTING (1)

Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya. 

Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain. 

Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar. 

[Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya!] Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam. 

Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.

Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan. 

Dan pekan lalu, aku dan Vania baru saja dinas ke luar kota untuk meninjau kantor cabang di Surabaya. 

Sebenarnya, kami juga tidak kemana-mana. Hanya beberapa foto kuambil saat kami berdua sedang makan malam di sebuah restoran. 

Memang beberapa fotonya ada pada ponselku dan belum sempat aku transfer padanya, karena biasanya setiba di rumah dari dinas, aku akan sibuk dengan Namira dan dua buah hati kami. 

Buru-buru aku buka galeri foto di ponsel itu. 

Saat aku hendak memilih foto-foto itu, beberapa peserta rapat masuk ke ruangan. 

Tak enak jika aku fokus dengan ponsel, karena aku manajer baru. Dengan cepat akhirnya aku klik-klik saja foto-foto itu dan mengirimkannya ke Vania. 

Setelah mengirim gambar itu, ponsel aku ubah ke mode diam dan kusimpan di meja dengan posisi terbalik. 

Aku tak ingin di saat rapat, terganggu oleh panggilan atau pesan yang masuk. 

Tak terasa, rapat yang ternyata cukup alot memakan waktu tiga jam. Hingga tiba saatnya makan siang. 

Beberapa peserta rapat membubarkan diri setelah ditutup. Demikian pula diriku. 

Aku segera kembali ke ruanganku. Biasanya, Vania akan mengajakku makan siang bersama. 

Dengan langkah tergesa aku kembali ke ruanganku. 

Anehnya, saat aku masuk, semua mata memandangku aneh. 

Mataku memindai meja kerja Vania. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Mungkin setelah di ruangan, aku harus segera mengecek ponselku. 

Jangan-jangan dia sudah keluar duluan, agar teman kantorku tidak mencurigai kedekatan kami. 

Meskipun aku dekat dengan Vania, tapi di kantor tak ada yang mencurigainya, karena aku dan Vania bisa membawa diri. 

Kami hanya sekedar nyaman satu sama lain. Tidak melakukan hal yang di luar batas. 

Vania adalah gadis belia. Usianya baru 23 tahun. 

Awalnya kami dekat karena pekerjaan. Tapi, karena seringnya dia curhat mengenai masalah keluarganya usai kerja lembur, membuat hubunganku dengannya tak sekedar teman kerja. 

Dia berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian. Hingga dia sulit dapat menerima orang tua baru dari masing-masing orangtuanya. 

Sementara aku, hanya menjadi pendengar setianya. 

Mungkin karena aku sedikit bosan dengan suasana rumah. Namira yang terlalu sibuk dengan Dafa dan Dafi sering mengacuhkanku. Bahkan, justru sering memintaku membantunya, dibanding memperhatikanku. Padahal, aku sudah lelah bekerja dan ingin dimanja. 

Aku segera masuk ke ruanganku. Ruangan yang baru satu bulan aku tempati setelah naik jabatan. Belum sempat aku duduk, Hana, sekretarisku mengetuk pintu. 

“Pak, dipanggil menghadap Pak Direktur,” ujar Hana sambil mendekat ke mejaku. 

Dipanggil? Bukannya kami barusan habis rapat? Sepertinya semua agenda tadi sudah final dan tak ada tersisa agenda lain yang ingin dibahas. 

Tapi, baiklah. Mungkin ada hal lain yang ingin didiskusikan oleh Pak Direktur. 

Ruang direktur ada di lantai 22, satu lantai di atas tempatku bekerja. 

Baru aku melangkah hendak masuk ke ruangan direktur, langkahku terhenti saat melihat dari kaca, tampak Vania sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Pak Taufan, direktur perusahaan tempatku. Gadis itu terlihat menunduk. 

“Permisi, Pak,” sapaku. 

Pak Taufan segera berdiri. Wajahnya merah seperti menahan marah. Tangannya memegang ponsel yang sepertinya hendak ditunjukkan padaku. 

“Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil menunjukkan gambar di ponselnya. 

Mataku melebar. 

Mengapa Pak Taufan bisa mendapatkan gambar yang aku kirim ke Vania? 

“Apa maksud kalian? Ha?” ucap Pak Taufan lagi. 

Aku semakin tidak mengerti. 

“Pak Reno, buka status WA Bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mengembun. 

“Apaa???!” 

--

PETAKA SALAH POSTING (2)

“Pak Reno, buka status WA bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mulai mengembun. 

“Apaa???!” 

Aku hampir terlonjak kaget. 

Betapa bodohnya aku bisa memposting fotoku dan Vania di status WA? Padahal, foto itu tidak hanya satu. Bahkan foto tak penting pun aku ikut kirimkan. Apa jadinya jika Namira sampai melihatnya? 

Segera aku buka ponselku yang sedari tadi aku pasang mode diam. 

Ya Salam. Benar juga. Banyak japri masuk ke aplikasi pesanku. 

[Reno, ini siapa?]

[Reno, berani sekali pasang di sini?]

[Reno, tak kusangka, kamu suka juga dengan daun muda] 

Ya Tuhan...itu pesan dari teman-temanku. Entah siapa lagi, belum sempat aku cek satu per satu. 

Bergegas aku membuka status WA ku. 

Innalillahi, hampir semua staf kantor yang ada di daftar kontak sudah membukanya. 

Sepertinya mereka mengetahui dari mulut ke mulut. Bahkan, mertua dan orang tuaku pun melihatnya. 

Langit rasanya tiba-tiba runtuh, dan aku terhempas masuk ke dalam bumi yang entah berapa lapis dalamnya. 

Aku hanya berharap, Namira tidak membuka. Dia jarang kepo dengan status WA seseorang. 

Segera aku menghapus semua status sampah itu. 

“Untuk sementara, kalian berdua di non-aktifkan hingga ada keputusan dari kantor,” ujar Pak Direktur dengan tegas. Suaranya terdengar laksana petir di siang bolong di telingaku.

“Apa?” Aku dan Vania serentak berucap. Bahkan, mulutku ikut menganga karena kaget.

“Kamu tak punya malu jika kamu besok masih masuk kerja?” tanya Pak Taufan. 

Benar juga kata Pak Taufan. Pasti para karyawan di kantor ini memperbincangkan kebejatanku, meski foto itu tidak menampilkan tindakan asusila. Tapi dari foto itu siapapun bisa menebak kalau aku punya hubungan khusus dengan Vania.

Aku menatap Vania iba. Kasihan sekali dia. Masa depannya hancur karena ulahku. 

Aku keluar dari ruang direktur itu dengan kepala menunduk. 

Aku yakin, semua karyawan yang ada di lantai ini pun sudah mengendus berita miring tentangku. Apa jadinya masa depanku. Baru sebulan diangkat jadi manajer, sudah dinonaktifkan dari jabatan. 

Aku tak berani menatap Vania. Bahkan, aku memilih turun lewat tangga darurat, dibanding harus satu lift dengan Vania. 

Sebaiknya aku bicara nanti dengan Vania. Bukan di kantor ini. Batinku.

Sesampai di ruanganku. Aku hanya mengambil tas kerjaku.

Aku berpesan kepada Hana, jika ada keputusan dari direktur untuk membantu membereskan barang-barangku. 

Untuk saat ini, aku ingin segera pulang. Aku tak ingin masalah tambah kacau di rumah jika Namira sampai tahu kejadian yang sedang menimpaku. 

Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku berdenyut. Bahkan, pesan-pesan yang masuk di ponselku belum sepenuhnya semua kubaca. Aku trauma. Tak ingin melihatnya. Dadaku bergemuruh resah. 

Aku harus menyiapkan kata-kata terbaik untuk bicara dengan Namira, jika dia sampai tahu. Semoga saja berita ini belum sampai padanya. Biarlah aku yang pertama memberitahunya. Bukan orang lain. 

Aku sedikit lega saat tiba di rumah, keriuhan Dafa dan Dafi, bocah berusia tiga dan satu tahun itu terdengar dari luar. Artinya seharian Namira sibuk dengan keduanya. 

Dia jarang sekali mengecek ponsel. Kadang, aku harus beberapa kali menelponnya jika sangat penting sekali, karena tak mungkin sekali panggil dia mengangkatnya. 

Segera kubuka pagar rumahku sebelum kumasukkan mobilku. 

“Ayah!” Dafa, anak sulungku yang baru tiga tahun dengan suka cita berlari menyambutku yang masih hendak turun dari mobil. 

Sementara Dafi, masih belajar berjalan tertatih mengejar abangnya dengan berpegangan pada dinding. 

Ada rasa sesak di dada melihat dua buah hatiku. Sementara, Namira pun ikut berlari tergopoh-gopoh begitu dua anak kami menghambur ke depan. 

Wanita dengan daster batik dan jilbab bergo itu fokus melihat kedua anak kami, tanpa menatapku. Aku jadi semakin merasa bersalah. Jangan-jangan dia sudah tahu. 

“Kok Ayah sudah pulang?” tanya Dafa sambil mengekor di belakangku. 

Sementara Dafi minta mengulurkan kedua tangannya minta aku menggendongnya. 

Hari memang masih siang. Biasanya aku tiba di rumah jam tujuh, setelah aku menghabiskan waktu sejenak dengan Vania, sekedar menemaninya makan sore di rumah makan sekitar kantor, atau sekedar nongkrong di cafe. 

Vania kos di belakang kantor. Dan kini, sesiang ini aku sudah pulang setelah kebejatanku dengan Vania terendus seantero dunia. Naif!

“Sini, Dek, Ayah masih kotor. Biar mandi dulu,” ujar Namira sambil mengulurkan tangannya pada Dafi. 

Tapi, bocah bayi ini malah mengalungkan tangannya ke leherku, memelukku erat. Aku jadi semakin merasa bersalah. 

“Aku nggak tahu kamu pulang cepet, Mas. Aku belum masak,” ujar Namira tanpa menatapku. Dia langsung ke dapur begitu Dafi tak mau diambil. 

Kesempatan ini aku gunakan untuk mencari ponsel milik Namira. Aku harus tahu apakah dia sudah membuka status WA ku atau belum. Apakah sudah ada yang mengirimkannya pesan singkat mempertanyakan statusku itu, atau belum. 

Kugendong Dafi ke kamar. Mataku menjelajah setiap sudut kamar tidur kami. 

Oh! Ketemu. Ada di atas ranjang. Namira tak pernah memberikan ponselnya ke anak-anak untuk mainan. Dia rela repot mengasuh anak-anak dengan memberikan bacaan atau mainan edukatif. 

Dia hanya memberikan ponsel dengan pengawasannya saja. Misalnya membuka video dan melihatnya bersama. Bukan meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan dengan benda ajaib itu. 

Aku baru ingat kalau statusku sudah kuhapus, bagaimana aku bisa tahu Namira sudah mengeceknya atau belum? 

Tapi, baiklah. Aku cek saja siapa tahu ada pesan melalui japri dari orang lain. 

Dan benar saja. Ada pesan dari mertua dan iparku di situ. Untungnya belum dibaca oleh Namira. Segera aku hapus semuanya tanpa kubuka. 

“Mas?”

Aku tergagap saat Namira sudah berdiri di ambang pintu. 

Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Wajahnya sangat datar. Aku menjadi takut karenanya. 

“Mas, ibu sebentar lagi datang,” ujar Namira sambil mengambil Dafi dari gendonganku. 

Deg!

Dari mana Namira tahu kalau ibu mau datang? Sementara ponselnya ada di aku? 

--

PETAKA SALAH POSTING (3)

Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku. 

Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.

“Reno, keluar kamu!” 

Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini? 

Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku. 

Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?

Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.

Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saudara datang. Anak-anak biasa main di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga yang tak terlalu besar ini. 

Kemana anak-anak? Gumanku. 

Di ruang tamu sudah duduk papa dan mamaku. Papa menatapku dengan tajam. Sementara, tatapan mama lebih tajam lagi. 

Aku semakin salah tingkah saat tak lama Namira keluar dengan membawa teh panas. 

“Anak-anak mana, Dek?” tanyaku pada Namira. 

Ini salah satu taktik agar kedua orang tuaku melunak. Mereka tak suka bikin keributan di depan cucu-cucunya. 

“Ngapain kamu tanya anak-anakmu? Saat kamu gatal berduaan dengan gadis itu, apa kamu ingat anakmu, ha?” hardik mama tanpa basa-basi. 

“Mama!” gumanku nyaris tak terdengar. 

Kutatap Namira yang tampak biasa saja. Entah apa yang ada dalam benaknya. Dia tak tampak kaget sedikitpun. Apa dia benar-benar sudah mengetahui? 

Papa masih diam seribu bahasa. Tapi, lelaki yang selama ini paling kuhormati itu tetap menatap tajam ke arahku hingga membuatku tak berkutik. 

Tak lama, deru mobil berhenti di depan rumah terdengar lagi. 

Jantungku berdegup lebih kencang, begitu aku tahu siapa yang memasuki pagar rumahku. 

Mas Bram, kakak sulung Namira, beserta ibu dan ayah mertuaku. Matilah aku!

Langkah ibu mertuaku lebar-lebar, seolah tak sabar ingin masuk ke dalam rumahku. Begitu juga ayah mertua dan kakak iparku yang mengikuti di belakangnya. 

Kutatap lagi Namira yang tergopoh ke depan rumah menyambut orang tua dan kakaknya. Mereka lalu berpelukan di teras rumah. 

“Assalamualaikum...” sapa ibu pendek. 

Biasanya ibu mengucap salam dengan lemah lembut. 

“Bagus! Kamu sudah di rumah!” Bibir ibu mertuaku sampai bergetar saat berkata. Telunjuknya lurus menunjuk ke wajahku. 

Bahkan, tanganku yang hendak bersalaman dengannya saja ditepiskannya. 

Hancur terasa duniaku. 

Sementara Namira kembali masuk ke dapur dan sibuk dengan teh panasnya. 

Dia keluar lagi dengan tiga cangkir teh panas. Entah apa yang ada dalam benak perempuan yang telah setengah kukhianati. 

Catat ya. Aku tak benar-benar mengkianatinya. Aku hanya dekat saja dengan stafku. Bukan selingkuh!

“Kita sekarang sudah berkumpul. Coba sekarang kamu jelaskan. Apa maksud status WAmu tadi pagi, ha?” Suara papaku terdengar parau. 

Aku tahu papa jarang marah. Beliau hanya marah jika kesalahan kami, anak-anaknya, sudah fatal dan tak termaafkan. 

Aku terdiam. Sejenak berfikir kata-kata yang pas dan tidak menimbulkan kemarahan mereka. 

Semua mata memandangku dengan sorot kemarahan. Mereka seperti hendak menelanku bulat-bulat. 

Hanya Namira yang tak menatapku dengan kemarahan. Dia justru hanya memperlihatkan muka tanpa ekspresi. Tapi itu sungguh menakutkan. 

“Itu hanya salah paham, Pa, Ma, Yah, Ibu, dan Mas.” Aku menyebut mereka satu persatu. Agar mereka merasa keberadaannya aku akui. 

“Salah paham apa maksudmu. Yang jelas!” Ayah mertuaku sudah tak sabar. 

“Salah posting, Yah. Reno tak bermaksud memposting di status....” ujarku menggantung.

“Lalu?” Mama langsung menyela. 

“Mau Reno kirim foto itu ke Vania, tapi sal…” 

“Oh, jadi selingkuhanmu itu namanya Vania?” Ibu mertuaku langsung menyahut sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

“Ibu, Reno tidak selingkuh!” ujarku membela diri.

“Mira! Percaya padaku. Aku tidak selingkuh!” ucapku beralih menatap Namira yang duduk di sebelahku. 

Tak kusangka, Namira bergeming. Dia diam tak merespon apapun. Bahkan, tanganku yang hendak menggenggam jemarinya pun ditepiskannya. 

“Lalu apa? Foto berduaan mesra seperti itu? Ha?” sahut Ibu mertuaku lagi. 

“Dasar anak kurang ajar! Malu papa punya anak seperti kamu!” tiba-tiba papa sudah bangkit dan mendekat ke arahku. 

Hampir saja tangannya melayang di wajahku, andai ayah mertuaku tak mencegahnya. 

“Biar, Dek Hadi. Saya mau kasih pelajaran anak yang bikin malu keluarga ini,” ujar papa sambil berusaha melepaskan pegangan tangan mertuaku. 

“Jangan, Mas. Kita selesaikan saja secara kekeluargaan,” ujar Ayah mertuaku bijak. Akupun ikut lega. 

“Jadi, kamu masih mau terus sama Namira, atau mau sampai di sini?” Suara ayah mertuaku membuatku yang sedari tadi menunduk, spontan mendongak dan menatapnya. 

“Ayah bicara apa. Reno tidak selingkuh, Yah. Reno tentu saja akan terus bersama Namira hingga maut memisahkan,” ujarku tegas. 

Tentu saja karena aku memang benar-benar tidak selingkuh seperti tuduhan mereka. 

Itu hanya foto. Foto berduaan yang tak sengaja terekspos. Mengapa dibesar-besarkan? 

“Sekarang Papa tanya sama Namira, apa kamu masih mau bersama Reno?” tanya Papaku. 

Semua mata beralih menatap ke Namira. 

Wanita yang tentu saja sangat cantik ini menatap lurus ke Papa, lalu menggeleng lemah. 

“Dek, apa maksudmu?” tanyaku.

“Aku tak mau hidup dengan pengkhianat,” ucapnya lirih, namun menghujam ke ulu hatiku. 

--

PETAKA SALAH POSTING (4)

Akhirnya aku bisa bernafas lega. 

Setelah negosiasi alot dengan mertua dan orang tuaku, akhirnya mereka memberiku kesempatan kedua, dengan catatan aku tak berhubungan lagi dengan Vania. 

Aku iyain saja, agar mereka segera pulang. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan Namira. 

Kini mereka semua sudah pulang. Tinggalkan aku dan Namira, juga kedua anakku yang sedari tadi ternyata diasuh oleh Dina, adikku. 

Rupanya adikku membawa kedua anakku pergi keluar, agar kedua anakku tak mendengarkan pertengkaran kakek dan neneknya denganku. 

Setelah menidurkan Dafa dan Dafi, Namira keluar kamar anak-anakku. Sementara, aku menunggunya di ruang keluarga. 

Sebenarnya aku ingin membuka ponselku. Tapi, aku masih trauma. Ada banyak pesan yang ada di situ, dan aku enggan membalasnya. Rata-rata mereka menanyakan tentang status WA ku. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. 

“Dek, Mas mau bicara....”panggilku pada Namira yang baru keluar dari toilet sambil menepuk sofa di sebelahku. 

Namira keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah diusap dengan handuk, sementara anak rambutnya basah. Tandanya dia selesai wudhu. Sebentar lagi akan pergi tidur. 

Raut mukanya masih sama seperti saat aku pulang tadi. Dingin. Padahal, biasanya dia tak seperti ini. 

Namira biasanya sangat manja dan cerewet. Terutama untuk urusan anak-anak. 

Bahkan, dia tak membiarkan aku istirahat hingga kami tertidur karena dia akan memintaku ini itu saat aku sampai rumah. 

Kini, melihatnya dingin seperti ini, hatiku terasa kosong. 

Namira akhirnya duduk di sebelahku. Dia masih diam. 

“Mira, apa yang dibilang ayah ibu, mama dan papa tidak benar. Aku tidak selingkuh,” ucapku lagi. Aku ingin meyakinkan Namira bahwa tuduhan mereka salah. 

Namira hanya mengangguk. Tak sedikitpun melirikku. 

“Mira, lihat aku,” ucapku kemudian. 

Aku tak suka dia berubah seperti ini. Ini semua gara-gara mertua dan orang tuaku yang menuduhku sembarangan. 

Dia menatapku, tapi bukan tatapan hangat. Justru sebaliknya. Tatapan dingin yang sebelumnya tak pernah kudapatkan darinya. 

“Kamu percayakan padaku?” tanyaku lagi. 

Aku bingung dengan sikapnya. Bahkan, aku menjadi bingung harus berkata apa padanya. 

“Tergantung,---” ucapnya menggantung. 

“Apa maksudmu?” 

“Jika kamu layak aku percayai. Kalau tidak?”

Apa? Dia menyebutku ‘kamu’? bahkan, empat tahun menikah dengannya, tak pernah dia ber-kamu-kamu padaku. 

Belum sempat aku meminta klarifikasinya, ponselku meraung-raung. 

Aku menatap Namira yang melirik ponsel di atas meja yang berkedip-kedip. 

Hatiku mencelos saat melihat foto yang terpampang di layar. 

Vania! Bahkan Vania mengganti foto profil WA nya dengan foto berdua denganku. Bahkan, aku sedang merangkul pinggang rampingnya dengan mesra. 

Mati aku!

Seketika Namira berdiri dari duduknya. Dia meninggalkanku dengan sorot mata yang tajam. 

“Mira, tunggu!” ucapku sambil mengejarnya ke kamar. Sementara, ponselku masih meraung-raung karena panggilan yang belum kujawab. 

“Angkat dulu teleponnya. Kasihan dia menunggumu. Kangen kayaknya,” sindir Mira. 

Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu, mirip orang bodoh, saat melihatnya merebah dan menarik selimut. 

--

PETAKA SALAH POSTING (5)

“Vania, kenapa kamu pasang foto itu di profilmu?” tanyaku ke Vania dengan nada marah. Padahal selama ini aku tak pernah marah padanya. 

“Kenapa? Bukannya semua sudah tahu? Sudah tak ada yang disembunyikan lagi? Ingat, Mas, kamu sudah menghancurkan masa depanku. Jadi kamu harus bertanggung jawab dengan masa depanku,” ucapnya panjang lebar.

Aku mengacak rambutku frustasi. Kesal dan dongkol bukan main. Harusnya Vania menolongku. Bukan malah memperburuk keadaan. 

“Aku harus menyelesaikan urusanku dengan keluargaku. Istriku hampir minta cerai. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu.” Aku mencoba memberinya peringatan. 

“Oh, bukannya itu bagus. Bukannya Mas bilang padaku waktu itu, kalau Mas sudah bosan padanya?” 

“Jaga mulutmu! Meskipun aku bosan, sampai mati aku tetap mempertahankannya!” 

Baru saja aku menutup mulutku, Namira sudah berdiri di belakangku saat tak sengaja aku menoleh ke samping. 

Astaga! Jangan-jangan dia mendengarkan percakapanku. 

Melihatku menoleh, dia langsung berpaling, dan kembali masuk ke kamar. 

Ya Tuhan. Sepertinya hari ini adalah puncak kesialanku. 

Sudah aibku terlihat ke seluruh nusantara. Bahkan, kini Namira pun mendengarkan kata-kata busuk yang sering aku keluhkan pada Vania. 

Segera kututup sepihak panggilan telepon itu. Dan kumatikan ponselku. 

Aku tak ingin Namira sampai melaporkan ke orang tuanya dan orang tuaku kalau aku masih menelpon Vania. 

Bisa-bisa, aku benar-benar disuruh pisah dengan Namira. 

Tidak. Aku tidak bisa. Aku mencintai Namira. Aku hanya khilaf saja. 

Semalaman Namira tidur memunggungiku dan memberi sekat guling di antara kami. Ini baru pertama dalam sejarah hidupku bersamanya. 

Biasanya, dia akan minta aku memeluknya sampai pagi. 

Ah! Aku bahkan tak bisa tidur karena guling hidup yang biasa kupeluk kini mendiamkanku. 

Padahal, biasanya aku baru bisa tidur setelah mengendus aroma rambutnya yang lembut dan wangi. 

Pagi-pagi, Namira seperti biasa sudah menyiapkan sarapan. 

Dia tak mengubah jadwalnya. Hanya saja tampangnya yang tetap dingin padaku. 

Untungnya, anak-anak tak merasakan perubahan itu. Dafa dan Dafi tetap hangat padaku. 

“Ayah nggak kerja?” tanya Dafa. 

Anak itu sudah duduk di kursi makan dan siap melahap nasi gorengnya. Rupanya Dafa menyadari karena aku tak memakai baju kerja. 

Mendengar pertanyaan Dafa, Namira menatap ke arahku. 

Namira memang tidak tahu kalau aku tidak kerja. Dia masih menyiapkan baju kerjaku di atas kasur. Tapi, dia tak bertanya. Diam seribu Bahasa. 

“Ayah mau main sama Dafa hari ini,” jawabku sambil menoel hidung anak sulungku ini. 

Bocah tiga tahun itu tersenyum kegirangan. 

“Asyik…Ayah di rumah. Tapi kata Bunda, kalau Ayah nggak kerja, kita nggak punya uang. Kita nggak bisa makan,” ujar Dafa lagi. 

Senyum girangnya berubah menjadi murung.

Aku menatapnya sambil tersenyum. Meski perih dalam hatiku. 

Bagaimana kalau aku sampai dipecat? Tiba-tiba pikiran itu menghantuiku. Habislah riwayatku. 

Mencari pekerjaan sekarang susahnya bukan main. Apalagi kalau sampai kantor mengeluarkan rekomendasi yang buruk terhadapku. 

Baru aku akan menyendok nasi goreng di hadapanku, ponsel yang aku taruh di kamar meraung-raung. 

Aku dan Namira saling bertatapan. Biasanya, Namira akan sigap mengambilkannya untukku. 

Tapi, aku tiba-tiba ketakutan kalau telepon itu dari Vania, dan dia menampilkan gambar profil yang seperti semalam. 

Tergesa aku bangkit dari kursi untuk mengambil ponsel di kamar. 

Di layar tertera nama Pak Hanafi, manajer HRD di kantor. 

Ada apa gerangan? Apakah secepat ini sudah diputuskan? 

“Kemarin siang kami sudah rapat, dan hasilnya sudah keluar. Bahwa jabatan Pak Reno sebagai manajer akan diganti oleh orang lain sementara hingga nanti ada pelantikan pejabat baru. Sementara posisi Pak Reno akan dikembalikan menjadi staf. Dan Pak Reno silahkan masuk kembali ke kantor satu minggu lagi, menunggu suasana kantor kondusif untuk bapak.” 

Suara Pak Hanafi mendadak membuatku lemas. 

Aku kembali jadi staf. Padahal, baru sebulan aku naik jabatan. Bukan perkara uangnya. Tapi perkara mukaku akan ditaruh dimana? 

“Ehheemmm!” 

Suara Namira mendehem, sontak membuyarkan lamunanku. 

Rupanya, dia menatapku tajam sedari tadi. 

Namira belum tahu kalau aku diturunkan dari jabatan. 

Sebaiknya aku tak usah bilang. Aku juga tak usah bilang kalau aku kena skorsing. 

Sebaiknya aku akan mengaku kalau aku sedang cuti saja. 

Kalau dia sampai tahu aku kena hukuman di kantor, bisa panjang urusanku. 

“Jadi kamu nggak ke kantor?” tanya Namira setelah selesai makan. 

Aku risih dia menyebutku ‘kamu’. Tapi, mau gimana lagi, ini memang salahku. 

Semoga tak akan lama. Semoga dia akan kembali hangat seperti hari-hari lalu. 

“Soalnya aku ada janji mau pergi,” sambungnya sambil membereskan sisa makanan di meja makan.

“Kamu mau pergi kemana?” tanyaku. 

Selama ini, aku tak pernah tahu aktivitasnya selama aku bekerja. 

“Ada janji playdate dengan anaknya Widya,” jawabnya. 

“Widya? Widya siapa?” Tiba-tiba aku merasa tak tenang dengan nama yang disebutkannya. 

Setahuku, satu-satunya Widya yang dikenal Namira adalah….

“Istrinya Burhan. Siapa lagi?” jawabnya datar, seolah mampu membaca pikiranku. 

Oh tidak! Mati aku! Burhan adalah teman kantorku. Temanku satu divisi. Aku naik jabatan, dia tidak. Dan kabarnya, malah dia yang akan menempati posisiku saat ini. 

Bagaimana kalau Widya sampai menceritakan pada Namira kalau aku sedang diskorsing dan jabatanku bahkan diturunkan?

--

PETAKA SALAH POSTING (6)

“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar. 

“Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan. 

Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar  pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah. 

Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku. 

“Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk. 

Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby. 

“Eh....ehhh...pap...pap...” 

Aku menoleh ke Dafi yang duduk di kursi bayinya, berceloteh tak jelas di sebelahku. Tangannya menggapai-gapaiku ingin digendong. 

Ragu aku mengambilnya. Kalau dia lengket kayak kemaren, nanti Namira bisa punya alasan meninggalkanku dengan Dafi. Lagi pula, Namira mau pergi dengan Dafi, kenapa bocah ini belum di dandani. Biasanya, bocah ini paling duluan dandan, baru abang dan emaknya. 

“Ehhh...eh...eh...” 

Bocah itu berceloteh lagi. Melihat sudut bibir Dafi yang mulai melengkung kebawah, akhirnya aku angkat juga bocah ini. Begitu kuangkat, bocah ini langsung terkekeh-kekeh kegirangan. Bau harum bocah menguar dari tubuhnya. Kuhembuskan nafasku dengan kasar sambil sesekali memandang ke pintu di mana Namira harusnya segera keluar. Dan benar saja. Dia sudah keluar kamar. Tapi, dandannnya tidak seperti biasa. 

Namira menggenakan tunik dipadu dengan celana bahan yang warnanya senada dengan warna pasminanya. Padahal, biasanya dia kalau pergi hanya dengan gamis dan jilbab instannya. Mendadak, dadaku terasa ngilu. Wajah yang bisanya tanpa sapuan make up, kini, terlihat segar dengan bedak tipis dan lipstick warna natural. 

“Dik, Dafi diajak dong,” suaraku setengah merengek. Kalau sampai dia tidak mengajak Dafi, kenapa aku jadi tidak rela dia pergi. Berpenampilan seperti itu saja, dia sudah mirip gadis lagi. Pasti nanti Dafa dikira cuma keponakannya. Trus, orang bakal melihat Namira adalah seorang gadis yang sayang anak. Bagaimana kalau sampai ada yang suka? Oh NO!

Namira menoleh ke arahku sekilas, lalu mengajak Dafa yang sibuk main lego di depan tivi untuk segera ganti baju. 

“Dik, aku ada meeting siang ini,” ujarku setengah berbohong sambil mengikutinya masuk ke kamar Dafa. Kalau alasan pekerjaan biasanya Namira tak bisa berkelit dan pasti dia mengalah. 

Dia menatapku sekilas, lalu mengangguk. Yes! Pekikku dalam hati. Sambil menggendong Dafi, kuraih ponselku dan menuliskan pesan ke Vania. 

[Ketemu di mall xxx jam 11.00] 

Aku sengaja mengajak ketemu di mall yang jauh dari kantor untuk mempersempit kemungkinan tak sengaja ketemu orang kantor. Dan aku sengaja ketemuan sebelum jam makan siang saat suasana mall belum ramai. 

Tak lama, Namira mengambil Dafi untuk diganti bajunya. Istriku ini meskipun tak punya ART, sangat terampil mengasuh dua anaknya. Dia memang tidak suka ada orang lain di rumah. begitu juga aku. Apalagi rumah kami memang kecil. Ini saja belum lunas. 

Aku mengantarkan kepergian istriku hingga depan rumah. Dia sudah biasa pergi sendiri. Dafi di gendong depan, sementara Dafa di gandeng. Tak lupa membawa gembolan tas berisi satu set baju anak-anak, diapers cadangan Dafi, susu, dan segala macemnya. Juga di sana terselip dompet dan ponsel milik Namira. Kalau sudah begini, Namira akan lupa dengan penampilannya sendiri, hingga membuatku aman melepas kepergiannya. 

Taksi online yang dipesan Namira sudah meninggalkan depan rumahku. Kini, giliranku siap-siap pergi menemui Vania. Akan kuselesaikan masalahku dengannya sekarang. Sebelum semua hancur berantakan. 

Kukenakan baju santai, kaos berkrah dan celana jins serta sepatu santai. Mobil kuluncurkan ke mall yang sudah kujanjikan dengan Vania. 

“Van, mulai sekarang, kamu jangan kontak lagi ke nomorku, mengerti?” ulangku untuk kesekian kalinya. 

Kami sudah duduk di salah satu café, memesan makanan dan minuman sekaligus makan siang. Tapi kupastikan sebelum jam makan siang, kita harus sudah keluar dari cafe itu. Bagaimanapun Jakarta tidak aman. Bisa jadi tak sengaja bertemu siapa yang mencurigai kami. 

“Ngga bisa dong. Aku kan masih ada urusan sama kamu, Mas. Kalau sampai kantor memecatku, aku harus bayar kos pakai uang apa? Aku kan perlu waktu buat cari kerja baru,” ujarnya. 

Benar juga. Apalagi kalau dia dipecat, itu murni karena salahku. Salah memposting foto kami berdua. Andai aku hati-hati, tentu tidak ada drama skorsing ini. Keputusan untuk Vania memang belum keluar. Tapi masak kantor tega memecatnya. Apalagi gambar itu kan bukan gambar asusila. 

“Lagian, aku sudah malu balik ke kantor. Kalau tidak dipecatpun, mendingan aku mengundurkan diri dan mencari kerja yang lain,” ujarnya. 

Aku setuju. Dia masih muda. Pekerjaannya pun bagus. Cekatan. Kalau kerja di perusahaan lain, aku rasa karirnyapun juga cepat naik. 

“Kalau begitu, kamu siap-siap melamar ke perusahaan lain saja, Vanm” ujarku. 

“Iya. Aku masih cari-cari lowongan. Makanya, aku bakal tetep menghubungi kamu, Mas. Kamu jangan lepas tanggung jawab dong. Ini semua gara-gara kamu,” ujarnya sambil cemberut. Kalau sudah begini, dia semakin menggemaskan. 

“Kalau begitu, aku harus beli ponsel dan nomor baru. Kalau tidak, aku kawatir nanti salah posting lagi,” ujarku. 

“Iya. Dasar kamu ceroboh!” 

Baru Vania menutup mulut, tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang yang berada di jarak yang sangat dekat. 

Serta merta kami menoleh ke sumber suara. 

“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” 

Mataku membulat. Burhan dan Reza, dua teman kantorku, kenapa bisa berdiri di sini? Jangan-jangan Namira dan Widya membuntutiku? Lalu mereka melaporkannya ke Burhan? Mati aku!

--

PETAKA SALAH POSTING (7)

“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. 

Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. 

“Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. 

“Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. 

Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. 

“Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelumnya dia adalah sahabat dekatku.  

“Kasihan keluargamu? Kamu masih ingat keluarga saat berdua dengannya?” telunjuk Burhan menunjuk Vania yang sedang menatap ke arah kami. Seketika Vania langsung menunduk saat menyadari dirinya dibicarakan oleh Burhan. 

“Justru aku menemuinya karena keluargaku, Han. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Vania agar dia tidak mengangguku lagi,” ujarku berusaha meyakinkannya. 

“Terlambat! Nikmati saja buah yang akan kau petik,” ujarnya pedas sambil melangkah cepat meninggalkanku. 

“Han…Han…tunggu!” 

Burhan sama sekali tak mendengarkan panggilanku. Bahkan, Reza yang biasanya hormat padaku, kini menatapku dengan tatapan mengejek! Hancur sudah karirku!

“Van, sebaiknya kamu pulang. Jangan sampai ada yang melihat kita berdua lagi. Satu lagi, ganti foto profilmu itu!” ujarku memberi peringatan pada Vania. 

“Jangan mengancam. Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu ngga sok-sokan posting di status, semua akan baik-baik saja,” sungutnya. 

“Siapa yang sok-sokan? Justru kalau kamu ngga minta dikirim foto saat aku rapat, pasti ini semua tidak akan terjadi,” ujarku membela diri.

Kami terdiam. 

Kami memang tak ada yang benar dalam kasus ini. 

Tapi, aku hanya memintanya pengertian sedikit terhadap posisiku. 

Dia enak, masih single, masih muda. Masih bisa cari pekerjaan baru. 

Sedangkan aku? 

Karirku hancur. Istri mengancam minta cerai, habis sudah semuanya. Mana rumah cicilan belum lunas. Pusing kepalaku!

“Baik. Aku aku akan mengganti foto profilku, tapi syaratnya, segera kamu kasih nomor barumu. Ingat, kamu harus bertanggung jawab sampai aku mendapat pekerjaan yang baru. Aku kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!” hardik gadis yang kemarin-kemarin aku kagumi. 

Dan kini dia berubah beringas seperti singa!

Vania berdiri, lalu beranjak meninggalkanku. 

Sementara, aku hanya bisa mengacak rambutku frustasi. 

Bagaimana bisa aku bertanggung jawab kepadanya, sementara aku tidak ada ikatan dengannya, melakukan apa-apa dengannya pun tak pernah. 

Kami hanya dekat. Hanya foto bersama. Lalu salahku dimana? 

Padahal yang nasibnya di ambang kehancuran tak hanya dia. 

Apa Vania tidak memikirkan nasibku? Aku bahkan diancam akan dipecat. Kehilangan pekerjaan. Lalu menafkahi keluargaku bagaimana? Membayar cicilan hutang bagaimana? 

Memikirkan ini semua, kepalaku rasanya mau pecah!

Aku memutuskan segera pulang, setelah tak lupa mampir ke konter ponsel untuk membeli ponsel dan nomor baru. Nomor yang khusus untuk Vania karena aku tak mau salah posting lagi jika harus menghubunginya. 

Semua kontak dan foto-foto bersamanya sudah kuhapus di ponsel yang lama. 

Aku harus terlihat serius memperbaiki hubunganku dengan Namira di hadapan orang tua dan mertuaku.  

Kupacu mobilku arah pulang. Aku harus segera tiba di rumah. Kalau bisa, sebelum Namira dan anak-anak pulang. 

Jangan sampai Namira mengetahui kalau Burhan memergokiku bertemu dengan Vania. 

Lebih baik aku segera tiba di rumah dan berjaga-jaga agar Namira tidak menerima panggilan telepon dari manapun. 

“Ayah!” 

Baru aku membuka pintu pagar, anak sulungku sudah berlari menghampiriku. Bajunya sudah baju rumah. Artinya, dia sudah pulang sedari tadi. 

“Kok meetingnya cepet?” tanya Namira saat aku mencuci tangan di wastafel dapur. Rupanya Namira sudah asyik memasak. 

Aku sering heran, perempuan yang kunikahi ini tak pernah kulihat santai-santai. Pusing aku melihatnya. 

Habis masak, mandiin anak, terus nyuapin, beres-beres, main sama anak, nanti ketemu masak lagi. Begitu terus. 

Bahkan, kalau aku di rumah, aku pun turut jadi korban. Minta tolong ini dan itu. 

Makanya, aku lebih suka pulang malam saja. Saat anak-anak sudah beres, tinggal tidur. Kalau tidak, pasti dia bakal nitip nyuruh aku main sama anak-anak. 

Bayangin, main sama anak-anak itu capek. Nggak bisa disambi baca chatingan, atau buka sosmed. Yang ada malah ponselku dipake mainan anak-anak. 

Belum lagi, Namira sangat galak dengan ponsel. Aku tak boleh main ponsel saat sedang sama anak-anak. 

“Ditanya kok diam saja?” Suara wanita gesit itu membuyarkan lamunanku. 

Aku segera menoleh ke arahnya yang sedang mengganti panci di atas kompor dengan penggorengan. 

Raut muka Namira masih dingin tanpa ekspresi. 

Padahal, biasanya tiap aku pulang kerja dia suka bergelayut manja dulu sebelum akhirnya berjibaku lagi dengan pekerjaannya, beres-beres, hingga rumahku terasa selalu nyaman. 

“I--Iya. Sudah selesai,” ujarku setengah tergagap. 

Memang kenyataannya aku meeting dengan Vania dan sudah selesai bukan?

“Jadi kamu sudah menjauhinya? Tak lagi berhubungan dengannya?” tanya Namira sambil pandangannya tetap fokus ke ayam di penggorengan. 

Mendengar pertanyaannya mataku melebar. 

Apa maksudnya? Jangan-jangan, Burhan sudah mengatakannya pada Namira? Kenapa kini istriku penuh dengan teka-teki? 

Baru dua hari, tapi dia sudah berubah begitu menyeramkan. 

“Tentu saja aku sudah tak berhubungan lagi dengannya. Lihat, nomornya sudah kublokir. Dia tak akan bisa menghubungiku lagi,” ujarku sambil meletakkan ponsel di meja makan. 

Ini hanya taktik agar dia mempercayaiku. 

Namira orangnya tidak kepo, dan ingin mengecek ponselku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya. 

Namira menatap ponsel di atas meja itu sekilas saat dia meletakkan mangkuk sayuran dan sepiring lauk pauk di meja makan. 

“Terus yang tadi seharga lima juta beli apa?” ucapnya datar, sambil meletakkan piring makan. 

Mataku membulat sempurna. Lima juta? Dari mana dia tahu harga ponsel terbaru yang tadi aku beli? 

Berulang aku mencuri pandang ke wanita yang telah memberiku dua anak itu. Dia tampak tenang dan kalem. Ada apa ini? 

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI (1-5)
12
1
“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani.Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya.Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang.Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya.Kantor Pusat tempat Firman bekerja ada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar kerja untuk mengikuti penugasannya.“Tidak enak sama tetangga, Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab.“Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan. Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat.“Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan