
"Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal.
"Kok, Tante juga pergi?"
Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru sadar, saat dia dengan mamanya, sama sekali dia melupakan keberadaanku. Bahkan Rizal pun juga luput dari perhatiannya.
"Kapan-kapan, kita main lagi ya, sayang?"
Gadis mungil itu mengangguk, meski kutemukan seberkas kekecewaan di sana.
"Kapan itu, Tante?" Rizal ikut menyela, gaya bicara putrinya.
Aku sengaja melirik Rizal sekilas. Pria...
Bab 7
“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.”
Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini?
“Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup.
“Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku.
Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya?
Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.
Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?
Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk.
Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari wanita itu.
Tapi, bukankah mereka sudah berpisah?
Melihat kemesraan Sasti dengan mamanya, hatiku menjadi pedih. Bukankah lebih baik jika mereka kembali saling bersatu? Mengapa orang tua begitu egois berpisah tanpa memikirkan anak mereka? Kenapa aku tiba-tiba menginginkan mereka kembali saja, dari pada aku masuk ke dalam keluarga mereka.
Tak kulihat sorot kebencian antara Rizal dan istrinya. Demikian juga sebaliknya.
Lalu? Buat apa mereka berpisah. Benarkah karena cinta? Tepatnya sudah tidak ada rasa cinta.
Haruskah pernikahan dimaknai dengan cinta yang dalam dan menggebu? Tak bisakah mereka berdiri tanpa cinta? Tak cukupkah rumah tangga dibangun dengan tanggung jawab?
“Ratih, kenalkan. Ini Desti, mamanya Sasti.” Ucapan Rizal membuyarkan lamunanku.
Aku segera mengulurkan tangan padanya. Sebuah senyum kuulas di bibir semanis mungkin. Aku mencoba menghilangkan kecanggungan dalam dada. Meski sungguh, ini sulit.
Bayangkan, kami adalah dua wanita yang mungkin pernah dan akan mencintai pria yang sama. Bahkan, wanita di hadapanku ini sudah membuahkan cinta. Seorang gadis mungil.
“Desti!” wanita itu menyebut namanya, setelah aku juga menyebut namaku.
“Kabarnya, kalian akan segera menikah?” tanya Desti kepadaku.
Aku sedikit kaget, meski ucapan Desti terdengar basa-basi. Rupanya, dia sudah mengetahui siapa aku. Berarti, Rizal sudah bercerita banyak tentangku. Semoga hanya cerita yang baik saja.
Wanita itu menyesap kopinya setelah minuman itu datang ke mejanya. Sesekali dia menanggapi Sasti yang berceloteh. Dari gayanya, terlihat kalau dia berasal dari keluarga yang berkelas.
Aku mengalihkan pandangan pada gadis mungil yang duduk berhadapan denganku. Aku menyukai Sasti. Dia tampak nyaman dengan mamanya, dan juga denganku. Tak ada bedanya baginya.
"Saya masih ada perlu. Maaf, saya harus permisi." Aku terkesima mendengar ucapan Desti. Tadinya aku sudah menata kalimat untuk membebaskan diri dari suasana canggung ini. Tapi, ternyata malah Desti yang mohon diri.
“Siapa tahu, suatu saat kamu memerlukan.” Desti mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, dan mengangsurkan padaku sebelum dia berdiri untuk meninggalkan kami.
Mataku tak lepas menatap kartu nama yang diletakkan tepat di hadapanku. Mengapa dia memberiku kartu nama? Apa karena kita tidak sempat bertukar nomor HP? Mungkin Desti canggung memintanya karena di depan Rizal. Jadi, dia memberiku kode agar aku menghubunginya.
Sedetik aku berfikir. Tapi, buru-buru kuterima. Aku nggak ingin terkesan sombong. Mana tahu, aku benar-benar memerlukannya.
Desti segera meninggalkan kami setelah mencium dengan sayang pipi gembil putrinya.
Namun, baru beberapa langkah Desti menghilang, Rizal sudah berujar, “Buang saja kartu itu. Tak penting bagimu."
Kilatan matanya menunjukkan ketidaksetujuan.
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku.
Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.
Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!
Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.
“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?
Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja.
"Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal.
"Kok, Tante juga pergi?"
Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru sadar, saat dia dengan mamanya, sama sekali dia melupakan keberadaanku. Bahkan Rizal pun juga luput dari perhatiannya.
"Kapan-kapan, kita main lagi ya, sayang?"
Gadis mungil itu mengangguk, meski kutemukan seberkas kekecewaan di sana.
"Kapan itu, Tante?" Rizal ikut menyela.
Aku sengaja melirik Rizal sekilas. Pria itu rupanya sedang tersenyum simpul melihat ke arahku.
Tapi, buru-buru kubuang pandangan ke arah lain. Sudah setua ini, masih saja salah tingkah di depan laki-laki. Uh! Umpatku.
Aku kembali menatap Sasti. "Tante pergi dulu, ya," ucapku sambil membungkuk, mensejajarkan kepalaku dengannya.
Setelah gadis mungil itu mengangguk, aku baru benar-benar meninggalkannya.
Ingin menoleh pada Rizal, namun gengsi rasanya.
Kususuri koridor mall menuju pintu keluar. Demi membunuh waktu, aku kembali masuk ke outlet baju. Baju kerjaku sudah banyak yang usang. Tak apa jika membeli satu atau dua potong. Mumpung belum menikah, kalau kata teman kantorku, belanjakan uangmu sepuasnya. Nanti kalau sudah menikah, sudah tak ada waktu memikirkan diri sendiri.
Karena tak terbiasa menghamburkan uang, akhirnya mendapatkan satu potong baju sudah puas. Aku berniat pulang saja.
Saat melangkah menuju halte bus di depan mall, tiba-tiba, langkahku dihentikan karena mendengar seseorang memanggil namaku.
Dahiku mengernyit. Siapa di mall ini yang tahu namaku? Dari suaranya, aku tak mengenali. Terpaksa aku memutar badan untuk melihatnya.
Desti?
Mataku membulat saat menyadari siapa yang menghampiriku.
Wanita cantik itu mengajakku masuk kembali ke cafe lain. Mungkin ada yang ingin dia bicarakan, tanpa sepengetahuan Rizal.
“Temani aku makan, ya. Aku sudah lapar,” ujar wanita itu.
Tentu saja, tadi kami tidak makan. Hanya minum saja. Dan ini memang sudah waktunya makan.
Kuanggukkan kepala, “Boleh.”
Dia memesan ayam bakar madu. Aku pun sama. Aku tak tahu menu favorit di café ini. Lebih baik mencari referensi yang aman saja.
“Sebenarnya aku mau rujuk dengan Rizal,” ucapnya datar sambil menunggu pesanan makanan.
Sontak membuat aku melebarkan mata. Aku tak menyangka dengan ucapannya. Mendadak jantungku berdetak lebih keras.
Padahal saat melihat keakraban dia bersama Sasti, aku merasa senang jika mereka kembali bersama. Aku tak ingin menjadi duri bagi kebahagiaan mereka.
Namun, usai aku salah tingkah dengan senyum Rizal, kenapa mendadak rasa cemburu itu menyelimuti?
“Bukannya Mbak Desti sudah menikah lagi?” tanyaku penasaran. Setidaknya informasi dari Rizal, Desti sudah menikah lagi.
“Aku sudah pisah. Aku tidak tega melihat Sasti. Kalau kamu kasihan sama Sasti, lebih baik kamu mundur. Berikan kesempatan padaku kembali pada Rizal,” jelas Desti.
Makanan yang kami pesan sudah datang.
Desti pun menghentikan ucapannya dan mempersilahkan aku untuk makan.
Perut yang tadinya lapar, kini tiba-tiba menjadi kenyang. Kata-kata Desti seolah meluluh lantakkan semua harapan dalam hati.
Harapan yang setiap hari naik turun itu, kini sukses lenyap dari angan begitu mendengar ucapan Desti. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Jika aku mundur, aku harus mempertimbangkan konsekuensinya.
“Makan dulu, Tih,” ujar Desti karena melihatku hanya terdiam.
Dia tampak lahap menyantap makanannya. Mungkin hatinya sudah lega dapat menyampaikan ganjalan hatinya padaku. Berbeda denganku, yang tiba-tiba musnah segala asa di jiwa.
Aku menghela nafas. Mungkin, Rizal bukan jodohku. Mungkin aku akan bertemu dengan jodoh yang lain.
Aku mencoba menekan emosi. Susah payah aku mencoba menikmati ayam bakar madu di depanku, meski aku kesulitan untuk menelannya.
Tapi, aku harus kuat. Aku harus tegar. Bukankah usia hampir kepala tiga ini telah menempaku dengan segala macam ujian? Bukankah aku sudah berpengalaman dengan kegagalan bahkan cibiran. Lalu, apalagi yang aku takutkan?
Sebenarnya, memang tak ada yang aku takutkan jika aku gagal menikah dengan Rizal. Paling, hanya hati bapak dan ibu, juga pakde, bude, paklik dan bulik yang harus kembaili kuyakinkan, bahwa jodoh sepenuhnya milik Alloh.
Kita hanyalah manusia, yang menjalani skenarionya. Kita tak bisa mendekte. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa.
Kuteguk air mineral untuk membantu menelan ayam bakar dengan sambal terasi yang seharusnya lezat dan membantu memberi tenaga. Langkahku masih jauh. Aku tak boleh putus asa dan berhenti begitu saja.
“Aku yakin, kamu akan bertemu dengan pria yang lebih baik dari Rizal,” ujar Desti usai menyantap ayam bakar. Makanan di piringnya sudah tandas.
Dia lalu bangkit dan mencuci tangannya di wastafel. Sementara, aku masih berjuang menghabiskan makananku.
“Makasih, Mbak, traktirannya,”ujarku saat kami akan meninggalkan mall itu.
Tak perlu lagi ada luka.
Bukannya dari awal aku sudah meragukan Rizal. Aku rasa, aku harus segera mengatakan pada Rizal kalau aku akan mundur, biar dia menghentikan prosesnya, sebelum semuanya terlambat.
Bersambung….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
