
“Walaikumussalam….”
Sheila masih berdiri di depan pintu saat terdengar suara perempuan menyahut ucapan salamnya. Kening Sheila berkerut. Dia merasa asing dengan suara itu.
Dua tahun tentu tak membuatnya melupakan suara khas Dian, mama Bagas, satu-satunya wanita yang tinggal di rumah itu.
“Siapa, sayang?”
Kali ini, dada Sheila berdebar. Dia amat mengenali suara lelaki ini. Namun, pada siapa dia memanggil “Sayang”?
Bab 1.
“Shel, kamu mau kemana?” tanya Santi. Dia menatap putrinya yang tengah bergegas sambil menenteng dua paper bag yang besar kemungkinan adalah oleh-oleh.
Sheila, sang putri, baru saja pulang dari studi, setelah dua tahun lamanya tinggal di negeri orang. Namun, binar di wajahnya sama sekali tak menunjukkan kelelahan. Bahkan ia terlihat sangat bersemangat.
“Sheila hanya mau ngasih ini sebentar ke rumah Tante Dian,” pamit Sheila sambil menunjukkan dua paper bag yang dipegangnya. Ia menyebut nama tetangga mereka. Dian adalah mama dari Bagas, sahabat Sheila.
“Nak!”
Panggilan Santi tak membuat gadis itu menghentikan langkah. Sheila terus berjalan meninggalkannya dengan perasaan bahagia yang terlihat jelas.
Wanita paruh baya itu hanya dapat menghela nafas untuk menepiskan perasaan tak nyaman yang hinggap di dadanya.
Santi belum menjelaskan, apa yang sudah terjadi selama Sheila tak ada di Indonesia.
Tanpa mengindahkan panggilan ibunya, Sheila berlalu. Hari itu adalah hari yang ditunggunya. Dua tahun dia tak bersua dengan tetangga yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Bahkan, tak lupa dia dengan oleh-oleh. Tak hanya oleh-oleh barang, bahkan dia pun sudah menyiapkan berbagai cerita seru selama dua tahun di negeri orang.
“Assalamualaikum….” Sheila menanti di depan pintu.
Dulu, saat dia masih kecil hingga remaja, keluar masuk rumah itu sudah biasa. Tapi, dua tahun berlalu, selain canggung, juga dia akan memberikan kejutan.
Sambil menunggu sang empunya rumah membuka pintu, Sheila menghamparkan pandangan. Dua tahun, dan halaman rumah itu masih sama. Asri dan rapi dengan aneka tanaman hiasnya, khas Dian yang rajin bebenah.
Bagas. Nama salah satu, bahkan satu-satunya sahabat Sheila.
Mereka tumbuh dan dibesarkan bersama. Sekolah dari TK hingga SMA di sekolah yang sama. Hanya saat kuliah saja mereka berpisah karena punya universitas favorit masing-masing. Namun, itu tak membuat keduanya tidak saling tergantung.
Selama dua tahun kuliah di Belanda, Sheila sangat sibuk. Komunikasi dengan Bagas sudah sangat terbatas. Apalagi dengan perbedaan waktu Jakarta dan Belanda yang sekitar 5-6 jam, membuat mereka lama tidak bertegur sapa, meski hanya lewat dunia maya.
Selama studi, hubungan Sheila dengan Indonesia hanya sebatas dengan ayah dan ibunya saja. Itupun kalau akhir pekan. Karena hari biasa, Sheila memilih meninggalkan ponselnya di kosan, dibanding membawanya ke kampus.
Namun, Sheila tak pernah lupa hal-hal kecil tentang Bagas. Bahkan, saat dia menghadiri sebuah acara conference di UK, Sheila sengaja pergi ke salah satu stadion klub sepakbola favorit Bagas demi membelikan sahabatnya itu souvenir asli di sana. Meski Sheila harus rela berkereta selama dua jam dari London ke kota kecil tempat club speak bola itu. Namun, demi Bagas, hal itu dilakukannya.
Tak hanya untuk Bagas. Sebelum pulang, bahkan Sheila menyempatkan diri membeli oleh-oleh untuk mamanya Bagas, yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Dulu, saat Sheila kecil, Sheila sering dititipkan di rumah Bagas. Sehingga mama Bagas, punya porsi sendiri dalam hatinya. Bahkan, Sheila rela merogoh kocek lebih, demi bisa membeli barang branded sebagai oleh-oleh untuk mamanya Bagas.
Itu juga alasan kenapa dia tak sabar menanti hari kepulangannya. Dia ingin melihat wajah bahagia orang yang sangat disayanginya.
Agak lama Sheila menunggu hingga terdengar sahutan salam.
“Walaikumussalam…”
Deg! Suara wanita menyahut dari dalam, membuat dahi Sheila berkerut. Suara itu asing dan tak dikenalnya. Siapa yang menyahut? Sepertinya bukan suara mamanya Bagas, batin Sheila.
Apakah di rumah Bagas sekarang ada ART? Tanya Sheila dalam hati.
Seingat Sheila, di rumah Bagas hanya ada papa dan mamanya saja, juga Bagas. Dia adalah anak laki-laki satu-satunya keluarga itu.
Lalu, ada siapa lagi di rumah itu? Saudara Bagas mungkin. Sheila mencoba berspekulasi.
“Siapa, Sayang?”
Belum habis penasaran Sheila, dari dalam terdengar suara yang cukup akrab di telinganya. Tak salah lagi. Itu suara Bagas, sahabatnya. Dia sudah sangat hafal nadanya.
Tapi … Kenapa memanggil “sayang”? Pada siapa Bagas memanggil Sayang? Batin Sheila, semakin penasaran.
Menit berikutnya, pintu terbuka.
Seorang wanita dengan perut buncit berdiri di ambang pintu. Sementara, di belakangnya, Pria yang sangat di kenal Sheila itu berdiri. Tampaknya, dia belum menyadari kehadiran Sheila.
Perasaan Sheila tak karuan. Batin Sheila bertanya-tanya. Apakah pada wanita ini Bagas menyebut “sayang”?
Wanita itu terlihat masih seumuran dengannya. Apa hubungan ia dengan Bagas?
Mendadak dunia Sheila seakan runtuh. Perasaan Sheila benar-benar tak karuan. Kecewa, kesal dan marah seolah terkumpul menjadi satu.
Paper bag di gengaman tangannya nyaris terjatuh andai jemarinya tak segera mengeratkan genggamannya.
Sepersekian detik, Senyum pemuda itu mengembang, saat menyadari siapa yang datang.
“Hei, Sheila? Kapan Datang?” Dia lalu menerobos keluar hendak menghampiri Sheila.
Namun, mendadak raut wajah pria itu seketika berubah. Dia ingat, statusnya tak lagi sama seperti dulu.
Bagas segera mengikis perasaan yang pernah terpendam pada Sheila. Dia mencoba mengendalikan diri.
Dulu, Bagas pernah memendam rasa pada Sheila. Itu dulu. Sebelum Sheila memutuskan pergi ke Belanda untuk mengejar cita-citanya. Beberapa kali Bagas mencoba memancing perasaan Sheila, namun tak juga dia mendapatkan kepastian. Hingga akhirnya, dia memutuskan menerima cinta Nesa, yang kini menjadi istrinya.
“Ayo, masuk, Sheil,” ucap Bagas. “Kenalkan ini istriku,” lanjutnya. Kentara kalau lelaki itu juga sedang berusaha menghilangkan rasa canggung.
Bagas tak ingin Nesa curiga.
Setelah dia memutuskan menikah, artinya Bagas sudah menentukan pilihan dan menutup rapat pilihan yang lain.
Sejak dia menikah, Bagas sudah jarang bertandang ke rumah Sheila. Hanya sesekali saja ia bertegur sapa dengan ayah Sheila jika tak sengaja bertemu di jalan atau di lingkungan tempat tinggal mereka.
Sheila menelan ludah. Dadanya berdebar tak karuan. Dia merasa, posisinya berdirinya sudah tak kokoh. Kakinya seperti melayang tidak menginjak bumi. Kenyataan di depannya sungguh menyesakkan.
“Aku nitip saja untuk Tante Dian,” ucap Sheila parau. Mendadak, pandangan matanya terasa buram.
Tanpa menatap Bagas, Sheila segera membalikkan tubuhnya setelah mengangsurkan paperbag itu pada Bagas. Dengan cepat dia melangkah, kembali ke rumah. Harapannya sudah hancur.
“Sheil! Tunggu!”
Sheila terus melangkah. Dia tak menghiraukan lagi panggilan Bagas. Bayangan pertemuan yang hangat dengan Bagas musnah sudah.
Bayangan dia bisa melepas kangen setelah dua tahun tak bertemu lenyap sudah.
Bayangan masa-masa lalu, saat dia bisa bercanda bebas dengan Bagas, rasanya sudah tak akan pernah lagi terwujud.
Bagas sudah berubah. Dia bukan lagi Bagas yang dulu. Dia sudah milik orang lain. Dan itu bukan dirinya.
Salahnya, selama dua tahu di Belanda, ia tak pernah bertanya tentang kabar Bagas. Dia mengira semua baik-baik saja. Bagas akan menunggunya sampai dia pulang.
Salahnya, dia juga tak pernah mengaktifkan sosmednya.
Salahnya, dia juga tidak gabung di grup di mana ia dan Bagas harusnya ada.
Salahnya, dia dulu sama sekali tak peduli dengan kabar teman-temannya, hingga kabar sebesar ini dia tak tahu.
Selama di Belanda, Ibu dan ayahnya juga tak pernah sedikitpun menyinggung tentang kabar tetangganya itu. Seolah semua baik-baik saja. Hanya kabar tentang saudara dekat yang sering diceritakan.
Bahkan, saking bersemangatnya ingin ke rumah Bagas, Sheila bahkan menolak tawaran sarapan dari ibunya, meski perutnya masih kosong. Bahkan, lelah tak dirasa meski dia kurang tidur selama di perjalanan 14 jam.
Sheila memilih untuk menemui Bagas. Sheila tak memedulikan dirinya.
Namun ternyata, apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaan.
--
Bab 2.
Sheila tak mengindahkan panggilan Bagas. Langkah kakinya dipercepat. Dia ingin segera kembali ke rumah.
Santi yang sedang menunggu putrinya di meja makan, dan siap dengan sarapan, sama sekali tak dipedulikan Sheila. Gadis itu hanya fokus ingin segera masuk kamar.
Sheila membanting pintu kamar dengan kasar. Dia terduduk dengan punggung menyandar pada pintu itu. Perasaannya campur aduk. Matanya tak dapat membendung linangan air matanya. Dunianya seolah berhenti berputar.
Harapannya seolah musnah. Kebahagiaan yang dibayangkannya sejak dia berangkat dari Amsterdam, telah luluh lantak.
Dalam kebisuan, diam-diam sebenarnya Sheila selalu berharap, suatu ketika Bagas akan menjadi miliknya. Bukan orang lain.
Tapi, kenapa dia tega?
“Salahkah aku jika selama ini berharap?” tanya Sheila dalam hati di antara linangan air matanya. Gadis itu menelungkupkan kepalanya menyandar pada lutut yang dipeluknya.
Memorinya kembali berputar. Tahun pertama dia di Belanda, dia masih sesekali berhubungan dengan Bagas.
Namun, kesibukan kuliahnya membuatnya tak sempat lagi bertegur sapa. Sheila tak punya waktu dari hanya sekedar membuka sosmed. Bukan Sheila enggan menanyakan kabar tetangganya itu saat menelpon ayah ibunya. Namun, entah mengapa dia merasa malu jika menanyakan pada orang tuanya.
Dulu, Sheila mengira mungkin Bagas mulai sibuk dengan pekerjaannya, hingga pemuda itu pun juga tak berkirim kabar apapun padanya. Siapa yang tak mengakui kinerja Bagas. Mantan aktivis sekolah dan kampus itu, apapun bisa diandalkan.
Namun, siapa sangka yang ternyata Bagas sengaja pergi dari hidupnya. Mengubur persahabatannya. Bahkan, dia tak mengabarkan jika hendak menikah. Apakah dirinya benar-benar sudah tak dianggap?
Sheila terdiam. Ia mencoba merenungi apa yang terjadi.
“Kenapa aku harus marah? Apa aku marah karena dia tidak menganggapku sebagai sahabat? Ataukah aku cemburu? Cemburu karena bukan menjadi wanita pilihannya?” Sheila bertanya-tanya dalam hati.
Memorinya kembali berputar saat percakapan di café ayam geprek, sehari sebelum Sheila berangkat. Bagas mengantar Sheila membeli beberapa barang yang diperlukan di supermarket di pusat kota.
“Sheil, kamu sungguh mau pergi?” Entah ke berapa puluh kali pertanyaan itu keluar dari mulut Bagas, seolah hendak melemahkan keyakinan Sheila saat dia hendak berangkat ke luar negeri.
Sheila kembali merenung. Apakah ada maksud dibalik pertanyaan itu? Apakah itu artinya Bagas tak ingin dirinya pergi?
“Aku cuma pergi dua tahun, Gas. Bukan selamanya. Hanya ke Belanda. Dan kamu kapan-kapan bisa ke sana!"
Jawaban Sheila yang setengah bercanda itu pun masih terngiang.
Dulu, saatu mentakan itu, jauh dilubuk hati Sheila, dia berharap Bagas akan menemuinya dan memberikan kejutan padanya, selama dia masih di sana.
Sheila akui, bersama Bagas, hidupnya selalu terasa nyaman.
Sebagai sesama anak tunggal yang dibesarnya bersama, mereka sering menghabiskan waktu bersama.
“Nanti kalau ada yang suka sama kamu gimana?” Pertanyaan Bagas saat itu, kembali memenuhi gendang telinga Sheila. Bahkan suaranya seolah terdengar nyata.
Kala itu, dada Sheila mengembang, dalam hati Sheila menerka maksud Bagas. Namun, lagi-lagi Sheila harus memendam kecewa saat logikanya menyadari kenyataan. Kalau Bagas benar menyukainya, tentu dia sudah datang ke rumah dan meminta pada ayahnya. Tapi buktinya, meski usia sudah hampir dua puluh lima, dia tak pernah mengungkapkannya.
“Alah, kamu pake ngomong gitu. Kamu sendiri gimana?” elak Sheila menutupi hatinya kebat kebit penuh harap.
“Aku masih menunggu gadis yang mau menikah denganku,” sahut Bagas sambil menaikkan alisnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.
Entah sejak kapan, Sheila merasakan getaran itu saat melihat ekspresi Bagas. Namun, dia selalu mencoba mengendalikan diri.
Sheila tak ingin mengotori persahabatan dengan kekonyolannya. Dia tak ingin Bagas sampai tahu kalau sebenarnya dia diam-diam menyukainya. Dia ingin menunggu saat Bagas yang akan mengungkapkan perasaan itu.
“Klo lelaki itu nggak nunggu. Klo cewek, baru nunggu!” pancing Sheila.
Sayangnya, Bagas lebih suka mengalihkan pembicaraan.
Hal yang sama pun dipikirkan Bagas. Dia tak ingin persahabatannya dengan Sheila akan canggung jika akhirnya dia benar-benar mengungkapkan perasaannya, dan Sheila menolaknya.
Selama ini, Sheila tak pernah membahas mengenai pria. Dia lebih suka membahas tentang mimpinya ke luar negeri.
Berbeda dengan Bagas yang fokus mengejar karir, karena tanpa pekerjaan yang mapan, mustahil baginya dapat melamar wanita pujaannya.
“Sheil, ada Bagas, Nak!” ketukan di depan pintu menyadarkan Sheila dari lamunannya. Suara ibunya.
Bagas?
Mata Sheila membulat.
Namun, marah, jengkel dan kesal lebih merajai hatinya. Rasa rindunya sudah terkikis begitu saja.
Sheila kecewa. Bukan hanya karena dia wanita yang tak terpilih. Tapi, dia juga kecewa karena Bagas ternyata tak pernah menganggapnya sahabat.
Jangankan mengabarkan mengabarkan rencana pernikahan. Berkirim undangan pun tdak. Dan yang lebih mengecewakan, Bapak dan Ibunya tak pernah mengabarkan peristiwa besar itu.
Hati Sheila hancur. Bagaimana bisa Bagas memilih wanita lain, tanpa melibatkannya. Lalu, selama ini dianggap apa dia? Persahabatan yang lamanya sepanjang umur mereka, haruskah berakhir dengan pengkhianatan seperti ini?
“Shel, Sheila. Aku ingin bicara,…”
Suara Bagas terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.
Sejak dulu, Bagas sudah terbiasa keluar masuk rumah Sheila. Namun hanya sebatas di ruang tamu. Mereka sering mengerjakan tugas sekolah dan belajar bersama. Tak jarang juga makan bersama di rumah Sheila.
Tapi, kalau sampai depan kamar Sheila, itu baru kali ini.
Kening Sheila berkerut. Kenapa ibunya mengizinkan Bagas sampai ke depan kamarnya? Ini hal yang di luar kewajaran.
Sheila menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya bangkit dari posisinya. Sheila mencoba untuk kuat. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bagas.
Bagi Sheila, wibawa Bagas sudah habis. Pria itu telah mengkhianati persahabatannya.
Sheila tak ingin menghempaskan dirinya ke jurang yang terlalu dalam hingga membuatnya sulit merangkak ke atas.
Disekanya air mata itu dengan lengan bajunya. Tisu basah di mejanya segera diusapkan, agar bekas-bekas air mata itu menghilang.
Tapi, berulang Sheila mencoba menghapus air mata, luka di hatinya tak seketika pergi. Buliran bening it uterus meleleh tanpa terkendali. Bahkan, matanya terasa kian memanas.
Sheila berdiri memandangi pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Rasa enggan membelenggunya dan mencegahnya untuk menemui Bagas.
“Pulanglah, Bagas. Aku nggak mau ketemu kamu!” ucap Sheila dalam satu tarikan nafas yang diselingi suara parau. Dadanya terasa koyak. Dia menekan dalam-dalam rasa pedih hatinya, meski rasanya ingin menjerit untuk menuntaskan lukanya.
Di luar pintu, Bagas menatap Santi yang juga menatapnya.
Santi lalu mengangguk. Wanita paruh baya itu memberi kode agar Bagas pulang. Ini bukan waktu yang tepat karena putrinya sedang tak baik-baik saja.
Wanita itu lalu mengiringi Bagas keluar.
“Sheila capek, baru datang. Dia butuh istirahat,” ucap Santi seraya menutup pintu ruang tamu, setelah Bagas pamit.
Pemuda itu mengangguk seraya menarik paksa kedua sudut bibirnya. Nafasnya pun terhela. Lalu ia membalikkan tubuhnya, berjalan kembali ke rumahnya dengan perasaan tak karuan. Pikiran Bagas tiba-tiba kosong.
“Itu anaknya Tante Santi, Mas?” tanya Nesa yang menunggunya di ruang tamu.
Nesa masih kaget dengan kejadian yang baru saja dilihatnya. Dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Istri Bagas itu belum pernah bertemu Sheila. Dia hanya pernah mendengar penuturan ibu mertuanya, bahwa di sebelah rumah, ada sahabat Bagas yang bernama Sheila yang saat itu sedang menuntut ilmu di luar negeri.
“Besok, sepulang aku dinas, kita ke rumah Sheila. Sekarang dia istirahat,” ujar Bagas datar. Bahkan dia lupa dengan paper bag pemberian Sheila yang ditinggalkan di ruang tamu.
Bagas masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap. Siang itu dia akan berangkat keluar kota.
Baru beberapa saat, terdengar suara mamanya yang baru pulang dari minimarket.
“Gas, ini dari siapa? Sheila pulang?” tanya Dian seraya menenteng paper bag dan menunjukkan pada Bagas. Terlihat wajah bahagia bercampur bimbang saat Dian berdiri di ambang pintu kamar Bagas.
Siapapun bisa menebak dari siapa benda itu. Tulisan yang menunjukkan souvenir dari Dutch itu terlihat jelas. Siapa lagi orang terdekatnya kalau bukan Sheila.
“Kenapa?”
Bagas hanya menoleh sekilas, tanpa tertarik menanggapi pertanyaan mamanya.
Selama ini, Bagas selalu antusias menanggapi sesuatu tentang Sheila, meski setelah menikah dengan Nesa, nama Sheila seolah tenggelam di perbincangan keluarganya.
Entah kenapa, keluarganya tak lagi menyebut nama Sheila setelah Nesa menjadi bagian keluarga rumah itu.
Dian duduk di sisi ranjang, sementara Bagas sibuk merapikan laptop dan memasukkan dalam tas kerjanya.
“Mama sudah pernah bilang, kasih tahu Sheila tentang keputusanmu menikah dengan Nesa. Nggak ada yang salah kalau kamu memilih Nesa. Tapi, Sheilla itu sahabat kamu. Dia pasti merasa kehilangan."
Tanpa sadar ucapan Dian terdengar jelas di telinga Nesa yang berdiri di samping pintu kamar yang terbuka.
--
Bab 3.
Bagas mencoba tidak terusik dengan kata-kata mamanya. Bukan sekali dua kali mamanya mengungkit masalah itu secara diam-diam. Bagas tahu, itu dilakukan mamanya, agar istrinya tak pernah tahu, bahwa pernah ada wanita yang dekat dengannya sebelum Nesa singgah di hatinya. Tapi, buat apa? Toh, dia sudah memilih.
“Mama perempuan. Mama lebih peka,” lanjut Dian.
Tak sadar, Nesa menyimak pembicaraan itu dari luar kamar. Banyak tanya hinggap di kepalanya.
Hampir setahun dia menikah dengan Bagas. Selama ini, dia cukup dekat dengan mama mertuanya. Banyak hal yang telah diceritakan dan Nesa merasa tak satupun ditutupinya. Namun, rupanya, ada rahasia besar yang selama ini dipendam keluarga Bagas. Kenapa?
Bagas tetap terdiam tak menanggapi ucapan mamanya.
Di luar kamar, Nesa masih menyimak. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi.
Selama ini, hidupnya dan Bagas baik-baik saja. Bagas termasuk pria yang tidak neko-neko dan terbuka padanya. Juga mencurahkan kasih sayangnya. Tak pernah ada hal yang mencurigakan.
Nesa menghela nafas dalam-dalam. Bagas akan pergi ke luar kota. Dan Nesa tak ingin mood suaminya rusak.
Sebagai lulusan psikologi, dia tahu betul, tugas seorang istri adalah memberikan dukungan pada suaminya, termasuk aspek moralnya. Jangan pernah mengganggu konsentrasinya di saat suami memerlukan itu.
Ada saatnya mereka bicara berdua membicara masalah. Tapi, bukan di saat suaminya akan berangkat mencari nafkah.
Dian membuka salah satu isi paper bag.
“Lihatlah. Dia masih ingat barang favoritmu!” seru Dian. Wanita paruh baya itu memperlihatkan satu set baju bola klub kesayangan Bagas yang langsung dibeli dari UK. Tag nya masih ada.
Mendengar ucapan mamanya, Bagas membalikkan badannya. Ia menatap mamanya yang tengah membentangkan kaos bermotif klub bola favoritnya itu.
Bagas menelan ludahnya. Tangannya tak sadar tergenggam erat. Ada rasa bersalah terlintas, dan makin lama menyelinap di relung dadanya.
Tiba-tiba Bagas seolah merasai Sheila kekecewaan Sheila. Mendadak, ingatannya berputar saat mereka masih bersahabat dekat. Kemana saja Sheila pergi, tak lupa dia akan kembali dan membawakannya oleh-oleh. Tak hanya barang, tapi pasti juga banyak cerita. Dan dia akan menjadi pendengar dengan setia.
Bagas kini paham, kenapa Sheila marah padanya. Pasti Sheila kecewa.
“Dia kesana, Gas. Dia telah membelikan khusus untukmu.” Mata Dian berkaca-kaca.
Ada rasa bersalah. Dian merasa gagal. Dia tak mampu mengungkapkan tebakan perasaan Sheila pada putra semata wayangnya. Dia hanya membiarkan keduanya terombang-ambing dalam rasa yang tak terungkap.
Dian baru menyadari kala merasai hubungan Santi dengannya seperti berjarak setelah pernikahan Bagas dengan Nesa. Tapi, semua sudah terjadi. Tak mungkin waktu diputar ulang kembali.
“Aku akan membawanya,” ucap Bagas.
Dengan cepat dia mengambil kaos itu dan membuka kembali koper kecil yang sudah terkunci. Bagas menyisipkan baju itu sembarangan di sela-sela baju yang sudah disiapkan Nesa dalam koper itu.
Nesa mendengarnya. Bahkan, pintu kamar Bagas yang terbuka lebar membuatnya dapat melihat jelas bagaimana Bagas merenggut baju itu dari tangan mamanya, dan dengan bergetar tangan itu memasukkan ke dalam koper.
“Aku berangkat, Ma. Khawatir ketinggalan pesawat,” pamit Bagas seraya mencium punggung tangan mamanya. Dia tak ingin berlama-lama mendengar mamanya mengulang kata-kata yang sama seolah mengingatkan atas keputusannya di masa yang lalu.
Dian masih terdiam.
Pandangannya menyapu pada paper bag satu lagi yang belum dibukanya.
Kenangannya juga kembali ke masa lalu. Saat Sheila akan datang ke rumahnya, begitu pulang dari bepergian. Membawakannya oleh-oleh juga untuk putranya. Lalu mereka akan tertawa bersama dengan cerita-cerita Sheila.
Dia dapat merasakan kekecewaan Sheila. Mengapa dia datang sepagi itu. Bahkan, dia pun tidak mendengar kapan sahabat putranya itu pulang dari Belanda. Pasti, seperti yang lalu-lalu. Begitu sampai rumah, akan langsung bertandang ke rumahnya.
Bukan karena ibu Sheila bukan pendengar yang baik. Justru karena Sheila dapat bercerita pada ibunya kapan saja, sehingga gadis itu merasa perlu datang ke rumahnya secepat mungkin.
Tak ada tawa Sheila hari itu, membuat dada Dian menjadi nyeri.
Sementara di taksi yang ditumpangi, Bagas sudah memasuki area bandara.
Berjalan di area bandara menuju ruang tunggu, kilasan pembicaraan terakhirnya dengan Sheila, saat dia mengantar kepergian sahabatnya itu kembali menari-nari.
“Kalau nggak ada yang mau sama aku, nanti aku mau nyari bule saja di Belanda,” canda Sheila sembari menyesap kopi di salah satu café di area luar bandara.
“Aku titip satu, ya. Biar anak kita samaan. Ada bule-bulenya,” timpal Bagas kala itu.
Semuanya masih ceria. Tanpa beban mereka masih bercanda tawa.
Sambil berjalan, Bagas tersenyum miris. Apakah dia benar-benar lelaki yang tak peka? Apakah Sheila sebenarnya menyimpan rasa juga padanya? Apakah Sheila benar-benar kecewa dengan keputusannya?
Kenapa dulu dia sama sekali tak mempertimbangkannya saat memutuskan menikah dengan Nesa?
Mengapa kala memutuskan menikah dengan Nesa, seolah kenangan dengan Sheila tak ada satupun di ingatannya.
Apakah hanya setahun tak bersamanya, bisa benar-benar menghilangkan kenangan sekian tahun.
Pernah dia sekali teringat pada Sheila, tapi, sama sekali tak terpikir untuk memberitahukan rencana pernikahannya.
Bukan karena ingin menyembunyikan. Tapi, hanya karena tak ingin mengganggu sahabatnya itu.
Biarlah Sheila dengan impiannya, karena dia bukan lagi menjadi bagian dari mimpi Sheila. Itu yang selalu dia hujamkan di hatinya.
Bagas tak dapat menghalangi kepergian Sheila. Bagas melihat, dirinya tak begitu penting dihati Sheila. Lalu, kalau dia kemudian menikah dengan wanita pilihannya, apakah dia salah?
Bagas menggelengkan kepalanya.
"Sheila hanya kecewa. Dia hanya butuh waktu menyembuhkan kecewanya," hibur Bagas dalam hati, seraya berdiri, mengikuti antrian barisan penumpang pesawat yang akan membawanya ke salah satu pulai di bagian Indonesia tengah itu.
--
Bab 4.
“Nak,” pelan Santi masuk ke kamar Sheila.
Sudah hampir tengah hari, Sheila belum keluar. Bahkan, belum makan. Santi tahu, perjalanan dari Amsterdam ke Jakarta, meski mendapat makanan di pesawat, namun tentu tak sebaik makanan rumahan.
Dilihatnya putrinya masih menelungkupkan kepala di ranjangnya. Gadis itu duduk di lantai. Matanya sembab. Spreinya pun juga basah.
“Ibu temeni makan dulu yuk." Santi ikut melipat kaki, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh putrinya, sembari mengusap kepala Sheila.
Sheila menegakkan punggungnya. Kepalanya menoleh ke arah Santi. Matanya masih sembab.
Tiba-tiba Sheila menghambur ke pelukan ibunya.
“Ibuuu … kenapa ibu nggak pernah cerita. Kenapa?”
Santi menenggelamkan kepala Sheila di dadanya. Diusapnya kepala putri kesayangannya itu dengan lembut.
Bukan dia tak tahu kalau anaknya ini menaruh hati pada Bagas. Tapi, tak elok rasanya sebagai pihak perempuan jika membuka pembicaraan. Apalagi, Bagas juga tak pernah mengatakan apa pun pada Sheila, meski dia sudah menganggap Bagas seperti anaknya sendiri.
Santi tahu, anak gadisnya bersahabat dengan Bagas sejak kecil. Baik buruknya Bagas pun dia sudah paham.
Santi bahkan sempat kecewa saat tahu Bagas melamar gadis lain.
Bukan karena berharap Bagas harus menjadi menantunya, tapi sikap Bagas yang seolah sudah tak pernah menganggap dirinya setelah keberangkatan Sheila.
Terlebih, setelah dia menikah tambah membuat Santi tak mengerti. Bagas seolah menjauh dari keluarganya. Yang tadinya sudah seperti ibu dan anak, kini hanya seperti tetangga biasa.
“Sabar, Nak.” Hanya itu yang dapat diucapkan Santi.
“Makan dulu. Habis makan, kita bicara," ajak Santi. "Perutmu kosong. Kamu bisa sakit. Perbedaan cuaca di sini dan di sana bisa memperburuk keadaanmu kalau kamu tidak segera makan,” lanjutnya.
“Jodoh, rejeki, ajal, sudah diatur sama yang kuasa. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Bagas.” Nyeri hati Santi mengatakannya. Tapi, tak ada kata yang dapat dipilihnya untuk menghibur anak semata wayangnya.
Sementara di seberang pulau, Bagas yang sudah menyelesaikan meetingnya segera bergegas ke kamar hotel. Dia ingin segera mandi dan beristirahat.
Saat koper dibuka untuk mengambil baju ganti, hal pertama yang dilihat adalah kaos hadiah dari Sheila.
Bagas tersenyum sambil memungut koas itu. Hatinya bahagia sekaligus terluka.
Satu hal yang dingatnya saat ia masih bersama Sheila. Selalu membuat gadis itu merasa bahagia.
Buru-buru Bagas melepas bajunya, lalu mengganti dengan kaos itu.
Bagas tersenyum sambil melihat pantulan dirinya di depan cermin. Hatinya tersayat. Andai statusnya masih sama dengan yang dulu, pasti dia akan melampiaskan kegembiraannya dengan souvenir ini. Tapi, apa daya semua sudah berubah.
Satu capture gambar dia ambil. Lalu, segera ia posting di storynya. Dia berharap, Sheila atau ibunya melihat postingannya itu. Sheila harus tau, kalau dirinya menyukai oleh-oleh itu.
Meski dalam hati dia merindukan obrolan renyah dengan Sheila, namun dia sadar, semua tak lagi sama.
Buru-buru Bagas melepas kaos itu. Dia akan memakainya lagi saat pulang nanti. Dia akan menunjukkan pada Sheila kalau dia menyukai buah tangannya. Dia harap, saat dia memakainya nanti, Sheila bahagia.
Sayangnya, prediksi Bagas salah. Harapannya story itu dilihat oleh Santi atau Sheila, justru Nesa lah yang pertama kali melihatnya.
Sejak kepergian Bagas, perasaan Nesa tak enak. Serpihan kejadian sebelum kepergian Bagas begitu menganggunya. Dari kedatangan Sheila yang misterius, hingga suaminya menyusul ke rumah sebelah, belum juga terjawab. Terlebih obrolan mertua dengan suaminya yang tak sengaja di dengar, benar-benar membuat Nesa menunggu-nunggu kabar dari suaminya.
Bolak-balik Nesa mengecek ponsel, namun ia tak berani bertanya. Dia tak ingin mengganggu pekerjaan suaminya. Dia khawatir suaminya tak dapat fokus bekerja dan membuat pekerjaannya berantakan.
Nesa memilih menunggu, dan menunggu. Hingga matanya yang semula menunggu notifikasi pesan, memicing. Ada WA story suaminya. Padahal, sebelumnya, Bagas tak pernah memasang story.
Buru-buru Nesa membuka story itu.
Hatinya terasa nyeri tatkala membaca caption yang tertulis dibawah gambar foto diri Bagas yang tengah memakai kaos baru yang besar kemungkinan adalah oleh-oleh dari Sheila, seperti apa yang dia curi dengar dari mertuanya tadi pagi.
“Cinta kadang salah, tapi persahabatan tak pernah salah.”
Nesa jatuh terduduk membaca caption itu.
Bulir bening mulai mengalir di sudut matanya. Dia mulai menerka, apa maksud kalimat itu. Kenapa Bagas harus menuliskan itu? Kenapa dia harus membacanya.
Salahkah dia selama ini mencintai Bagas?
Teringat Nesa akan peristiwa setahun lalu.
Nesa adalah pegawai baru di kantor Bagas. Nesa sudah terpesona pada kebaikan Bagas pada pandangan pertama.
Namun, Bagas memang tak mengindahkan perasaan Nesa. Bagi Bagas, kebaikan ke semua orang adalah kewajiban.
Sebaliknya, bagi Nesa, kebaikan Bagas laksana membuahkan cinta. Perhatian yang lebih di atas perhatian yang sewajarnya, membuat Nesa memberanikan diri mengutarakan isi hatinya.
Bagi Nesa, perempuan atau laki-laki memiliki peluang yang sama untuk mengutarakan perasaan. Itu tidak tabu. Hanya ditolak resikonya. Dan jika dia tak menyatakannya, dia akan menyesal seumur hidup. Itu prinsip Nesa.
Berbeda dengan Bagas yang tak pernah merasakan cinta sebelumnya.
Bagas sudah selalu merasa cukup dengan persahabatannya dengan Sheila, hingga lupa mencari tambatan hati yang bernama cinta. Sheila tak pernah kurang memberinya perhatian, hingga kepergian itu.
Ya, Nesa datang saat kepergian Sheila.
Sheila tak lagi mudah dihubungi. Berbeda dengan saat mereka kuliah di kota yang berbeda.
Saat Sheila kuliah di negara yang berbeda dengan perbedaan waktu 5-6 jam, membuat Bagas kesulitan berkomunikasi.
Di awal-awal komuniasi mereka masih berjalan lancar. Namun, bulan berikutnya Sheila hanya bisa dihubungi pada jam tertentu karena dia ingin fokus belajar. Dan jam itu, saat dini hari waktu Indonesia, hingga tak mungkin bagi Bagas untuk selalu menghubunginya.
Pelan tapi pasti, ketergantungan itu hilang, dan berpindah pada Nesa yang selalu ada di sisinya.
“Menikah dengan orang yang mencintaimu, jauh lebih baik dari pada menunggu seseorang yang tak pasti,” tukas Nesa memberanikan diri, kala Bagas selalu menunjukkan kebimbangan memutuskan.
--
Bab 5
Sudah tiga hari Sheila mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar kamar untuk ke toilet dan makan.
Luka hati merasa diabaikan Bagas, bercampur dengan luka hati tak menjadi wanita pilihan Bagas bercampur menjadi satu.
Sheila mencoba mengikhlaskan semuanya. Tapi, rupanya itu tak mudah. Dia butuh waktu. Menyatukan kepingan hati yang terlanjur porak poranda.
Sekolah hingga ke luar negeri pun tak membuat logikanya berjalan baik saat perasaan mendominasi.
“Kamu nggak bisa seperti ini? Kamu harus bisa move on. Lelaki yang baik tak hanya dia,” nasehat sang ayah.
Sheila masih menelungkupkan kepalanya seraya memeluk lututnya. Dia duduk di atas ranjang, sementara sang ayah duduk di kursi belajarnya.
“Ayah, aku ingin kembali ke Belanda. Aku ingin melanjutkan sekolah atau bekerja. Paling tidak untuk dua tiga tahun ke depan,” ujar Sheila kemudian.
Tak ada pilihan lain baginya selain melupakan semuanya. Jika dia tetap di rumah, dan setiap hari harus melewati rumah Bagas, luka hatinya akan sulit terobati.
Semua kenangan manis itu ada di sana. Meski tak melihat sosoknya, melihat apa saja yang berhubungan tentang Bagas, semakin menambah goresan luka.
“Ayah kasih waktu satu tahun. Tidak boleh lebih.” Sang Ayah menghela nafas.
Putrinya memang diajarkan untuk mandiri. Tapi, terlalu mandiri pun, justru akan mencemaskannya. Apalagi Sheila adalah putri satu-satunya.
“Tapi, Yah. Setahun itu sebentar,” sahut Sheila.
Pandangan mata Sheila masih menatap kosong di depannya. Sekitar matanya menghitam dan cekung. Tanda dia kurang tidur, pun juga terlalu banyak menangis.
“Usiamu sudah hampir dua puluh tujuh. Tiga tahun lagi kepala tiga. Ayah dan Ibu juga pengen mantu. Kamu anak perempuan ayah dan ibu satu-satunya,” sahut sang ibu. Ia ikut mendekat saat mendengar suaminya sedang berbicara dengan anak gadisnya.
“Jodoh adalah takdir, Yah, Bu. Kita tidak tahu kapan akan bertemu. Siapa tahu aku menemukan jodohku di sana,” ucap Sheila. Tatapannya terlihat mengiba di depan kedua orang tuanya.
Meski belum seminggu anak gadisnya pulang, tak tega juga Burhan dan Santi melihat anaknya terluka karena patah hati. Sheila sudah cukup dewasa dan mandiri.
Pergi menghindar adalah cara dia mengobati lukanya dan sepasang suami istri itu percaya sepenuhnya pada putri semata wayangnya.
“Aku janji akan baik-baik saja. Ayah dan Ibu nggak usah khawatir,” tandas Sheila.
Izin tinggalnya masih ada. Meski Sheila awalnya tak punya rencana menetap di Belanda, namun dia ingin mencoba peruntungan mencari kerja di sana.
Andai luka itu tak pernah ada. Bisa jadi, Sheila akan mengurungkan niatnya kembali.
“Kamu hanya cemburu saja, Nak. Kamu yang dulu menjadi perhatiannya, kini sudah berpindah ke orang lain. Waktu akan mengobati semuanya.” Sang ibu mengusap lembut punggungnya.
Benar. Dia hanya cemburu. Hatinya tak harus patah hanya sekedar kehilangan seorang Bagas. Toh, dunia tak akan runtuh dengan hilangnya Bagas dari sisinya. Semua akan baik-baik saja.
Sheila menarik nafasnya.
“Aku istirahat dulu, ya,” ujar Sheila. Dia seolah mengusir kedua orang tuanya dari kamar.
***ETW***
Setelah keputusannya disetujui oleh kedua orang tuanya, Sheila merasa semakin baik. Pagi itu dia terlihat lebih segar.
“Bu, aku pengen keluar,” pamit Sheila usai sarapan.
“Mau kemana?”
“Jalan-jalan saja. Bosen di rumah. Sekalian nyari sesuatu yang mau dibawa ke Belanda besok,” sahut Sheila.
Ada rasa kehilangan menyeruak di hati wanita setengah baya itu. Baru saja putrinya pulang, harus pergi lagi. Namun demi kebaikannya, semakin cepat akan semakin baik.
Bahkan barang-barang yang dikirim dengan jasa ekspedisi saja belum tiba. Namun, Sheila sudah memutuskan untuk kembali.
Santi tahu rasanya patah hati. Terlebih dengan seseorang yang kemungkinan akan ditemuinya setiap hari. Akan lebih baik untuk tidak bertemu, hingga waktu akan menyembuhkannya.
Sheila menyusuri pusat kota, hingga tiba-tiba dia teringat untuk mampir di kedai ayam geprek langganannya dulu saat sebelum dia berangkat ke luar negeri.
Baru beberapa hari di rumah, banyak makanan yang ingin ia nikmati dan disediakan oleh ibunya di rumah. Kini, ia hanya ingin mencoba jajanan favoritnya dulu, yang sering dinikmati bersama Bagas.
Memasuki kedai, tiba-tiba hatinya terasa nyeri kala melihat bangku di ujung, tempat favorit dirinya dan Bagas dulu, kala menghabiskan waktu tiap liburan semester. Mereka berdua akan banyak bercerita tentang kuliah dan kehidupan kampusnya sembari menikmati ayam geprek dan es capucino.
Namun, Sheila tetap saja memutuskan duduk di sana. Pojok dekat jendela, hingga dapat menikmati lalu lalang orang dipinggir jalan.
Sementara itu, Bagas yang baru pulang dari dinas luar kota, sengaja menggunakan T-shirt pemberian Sheila. Bagas berharap, kala ia tiba di depan rumah, Sheila masih seperti yang dulu.
Gadis itu biasa akan berlari menyambutnya dari balik pagar, meski hanya sekedar menyapanya. Sayangnya, harapannya musnah. Saat dia turun dari taksi, tak ada penyambutan itu. Sepi.
Tiba-tiba ia merasa ada rasa yang hilang. Yang selama ini tak pernah disadarinya.
Bagas bergegas turun dari taksi yang ditumpanginya.
Sejak menikah, sebagai anak tunggal, dia mengajak Nesa tetap tinggal di rumah orang tuanya. Setelah Nesa positif hamil dan mengalami mabuk berat, ia menyarankan Nesa berhenti kerja.
Nesa yang mendengar suara mobil berhenti, segera menghambur keluar.
Namun, mendadak langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada suaminya yang mengenakan baju yang sempat dilihatnya di story WA Bagas tempo hari.
Dada Nesa terasa nyeri.
Ini sudah hari ketiga sejak WA story itu dilihatnya. Apa suaminya tidak berganti baju. Sedemikian rindu dan cintakah ia pada wanita itu, hingga ia terus memakai baju pemberian itu. Nesa membatin.
Nesa segera menyembunyikan gundahnya. Dia pura-pura tak tahu dengan apa yang telah terjadi dan dirasa olehnya.
“Capek, Mas?” Nesa mencium punggung tangan Bagas.
Seperti biasa, Bagas masih mengecup keningnya. Tak ada yang berubah.
Hati Nesa sedikit lega dengan perlakuan suaminya, meski rasa lain masih mendera hatinya. Semoga, semua hanya prasangka dan kekhawatirannya saja. Nesa mencoba menghibur diri.
Sementara, Bagas sedikit kecewa. Dia tak menemukan Sheila atau pun tanda-tanda keberadaan Sheila di rumah sebelah. Bertahun bersahabat, Bagas bisa menebak ada atau tidaknya Sheila di dalam sana. Itu artinya, ia belum dapat menunjukkan apa yang sedang dipakainya pada sang pemberi hadiah.
Langkah Bagas terlihat gontai. Nesa dapat menangkap sebuah kekecewaan.
Tergesa, Bagas ke kamar mandi. Dia memandangi baju itu, sebelum kemudian benar-benar meletakkan di keranjang cucian. Tak mungkin memakainya lagi. Bahkan, baju itu belum dicuci sejak diterimanya.
“Mas, kita jadi kenalan sama tetangga yang baru pulang kemarin itu, ‘kan? Sheila. Ya, Sheila.” Nesa mengeja nama Sheila. Dia memang belum sempat berkenalan karena Sheila keburu kabur pagi itu.
Bagas yang baru menghempaskan badannya di sofa, menatap jam dinding.
“Sekarang aja,” ajak Bagas. Wajahnya yang murung, berubah antusias.
Dalam hati Bagas berharap tetap ada Sheila di rumah itu.
Lelaki itu sudah tak sabar ingin berbicara dengan Sheila. Dia rindu Sheila yang ceria. Bukan Sheila yang pulang dan merajuk seperti kemarin. Kalau pun merajuk, sebenarnya dia sangat ingin merayunya, seperti dulu. Menggodanya agar Sheila tak lagi ngambek.
Sementara, tanpa Bagas sadari, Nesa memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya itu. Ada rona berbeda tercipta di wajahnya, seperti suatu keceriaan.
Bukan hanya membuat tanda tanya besar di kepala Nesa. Tapi, juga kepedihan.
Rasa penasaran tentang sosok Sheila semakin besar di kepala Nesa.
Mereka berdua bergegas ke rumah orang tua Sheila yang hanya berbatas pagar.
Nesa bahkan sudah menyiapkan kue buatan tangannya, karena dia selalu tahu jadwal suaminya pulang dari luar kota. Tak mengapa dibagi untuk tetangga, toh memang itu kebiasaan Dian, mertuanya, jika memasak dalam jumlah yang banyak.
“Ayo masuk. Sheilanya sedang keluar,” ucap Santi kala membukakan pintu. Ibunda Sheila meski sudah berjarak, tetap berusaha ramah pada Bagas dan Nesa.
Ada rasa nyeri kala menatap Nesa dengan perut buncitnya. Naluri sang bunda, nelangsa membayangkan jika itu anaknya, yang kini telah cukup dewasa dan waktunya berkeluarga.
Ibunda mana yang tak mengharapkan anak perempuan satu-satunya segera menikah dan hamil seperti wanita muda di hadapannya ini?
Sebenarnya Nesa ingin masuk dan sekedar berbasa basi dengan ibunya Sheila. Hampir setahun jadi menantu di rumah sebelah, dia jarang bertemu dengan ibu Sheila ini.
Namun, buru-buru Bagas menyahut, “Kalau begitu, nanti saja, Tante.”
Setelah meninggalkan piring berisi kue, mereka kembali.
Tapi, Bagas tak langsung masuk rumah. Justru dia membuka gerbang pagar rumahnya.
“Aku keluar dulu. Bilang ke mama,” pamit Bagas seraya mengecup kening Nesa. Sama seperti hari-hari lain.
“Kamu mau kemana, Mas?” tanya Nesa. Dia memandangi suaminya yang bertingkah semakin aneh.
“Ada urusan sebentar. Nanti aku telepon,” ucap Bagas.
Lelaki itu lalu mengeluarkan mobilnya setelah mengambil kunci di dalam rumah. Sayangnya, saking buru-buru dia lupa membawa ponselnya.
BERSAMBUNG….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
