
“Hei, kenapa kamu nangis?” tanya Mas Bayu sambil mengusap air mataku.
“Aku kangen ayah, Mas. Boleh ya aku kesana? Nanti aku bilang ke Ayah kalau kamu sedang sibuk,” rajukku.
Aku hanya ingin mendapatkan ijinnya yang terakhir kali. Sebagaimana aku selalu ijin kemanapun aku pergi. Setelah itu, biarkan aku menentukan jalanku.
“Baiklah. Nanti kamu kabari aku ya kapan kamu berangkat. Biar aku telpon Ayah untuk minta ijin kalau aku tidak bisa mengantarmu. Sudah kamu tidak usah sedih,” ujarnya sambil mengacak kepalaku.
BIARKAN AKU PERGI (4)
Aku mengulurkan tangan, menyalami wanita yang sepertinya lebih dewasa dari usiaku.
Kelebihannya? Aku tak punya kesan mendalam. Sepertinya biasa saja. Tetapi kata orang, cinta pertama bisa jadi sulit dilupakan.
Kuberikan seulas senyum padanya, lalu aku memilih ke belakang.
Aku sudah menganggap rumah mertuaku ini seperti rumah sendiri. Biasanya aku akan segera ke dapur jika berkunjung ke sini. Mengeluarkan makanan yang kubawa dan menghidangkan kembali untuk kedua orang tua Mas Bayu.
Di rumah mertuaku ini, ada Bi Darmi yang suka bantu-bantu. Aku juga sering mengobrol dengannya jika datang ke rumah ini. Mendengarkan ceritanya. Tapi, hari ini kurasa tatapan Bi Darmi sedikit berbeda. Entah apakah ini hanya perasaanku?
“Bi, aku masak dimsum nih. Papa dan mama biasanya suka.” Kukeluarkan kotak makan ukuran besar dari tas jinjing yang kubawa. Lalu bergegas kuambil piring besar untuk menyajikan dan mangkuk buat sausnya.
Kulihat Bi Darmi sebentar-sebentar melirik padaku. Tapi, dia memilih diam. Padahal biasanya dia banyak bicara. Membicarakan anaknya, kambingnya, bahkan tetangga-tetangga mertuaku yang aku sebenarnya tak mengenalinya.
“Bi, aku keluarin ini. Bibi bawa piring kecilnya, ya,” ujarku kemudian memecah kehebingan.
Sebenarnya aku tidak menyukai suasana kebisuan seperti ini. Sepertinya ada yang aneh. Misalnya, biasanya kamar Mas Bayu yang aku pakai istirahat biasanya pintunya terbuka, kini tertutup rapat.
Bahkan, tadi aku mencoba membukanya untuk meletakkan tas selempang, ternyata pintunya dikunci.
Baiklah. Aku tetap akan menjadi menantu yang baik bukan?
Kupelankan langkah saat hendak mencapai ruang tamu. Menguping pembicaraan orang tentu bukan sesuatu yang baik. Tetapi, aku pura-pura menunggu Bi Darni yang kuminta membawakan piring kecil yang belum datang.
“Mama tidak mau jika orang tua Fahira sampai tahu hal ini,” ujar mama Mas Bayu.
Aku hanya bisa menahan nafas. Entah apa yang dibicarakan, tapi mereka menyebut namaku.
Segera pura-pura kupanggil Bi Darmi agar mereka mengalihkan pembicaraan sebelum aku datang. Aku tak mau mereka kaget dengan kemunculanku di ruang tamu.
“Piringnya ada?” tanyaku dengan suara agak keras. Bi Darni mengangguk. Kami berdua kemudian menyajikan makanannya.
“Ira tadi buat dimsum nih pa. Ini ada yang udang sama ayam,” jelasku memecah kecanggungan. Kuambilkan papa mertua empat buah dimsum lalu kutuang saus di atasnya. Begitu juga untuk mama mertuaku.
“Mba Nabila, silahkan ambil, Mba,” kutawarkan ke tamu itu sebelum mengambilkan untuk Mas Bayu, karena aku ingin menghormatinya.
Wanita itu menatapku lalu tersenyum. Entah senyum yang dibuat-buat ataukah senyum karena aku mempersilahkannya.
Aroma dimsum yang masih agak hangat ini memang menggugah selera.
Tak sampai setengah jam, dimsum yang aku sajikan sepiring besar sudah tandas. Untung aku menyisakan beberapa di belakang untuk Bi Darmi.
“Masakanmu semakin enak,” ujar mama mertua. Tapi kini kurasa sedikit hambar pernyataan mama itu.
Dulu, aku biasa curhat dengan mama mertua tentang masakan yang aku coba bikin, lalu aku membawa hasilnya ke mama untuk dinilai. Mama selalu memujiku dan aku senang. Ini seperti hiburan saat Mas Bayu belum bisa menerimaku.
Kini, pujian mama terasa seperti tusukan sembilu. Semua usahaku seolah tak ada artinya. Hati Mas Bayu telah berpaling meski aku berusaha keras meraihnya.
“Nanti Fahira bisa bikin resto. Papa yang investasi, ya?” ujarku sambil melirik ke Mas Bayu.
Namun, sepertinya guyonku terasa hambar. Apakah kehadiran wanita itu yang membuat suasana berubah.
Terakhir aku ke sini, meskipun Mas Bayu masih terasa garing, tapi papa dan mama selalu menanggapi gurauanku dengan gurauan yang lain. Namun, barusan kulihat mereka hanya saling berpandangan.
“Mas Bayu, jadi mau pergi jam berapa?” tanyaku untuk memecah kecanggungan.
Kulihat papa dan mama ekspresinya makin aneh. Wanita itu juga sesekali melirik ke Mas Bayu. Entahlah. Aku merasa menjadi seseorang yang terbuang di sini.
Seingatku, jika kita dikenalkan dengan teman lama, bukannya dia akan menjelaskan kesan apa tentang teman lama itu.
Tapi, ini tidak. Bahkan Mas Bayu tak mencoba menjelaskan siapa wanita itu dan mengapa ada disini? Bisa kan dia mengatakan, dia disini mencariku karena sudah lama tidak ketemu. Atau mengatakan mau ada reunian, jadi dia meminta jadi panitia. Atau apa saja yang berhubungan dengan teman lama.
Tapi, ya sudahlah. Mungkin dua tahun tak cukup aku menjadi bagian dari keluarga ini. Dan mungkin inilah saatnya aku untuk mengalah.
“Mas, katanya mau ketemu temenmu. Nanti terlambat lho,” ujarku lagi mengingatkan.
Sebenarnya, ini hanyalah alasan belaka karena aku ingin pergi secepatnya dari sini. Sepertinya tak ada lagi alasan untuk bertahan.
“Oh ya, Ma. Kemarin aku habis dinas. Maaf lama tidak ke sini. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk mama dan papa.”
Kuangsurkan goodie bag berisi kain tenun khas salah satu daerah yang kukunjungi saat mengambil data di wilayah timur Indonesia.
Aku juga memberikan oleh-oleh untuk Bi Darmi sebelum aku berpamitan. Bisa jadi ini terakhir kalinya aku ke sini.
Ada rasa sesak di dadaku. Kupindai semua sudut rumah ini sebelum aku benar-benar berpamitan ke papa dan mama. Kupeluk keduanya.
“Ma, Pa, maafin Fahira ya,” kubisikan kata maaf saat memeluknya, agar aku tak hutang maaf jika aku benar-benar meninggalkan mereka.
Mama dan papa saling berpandangan melihatku sedikit menyeka air mata yang tak sengaja mengalir. Tapi, tak lupa segera kuulas kembali senyum.
Aku tak ingin mereka tahu jika aku sudah mengetahui rencana mereka. Aku hanya ingin meninggalkan kesan baik kepada mereka jika mereka tak menemukanku lagi.
Ada ganjalan dalam hatiku, mengapa wanita teman Mas Bayu itu masih disana. Bahkan, ketika kami pamit, sepertinya tidak ada niatan segera berpamitan?
Tetapi, ya sudahlah. Mungkin mama dan papa mertua memang akan menggantikanku dengannya. Dan kepergianku tentu tak akan membuat mereka repot harus menyembunyikan hubungannya dengan Mas Bayu kan?
“Kamu kenapa, Ra?” tanya Mas Bayu sambil meraih jemariku. Aku segera menoleh ke arahnya yang masih fokus menyetir.
Begini memang Mas Bayu, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Apakah semua lelaki seperti ini? Pandai bersandiwara? Atau dia sedang latihan mendua?
“Aku sedih, Mas. Ternyata kita cukup lama tidak mengunjungi papa dan mama,” ujarku kemudian.
Aku memang sedih karena merasa terbuang. Tapi, aku tidak bohong jika kami sudah lama tidak berkunjung. Tepatnya aku yang lama tidak berkunjung, entahlah kalau mas Bayu. Bisa jadi dia diam-diam tanpa mengajakku datang ke sana bukan? Toh, itu rumahnya juga.
“Maafin aku, ya,” ujar Mas Bayu sambil mengusap kepalaku.
“Mas, kita juga sudah lama tidak ke ayah dan ibuku.” Aku mencoba mengingatkan Mas Bayu.
Memang ayah ibuku tinggal lebih jauh dibanding orang tua Mas Bayu. Tapi seharusnya tidak ada alasan tidak mengunjunginya, karena kami masih belum ada kerepotan mengurus anak, ataupun kerepotan kendaraan.
“Iya, Ra. Nanti kita atur habis aku ke luar kota, ya,” ujarnya sambil menepuk lenganku dengan tangan kirinya.
Aku hanya mengangguk.
Setiba di rumah, Mas Bayu hanya menurunkanku dari mobil. Dia buru-buru pergi untuk bertemu teman, katanya. Tak lupa dia memberikan kecupannya sebelum meninggalkanku.
Aku segera membersihkan diri dan berganti baju. Rasa malas membuatku ingin mengurung saja di kamar sambil membuka laptop.
Sebenarnya aku malas untuk mencari tahu tentang Mas Bayu. Sudah cukup rasa pedihku dibuang oleh keluarga Mas Bayu, meskipun itu hanya perasaanku saja. Meskipun mereka tak mengeluarkan kata apapun kepadaku. Aku tahu, karena mereka masih segan kepada kedua orang tuaku.
Bagaimanapun yang mengajak perjodohan ini adalah orang tua Mas Bayu, bukan orang tuaku. Tentu saja posisi tawar orang tuaku lebih kuat jika keluarga Mas Bayu akan mengembalikanku ke orangtuaku.
Tetapi, aku harus benar-benar mencari bukti sebelum aku melangkah jauh.
Visa studi sudah di tangan. Aku tinggal mengeksekusi tiket. Tapi aku harus mencari tanggal yang tepat saat Mas Bayu sibuk. Aku tidak mau Mas Bayu atau keluarganya mencegahku.
Kubuka aplikasi GPS dan kumasukkan nomor Mas Bayu.
Ah, dia kembali lagi ke rumah mertuaku tadi ternyata. Mungkin pembicaraan tadi belum usai. Mungkin teman yang mau ditemui Mas Bayu memang Nabila yang tadi sudah ada disana. Tapi, mengapa Mas Bayu tidak jujur saja? Atau mertua tidak jujur saja kepadanya?
Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat.
Percuma untuk marah. Mereka memang sudah bersepakat membuangku. Lebih baik aku duluan yang pergi sebelum mereka mencampakkanku.
Ya Tuhan, hilangkanlah rasa benci dan dendam di hati ini. Tiba-tiba aku teringat ke misi awalku. Aku hanya boleh meninggalkan kenangan yang baik saja. Tanpa sakit hati.
Kubuka kembali akun medsos yang jarang aku pakai ini. Kulihat akun Nabila dan mas Bayu dari akunku. Tak ada update terbaru. Mungkin di setting hanya teman-temannya yang bisa melihat.
Tanpa pikir panjang, aku sign in kembali di akun Mas Bayu. Jantungku berdebar saat kulihat beberapa notifikasi di sana. Aku klik notifikasi itu yang mengarah pada postingan terbaru. Tepatnya postingan Nabila. Meskipun itu tidak di tandai ke akun Mas Bayu, tetapi postingan teman yang sering berinteraksi dengan kita kadang ditandai dengan notifikasi.
[H-7]
Postingan itu singkat dan tentu saja menyiratkan sebuah arti. Artinya, Nabila sedang mempersiapkan sesuatu yang besar dengan menghitung mundur.
Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Bayu ke luar kota?
Ah, sayangnya aku tidak kenal dengan satu orang pun teman kantor Mas Bayu untuk ditanya. Namun, jikalau aku kenal, apa tidak mencurigakan jika aku menanyainya.
Segera kutinggalkan akun mas Bayu. Kututup akun itu agar tidak berjejak. Sepertinya aku harus menggunakan cara sedikit ‘kasar’ untuk mengetahui rencana besar Mas Bayu.
Kubuka akun kalender milik Mas Bayu. Biasanya orang sibuk seperti dia akan menandai kalendernya.
Dan, benar! Aku sudah mendapatkan jawabannya sekarang.
--
BIARKAN AKU PERGI (5)
Mas Bayu pulang sudah larut malam. Mungkin banyak yang harus dia persiapkan di rumah orang tuanya, atau bisa jadi dengan wanita tadi.
Aku tak ingin banyak bertanya. Aku tak ingin mencecarnya dengan pertanyaan yang mungkin membuatnya tertekan, lalu memilih berbohong. Aku ingin dia bahagia dengan kondisinya saat ini.
Mas Bayu segera mengambil baju gantinya dan beranjak ke kamar mandi begitu masuk kamar.
Aku sendiri memilih pura-pura tidur saat dia masuk dan pura-pura tidak terbangun saat dia menyalakan lampu. Padahal, aku sebenarnya sudah bersiap dengan kejutan.
Malam ini mungkin malam terakhirnya bersamaku. Atau bisa jadi aku masih memiliki satu malam lagi dengannya jika dia tidak punya acara lain. Makanya, tadi sore aku sengaja membersihkan daki-daki dari tubuhku, memanjakan diri dengan lulur yang aromanya wangi dan kelembutan kulitku masih sangat terasa. Bahkan aku sengaja menggunakan baju tidur terbaikku agar aku terlihat istimewa di mata Mas Bayu saat ia berada di dekatku.
Aku ingin menghadirkan kenangan terbaik untuknya, untuk terakhir kali.
Meskipun Mas Bayu kuketahui ada wanita lain di luar sana, tetapi sikapnya padaku untuk yang satu ini tidak berubah.
Entah ini pura-pura agar aku tidak mengendus niat besarnya, namun, bagiku itu tak menjadi masalah. Toh, aku sebenarnya masih mencintainya. Yang penting dia tidak melakukan perbuatan yang terlarang.
Sesuai kalendernya, dia akan cuti mulai Hari Senin besok.
Dugaanku, dia baru akan jujur mengatakannya setelah dia melewati semuanya hingga aku harus menerimanya.
Bukan aku mau menolaknya, bukan. Tapi, aku hanya tidak rela. Apakah aku salah? Apakah aku salah jika aku ingin memiliki Mas Bayu utuh tanpa ada yang menganggu hubungan kami? Apakah aku egois?
Baiklah, aku memang kalah. Aku memang menyerah. Dan aku memilih pergi.
Kupejamkan mataku. Tak terasa airmatakupun meleleh. Hingga aku tak sadar Mas Bayu sudah berbaring disebelahku.
“Kamu belum tidur, Ra?” ujar Mas Bayu sambil memiringkan badannya menghadapku.
Segera kuseka airmataku dengan punggung tanganku. Beruntung Mas Bayu tidak menyalakan lampu kamar ini, sehingga aku tak perlu cemas jika mataku terlihat sembab usai menangis.
“Kamu wangi, Ra,” ujarnya seperti menyadari sesuatu.
“Hmm. Karena besok kamu mau pergi. Aku bakal kangen sama kamu,” ujarku parau.
Aku memang sedang galau karena merasa akan segera kehilangannya. Waktu tiga bulan sepertinya berjalan begitu cepat. Persiapan batin yang sebenarnya telah kusiapkan buktinya tak cukup mampu membuatku tegar.
“Aku juga pasti akan kangen kamu,” bisiknya. Aku hanya bisa menggigit bibirku sambil menahan linangan air mataku yang mulai menggenang.
Apakah benar dia akan merindukanku? Bukankah dia sudah memutuskan memiliki pilihan lain di samping aku? Apakah lelaki tak cukup mencintai satu wanita saja? Apakah aku egosi jika tak mau berbagi?
Malam ini aku menyerahkan diriku dengan sepenuhnya ketundukanku.
Maafin aku ya, Mas dengan keputusanku, bisikku dalam hati. Maafin aku yang akan pergi dari kehidupanmu karena ketidakmampuanku membagi hatimu untuk yang lain. Aku terlalu naif untuk bisa menerimanya mas. Maaf, aku tak berani untuk disandingkan. Aku tak berani untuk menjadi pelengkap orang lain dihatimu.
--
Aku membantu memasukkan baju-baju Mas Bayu ke kopernya. Kebiasaan yang memang selalu aku lakukan jika dia mau ke luar kota.
“Mas, boleh ngga aku ke rumah ayah dan ibu saat kamu ke luar kota?” tanyaku saat usai merapikan kopernya.
Mas Bayu menoleh ke arahku lalu menatapku lekat.
“Kamu sabar ya, Ra. Habis aku dari luar kota, aku janji nganter kamu ke ayah dan ibu,” ujarnya sambil mendekat ke arahku. Lalu menggenggam jemariku.
Tanpa sadar, airmataku sudah meleleh. Entah haru karena perhatiannya, entah aku benar-benar merasa kehilangan.
Apakah ini benar hari terakhirku bersamanya? Apakah aku jahat meninggalkannya? Apakah aku berdosa pergi tanpa ijinnya? Tapi aku tak bisa menahan diriku yang remuk bersandiwara menunjukkan kebahagiaan dengan hatiku yang terluka.
“Hei, kenapa kamu nangis?” tanya Mas Bayu sambil mengusap air mataku.
“Aku kangen ayah, Mas. Boleh ya aku kesana? Nanti aku bilang ke Ayah kalau kamu sedang sibuk,” rajukku.
Aku hanya ingin mendapatkan ijinnya yang terakhir kali. Sebagaimana aku selalu ijin kemanapun aku pergi. Setelah itu, biarkan aku menentukan jalanku.
“Baiklah. Nanti kamu kabari aku ya kapan kamu berangkat. Biar aku telpon Ayah untuk minta ijin kalau aku tidak bisa mengantarmu. Sudah kamu tidak usah sedih,” ujarnya sambil mengacak kepalaku. Aku selalu merasa senang jika dia melakukan ini padaku. Aku merasa menjadi anak kecil dan dia pelindungku. Tapi itu dulu.
Sekarang? Apakah Mas Bayu akan tetap menjadi pelindungku setelah ini? Apakah dia bisa melindungiku setelah membagi hatinya?
Aku mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
Tanpa sadar aku langsung menghambur ke pelukannya. Aku tak peduli lagi dengan perasaannya padaku. Aku harus memeluknya. Bisa jadi ini pelukan terakhirku.
“Mas, aku minta maaf ya, jika aku banyak salah,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku benar-benar merasa ini adalah hari terakhirku bersamanya.
“Kamu ini. Kayak aku ngga pernah keluar kota saja,” ujarnya sambil melepaskan pelukanku.
“Kamu mau makan malam di luar nanti?” tanya Mas Bayu.
Mataku seketika membulat. Ini benar-benar tawaran yang tidak aku duga. Mas Bayu jarang mengajakku keluar makan atau jalan-jalan. Aku lebih banyak menghidangkan masakanku kepadanya dibanding makan di luar.
Kini aku baru sadar, apakah Mas Bayu merasa tak nyaman jalan bersamaku? Sehingga dia memilih menghabiskan waktu di rumah di banding jalan di luar sebagaimana pasangan muda yang berpacaran?
--
Malam itu aku dan Mas Bayu sudah duduk di sebuah restoran Jepang. Mas Bayu tampak sudah terbiasa makan di sini. Tapi aku justru merasa tersanjung karena Mas Bayu beberapa kali melayaniku dan menawariku ini itu. Sedangkan aku, memilih duduk manis sambil melihatnya yang berlaku manis padaku.
Aku menikmati makanan sambil ngobrol dengan Mas Bayu. Obrolan ringan. Mas Bayu sebenarnya orangnya asyik diajak ngobrol. Hanya saja memang dua tahun pertama kami masih banyak penyesuaian.
Tiba-tiba raut muka Mas Bayu sedikit berubah. Aku pura-pura tidak tahu dengan perubahan roman mukanya sambil terus berusaha berbicara. Tapi, di menit berikutnya seseorang datang menghampiri kami.
Belum sempat laki-laki yang mendekat diikuti seorang wanita itu bicara, Mas Bayu sudah memberiku kode untuk segera beranjak.
Tetapi sebelum meninggalkannya, aku sekilas melihat pria itu mengamatiku. Aku sedikit bingung. Namun, aku memilih mengikuti Mas Bayu saja.
Memang aku bodoh. Tapi aku memang tak menyukai konflik. Aku tak mau membuat masalah.
BIARKAN AKU PERGI (6)
“Kenapa, Mas? Kok buru-buru?” tanyaku saat kami sudah di mobil.
Sebenarnya aku penasaran dengan pria tadi. Aku ingin mendapat informasi dari Mas Bayu. Tapi sepertinya dia enggan menjawabnya.
“Sudah malam, Ra. Besok aku berangkat pagi-pagi. Kamu juga harus kerja, 'kan?” sahut Mas Bayu retoris.
Aku hanya mengangguk. Ah, Mas Bayu banyak juga rahasiamu.
Sepertinya memang banyak hal yang aku tak tahu tentangmu. Apakah ini memang karena aku tak pantas menjadi pendampingmu? Atau aku memang tak layak menjadi orang yang kamu percaya?
--
“Mas, kamu keluar kota pake mobil?” tanyaku saat melihat Mas Bayu meletakkan tasnya di bagasi mobil.
Biasanya Mas Bayu pergi keluar kota dengan pesawat. Jadi, dari rumah ia berangkat dengan taksi. Tetapi, hari ini kenapa dia menggunakan mobil?
Mas Bayu terlihat sedikit gugup. Tapi, aku pura-pura tak melihat perubahan wajahnya itu.
“Nanti bareng temen, Ra. Aku titipin di rumah teman mobilnya,” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu, jangan lupa bawa kunci rumah cadangan ya, Mas. Khawatir pas kamu pulang aku masih di rumah Ayah,” ujarku mengingatkan.
Meskipun sebenarnya dia sudah biasa membawa kunci rumah sendiri. Aku hanya khawatir saat aku tidak ada, dia tidak bisa masuk rumah.
Mas Bayu menatapku sambil menunjukkan kunci yang ada di laci mobilnya. Sebelum dia menaikkan kaca mobil di bagian kemudi, tak lupa aku mendekatinya dan membungkukkan badanku lalu memintanya mencium pipiku sekali lagi.
Segera kulambaikan tangan ketika dia mulai menjalankan mobilnya. Kupandangi kepergian Mas Bayu hingga mobilnya menghilang di tikungan.
Aku segera masuk ke dalam rumah. Hari ini jadwalku mengambil visa di kedutaan. Selain itu, aku juga harus berpamitan ke teman-teman kantor. Hari ini hari terakhirku karena besok aku harus mengurus persiapan keberangkatan.
Aku memang sengaja menunggu Mas Bayu berangkat ke luar kota untuk mempersiapkan semuanya. Tidak mungkin aku menyiapkan koper ukuran besar dan mem-packing-nya saat ada Mas Bayu.
Semua dokumen penting pun juga kumasukkan ke dalam tas. Aku tak berniat membawa dokumen apapun milik Mas Bayu.
Kusiapkan koper ukuran lebih kecil. Besok pagi-pagi aku berniat terbang ke kota kelahiranku. Menemui Ayah dan ibu, serta menceritakan semuanya. Kuharap, mereka memberi restu akan kepergianku.
Aku mempersiapkan kata-kata terbaikku agar Ayah dan ibu tidak terluka, ataupun marah pada keluarga Mas Bayu. Aku ingin keluargaku bisa menerima semuanya dengan lapang dada.
--
Hari kedua kepergian Mas Bayu. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Mungkin dia sibuk. Biasanya juga begitu. Kami hanya saling menghubungi jika ada hal yang sangat penting. Kecuali satu dari kami sedang iseng, baru kami akan menanyakan kabar. Jika tidak, kami hanya akan berkabar jika diperlukan.
Aku tiba di Yogya pukul sembilan pagi. Rencanaku menghabiskan waktu dua hari di sini sebelum pergi meninggalkan Indonesia.
Seperti janjiku, sebelum bertemu Ayah dan Ibu, aku mengabarkan ke Mas Bayu jika aku sudah ada di Yogya. Aku memberi tahu Mas Bayu agar menelponnya setelah bertemu kedua orangtuaku.
“Apa Bayu sibuk sekali sampai dia tak bisa mengantarmu?” ujar Ayah usai menutup telepon dari Mas Bayu.
“Sebenarnya Mas Bayu mau mengantar, Ayah. Tapi Ira ada sesuatu yang ingin Ira sampaikan sebelum Mas Bayu menyampaikan sesuatu ke Ayah,” ujarku kemudian.
Pagi itu juga aku menceritakan apa yang kulihat dan dengar, meskipun aku tak punya buktinya nyatanya. Aku sampaikan ke ayah dan ibu jika aku tak sanggup untuk melihat kenyataannya.
Mungkin setelah pergi, aku bisa menunjukkan kenyataannya kepada ayah dan ibu.
Ibu yang ada di sebelahku serta merta memelukku. Dia seolah mengerti dengan apa yang kurasakan. Pedihnya tidak menerima cinta seutuhnya saat kita berusaha mencintai, tapi akupun tak bisa berbuat apa pun. Bukankah cinta tak bisa dipaksakan?
“Kalau kamu mau, Ayah dan Ibu bisa menyelesaikan sebelum semuanya terlanjur,” ujar Ayah.
Ada rona penyesalan sekaligus kemarahan di wajahnya. Mungkin menyesal pernah menjodohkanku dengan pria yang tidak mencintaiku. Tepatnya belum mencintaiku.
Dulu ayah sangat yakin, cinta bukanlah modal utama dalam suatu pernikahan. Dan cinta akan tumbuh layaknya tanaman yang harus dipupuk dan disiram. Jika aku bisa selalu menghadirkan kenyamanan buat Mas Bayu, tentu saja, cinta Mas Bayu akan bersemi.
“Ira hanya mohon Ayah dan Ibu mau merestui rencana Ira,” ujarku.
Jika pun ayah dan ibu mau menuntut tanggung jawab orang tua Mas Bayu, tapi lalu apa?
Apa aku akan bisa mendapatkan Mas Bayu seutuhnya?
Aku takut Mas Bayu hanya akan menerimaku sebagai wujud tanggung jawab saja, tapi cintanya bukan untukku. Aku takut di belakangku Mas Bayu masih mencintai orang lain. Aku belum bisa menerimanya untuk saat ini.
“Fahira, kamu saat ini masih istri Bayu. Kamu harus mendapatkan restu dan ridho darinya kemanapun kamu pergi. Agar hidupmu aman dan berkah,” ujar ibu menasehatiku.
Aku tahu, ibu adalah pribadi yang penurut. Ibu pula yang mengajariku untuk itu. Menurut kepada suami. Bahkan berusaha mencintainya sebelum dia mencintaiku. Aku harus mencintainya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan.
Tetapi, mengingat itu, justru air mataku yang meleleh.
Apakah aku tidak tulus selama ini? Hingga aku merasa terluka ketika tahu Mas Bayu tidak membalas cintaku?
“Baik, Ayah, Ibu. Besok sebelum Ira berangkat, Ira akan mohon restu Mas Bayu. Tapi, Ira mohon Ayah dan Ibu tak perlu memberi tahu kemana Ira pergi. Ira yang akan memberitahukannya sendiri,” ujarku.
Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan. Aku hanya ingin tahu seberapa cinta Mas Bayu terhadapku.
Akankah informasi dari ayah dan ibu bahwa aku baik-baik saja sudah cukup.
Atau, dia akan mencari informasi yang lain. Tetapi, meski begitu aku tak mengharap lebih dari nya.
Aku tahu, aku bukanlah prioritas baginya.
Buktinya? Dia tak mengatakan saja yang sebenarnya kepadaku. Termasuk fakta kalau menurut kalender kerjanya dia sebenarnya saat ini sedang cuti, bukan bekerja. Meskipun dia memang tidak bohong.
Dua hari di rumah ayah dan ibu. Keduanya memperlakukanku dengan baik. Ada rasa prihatin di wajah mereka tiap kali melihatku. Tapi, aku yakinkan ke mereka kalau aku biasa saja. Aku kuat. Kulakukan semua ini hanya karena aku perlu ketenangan untuk menerima takdirku. Aku tak menolaknya. Tapi aku hanya butuh waktu.
Saat ini, aku tak tahu kemana aku harus sembunyi. Jika aku hanya ke rumah ayah dan ibu, tentu saja Mas Bayu akan mudah mencariku dan membujukku kembali. Dan itu bukan yang aku harapkan.
Aku hanya wanita yang lemah. Aku bukanlah orang yang pandai menuntut hak. Terlebih memang posisiku juga lemah. Aku bukan siapa-siapa yang punya jasa ke Mas Bayu. Tentu saja, dia akan sangat mudah melepaskanku. Dan aku belum siap untuk itu. Belum siap andaikata dia mengucapkan perpisahan itu. Aku butuh waktu. Aku butuh menyiapkan mentalku.
Hanya satu pilihanku. Pergi ke tempat lain yang tak mudah Mas Bayu menemukanku.
Tentu saja, sebenarnya dia bisa menemukanku. Apa sih yang tidak bisa saat ini. Tapi, saat ini yang terpenting, dia akan butuh waktu untuk dapat mencariku.
Biarlah saat dia menemukanku, mentalku sudah siap menerima segalanya.
Setelah memasukkan dua koper besarku di counter check in, aku segera melangkah memasuki imigrasi bandara.
Sebenarnya masih banyak waktu. Penerbanganku masih jam 10 malam. Tapi, aku memilih menunggu di dalam ruang tunggu bandara. Tak ada sanak saudara atau teman yang mengantarkan kepergianku. Tapi memang inilah pilihanku. Aku memang tak mau meninggalkan jejak kepergianku.
Sesuai janjiku kepada ayah dan ibu, aku akan pamit pada Mas Bayu, untuk terakhir kalinya. Kutekan nomornya untuk melakukan panggilan video. Tapi tak diangkat. Mungkin sudah terlalu malam.
Jam di ruang tunggu bandara sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Sambil menunggu panggilan diangkat, aku memilih membuka laptop. Tanpa aku sadar, aku masuk ke aplikasi biru milik Mas Bayu. Mungkin karena aku beberapa kali menggunakan email dan password-nya sehingga aku tak sadar melakukannya kembali.
Tiba-tiba tanpa sadar aku membuka story yang ada di aplikasi biru itu. Air mataku hampir luruh saat tak sengaja story milik Nabila terbuka.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Salsabila binti…..”
--
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
