
Mata Sheila membulat tatkala menyadari siapa yang datang. Namun, hatinya sudah jauh lebih baik dari kemarin. Menyelesaikan masalah akan lebih baik dibanding memendamnya, pikirnya.
Tanpa janjian, mereka datang di tempat yang sama. Apakah kebetulan?
Arkana Bagaskara. Siapa yang tak mengakui pesonanya. Pria tampan dengan alis tebal, kulit kuning bersih dan bulu halus di wajah yang menampilkan kharisma maskulinnya. Senyum yang selalu mengembang, semakin memperjelas ketampanannya.
Sheila Anindita...
Bab 6
Mata Sheila membulat tatkala menyadari siapa yang datang. Namun, hatinya sudah jauh lebih baik dari kemarin. Menyelesaikan masalah akan lebih baik dibanding memendamnya, pikirnya.
Tanpa janjian, mereka datang di tempat yang sama. Apakah kebetulan?
Arkana Bagaskara. Siapa yang tak mengakui pesonanya. Pria tampan dengan alis tebal, kulit kuning bersih dan bulu halus di wajah yang menampilkan kharisma maskulinnya. Senyum yang selalu mengembang, semakin memperjelas ketampanannya.
Sheila Anindita sungguh beruntung. Dia adalah satu-satunya teman baik Bagas sejak kecil. Dia lah yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Bagas selain mama dan papanya. Tapi, sayangnyanya, posisi itu sudah digantikan oleh Nesa.
Sheila tahu, hanya waktu yang dapat menyembuhkan rasa kecewanya. Dia hanya perlu waktu.
“Sudah lama?”
Senyum Bagas masih sama. Kenapa dia bertanya seolah-olah mereka janjian? Padahal tidak sama sekali.
Sheila hanya ingin makan ayam geprek sejenak, meski tiba-tiba teringat masa lalu. Sementara, Bagas merasa punya feeling kalau Sheila akan berada di tempat favorit mereka.
Bagas merasa senang. Akhirnya dia menemukan Sheila di tempat favorit mereka. Dan Sheila masih berada di sudut yang sama.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Sheila sedatar mungkin. Dia mencoba menekan rasa yang bergejolak.
“Karena aku tahu kamu di sini,” sahut pemuda itu. Masih dengan senyum yang sama.
Sheila berusaha membuang muka. Dia tak ingin beradu tatap dengan pria yang telah meluluhlantakkan hatinya.
Sedetik, Bagas menyadari bahwa Sheila terlihat tak nyaman dengan kehadirannya.
Berbeda dengan dua tahun lalu, ia selalu akan disambut dengan senyuman hangat.
“Makasih oleh-olehnya. Aku suka.” Bagas mencoba mencairkan suasana.
Sheila tak mencoba merespon. Dia melempar pandangan ke jauh keluar menembus jendela kaca. Namun, tatapan mata itu kosong.
“Sebaiknya kamu tak di sini,” ucap Sheila lirih nyaris tak terdengar.
Bagas menatap Sheila dengan seksama.
“Aku masih sahabatmu. Persahabatan lebih berharga dari harta yang paling mahal,” sahut Bagas. Dia telah menuliskan di status itu. Dan bahkan, dia lupa mengeceknya, siapa yang membaca status itu. Tapi ia berharap, Sheila salah satunya.
“Tapi persahabatan kita tak lagi sama.” Sheila tetap enggan menatap Bagas. Raut mukanya dingin. Beberapa kali dia menelan ludah.
“Kenapa? Apa karena aku sudah menikah?” Bahkan Bagas tak menyadari kalau dirinya bersalah.
Sheila melirik sinis ke arah Bagas.
“Tak pernah ada persahabatan lelaki dan wanita,” ucap Sheila sembari menyelipkan lembaran uang merah di bawah nampan makannya. Dia menyambar tasnya, hendak pergi. Tak peduli dengan kembalian.
“Tunggu, Shel. Kita perlu bicara!”
Bagas mencekal pergelangan tangan Sheila yang tertutup baju lengan panjang.
Seketika Sheila menatap cekalan itu dengan tatapan tajam, hingga Bagas perlahan melepaskannya.
Dulu, sama sekali Bagas tak pernah menyentuhnya, termasuk mencekalnya seperti itu.
Dulu, Sheila pikir persahabatan itu tulus, tanpa pernah ada percik benih perasaan lain. Tapi, dia salah.
Sheila bahkan membiarkan perasaan aneh itu tumbuh liar dan berusaha menutupinya dengan rapi. Hingga tak ada yang menyangka jika dia telah jatuh hati.
“Sebaiknya kamu pulang. Ada wanita lain yang menunggumu,” ucap Sheila dingin.
Bahkan dia tak tahu siapa nama istri Bagas. Dan dia pun tak mau tahu. Tak penting baginya.
Kini yang terpenting adalah dia mampu berdiri kembali.
Mendengar perkataan Sheila, Bagas menatap sahabatnya itu lekat.
Benar. Sheila sedang cemburu. Dia sedang marah. Gumam Bagas dalam hati.
Tapi, salahkah dia jika telah memilih menikah dengan wanita lain dan bukan Sheila?
Dia tahu, hati Sheila masih terbakar cemburu. Bagas tahu dia salah tak pernah mengabarkan pernikahannya pada Sheila. Tapi, bukannya semuanya sudah terjadi.
Toh, dia tak pernah menyesali pilihannya menikah dengan Nesa yang memang tulus mencintainya.
Apakah…apakah Sheila pun mencintainya?
Tiba-tiba terbesit pikiran yang selama ini ditepiskan. Bagas sudah lama menepiskan harapan pada Sheila. Tepatnya sejak Sheila pergi menjauh darinya.
Tapi, kini Sheila kembali dan membawa kemarahannya.
“Kita bisa pulang bersama. Kita satu arah,” tawar Bagas. Lelaki itu berusaha mencairkan suasana.
Kalau dia pulang bersama, masih banyak waktu untuk bicara selama di mobil. Toh, dulu mereka sering pergi bersama. Tak pernah ada masalah.
Sheila menatap Bagas tak percaya. Mana bisa dia pulang bersama Bagas. Tak mengertikah pria ini kalau dia telah mencabik-cabik hatinya? Apakah dia ingin terus merobek-robek jantungnya, hingga tak berdaya? Apakah lelaki ini tak menyadari kalau kebersamaannya dapat menyakiti hati wanita yang lain.
Tak ada lagi persahabatan. Apalagi, persahabatan dengan suami orang. Nonsense!
Sheila melangkah cepat meninggalkan Bagas. Dia tak peduli dengan panggilan Bagas. Dia hanya mau segera tiba di rumah. Bahkan, rencana berbelanjanya pun juga sudah pudar.
Sementara di rumah Bagas, Nesa mencoba menghubungi Bagas, namun nihil.
Beragam pikiran memenuhi kepala Nesa. Kemana Bagas? Kenapa tidak diangkat teleponnya?
Sementara, Bagas masih tetap berusaha mengejar Sheila
“Pergilah. Kamu tak pantas di sini. Kamu seharusnya bersama istrimu. Persahabatan kita sudah usai!” Suara Sheila meninggi.
Dia memilih berjalan cepat dan menghindar. Meski dia belum terpikir naik apa pulang ke rumah. Tapi hatinya sudah enggan menatap Bagas lagi.
***ETW***
Setiba di rumah, Sheila segera berkemas.
Ingin rasanya dia segera terbang. Dia tak mampu lagi tinggal lebih lama dan bertemu dengan lelaki tak punya perasaan itu.
“Kamu memindahkan jadwal keberangkatan mendadak?” tanya Santi.
“Maafkan aku, Bu. Hatiku sangat sakit!” Sheila menghambur kembali ke pelukan ibundanya. Beruntung dia memiliki ibunda yang sangat mengerti perasaannya.
“Nanti ayah dan ibu akan menjengukmu. Kamu hati-hati,” ucap sang ibu seraya mengusap kepala anaknya.
Rasa rindu belum terobati, namun Sheila memilih kembali untuk melupakan segala laranya.
Sementara, di rumah Bagas, lelaki itu masih murung.
Nesa bingung mau berkata apa. Demikian juga Dian.
“Bagaimana kalau mama ke rumah Sheila. Mama belum mengucapkan terimakasih oleh-olehnya,” ucap Dian seraya beranjak ke kamar untuk bersiap,
Sebenarnya Bagas hanya ingin bertemu Sheila tanpa ada mama dan istrinya.
Dia hanya ingin berbicara dari hati-ke hati dan meminta maaf jika dirinya telah bersalah, menikah diam-diam tanpa bicara padanya.
Bagas tahu, Sheila marah padanya. Benar-benar marah.
Dulu, setiap marah, Sheila akan mudah baikan lagi. Hanya dengan ditraktir makan, semua akan selesai.
Kini, keadaan sudah berubah. Tak mungkin Bagas akan merayunya mentraktir makan.
Bagas, Nesa dan Dian berjalan ke rumah sebelah. Sayangnya, sore itu, rumah itu kosong. Bahkan lampu teras sudah menyala.
“Sepertinya sedang pergi,” guman Dian.
Dian dan Nesa memilih pulang karena tak ada jawaban.
Sementara Bagas, memilih tinggal dan duduk di teras rumah Sheila.
Sikap Bagas itu membuat Nesa merasa aneh. Apalagi, siang tadi dia tak mengangkat telepon itu.
“Apa hubungan Mas Bagas dengan Sheila?” tanya Nesa pada Dian saat sudah tiba di rumah.
“Hanya teman,” sahut Dian pendek.
Wanita paruh baya ini tak ingin membahas tentang Sheila di depan Nesa. Dian takut jika jawabannya dapat menyebabkan luka di hati menantunya. Apalagi dia sedang mengandung.
Kadang tidak menceritakan sesuatu, jauh lebih baik, demi menjaga perasaan.
“Kalau teman, mengapa sepertinya Mas Bagas sangat peduli?” kejar Nesa. “Hal apa yang Nesa tidak ketahui tentang Mas Bagas?” lanjut Nesa. Dia menatap mertuanya penuh selidik.
Selama ini, istri Bagas ini merasa sudah mengetahui banyak hal, kecuali satu. Wanita sebelah rumah.
“Itu tak terlalu penting buatmu. Sebaiknya kamu fokus pada kesehatanmu dan bayi dalam kandunganmu.”
Kening Nesa berkerut. Kenapa mama mertuanya tiba-tiba berubah. Intonasi bicaranya datar dan raut mukanya menjadi dingin. Tidak seperti kemarin sebelum wanita sebelah rumah itu datang.
Bab 7
Hari sudah gelap saat mobil Burhan masuk ke halaman rumah berukuran minimalis itu.
Bagas yang masih menunggu di teras, serta merta berdiri. Ia menghampiri Burhan yang masih duduk di bangku kemudi.
Sudah cukup lama Bagas tak bertandang ke rumah itu. Bahkan, tempo hari saat dia mengejar Sheila, rasanya sudah mulai menjadi orang terasing. Padahal, dulu rumah itu bagaikan rumah kedua baginya.
“Sheila sudah tak ada.” Burhan berkata singkat tanpa menoleh. Ia keluar dari mobil, lalu berjalan cepat hendak masuk rumah, seolah tak mengindahkan keberadaan Bagas.
Demikian juga Santi. Wanita itu hanya menatap Bagas sekilas, seolah kelembutannya selama ini sudah menguap.
Wanita yang sudah seperti ibunya sendiri dan pria yang sudah seperti ayahnya itu tak mengacuhkannya. Seolah kesalahan besar telah diperbuatnya.
Bagas terhenyak.
“Apa maksudnya, Om?” Bagas mengejar Burhan dan Santi.
“Sheila sudah pergi.” Kembali kata-kata singkat itu terucap dari mulut Burhan. Ia lalu masuk ke dalam rumah. Demikian juga dengan istrinya.
Mereka segera menutup pintu tanpa memedulikan Bagas yang mematung menatapnya.
Bagas terduduk lemas di teras. Dihembuskannya nafas berkali-kali. Kemana Sheila pergi? Apakah ini ada hubungannya dengan statusnya yang sudah menikah yang baru saja diketahui Sheila?
Bagas menatap jam tangannya. Hari sudah terlalu larut.
Akhirnya Bagas memutuskan untuk pulang.
Sementara itu, Sheila masih menunggu di ruang tunggu bandara. Dia sudah menghubungi teman-temannya yang masih tinggal di negeri kincir itu. Esok hari, mungkin dia akan numpang dahulu di tempat mereka sebelum mendapatkan tempat tinggal barunya.
***ETW***
“Tante, kemana Sheila?”
Bagas sengaja mendatangi rumah Santi pagi-pagi. Meski semalam dia menunggu di teras hingga larut. Bahkan, ia masuk rumah nyaris tengah malam tanpa peduli dengan gigitan nyamuk yang menyerangnya. Sayangnya, sosok Sheila tak kembali.
Santi yang sedang membereskan halaman depan, menatap Bagas dingin.
Kemarin, meskipun Sheila tak di rumah, Santi masih ramah menyapa Bagas, mesti tak sehangat dulu. Tapi kini, tatapannya benar-benar dingin, seolah menyiratkan kekecewaan.
“Tante, kenapa, Tante? Ada apa? Kemana Sheila? Kenapa dia pergi?” Bagas memberondong pertanyaan.
Tapi, Santi masih diam.
Bagas menarik nafas. Rasanya tak ada gunanya dia memaksa Santi berbicara.
Ia mulai mengerti. Benar-benar ada yang tak beres. Apakah dia benar-benar bersalah dengan keluarga ini? Hingga mereka tega menghukumnya dengan sikap sedingin ini.
Di balik jendela, Nesa menatap iba pada Bagas. Suaminya yang semalam baru masuk rumah tengah malam dan hingga dini hari hanya gelisah.
Bahkan, satu hal yang dilakukan begitu bangun tidur adalah menatap pagar rumah Sheila. Bagas tak mengindahkan istrinya sama sekali. Seolah lelaki itu sedang tak ingin melewatkan kesempatan penting.
Bagas melangkah pulang dengan perasaan hampa. Dia akan kembali lagi nanti sore sepulang kerja. Mungkin Sheila sedang menginap di rumah temannya, batin Bagas.
Temannya? Siapa teman Sheila? Guman Bagas. Dia mencoba menerka pikirannya sendiri. Selama ini, Bagas tak pernah tahu teman Sheila. Gadis itu tak pernah dekat dengan siapapun, kecuali dengannya. Kalau pun ada, Sheila tak pernah lupa bercerita padanya.
Ah, bisa jadi teman semasa kuliah di Belanda.
Bagas baru menyadari satu hal. Dulu, hampir semua tentang Sheila, dia mengetahuinya. Antara dirinya dan Sheila tak pernah ada rahasia. Dan kini, dia mulai menyadari, bahwa dia mulai kehilangan momen penting Sheila.
Ya, cerita renyah Sheila tentang pengalaman hidupnya, siapakah teman barunya, bagaimana hidup di sana.
Tiba-tiba Bagas merasa rindu. Rindu pada sosok Sheila. Rindu sosok yang pernah mengisi ruang di hatinya yang kini terganti oleh hadirnya Nesa.
Sheila mengisi hatinya dengan cara yang lain, begitu juga Nesa. Sheila dengan keceriaan dan semangatnya, sementara Nesa dengan perhatian dan kelembutannya.
Kini, satu hati itu telah pergi. Meski kepergiannya tak pernah dirasakannya. Kala kekosongannya telah tergantikan, maka dia tak pernah kehilangan.
Namun, jika hati yang telah pergi itu ingin kembali, di mana dia akan menempati ruangan? Sementara hatinya telah penuh dengan cinta yang Nesa berikan.
“Sarapan dulu, Mas.” Nesa menyambut Bagas yang baru saja masuk rumah. Mama dan Papa Bagas sudah siap di meja makan.
Dengan sigap, Nesa menyiapkan semua keperluan Bagas.
Suasana ruang makan pagi itu terasa hambar. Seolah semua merasakan perubahan Bagas yang mendadak menjadi pemurung.
Bagas menghabiskan makannya dalam diam. Pikirannya masih dipenuhi tanya tentang Sheila.
Nesa yang di depannya hanya memperhatikan.
Sementara mama dan papanya menatap keduanya dalam iba. Iba karena Bagas yang berjuang ingin bertemu Sheila. Bagas yang ingin kembali mereguk persahabatannnya. Juga, iba dengan Nesa yang tiba-tiba tersingkir dari perhatian Bagas.
***ETW***
Sudah sekian hari, tatapan Bagas tak lepas dari pagar rumah sebelah. Meski Bagas mencoba untuk menutupi dan menepiskannya, namun semuanya tak luput dari perhatian Nesa dan Dian.
“Apakah perasaanmu padanya belum hilang?” Nesa memberanikan diri untuk bertanya.
Salah satu kebiasaan pasangan ini adalah saling bicara menjelang tidur. Namun, sejak kehadiran Sheila, ada yang berubah dari Bagas.
Bagas masih menatap layar ponselnya. Nomor milik Sheila masih ada di daftar kontak itu.
Dulu, nomor itu adalah nomor yang paling sering dihubunginya. Hingga entah sejak kapan, frekuensi itu berkurang dan hilang begitu saja.
Sambil menatap aplikasi hijau, Bagas berharap sahabatnya itu memasang story karena dia ingin memastikan kabarnya baik-baik saja.
Mendengar pertanyaan Nesa, Bagas menoleh, menatap istrinya. Keningnya berkerut.
“Perasaan pada siapa?” Bagas meletakkan ponsel yang sedari tadi di tangannya ke atas nakas.
“Pada orang yang sedang kamu pikirkan,” sahut Nesa datar.
Sebagai lulusan sarjana psikologi, dia dapat membedakan Bagas yang baik-baik saja, dengan Bagas yang dipenuhi masalah.
“Aku tak memikirkan siapapun,” jawab Bagas.
Tak pernah sedikitpun terbersit menyakiti istrinya. Karena baginya, ketulusan cinta istrinya adalah harta berharganya kini, setelah persahabatan dengan Sheila berakhir.
“Aku tahu kamu masih memikirkannya,” ucap Nesa sedatar mungkin.
Bagas memiringkan badannya. Ia lalu meraih kepala istrinya dan menyandarkan pada dadanya.
“Kamu lelah. Seharian kamu sudah mengurus rumah. Kamu harus banyak istirahat agar bayi kita sehat,” ucap Bagas seraya mengusap kepala istrinya.
Bulir bening tiba-tiba menyeruak di sudut mata Nesa. Wanita itu tahu, ada hal yang sedang dipikirkan suaminya. Tanpa dia mengaku pun, Nesa sudah punya banyak bukti.
Sementara, Bagas mencoba untuk tidak berubah. Tapi, pikiran hatinya tidak berjalan beriringan. Ada hal yang mengganjal namun tak dapat diutarakan pada Nesa. Dan istrinya menyadari itu.
Apakah ketika lelaki telah membagi hatinya, akan seperti ini? Tiba-tiba pikiran itu berkelebat di kepala Nesa.
Nesa menghirup ingus yang menyumbat di hidungnya, yang sedari tadi ditahannya. Dadanya sedikit bergetar.
Bagas yang sedang mendekap kepala Nesa menyadari bahwa istrinya sedang menangis. Ia lalu merenggangkan posisi untuk memastikan apakah istrinya itu sedang menangis.
“Kamu menangis?” tanya Bagas, meski jelas-jelas dia melihat linangan air mata yang membasah di wajah istrinya.
“Aku mencintaimu, Mas. Aku bisa merasakan kalau kamu sedang kehilangan seseorang,” ucap Nesa.
“Aku tidak sedang kehilangan siapa-siapa,” sahut Bagas. Pria itu menelan ludah. Rasa bersalah hinggap di dadanya.
“Tidurlah. Kamu hanya perlu istirahat.” Bagas merapikan bantal di belakang Nesa, agar istrinya itu segera merebah.
“Apakah dia cinta pertamamu?” tebak Nesa.
Bagas terdiam. Meski dari tadi dia mengerti arah pembicaraan Nesa, sebenarnya dia tak ingin membahasnya. Membahas perempuan lain dengan istrinya adalah tabu baginya.
“Aku tak pernah mencintai siapa pun selain kamu.”
Bagas memang tak pernah menyatakan cintanya pada Sheila. Bagas hanya mengakuinya sebagai sahabat. Tak lebih. Jadi, dia sedang tidak berbohong pada Nesa.
Nesa menatap Bagas, meski kini pandangannya kian samar karena tertutup oleh embun yang menutup matanya. Ia tak ingin berdebat.
“Menikahlah dengannya kalau kamu masih mencintainya. Aku akan tetap berada di hatimu. Dan dia pun akan ada di hatimu, sehingga kamu merasa tenang. Agar ketika kamu bersamaku, kamu hanya memikirkanku. Demikian juga kala kamu bersamanya, kamu tak perlu merasa bersalah terhadapku.”
--
Bab 8
Bagas tak pernah menganggap ucapan Nesa. Dia hanya menganggap itu adalah ucapan wanita yang sedang cemburu. Dan itu akan berlalu dengan seiring berjalannya waktu.
Faktanya, Sheila tak pernah kembali. Sheila tak pernah ada lagi di sebelah rumah itu. Ayah Sheila, meskipun sering bertemu saat shalat jamaah di masjid seolah menjaga jarak. Demikian juga ibu Sheila.
Dan, sejak malam itu, Bagas tak lagi melihat Sheila lagi.
“Kemana Sheila, Om? Tak bisa kah Om kasih tahu aku?” tanya Bagas. Ia sengaja menunggu penghuni rumah sebelah keluar.
Nyalinya mulai surut. Santi dan Burhan menolak menjawab. Bahkan mereka terlihat menghindar.
“Buat apa kamu peduli pada Sheila?” Sinis Burhan menjawab, karena tak tahan dengan pertanyaan Bagas yang tiada henti.
Meskipun sebagai seorang lelaki, Bagas memiliki karakter kuat. Namun, mendapat jawaban seperti itu, membuat hatinya terluka.
Lama kalimat itu terngiang di telinga Bagas. Kalimat yang sangat memojokkan baginya.
Bagas tak pernah mendapatkan jawaban, kemana Sheila pergi. Yang jelas, ia tak pernah lagi melihat Sheila. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi.
Kalau dulu, dengan bangga Santi dan Burhan mengatakan Sheila sedang belajar. Kini mereka hanya bungkam.
Tetangga lainnya hanya tahu kalau Sheila masih di luar negeri.
Tapi, Bagas justru tak percaya. Bagas merasa tetangganya tak lebih tahu dari dirinya. Karena hanya dirinya yang sudah tahu kalau Sheila sudah pulang. Dan setelahnya menghilang.
“Kamu yang sabar,” nasehat Dian. Wanita itu sering melihat putranya menatap pagar rumah Sheila dengan pandangan kosong dari balik rumahnya. Sudut mata Bagas mengharap tegur sapa dari tetangga sebelah rumah. Namun, harapan itu tak pernah nyata.
Berkas kekecewaan kepada Bagas itu tergurat jelas di wajah Burhan dan Santi.
Kadang Bagas memikirkannya. Namun tak jarang dia berusaha menepiskan. Biarlah waktu akan menjawabnya. Karena penerimaan akan kekecewaan tak dapat dipaksakan.
Tak pernah ada kata penjelasan dari mulut Burhan dan Santi. Jangankan menjelaskan, menatap Bagas saja mereka enggan. Seolah, ada kemarahan terpendam yang sulit ditumpahkan.
Bagas menghela nafas dalam.
Diakuinya, jika dirinya tak dapat memaksa diri mengakui cintanya pada Sheila. Dia lebih berlapang dada menerima cinta yang pernah diucapkan Nesa padanya. Bukan untuk membandingkan, karena keduanya berbeda.
Faktanya, yang satu sudah halal baginya. Sementara yang satu, belum tentu takdirnya.
“Tante Santi masih dingin padaku.” Nesa membuka pembicaraan. Wanita lembut dan penuh perhatian ini hanya berani membuka pembicaraan dengan Bagas kala dilihatnya suaminya itu sedang santai.
Perasaannya sensitif. Apalagi dia pernah belajar tentang kejiwaan. Ia paham benar mana seseorang yang menyapa dengan tulus, mana yang menyapa hanya sekedar agar tidak melukai perasaan.
Meski bertetangga dan hanya sebelah rumah, Nesa merasa perlakuan tetangga lainnya tak sedingin Santi. Setiap ia bertemu Santi, meski tersenyum ramah, tapi terlihat sekali ibunda Sheila itu malas bertegur sapa. Apalagi meluangkan waktu untuk ngobrol dengannya.
Padahal, Nesa sering memperhatikan Santi ngobrol hangat dengan tetangga lainnya.
Namun, yang Nesa tahu, meski Santi akrab dengan tetangga lainnya, wanita paruh baya itu tak suka bergunjing. Ibunda Sheila ini lebih suka membicarakan hal yang manfaat.
Ingin rasanya Nesa ikut nimbrung dalam obrolan. Namun, kala Nesa mendekat, Santi seolah mengambil jarak. Meski samar dan hanya dia yang dapat merasakan, namun sikap itu terasa nyata dan menyakitkan bagi Nesa.
“Kamu hanya belum akrab dengannya,” sahut Bagas mencoba menghibur.
Lelaki itu duduk di sebelah Nesa, lalu ia meraih kepala Nesa dan menyandarkan di bahunya.
Perlakuan Bagas memang selalu hangat pada Nesa.
Bagi Bagas, meski Sheila adalah wanita yang menjadi sahabatnya, namun Nesa lah wanita yang halal baginya. Tak heran jika kasih sayangnya juga tercurah pada Nesa.
Bagas memang tak mencoba mengakrabkan Nesa dengan Santi, ibunda Sheila. Buat apa? Mereka tak pernah terlibat masalah apapun. Jika, Santi dingin padanya, itu murni karena masa lalunya, pikir Bagas.
Mencoba mengakrabkan Nesa dan Santi bukan jalan terbaik, karena masing-masing akan terluka entah sengaja atau tidak. Akan lebih baik jika berjalan biasa saja.
“Tapi aku ingin….” Ucapan Nesa menggantung.
Nesa urung melanjutkan kata-katanya, karena sepertinya bahasa ingin dihargai seolah tak pantas baginya yang lebih muda dan hanya pendatang baru.
Tiba-tiba dada Nesa merasa nyeri. Saat dia merasai sebagai pendatang yang merusak hubungan kekeluargaan seseorang. Salahkah ia? Kenapa harus begini? Kenapa ia harus terjepit begini?
“Sudahlah. Tak usah kamu pikirkan terlalu berat. Memikirkan sikap orang terhadap kita, tak akan ada habisnya dan tak ada manfaatnya. Kita tak dapat mengontrol sikap orang lain pada kita. Sebaik apapun sikap kita padanya, jika nila setitik telah tenoda, butuh puluhan purnama menghapuskannya. Selama kita tak pernah merugikan orang lain. Tak pernah menyakiti orang lain. Biar saja mereka bersikap sekehendak mereka.”
Kata-kata yang meluncur dari mulut Bagas terasa mudah dan ringan diucapkan, meski faktanya, Bagas sendiri masih sering memikirkan sikap Santi dan Burhan padanya.
Meski Nesa paham kata-kata Bagas, namun, di lubuk hati wanita berusia dua puluh enam tahun ini, ia hanya ingin dianggap biasa saja. Biasa saja layaknya tetangga yang normal. Diajak bicara, diundang ke rumahnya, mengobrol santai.
Tak bisakah? Tak bisakah Santi bersikap padanya sama seperti dia bersikap dengan tetangga yang lain? Ramah, lembut dan perhatian?
Bagas mengacak kepala istrinya. Wanita memang terlalu perasa. Ada tetangga cemberut, dikira marah padanya. Padahal, bisa jadi karena ia sedang punya banyak masalah. Namun, Bagas sejak dulu sudah mengerti karakter wanita seperti itu, karena rentang waktu yang lama dan panjangnya bersama Sheila.
Dia bahkan bisa ingat kapan Sheila akan mudah merajuk atau mudah tersinggung. Hingga tak sadar Bagas tersenyum simpul mengingatnya. Namun dia segera menghela napas seraya menggeleng.
Tidak! Sebagus apapun kenangan tentang Sheila, itu sudah masa lalu. Dan kini, yang menjadi miliknya adalah masa depan, batin Bagas seraya mengecup pucuk kepala istrinya.
***ETW***
Flashback lima tahun lalu.
“Jeng, apa pendapatmu tentang Bagas dan Sheila,” Dian membuka pembicaraan. Mereka hampir tiap hari bertemu, kadang saling bertandang.
“Maksud Mbak Dian, bagaimana?” tanya Santi.
“Apa menurut Jeng Santi, mereka sekedar sahabatan?” Dian mulai memancing pembicaraan.
Bagi Dian, Sheila adalah gadis yang baik. Mandiri dan cerdas. Punya cita-cita yang tinggi. Dia pun sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Apakah salah jika dia berharap Sheila bisa jadi menantunya?
“Biar saja mereka bersahabat, Mbak. Kita sebagai orang tua, tidak perlu ikut campur. Biarkan saja angin berhembus. Jangan sampai, kita yang tua-tua ini memaksakan kehendak, yang akibatnya nanti bisa satu sama lain jadi tak enak,” ucap Santi.
Santi paham arah pembicaraan Dian. Tapi, dia tak ingin perjodohan akan merusak persahabatan yang telah terjalin.
Santi paham kalau Sheila dan Bagas anak yang baik. Mereka pun pasti menurut jika dijodohkan. Namun, banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Ya kalau Bagas selama ini mencintai Sheila. Kalau dia hanya sekedar menganggap Sheila teman. Apa nanti tidak malah membuat Bagas serba salah. Menolak, merasa tak enak. Menerima, padahal tidak cinta. Begitu juga dengan Sheila.
Bagi Santi, andaikan mereka saling ada rasa suka satu sama lain, biarkan mereka yang mengungkapkan. Tak perlu turut campur, apalagi dipaksa.
“Inshallah, kalau berjodoh, tidak akan kemana,” ucap Santi mencoba meyakinkan tetangga yang sudah dianggap seperti keluarganya itu.
Dian tak memaksa. Ada benarnya apa yang dikatakan Santi, meski dalam hati ada ketidaksetujuan.
Lima tahun kemudian, apa yang dikhawatirkan Dian menjadi kenyataan.
Dian memahami karakter anak laki-lakinya. Sering Bagas tak berani mengungkapkan keinginannya. Bagas sering khawatir menyinggung perasaan atau khawatir memaksakan kehendak.
Bagas cenderung menyimpan keinginannya, hingga orang lain yang memintanya.
Bahkan, dengan mamanya sendiri, tak jarang Bagas meminta sesuatu dengan bahasa yang tidak lugas. Bagas kadang berharap orang yang diajak bicara mengerti kemauannya tanpa harus menjelaskan padanya.
Sama seperti ketika Nesa datang pada Bagas. Bagas tak pernah mengucapkan kata cinta atau pun menyukai Nesa. Karena memang dia tak pernah ada rasa berlebihan pada Nesa. Hanya dianggap rekan kerja biasa.
Tapi, tatkala Nesa mengatakan dia menyukai Bagas dan ingin menjadi pendampingnya, Bagas juga tak kuasa menolak. Bagas terbiasa untuk tidak menyakiti hati wanita.
--
Bab 9
Bagas tersenyum simpul saat melihat kaos pemberian Sheila tergantung di lemari bajunya. Dipegangnya baju itu berulang. Namun, ia ragu untuk mengambilnya.
Ingin rasanya memakainya, namun dia tak ingin Nesa kembali menanyakan tentang Sheila atau tentang orang tua Sheila.
Tak disadari oleh Bagas, Nesa menatapnya dari ambang pintu.
Senyuman Bagas bahkan berhasil.membuat hati Nesa tergores.
Meski Bagas selalu menghindar membahas tentang Sheila. Hati Nesa dapat meraba.
Bahkan, Nesa pun berusaha kerasa menemukan bukti masa lalu Bagas.
Menyakitkan memang, tapi kadang ia penasaran.
Meski Bagas tak lagi menyentuh, namun di lemari bawah meja belajarnya, di sana, banyak sekali barang pemberian Sheila.
Ada kartu-kartu cantik ucapan selamat dari Sheila, bahkan kadang hanya sekedar ucapan selamat yang tak begitu penting.
“Ah, Sheila. Begitu pentingkah Bagas bagimu. Atau sebaliknya, begitu pentingkah dirimu untuk Bagas?” guman Nesa.
Melihat Bagas yang tersenyum sambil ragu memegang benda itu, hati Nesa nelangsa.
Benarkah dia harus bersaing dengan seseorang yang fisiknya tak ada disini.
Bahkan, dia pun tahu, Bagas pun belum tahu, dimana kini Sheila berada. Nesa pun tahu, Bagas juga tak mencoba menghubunginya.
Tapi yang Nesa tahu, sepotong hati Bagas seolah pergi bersama Sheila.
***ETW***
Tiga tahun kemudian.
Shafa, anak sulung Nesa dan Bagas, sudah berumur tiga tahun dan kini Nesa sedang hamil besar anak kedua.
Meski waktu sudah tiga tahun berjalan sejak kepergian Sheila, namun Bagas masih saja sering menatap rumah Sheila sejenak jika hendak atau pulang kerja. Seolah, itu menjadi kebiasaanya dalam menanti seseorang.
Bagas memang selalu mengingkarinya jika Nesa bertanya tentang Sheila. Bagas memilih mengalihkan pembicaraan yang lain.
Baginya, membicarakan wanita lain dengan istrinya adalah hal yang tak pantas. Apalagi sekarang mereka telah menanti kehadiran buah hati keduanya.
Bagas tak pernah kurang memberi perhatian pada istri dan anak sulungnya, Apalagi kini mereka sedang menanti kelahiran anak keduanya.
“Mas, apa aku harus ikut ke acara reuni sekolahmu?” tanya Nesa ragu.
Setelah menemukan banyak serpihan kenangan Sheila di antara banyak barang-barang Bagas yang bahkan hingga empat tahun mereka berumah tangga, barang itu tak dibuangnya, hati Nesa sering merasa nelangsa.
“Iya. Acara reuninya untuk keluarga. Jadi semua bawa keluarga. Ini reuni 10 tahun setelah nggak ketemu. Kalau sampai aku nggak bawa keluarga padahal pada tahu aku sudah menikah, apa coba alasannya? Nanti dikira kita sedang ada masalah,” ucap Bagas enteng.
Sebenarnya tak perlu ada yang dirisaukan dengan acara apapun yang mengajak Nesa.
Namun, setelah Nesa tahu kalau Bagas dan Sheila adalah sahabat sejak kecil hingga sekolah di sekolah yang sama hingga putih abu-abu, tentu ada kegundahan tersisa di hati Nesa.
“Kenapa?”
Nesa seketika menggeleng.
“Aku tak mau menjadi orang yang kalah,” guman Nesa.
Bukannya enggan bertemu dengan teman-teman masa lalu Bagas, membuktikan kalau dia telah kalah dengan pikiran dan perasaannya sendiri, yang selama ini selalu menghantui?
Sebagai lulus psikologi, kadang Nesa malu pada dirinya sendiri. Mudah baginya memberi saran pada teman-teman atau kenalan yang meminta saran mengenai manajemen kejiwaan. Tapi, bagi dirinya sendiri, ternyata tak mudah.
Perang batin, selalu ada. Antara meyakinkan dirinya bahwa Bagas mencintainya, atau pikiran insecure, khawatir Bagas hanya kasihan padanya, sering hinggap dalam benaknya.
Nesa tahu, meski Bagas tak pernah membahas lagi permintaannya agar dia menikah saja dengan Sheila, tapi sepotong hati itu yang tak utuh untuknya itu sering mengganggunya.
Bagas sering menutupi, tapi alam bawah sadarnya tak bisa bohong.
Hamil besar membuat Nesa sering terbangun tengah malam, dan dia mendapati Bagas yang pulas tertidur mengigau memanggil nama itu,
Wanita mana yang tak kan sakit? Dalam sadar dia dapat menghindar, tapi jika dalam tidurnya kadang dia mengucap, “Sheila, kamu dimana?” atau, “Sheila, maafkan aku?” tak cukupkah itu sebagai bukti, bahwa ada ruang hati untuk wanita lain?
Bagas memang tak pernah berbuat curang terhadapnya. Nesa tahu, tak pernah sekalipun Bagas berusaha menghubungi Sheila meski dia punya nomor kontaknya. Dia hanya memendam rasa itu dalam kebisuannya.
Banyak hal yang telah dilaluinya bersama Bagas. Namun, hanya satu hal yang selalu dicoba disangkal oleh lelaki tampan yang menjadi pilihannya itu, tentang perasaannya pada seseorang.
“Nggak papa,” sahut Nesa.
Dia harus mampu mengalahkan perasaannya. Jika Bagas terlihat berusaha keras untuk tak menyakitinya, kenapa dia tak mampu berbuat untuk menyenangkan hati Bagas di hadapan teman-teman sekolahnya?
Pasti Bagas akan bangga padanya, sebagaimana halnya yang selama ini dilakukan Bagas tiap mengenalkannya pada kolega kerjanya.
Hari yang dinanti oleh Bagas itu pun datang.
Bagas, sebagai mantan ketua OSIS tentu memiliki peran penting dalam reuni Angkatan. Selain dia juga sebagai panitia yang menggerakkan teman-temannya untuk berkumpul.
Tak hanya mengenang masa indah kala putih abu-abu. Banyak rangkaian acara yang direncanakan olehnya dan tim.
Ada acara penggalangan dana untuk bakti sosial, penggalangan dana untuk pemberian beasiswa dari alumni, ada acara seminar motivasi untuk siswa sekolah, konsultasi dan bimbingan memilih perguruan tinggi dan karir, serta puncaknya adalah acara ramah tamah dan temu kangen bersama guru dan pegawai sekolah.
Pagi-pagi mereka sudah bersiap. Mobil yang dikemudikan Bagas sudah memasuki area pelataran sekolah.
Masih sepi, karena sebagai ketua panitia, Bagas harus datang lebih awal. Namun, kondisi sekolah sudah terlihat meriah. Mereka akan menggunakan aula sekolah untuk acara ramah tamah itu.
Bagas sudah terbiasa bergerak cepat. Namun bersama istrinya yang sedang hamil tua, dia pun menyesuaikan.
“Nanti Mama sama Kak Safa duduk di dalam saja ya. Papa soalnya banyak yang mau diurus,” ucap Bagas sesaat sebelum mereka turun dari mobil.
Bagas menggendong Safa yang masih belum genap berusia tiga tahun itu dengan tangan kirinya, agar langkahnya lebih cepat. Sementara tangan kanannya menggandeng Nesa.
Di sisi lain, Widya, teman sekolah Bagas, baru saja turun dari ojek online. Tentu saja tak sulit mengenali sosok Bagas, meski sepuluh tahun tak bersua. Tetap sama, posturnya yang tegap dan tinggi, cara berjalan, serta ketampanan yang bahkan dari belakang saja tetap memikat.
Widya yang dulu akrab dengan Sheila tersenyum cerah.
“Sheila kalau hamil beda. Nggak pecicilan. Sok-sok imut minta gandeng,” guman Widya. Dengan setengah berlari dia ingin mengejar Bagas dan istrinya yang semakin menjauh.
“Hai, Wid…tunggu!”
Widya urung melangkah, karena panggilan lain menghentikan langkahnya.
“Ya ampun Nurul, long time no see!” keduanya lalu berpelukan.
Nurul membawa anak dan suaminya, sementara Widya masih sendiri.
“Wah, aku bakal jadi obat nyamuk nih,” ucap Widya menyadari statusnya.
“Nggak, lah. Masak obat nyamuk. Nanti kamu bareng aku aja. Nih, ada dua bocil, biar ga jadi obat nyamuk!” canda Nurul.
Suami Nurul pun hanya mengikuti kedua perempuan itu, seraya menggendong salah satu anaknya. Sementara satu anaknya lagi di gandeng oleh Nurul.
“Aku tadi lihat Bagas,” ucap Widya.
“Idihhh…klo Bagas aja, dari jauh, radarnya dah bunyi!” seloroh Nurul.
“Apaan sih!” Wajah Widya bersemu merah.
“Aku tuh tahu diri, lagi. Bagas kan udah milik Sheila seutuhnya. Aku apaan, hanya pungguk merindukan bulan!” kilah Widya.
Mereka berdua tertawa bersama.
Bagas, selain terkenal siswa yang aktif di organisasi, pesona ketampanannya tak ada yang meragukan.
Tapi, entah mengapa, sepertinya Bagas tak terlalu peduli dengan anugerah yang satu itu.
Meski banyak teman wanita yang mencoba mencuri perhatiannya, namun hanya Sheila yang selalu bersamanya.
Sayangnya, dengan ketampanannya dan kharisma yang sering membius wanita, nyalinya tak terlalu besar untuk menyatakan isi hatinya pada Sheila.
Tak terasa langkah mereka sudah tiba di depan aula.
Dari luar Aula, tampak Bagas masih sibuk dengan Nesa dan Shafa.
“Kak Shafa, jagain mama, ya!” ucap Bagas kala dia hendak meninggalkan Shafa dan Nesa karena banyak urusan yang masih hendak diselesaikannya.
Posisi duduk Nesa yang membelakangi Widya dan Nurul membuat kedua wanita muda itu tak sabar untuk segera mendekat dan menyapa pasangan hidup Bagas.
“Betapa beruntungnya, Sheila,” guman Widya dalam hati saat melihat bagaimana Bagas begitu perhatian pada wanita dan anak kecil yang ada di depannya itu.
Tapi, buru-buru pikiran itu ditepisnya.
Meski sepuluh tahun lalu dia pernah jatuh hati pada Bagas, namun, dia tahu diri kalau perasaannya pada Bagas tak pernah terbalas.
Jangankan terbalas, menunjukkan saja, tak ada nyali.
Widya dan Nurul mulai mendekati ke Bagas dan istrinya untuk menyapa, setelah Nurul meminta suaminya mengambil posisi di salah satu round table yang sudah di atur di aula itu.
“Sheila!” Seru Widya, berusaha menutupi kegugupan matanya bertumbukan dengan tatapan Bagas. Masih ada grogi saat melihat mata elang itu.
Nesa mengerutkan keningnya, mendengar nama Sheila dipanggil. Nama yang selama ini menghantui pikirannya. Apakah Sheila datang ke acara reuni?
Tiba-tiba perasaan Nesa menjadi tak karuan. Hatinya seolah tiba-tiba menjadi porak poranda.
Bagaimana kalau Sheila benar-benar datang? Bagaimana kalau Bagas bertemu dengan gadis itu?
Apakah Bagas bersemangat datang ke reuni ini karena ada gadis itu?
Apakah Sheila sengaja tak tinggal dengan orang tuanya lagi, karena ada di dirinya di sana?
Sebenarnya, kemana Sheila?
Berjuta tanya memenuhi kepala Nesa.
Bagas yang belum beranjak ditatapnya dengan lekat, berharap lelaki itu menatapnya dan membalas semua tanya di kepala dengan jawaban yang melegakan. Namun, ternyata tidak.
Lelaki itu justru tersenyum dan menatap teman yang menyapanya, hingga Nesa terpanggil untuk membalikkan badannya demi melihat sumber suara dan menjawab penasarannya tentang sosok Sheila.
“Heh! Ibuk ini sombongnya!” tepukan halus Nurul, sesaat sebelum Nesa menoleh.
Nurul dan Widya tersentak, kala menatap wajah Nesa. Bukan! Bukan Sheila!
--
Bab 10
Nurul dan Widya tersentak, kala menatap wajah Nesa.
Bukan! Bukan Sheila!
Nesa menjadi tak enak hati. Ganjalan di hatinya seolah kian membesar. Menyadari bahwa teman-teman Bagas menyangka dirinya adalah Sheila.
“Kenapa? Apakah Sheila dan Bagas demikian special? Hingga bahkan wanita hamil sepertiku disangka Sheila?” guman Nesa.
Sementara Bagas justru tertawa.
“Ah, kalian! Kenalin dulu nih sama nyonya Bagas!” seloroh Bagas nyaris tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.
Nurul dan Widya saling berpandangan, namun, buru-buru mengulurkan tangannya.
“Nesa!” sebut Nesa seraya menyambut uluran tangan itu.
“Nitip jagain istriku, ya!” canda Bagas seraya pamit keluar Aula, karena teman-teman tim panitia sudah datang.
Agak canggung Widya akhirnya menemani Nesa. Sementara Nurul kembali ke meja di mana suami dan anak-anaknya menunggu.
Nesa dan Widya hanya berbasa-basi seperlunya. Memori tentang Sheila, sangat mengganggu Nesa, sehingga dia pun mendadak menjadi kaku.
Sementara Widya pun berada dalam angannya. Dulu dia mengalah karena merasa Sheila lah yang paling pantas dan cocok untuk Bagas. Tapi, ternyata, justru wanita lain.
Inikah rahasia jodoh? Bahkan, orang yang bertahun-tahun dekat, kalau belum jodoh, maka kita tak dapat memaksakan untuk selalu bersama.
***ETW***
Sheila duduk di bangku yang menghadap ke kanal besar. Sengaja dia menyendiri di sana. Tatapannya kosong. Meski sesekali ada burung yang hinggap dan terbang dan juga kapal pengangkut barang yang lalu lalang, tapi sama sekali tak mengusik lamunan Sheila.
Hampir empat tahun, bukan waktu yang singkat dia meninggalkan Indonesia. Banyak aktivitas yang telah dilakukannya demi mengubur kenangan menyakitkan itu.
Hampir setiap minggu dia berkomunikasi dengan ayah ibunya. Hanya satu permintaan mereka, "Segera carikan ayah dan ibu menantu".
Sheila tersenyum di hadapan ayah dan ibunya. Namun, tak pernah disadari ayah dan ibunya, pertanyaan itu justru mengingatkan kembali luka lama itu.
Pertanyaan itu seperti menabur garam di luka yang belum mengering, perih.
“Masih di sini, Shel?”
Rian, pemuda yang usianya seumuran dengannya dan masih betah melajang itu, meminggirkan sepedanya.
Sheila sebenarnya sudah menghindar dari Rian. Dia sudah tak percaya lagi dengan hubungan lawan jenis. Tak ada persahabatan. Yang ada, justru luka yang bekasnya tak lenyap dalam hitungan hari.
Rian, mahasiswa Indonesia yang kutu buku itu kebetulan sama seperti dirinya, sedang menimba ilmu di negeri kincir.
Mereka tidak satu fakultas, tapi hanya di universitas yang sama. Tak sulit untuk mengenal mahasiswa doctoral dari Indonesia di kampus itu. Jumlahnya tak banyak. ada puluhan, namun yang single dapat dihitung dengan jari. Rata-rata, mahasiswa doctoral sudah berkeluarga.
Sheila mendapatkan beasiswa dari kampusnya, mengerjakan proyek penelitian. Sementara Rian mendapatkan beasiswa pemerintah Indonesia, karena dia sudah bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di Jakarta.
Sheila mengerjap, lalu menengok ke Rian.
Lelaki itu sebenarnya cukup manis. Kulitnya sedikit gelap, namun bersih. Posturnya tinggi dan langsing. Mungkin dia kurang makan karena harus hemat sebagai mahasiswa atau mungkin malas masak. Kacamata yang dikenakannya cukup tebal, tapi tetap stylist, membuatnya terlihat cerdas.
Sheila mensedekapkan tangannya. Cuaca berangin musim gugur memang terasa dingin.
“Mikirin riset?” tanya Rian.
“Aku pulang dulu. Besok ada deadline!” ucap Sheila tanpa menanggapi kata-kata Rian.
Shiela yang sebenarnya ingin berlama-lama menenangkan diri akhirnya urung.
Sejak kekecewaannya dengan Bagas, seolah tak ada ruang untuk lelaki di hatinya.
Sheila segera mengambil sepeda dan mengayuhnya kembali ke kosan.
Sementara Rian, lelaki itu seperti bayangan bagi Sheila. Kemana Sheila sembunyi untuk menyendiri, dia selalu menemukannya.
“Kenapa sih, kak, kamu nggak membuka hati saja untuk Rian?” tanya Farah, teman Sheila satu gedung apartemen. Farah anak master dan dia sering dititipi salam oleh Rian untuk Sheila.
“Nggak segampang itu,” ucap Sheila. Saat Farah main ke kamar Sheila, gadis itu sedang ingin memasak sayur sup. Cuaca dingin begitu, sup daging kaya rempah akan dapat membuat badannya lebih hangat.
Sheila sudah mengeluarkan potongan daging sapi yang dibelinya di supermarket Turki terdekat. Dia sengaja memilih daging yang berlemak, karena baginya itu lebih gurih.
“Kak, justru dengan membuka hati untuk laki-laki lain, kamu akan lebih melupakan,” lanjut Farah.
Meski usianya lebih muda, Farah sudah berkeluarga. Namun, keluarganya tidak ikut ke Belanda karena beasiswanya hanya untuk satu orang. Farah lebih punya pengalaman tentang perjodohan.
“Kamu mau cari yang bagaimana sih, Kak. Kak Rian itu baik, pinter, sholeh jangan tanya, manis juga lumayan, sudah punya pekerjaan tetap. Pastilah ayah dan ibu kakak akan menerimanya,” sambung Farah.
“Far, cinta itu di hati. Dia tak memandang fisik atau kebaikan. Kadang cinta itu nggak kenal logika. Kamu tahu kan, kadang seseorang bisa jatuh cinta pada orang yang jahat sekalipun,” sahut Sheila sekenanya.
Karena nyatanya cerita cintanya juga tak masuk logika. Bahkan, dia harus jatuh cinta pada orang yang tak menaruh hatinya sedikitpun padanya.
B*doh! Masih sering Sheila merutuk dalam hati. Kenapa masih berharap pada cinta yang telah pupus.
Logika Farah benar, harusnya dia menutup masa lalu dan membuka hati untuk orang lain. Tapi, memikirkan cinta, kadang membuat kewarasannya menguap begitu saja.
Hanya dengan Farah, Sheila terbuka. Mungkin karena Farah tidak gampang baper, dan orangnya dewasa.
“Tapi kita bukan hidup di novel atau di sinetron ya, Kak. Kita hidup di dunia nyata.” Farah tak mau kalah.
“Iya dunia nyata. Dan nyatanya, nasib baik tentang percintaan tak berpihak padaku.”
“Bukan tak berpihak. Tapi kamu yang nggak mau membuka diri.”
“Sudah bahas yang lain aja. Nggak ada habisnya ngomong sama kamu. Nih tolong kupasin kentang!”
Farah terkekeh. Tapi dia punya rencana lain.
***ETW***
“Far, aku serius nggak mau ikut!”
Pagi-pagi Farah sudah ke kamar Sheila sebelum gadis itu berangkat ke kampus.
Meski tak ada kelas, Sheila paling suka berangkat ke kampus pagi-pagi. Dia akan belajar di perpustakaan dan sepagi itu, biasanya dia akan dapat memilih bangku yang kosong.
“Kak, kamu tuh dah hampir tujuh tahun di Eropa. Kamu jarang jalan-jalan. Mumpung di sini. Kapan lagi?” tanya Farah.
“Jangan mikirin belajar terus. Pikir juga seneng-seneng. Biar fresh. Klo kamu Cuma mikir kerjaan, tuh, hatimu ngga bisa move on!” sambung Farah.
Farah benar. Sheila terlalu gila kerja. Bahkan, weekend pun dihabiskannya di kampus. Bukan tak ingin santai. Sedikit saja dia berdiam diri, angannya malah melayang teringat Bagas.
Dari pada kesal, Sheila memilih menyibukkan diri dengan belajar.
“Paling nggak, besok kamu nganter aku aja, deh Kak. Kamu nggak kasihan sama aku. Aku sudah mau lulus, mau balik ke Indonesia, tapi Paris aja aku belum lihat!” bujuk Farah.
Sheila bergeming. Apalagi menyebut kata Paris, seolah mengingatkan pada mimpinya yang karam. Mimpi jalan-jalan dengan Bagas.
“Aku bayarin 100e, kamu bayar sisanya. Kita naik Thalys. Nggak usah nginep. Kita berangkat subuh, pulang malem. Gimana? Aku Cuma mau lihat Eiffel sama luvre doang,” ujar Farah bersemangat.
Sheila menghela nafas. Keras kepala! Gerutunya dalam hati.
Namun, dalam hatinya sebenarnya berperang. Ada rasa bimbang. Kapan lagi dia bisa jalan dan ada temen. Selama ini memang dia malas jalan. Paling, kalau sedang conference dan ada bagian dari acara conference yang disediakan panitia untuk keliling kota.
“Aku janji, aku yang atur semuanya. Kamu terima beres!” ucap Farah penuh semangat.
“Pasti kamu setuju!” tanpa menunggu jawaban Sheila, Farah sudah melesat ke luar kamar Sheila dan bergegas ke kampus.
***ETW***
Hari masih gelap. Menjelang musim dingin memang matahari sudah bergeser lebih cepat.
Sheila dan Farah sudah siap di halte menuju stasiun terdekat yang hendak membawa mereka menuju stasiun Amsterdam Centraal. Mereka akan naik kereta cepat menuju Paris dari stasiun terbesar di Belanda itu.
“Maaf ya telat!”
Mendadak mata Sheila melebar. Tangannya langsung mencari pinggang Farah untuk dicubit, saat menyadari siapa yang datang.
BERSAMBUNG….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
