
“Mas, aku pamit, ya. Mohon maaf lahir dan batin,” tulisku melalui pesan singkat yang kukirim padanya. Biarlah dia menginterprestasikan sendiri pesan itu. Yang jelas, beberapa menit ke depan, aku akan menon-aktifkan ponselku dan besok setiba di Amsterdam, aku akan mengganti nomor baru.
BIARKAN AKU PERGI (7)
Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya. Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini?
Kuberjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi. Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku.
Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Orang-orang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.
Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.
Namun, nihil! Hingga akhirnya penumpang regular diminta berbaris.
Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan.
“Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terhubung.
Anehnya, tak ada sahutan sama sekali.
Aku tak tahu ini tidak sengaja kepencet atau orang lain yang memencetnya.
Aku tak perduli. Yang jelas aku sudah mengucapkan kata pamit.
Tak lama, panggilan pun terputus tepat aku berada di depan petugas yang memeriksa paspor dan tiketku.
Aku berjalan santai menuju badan pesawat. Udara dingin mulai terasa di pesawat yang berukuran besar ini.
Segera kupindai pandangan mencari nomor tempat duduk pesawat.
Sesuai pilihan saat memesan tiket, aku mendapatkan kursi tengah yang berderet empat.
Kenapa aku tidak memilih dekat jendela untuk menikmati panorama luar? Karena ini penerbangan malam, dan aku akan tiba di Belanda juga masih pagi. Jadi, hanya gulita yang akan terlihat dari jendela.
Selain itu, deretan kursi tengah ini sering kosong, sehingga kalau tidak ada penumpang lain, kita bisa tidur berbaring di sepanjang kursi ini.
Segera kuletakkan tas punggung di bawah kursi.
Aku memang lebih memilih meletakkan tasku di depan kaki dibanding di bagasi kabin, agar aku lebih mudah mengambil printilan jika akan ke toilet atau jika aku butuh membuka laptop.
Tiba-tiba aku teringat mengirim pesan singkat ke Mas Bayu, andaikata tadi telponku tidak terdengar olehnya.
[Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin]
Hanya itu yang aku tulis. Biarlah dia menginterpretasikan sendiri pesan itu. Yang jelas, beberapa menit kedepan aku akan mematikan ponsel ini dan setibanya di Belanda aku akan mengganti nomor baru.
--
Setelah penerbangan selama 14 jam, aku harus meregangkan otot kaki dan tanganku.
Usai melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kini aku sudah bersiap meninggalkan Bandara Schipol.
Tidak terlalu sulit menentukan arah aku harus kemana setelah ini.
Aku sendiri sudah memesan kamar di student housing di dalam kampus. Selain itu, rute dari bandara ke tempat tinggalku pun sudah aku pelajari melalui channel yout*be. Semuanya terasa mudah, bukan?
Setiba di kamar, aku memilih segera merapikan bawaanku dan bersih-bersih. Setelah ini, aku berencana browsing mencari supermarket untuk berbelanja.
Semua tentang Belanda dan kota ini sudah aku pelajari sebelum aku berangkat. Dan setelah ini aku akan keluar sekaligus mencari nomor baru untuk ponselku.
Aku bersyukur mendapat kamar yang sudah lengkap dengan kamar mandi dan juga dapur kecil didalamnya. Tak lupa semua perabot dasar seperti tempat tidur, lemari dan meja belajar pun ada. Berada disini membuat pikiranku sedikit lebih fresh.
--
Setelah tiga tahun lulus dari S1 ternyata lumayan juga memulai studi baru. Namun, aku beruntung di kampus tempat aku menimba ilmu, banyak juga mahasiswa Indonesia, meskipun di program studiku hanya aku seorang diri.
Aku sudah tak memperdulikan lagi kabar tentang Mas Bayu. Bukan aku abai. Bagaimanapun aku masih istrinya. Tapi, aku hanya bisa mengirimkan doaku setiap habis sholat. Aku berharap yang terbaik dari takdirku. Dalam hati kecilku, aku selalu berharap cinta Mas Bayu untukku.
Tetapi, mungkinkah? Sedangkan faktanya bukannya dia sudah mendua? Mungkin juga dia sudah tak ada waktu memikirkanku lagi.
Saat aku menelpon ayah dan ibu mengabarkan aku baik-baik saja dan sehat, Ayah dan ibu tak sedikitpun menyinggung namanya. Bisa jadi, memang dia tak mencariku. Ataupun, tak menanyakan keberadaanku ke ayah dan ibu.
Aku sangat menikmati hari-hari pertamaku kuliah sambil sesekali mengikuti kegiatan mahasiswa Indonesia. Rata-rata memang anak master dari Indonesia seusiaku atau lebih muda dariku. Tapi aku tidak masalah. Ada juga yang sudah berkeluarga.
Apakah kuliahnya berat? Tentu saja. Banyak tugas-tugasnya yang rata-rata dikerjakan kelompok. Sejatinya tidak begitu berat jika kita konsisten dan punya komitmen. Hanya saja sebagai anak Indonesia kadang perlu adaptasi untuk menyesuaikan ritme belajar dengan mahasiswa internasional lainnya.
“Fa, kamu minat nggak kerja part time?” tanya Mayang, salah satu pelajar Indonesia yang kamar kosannya satu lantai denganku.
Ohya, teman di sini banyak yang memanggilku dengan Fa, dibanding dengan Ra. Namun, aku suka. Ini seperti benar-benar aku lahir kembali!
“Di mana?” tanyaku antusias. Aku pikir jika aku kerja part time aku bisa punya tabungan lebih. Jadi aku bisa jalan-jalan jika libur nanti. Atau aku bisa cari sekolah lagi dengan uang tabungan jika aku tak dapat beasiswa.
Beasiswaku kan hanya setahun. Pengen sepertinya lebih lama di sini. Udaranya enak. Kotanya rapi. Dan masyarakatnya juga tidak reseh.
“Ada nih, punya orang Indonesia. Tapi sore aja. Jam 5 sore sampai jam 10 malam. Gajinya per jam 7 euro. Lumayan, 'kan?” ujar Mayang.
“Waktunya fleksibel. Asal kasih tahu dulu sebelumnya kalau kita lagi mau off,” tambah Mayang lagi.
Tentu saja aku sangat tertarik. Daripada aku banyak melamun di kosan atau sekedar browsing saat jenuh belajar. Bukannya lebih baik aku bekerja part time?
“Tapi aku kan tidak bisa Bahasa Belanda, May?” tanyaku ragu.
“Tenang. Tugas kita cuma di belakang sama bersih-bersih. Cuci piring, nyiapin makanan yang mau disajikan, sama beresin meja pas customer-nya sudah pergi. Ohya, kadang juga nganter yang delivery.” Tambah Mayang.
--
Pekerjaan di warung itu sebenarnya tidak berat. Mencuci piring pun menggunakan dishwasher. Aku juga membantu memotong sayuran, bumbu-bumbu, dan bahan masakan lainnya. Hanya saja memang saat bekerja kita banyak berdiri sehingga memang capeknya sangat terasa.
Tenang! Ini baru awal. Batinku menghibur diri.
“Fa, kamu sakit?” tiba-tiba Mbak Nadine, pemilik warung itu menanyakanku.
“Ngga mba,” jawabku tegas.
Iyalah. Ini hanya capek saja karena aku tidak pernah bekerja fisik begini. Jadi, masih penyesuaian.
“Tapi wajahmu pucat. Istirahat dulu,” ujar Mbak Nadine lagi.
Aku bersyukur punya pemilik warung yang baik hati dan super perhatian seperti Mbak Nadine ini.
Lagi pula, kalau wajah ini pucat, tentu karena ini baru pertama kali bekerja seperti ini. Besok pasti aku bisa beradaptasi.
Belum juga aku melangkah ke kursi untuk duduk, tiba-tiba..
BRUGGGG....
Tak lama, aku merasa semuanya gelap.
BIARKAN AKU PERGI (8)
--Pov Fahira--
Malam itu, Mbak Nadine mengantarkanku sampai kosan. Sedangkan sepedaku masih ditinggal di warung makan milik Mbak Nadine. Mayang masih menemani di kamar meski aku sudah menyuruhnya pulang.
“Kamu istirahat aja, Fa. Kata Mbak Nadine, besok kamu tidak usah kerja dulu,” ujar Mayang.
Aku menatapnya lekat. Jangan-jangan gara-gara insiden ini, Mbak Nadine memecatku?Padahal, aku baru mulai bekerja di tempatnya. Dan aku suka kesibukan yang seperti itu. Membuat hariku berjalan lebih cepat.
“Kalau kamu udah sehat betul, baru kasih tahu ke Mbak Nadine aja,” tambah Mayang.
“Tapi aku merasa sehat, May,” ujarku. Aku sejatinya takut kehilangan kesempatan bekerja di warung milik Mbak Nadine.
Bagiku, ini adalah kesempatan berharga dapat pengalaman bekerja di sini.
“Sudah, jangan dipaksa. Kalau kamu pingsan lagi, yang repot ngga hanya kamu. Tapi, Mbak Nadine juga bisa kena masalah, memperkerjakan kamu,” ujar Mayang.
Aku lalu mengangguk mengerti. Di Belanda tidak seperti di Indonesia, dapat memaksa-maksa bekerja karena butuh uang.
Di sini pemilik kerja bisa terkena undang-undang kalau melanggar hak asasi pekerjanya.
Okelah. Aku mengalah.
“Sebaiknya kamu ke dokter, deh. Siapa tahu kamu punya sakit apa gitu,” tambah Mayang.
“Ya, lihat besok aja. Aku sih merasa sehat tidak punya penyakit apapun,” ujarku lagi.
Mayang hanya mengedikkan bahunya, lalu dia pamit kembali ke kamarnya.
Aku memilih selonjoran di ranjangku. Kakiku benar-benar capek. Padahal baru empat jam bekerja. Gimana kalau tiap hari, ya?
Tadinya aku merasa bekerja dengan gaji 7 euro perjam lumayanlah. Hanya bekerja beberapa jam saja kali berapa hari, bisa nambah tabungan. Tapi, sekarang aku baru paham, ternyata tidak ringan juga bekerja di warung.
Tiba-tiba aku ingat orang-orang di Indonesia yang bekerja di warung makan di Indonesia. Sudah capek seperti ini, gajinya tidak seberapa. Belum lagi tak ada pensiun kalau sewaktu-waktu berhenti kerja ataupun jaminan sosial.
Duh, kenapa aku malah berpikir sampai jauh begini, ya? Mungkin juga karena aku bekerja di lembaga riset bidang sosial yang tiap hari melakukan survey ke masyarakat menengah ke bawah.
--
Sebelum ke kampus, aku mampir ke warungnya Mbak Nadine. Niat hati ingin mengambil sepeda, sekalian memberitahu ke Mbak Nadine, kalau aku sehat-sehat saja. Biasanya warung buka jam 12.00. Jam segini biasanya Mbak Nadine sudah datang untuk siap-siap dan masak.
“Goede morgen!” sapaku sambil masuk ke warung yang pintunya masih tertulis closed itu.
Tapi, mendadak, kepalaku terasa pusing. Perutku terasa teraduk-aduk.
“Apa Mbak bilang. Kamu tuh istirahat dulu. Jangan nekat,” ujar Mbak Nadine mendekatiku sambil membawa segelas air putih.
Baru meminum seteguk, tiba-tiba aku merasa perutku mual bukan kepalang. Segera aku berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut.
Mbak Nadine segera memberi minyak angin setelah aku duduk. Jaket yang kukenakan kubuka. Udara sudah berangsur dingin karena menjelang musim gugur.
“Kamu sepertinya masuk angin. Sudah istirahat saja dulu,” ujar Mbak Nadine lagi. Untung, belum jam buka toko. Jadi, tidak ada orang yang masuk ke toko kecuali pegawainya Mbak Nadine.
Aku juga heran. Aku hampir tak pernah sakit. Fisikku kuat. Kenapa tiba-tiba aku kemaren pingsan dan hari ini kepalaku menjadi pusing. Padahal, tadi aku merasa sehat-sehat saja.
Aku segera mohon diri setelah pusing di kepalaku berangsur hilang. Tepatnya setelah minum teh panas.
Sengaja kudorong sepedaku karena aku takut jatuh jika mendadak pusing menyerang.
“Lho, Mbak Fahira kok didorong sepedanya?” Sapa Mba Desty, istri dari Mas Taufan, salah satu mahasiswa Indonesia juga yang kulihat sedang mendorong stroller anaknya.
“Iya, Mbak. Kepala saya sedikit pusing, takut jatuh,” ujarku.
“Sakit ya, Mbak? Pucat begitu,” lanjut Mbak Desty sambil memegang dahiku.
“Ini sedikit demam kayaknya, Mbak,” ujarnya lagi.
Lalu ibu muda itu menasehatiku untuk istirahat.
Kata Mbak Desty, dokter di sini biasanya hanya menyarankan istirahat jika tidak sakit parah.
Aku hanya mengangguk lalu memohon diri karena jalan ke rumah Mbak Desty berbeda dengan arah ke kosanku.
[May, kamu obat sakit kepala nggak? Aku nggak jadi kuliah, kepalaku pusing]
Kukirim pesan ke Mayang.
Mayang memang kuliah di fakultas yang berbeda denganku. Tapi, karena tinggal satu gedung, kami jadi dekat.
Aku dan Mayang udah seperti sandal jepit. Kemana-mana bersama. Hanya jadwal kuliah saja yang membuat kami tidak pergi bersama.
Tet tet Tet.
Baru aku akan merebah karena pusing belum pulih, bel kamar sudah berbunyi. Suara Mayang pun menyusul.
“Kamu masih sakit?” tanya Mayang.
Ternyata dia belum membawa obat pusing yang kutanyakan.
“Aku ke toko obat dulu. Kamu mau nitip apa sekalian?” tawar Mayang.
Dia memang baik sekali. Ringan tangan. Tiap ke supermarket pasti menawarkanku mau nitip apa.
“Eh, kamu kalau pake pembalut merek apa sih? Aku belum nemu yang cocok. Pembalut di sini tipis-tipis. Harganya juga mahal. Kemaren aku coba yang harganya agak miring, ternyata kurang nyaman,” ujar Mayang.
Tiba-tiba aku terdiam, tertegun sejenak dengan pertanyaan Mayang.
“Pembalut? Aku bahkan belum pernah beli selama di sini. Aku bawa dari Indonesia aja masih utuh,” sahutku apa adanya.
“Whatt?! Emang kamu belum mens?” tanya Mayang keheranan.
Aku mengerutkan dahiku. Benar juga ya? Sudah dua bulan di sini. Aku belum mens. Padahal biasanya mensku lancar. Bahkan sering maju.
“Palingan stress, May. Namanya juga penyesuaian,” ujarku enteng.
Kata orang, jika stress bisa menyebabkan siklus haid tidak lancar. Bisa jadi juga karena kemaren aku datang ke sini karena masalah yang menumpuk.
“Ya sudah. Aku beli obat dulu ke depan,” ujarnya sambil beranjak dari kamarku.
--
---Pov Author---
Mayang memarkir sepedanya di depan gedung tempat tinggalnya. Lalu mengeluarkan dua kantung besar belanjaannya dari tas sepedanya.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat ada yang menyapanya. Seorang pria yang sepertinya berasal dari Asia. Usianya masih muda. Masih cocok untuk menjadi mahasiswa seperti dirinya.
“Dari Indonesia?” tanya lelaki yang tampak di wajahnya seperti kelelahan. Lelaki itu memakai jaket warna hitam dan membawa tas punggung ukuran medium. Tampaknya tas itu hanya berisi laptop dan beberapa potong baju.
“Iya. Ada yang bisa dibantu?” tanya Mayang sedikit iba namun sekaligus curiga.
Kata orang, di negara majupun juga ada juga orang yang statusnya illegal. Biasanya mereka bekerja sebagai pekerja serabutan dan tidak punya ijin tinggal yang sah. Sehingga, dengan penampilan pria ini, Mayang sedikit merasa takut.
“Saya mencari istri saya,” ujar lelaki itu sambil menunjukkan foto di ponselnya.
Seketika mata Mayang membulat saat melihat foto yang ditampilkan itu. Dia memindai kembali lelaki itu. Takut ini penipuan. Lelaki yang didepannya tampak tidak terurus. Bukan lelaki baik-baik. Tidak! Mayang tidak akan mengatakannya. Dia harus menyelamatkan sahabatnya.
Mayang menggeleng. Lalu berlalu dari hadapan pria itu. Beruntung, masuk lift di gedungnya harus menggunakan kode. Jadi tak sembarangan orang bisa masuk. Sehingga pria itu tak mungkin mengejarnya.
--
-Pov Fahira-
Tet tet tet
Aku segera bergegas membuka pintu kamar saat ada bel berbunyi.
Di ambang pintu, Mayang berdiri dengan wajah yang penuh kecemasan. Dia langsung menyerobot masuk dengan dua kantung belanjanya.
Setelah mengeluarkan obat dari kantongnya, dia mengambilkanku minum dari air kran. Ohya, kita biasa minum dari air kran, ya. Karena air kran di sini adalah drinking water, aman diminum langsung.
“Berapa?” aku segera mengambil nota belanjaannya. Kebiasaan kami jika saling menitip adalah segera membayar sesuai struk belanjaan dengan cara menstransfernya. Aku sudah punya nomer rekening Mayang, begitu juga Mayang.
“Coba, kamu cerita padaku. Kamu harus jujur!” tiba-tiba Mayang menarik kursi belajarku dan duduk menghadap padaku. Mukanya kelihatan serius.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Apa kamu meninggalkan masalah serius di Indonesia?” tanya Mayang. Tatapannya sangat tajam mengintimidasiku.
Aku tahu, Mayang orangnya sangat care dan perhatian. Selama ini kami memang sering bercerita satu sama lain.
Hanya saja, aku belum pernah bercerita tentang alasanku ke Belanda. Aku hanya cerita keluargaku, pekerjaanku dan semua yang menyenangkan.
--
BERSAMBUNG…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
