DIA YANG PERNAH MENOLAKKU (Bab 9)

13
2
Deskripsi

"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku 

Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya. 

"Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya. ...

Bab 9

"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku 

Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya. 

"Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya. 

"Mas Rizal udah transfer aku. Ntar kalau kurang, baru aku bilang sama kamu." 

"Apa?" Aku melotot membaca pesan dari Dini. Bisa-bisanya Dini dan Rizal berkomunikasi di belakangku? 

Apa aku cemburu? Sebenarnya bukan ke cemburu, tapi, semacam merasa dilangkahi saja. Tapi, ini semua juga salahku. Aku yang cuek dan tak mau tahu urusan pernikahan ini. Jadi, mungkin Dini yang ambil inisiatif. 

"Tenang Mbak. Calon Kakak Iparku baik kok. Nggak neko-neko. Semua diserahin padaku, asal tahu beres," balas Dini. 

Tak lama setelah berbalas pesan, benar saja, pak satpam menghampiri. Dia membawa barang dengan bungkus berwarna coklat. "Ada paket untuk Mbak Ratih," tukas Pak Satpam. 

"Makasih, Pak." Pak Satpam meletakkan paket itu di atas meja. Untungnya semua pegawa kantor sibuk dengan urusannya, sehingga tak terlalu mencolok. 

Lagi pula, akhir-akhir ini, banyak karyawan yang mengalamatkan paket mereka ke kantor. Jadi, memang menerima paket menjadi hal biasa. 

Setelah memastikan tidak menarik perhatian teman-teman kantor, perlahan aku buka pembungkusnya dengan ujung gunting. Aku tak mau menimbulkan suara berisik. Selain aku sendiri juga kepo dengan bentuk undangan pernikahanku seperti apa, aku juga tak ingin mereka melihat sebelum aku benar-benar mantap untuk membagikannya. 

Seperti permintaanku, undangan dengan warna kalem, hitam dan putih, melambangkan kemurnian cinta. Ah, itu hanya imajinasiku aja. 

Aku memang menyukai warna hitam yang terkesan mewah, saat Dini menanyakan mau undangan warna apa. Untuk desainnya dia semua yang urus. 

Aku memandangi undangan dan nama yang tertera di sana. Tak menyangka, jika akhirnya namaku ada pada satu kertas undangan pernikahan, bersama pria impianku saat jaman berseragam putih abu-abu. Apakah ini tandanya doa-doaku terkabul? 

Dulu, aku pernah berdoa, dan meminta Rizal sebagai jodohku. Namun, itu sudah lama sekali, hingga kemudian, aku melupakan semuanya. Melupakan tentang cinta dan jodoh. Bahkan, naifnya, aku pernah merasa, apakah fase pernikahan itu akan pernah datang dalam hidupku, saking putus asanya. 

"Mbak Ratih, mau cuti, ya?" tanya Anggita, salah satu rekan satu timku, mengagetkan aku yang masih sibuk melamun. Untung undangan sudah kusimpan dalam laci di bawah meja. 

Aku kira pengajuan cutiku tak akan diketahui banyak orang, mengingat sekarang semua serba online. Namun rupanya aku salah. Bagaimana pun satu tim pasti tahu. Karena berkenaan dengan pekerjaan yang harus aku delegasikan ke mereka selama aku cuti. 

Sebenarnya, aku pun tak perlu cuti. Rizal tak pernah mengatakan apa-apa tentang rencana pernikahan kami. Bahkan, kami hanya menikah di akhir pekan. Jadi, sebenarnya tak perlu cuti bukan? 

“Kamu jangan terlalu main perasaan. Menikah itu tidak melulu soal cinta. Tapi, komunikasi itu hal penting.” Aku teringat ucapan Nadia suatu ketika. 

Dia benar. Tapi, memulainya aku tak tahu. Bahkan, aku rasa Rizal lebih tahu banyak hal dari aku. Dia sudah berpengalaman. Ini adalah salah satu kelemahanku. Aku cenderung menurut tanpa inisiatif. 

Mungkin karena aku terlalu yakin, Rizal orang yang baik. Rizal orang yang bertanggung jawab. Seperti yang pernah kukenal dulu. Bahkan, aku mungkin termasuk cinta buta yang tak lagi mempermasalahkan statusnya. 

"Jadi, kamu mau nikah, Mbak?" tanya Anggita lagi. Bahkan, aku sampai lupa kalau Anggi masih di depan mejaku. 

"Ha?" 

"Kata Bu Winda, kamu ambil cuti karena mau nikah?" ujar Anggi lagi. 

Nah, kan. Aku benar-benar belum siap menjawab pertanyaan ini. 

"Ih, Mbak Ratih, diam-diam, ya. Nggak pernah kelihatan berduaan, tahu-tahu cuti aja, nih." 

Mendadak Anggita malah menarik kursi di sebelahku.

"Nggi, lagi jam kerja. Jangan berisik," ucapku. 

"Iya-iya." gadis itu urung duduk. "Tapi, janji, nanti jam istirahat, kamu harus cerita. Siapa calonmu dan bagi undangan buat kita-kita. Awas ya, kalau nikah diam-diam dan nggak ngundang-undang," ancam Anggi sambil mengembalikan kursi yang ditariknya ke tempat semula. 

--

Saat jam makan siang, tiba-tiba Anggi sudah berdiri di depan mejaku. Dia bersama Cyntia, staf yang sama-sama masih muda usia. Doyan banget kalau diajak ngomongin cowok. Aku biasanya hanya menjadi pendengar saja. Umurku sudah terlalu tua untuk ikut menjadi penilai lawan jenis. 

Aku tak bisa menolak saat Anggi dan Cyntia menyeretku ke kantin. Bahkan, mereka tak memberiku kesempatan menolak. 

"Ada apa, nih rame-rame?" Baru juga kami memilih lokasi duduk yang strategis di kantin, Bu Winda, staf paling senior di antara kami ikut nimbrung. 

"Ayo, Bu gabung. Kita mau interogerasi Mbak Ratih, nih, BU," ujar Cyntia dengan antusias. 

Apa pula anak ini. 

"Biarin aku yang pesen makan. Kamu jagain Mbak Ratih." Anggi langsung pergi begitu saja setelah bertitah. Aku benar-benar seperti di penjara. 

"Jadi, orang mana, siapa dia?" Cyntia sudah siap dengan pertanyaan. Aku yakin, sebelum menyeretku ke sini, Anggi dan Cyntia pasti sudah nghibahin aku. 

"Ini gara-gara Bu Winda kasih tahu mereka." Aku pura-pura menyalahkan seniorku itu. 

"Lho, berita bagus, layak dikabarkan dong, Non. Masak kamu mau nikah diam-diam. Kayak di sinetron?" timpal Bu WInda. 

Di kantor kami, hanya kami berempat yang perempuan, ditambah satu sekretaris kepala divisi. Selebihnya laki-laki. Tak heran jika kami berempat sering makan bareng dan ngobrol. 

"Kenal di mana, Mbak?" tanya Cyntia. Dia tak yakin aku punya kenalan cowok. Di kantor saja, aku termasuk canggung dan membatasi diri sama karyawan laki-laki. 

"Teman SMA." 

"Sudah kuduga! CLBK!" timpal Cyntia lagi. "Ganteng, nggak?" 

"His! Jangan ngomongin fisik!" Bu WInda menyikut lengan Cyntia. 

Anggi sudah datang. Dia langsung duduk di sebelahku. 

"Ganteng, sih. Duda anak satu ...." Aku nggak bohong, sekarang Rizal memang jauh lebih ganteng dibanding saat SMA dulu. 

"Mana-mana lihat, ada fotonya, nggak?" tanya Cyntia sambil menatap ke ponsel yang aku taruh dimeja. Cepat aku menggeleng. "Ada punya fotonya." 

"Yah, Mbak Ratih mah jadul amat. Lihat di medsos dong," ucap Cyntia. Dia langsung mengambil ponsel miliknya. "Akun IG nya apa?" 

"Nggak tahu. Aku nggak mainan IG." 

"Sudah kuduga. Mbak Ratih emang jadul." Aku tak dapat menahan tawa, melihat ekspresi kecewa Cyntia. 

"Serius, Mbak, kamu mau nikah sama duda?" tanya Anggi yang duduk di sebelahku dengan antusias. Sedari tadi dia terdiam, rupanya memikirkan itu. 

Kalau Cyntia fokus pada penampilan fisik, sementara Anggi, fokus pada status. 

Aku mengerti, dia masih muda. Usia masih dua lima. Pasti masih idealis dalam memilih pasangan. 

Ini adalah salah satu pertanyaan rumit yang harus kujawab. Tidak hanya sekarang. Bahkan, mungkin nanti-nanti, aku harus menjawabnya. 

Aku terdiam sesaat. Mataku menoleh ke Bu WInda, berharap beliau membantu. Namun, ternyata Bu Winda malah menunggu jawabanku. Mungkin beliau juga penasaran dengan pilihanku. 

“Justru enak lah, Mbak. Duda yang sudah mapan apalagi. Biasanya duda-duda gitu kan tampangnya sudah matang. Keuangannya juga matang. Bedalah sama yang masih brondong-brondong,” komentar Anggi sambil terkekeh. 

Ada rasa lega. Aku pikir Anggi bakal menyudutkanku. Tapi, ternyata malah mendukungku. 

“Masih mending Mbak dapat duda, daripada suami orang.” Cintia menyela. 

Ucapan Cyntia, tiba-tiba mengingatkanku pada Desti yang ingin rujuk. Tapi, aku mencoba menepiskan ingatan itu. 

Untungnya, makanan pesanan kami sudah datang. "Ayo, makan dulu," ucapku agar mereka berhenti menginvestigasiku. 

“Tapi, menikah dengan duda tidak gampang lho.” Sambil makan, Bu Winda masih menambahkan. 

“Ada banyak hal yang mesti kamu pertimbangkan. Eh kamu udah memutuskan, jadi tidak perlu mempertimbangkan lagi,” ralat Bu Winda. “ Tapi, paling tidak kamu harus tahu,” lanjutnya.

Sebagai senior, pasti beliau sudah makan asam garam berumah tangga. 

“Yang pertama, kamu harus bisa menerima anaknya.” Bu winda melirik ke arahku. 

Aku mengangguk mengiyakan, namun tetap meneruskan makan. Jam istirahat hanya sebentar. Jadi, ngobrol pun harus sambil makan. 

Aku ingat Sasti yang sangat mudah akrab denganku. Karena aku juga belum punya anak, tentu aku akan menganggapnya sebagai anak sulungku. Jadi, satu masalah sudah bisa aku atasi. 

“Kedua, restu orang tua. Baik orang tua dia, maupun orang tuamu.” Bu Winda kembali melirik ke arahku. 

Sementara dua temanku ikut menyimak, meskipun keduanya masih single. Mereka mengangguk setuju.

“Insyaalloh, orangtuanya dan orang tua saya semua merestui,” ujarku percaya diri. Bahkan, ibu dan bapak Rizal sudah ke rumahku sebelum lamaran. Saat ngobrol santai begitu, sedikit banyak kita bisa menilai karakter keduanya. 

“Mantap!" Bu Winda mengarahkan jempolnya padaku.

"Selanjutnya, kamu nanti harus memahami kondisi pasangan. Menikah dengan duda, tak sama dengan menikah dengan pria single. Kalau kamu menikah dengan lelaki single, kamu bisa menguasai seluruhnya. Tapi, dengan duda, dia harus membagi perhatiannya dengan anak dari keluarga sebelumnya. Ibarat kata, kamu tidak boleh serakah!” jelas Bu Winda penuh penekanan. 

Aku senang mendapat nasehat seperti ini. Bukan merasa digurui, bahkan aku menilai sebagai bentuk perhatian dan sayangnya padaku. Kalau tidak, pasti akan dibiarkan saja, bukan?

“Yang tak kalah pentingnya, kamu harus bisa menyayangi anaknya seperti anak kamu sendiri. Pasti suamimu bakal makin cinta,” lanjut Bu Winda. 

Aku setuju. Kalau aku mau mengambil hati Rizal, tentu aku harus bisa menyayangi Sasti seperti anakku sendiri dan tidak boleh cemburu padanya. Semoga aku bisa, janjiku dalam hati. 

“Selanjutnya, jalin hubungan baik dengan mantannya suami."

"Ha?" Aku mengerutkan dahi. "Maksudnya?" 

“Ini utamanya buat yang akan menikah dengan duda yang sudah punya anak. Kalau Duda yang belum punya anak, mungkin poin ini nggak terlalu penting. Kenapa?” DI ujung kalimatnya, Bu Winda mengajukan pertanyaan retoris. "Karena mantan sang suami adalah ibu dari anak akan bakal menjadi anak sambungmu,” tambahnya. 

Dahiku lagi-lagi mengernyit. Apa ini yang dimaksud Rizal tempo hari? Dia tidak mau membuka alasannya berpisah dengan mamanya Sasti jika aku nggak korek-korek. Bisa jadi, agar aku lebih objektif menilai Desti. Bagaimana pun dia adalah mamanya Sasti. Kelak, kalau aku sudah menikah dengan Rizal, pasti pengasuhan Sasti juga tanggung jawabku. Namun, aku juga tak boleh memisahkan Sasti dengan mama kandungnya. Dia harus bisa menyayangi mama kandungnya terlepas dari apapun itu.  

“Dan terakhir." Bu Winda melanjutkan. "Pelajari masa lalu pasangan. Mengapa dia bisa gagal. Siapa tahu kamu bisa ambil pelajaran. Bukan untuk menjustifikasi, tapi, paling tidak, baik kamu dan dia tidak mengulang kesalahan yang sama.” Bu Winda mengakhiri wejangannya yang panjang lebar.

Aku jadi teringat cerita Rizal tentang lelaki lain yang dicintai istrinya, yang menjadi pangkal perceraian. Termasuk ucapan Rizal yang serius di akhir pertemuan kami kemarin. Artinya, aku pun juga harus belajar untuk setia. 

Tepuk tangan lirih dari dua gadis di sekitar kami membuatku kembali tersadar dari lamunan. 

"Keren Bu Winda. Gimana Mbak Ratih, makin mantap dong...." celetuk Cyntia. 

"Insyaalloh." Aku menyunggingkan senyum pada mereka.

"Mana undangannya?" tangan Anggi langsung menengadah. 

"Iya-iya. Nanti di kantor aku bagi," ucapku.

Aku tak ragu lagi. Benar ucapan Bu Winda tadi, pernikahan mesti disiarkan. Bukan diam-diam. Mana tahu, akan banyak doa-doa yang terucap untuk keluarga kami jika di syiarkan. Lagi pula, undangan itu dicetak memang untuk disebar bukan? Bukan disembunyikan. 

Kami berempat menghabiskan makan dengan cepat, karena sebentar lagi waktunya masuk kerja. 

Usai dari kantin, aku segera mengambil tumpukan undangan yang aku simpan di laci. Namun, mendadak ponselku bergetar. 

Panggilan itu dari sebuah nomor tak dikenal. Ah, paling bank yang menawarkan kartu kredit. Aku sering mendapatkan telpon semacam itu. Padahal, gajiku saja nggak banyak. 

Tak aku tanggapi panggilan itu. Lebih baik aku segera membagikan saja undangan sebelum pada kembali kerja. Biar mereka nggak banyak bertanya, tepatnya membullyku. 

Namun, lagi-lagi panggilan itu masuk. Baiklah. Aku angkat dulu, memastikan kalau itu bukan panggilan penting. 

“Ratih, ini Desti. Aku ingin bicara.”

Mendadak perasaanku nggak enak. Bukan apa-apa, Rizal sudah mewanti-wanti untuk tidak perlu bertemu dengan Desti. Tidak berbicara lagi padanya. Rizal kawatir aku kembali ragu karena pengaruh dari Desti. 

“Maaf Mbak Desti, aku sedang sibuk,” jawabku. Aku segera menutup sepihak setelah aku meminta maaf. 

Aku teringat bagaimana Rizal melarangku menerima kartu nama Desti, dan betapa berubahnya wajahnya saat tahu Desti menemuiku. Rizal tahu betul kalau aku mudah terpengaruh. Aku sering tak tega menolak permintaan orang lain. 

Segera kumatikan ponsel itu. Aku tak tahu darimana Desti bisa mendapatkan nomorku. Akan lebih baik jika aku menghindar darinya. 

Menurut artikel yang pernah kubaca, semakin dekat dengan waktu pernikahan, kebimbangan dan godaan akan datang. Jadi, pintu godaan itulah yang mesti kututup rapat. 

Kuletakkan ponsel itu kembali. Lalu aku focus pada tumpukan kertas undangan pernikahan akan aku bagikan. Bahkan, Dini sudah menempelkan stiker di masing-masing amplop undangan itu. Dia sempat meminta list undangan dalam file excel beberapa hari lalu. Gercep juga adikku ini. 

"Wah, selamat ya Mbak Ratih." Satu dua karyawan memberikan selamat saat aku membagikan untuk mereka. 

"Semoga langgeng dan samara." 

Aku mengaminkan semua doa-doa baik mereka. 

"Bagaimana kalau sepulang kerja, kita makan-makan dulu?" Bu WInda mengusulkan. "Sekalian syukuran project baru kita?" 

Teman-temanku langsung menyambut usulan itu. 

---

Aku pulang ke kosan sudah agak larut. Setelah mandi dan bersih-bersih, aku baru teringat dengan ponsel yang belum kuaktifkan sejak siang. 

Beberapa pesan masuk beruntun saat ponsel ini aktif. Salah satunya yang membuatku penasaran, adalah pesan dari nomor yang tak kukenal. 

[Temui aku besok. Aku ceritakan siapa Rizal sebenarnya, agar kamu tidak menyesal.]

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DIA YANG PERNAH MENOLAKKU (Bab 10)
10
0
“Assalamualaikum!” Deg! Suara pria terdengar di ujung telepon.Tak sadar senyumku mengembang. Dadaku rasanya berdebar tak karuan. Aku sudah biasa menerima telpon dari pria untuk urusan pekerjaan. Namun, suara pria yang diujung sana, tentu saja bukan masalah pekerjaan. Karena aku mengenal suara bariton itu. “Kok salamku nggak dijawab?” Terdengar kembali suara yang membuat jantungku nyaris mau copot. Aku menutup mulutku menahan tawa. Aku sampai lupa tidak segera menjawab salamnya. Tak dapat kubayangkan bagaimana warna mukaku. Untungnya tak ada yang melihatku. Di kosanku, pagi-pagi begini semua sibuk. Satu persatu pun mulai berangkat ke kantor masing-masing. “Alaikumussalam warohmatullohi wabarakatuhu,” jawabku. Ponsel agak kujauhkan setelah aku menjawabnya, agar tak terdengar nafas yang tak beraturan ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan