
“Nabila, apa kamu mengangkat panggilan dari Fahira?” tanyaku dengan cemas. Wanita yang masih memakai baju pengantin itu hanya terdiam. Lalu membuang muka.
“Jawab Nabila!”
BIARKAN AKU PERGI (9)
POV BAYU
Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan aku pacaran dengan Nabila selama 8 tahun meski akhirnya putus karena Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya.
Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon dari orang tuanya dibandingkan aku. Karena calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi sudah mapan. Beda denganku yang saat orang tua Nabila menghendaki Nabila segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku.
Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan.
Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekatku, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on dari bayang-bayang Nabila.
Nama calon yang di sodorkan mama bernama Fahira. Sekilas kulihat orangnya biasa saja. Tak ada yang istimewa.
Mungkin karena penampilannya yang memang sederhana dan tidak mencolok. Tapi, jika dipandang lama-lama dia menjadi menarik.
Aku tak menolak perjodohan ini. Toh, aku tak akan bisa kembali ke Nabila. Dia sudah memiliki suami pilihannya.
Yang bisa kulakukan adalah membuka hati untuk orang lain. Mungkin Fahiralah orangnya.
Fahira memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Nabila. Jika Nabila orangnya suka mencari perhatian, pencemburu, cerewet dan suka menuntut, sedangkan Fahira orangnya kalem dan penurut.
Aku dan Fahira memang menikah tanpa cinta. Menurut orang tuaku, cinta nanti bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Dan kami menjalani kehidupan pernikahan kami biasa saja.
Meskipun kami sudah menikah, aku pun tak berniat mengenalkan dia kepada teman-temanku.
Pernikahanku pun aku tak mengundang temanku. Masih ada rasa gengsi dan nyeri karena putus dengan Nabila. Apa kata teman-temanku yang melihat aku pacaran bertahun-tahun, akhirnya kandas begitu saja. Tapi Fahira tak pernah protes.
Sejak aku hidup dengan Fahira, memang emosiku menjadi lebih stabil. Aku tidak pernah marah-marah lagi. Fahira selalu berusaha menyenangkanku. Dia selalu berusaha mengambil hatiku. Tak dapat kupungkiri, lama-lama aku jatuh hati padanya.
Apakah Fahira cantik? Tentu saja. Dia juga menarik. Dia sangat pintar menjaga dirinya. Aku selalu mencium aroma wangi dari tubuhnya, tapi bukan dari parfum yang menyengat.
Dia bahkan tidak pernah memakai parfum jika keluar rumah, tapi tak pernah aku menciumnya bau keringat meskipun dia sedang berkeringat.
Fahira pun rajin merapikan rumah. Sejak kami menikah, tak pernah kulihat rumahku berantakan. Usai subuh dia sudah beres-beres, sehingga sebelum berangkat kerja, rumah sudah rapi. Termasuk baju kerja dan baju rumahku selalu licin dan wangi.
Tiap weekend dia tak pernah menuntutku pergi keluar, meskipun sesekali aku mengajaknya makan diluar. Dia hanya minta diantarkan belanja kebutuhan dapur dan kebutuhan rumah seminggu sekali. Dia lebih suka menyibukkan diri memasak, membersihkan rumah dan menyetrika. Bahkan, dia jarang sekali shopping. Sepertinya dua tahun menikah dengannya, dia hanya minat diantar shopping saat menjelang lebaran. Itupun untuk membelikan baju orang tuanya dan orang tuaku.
Fahira memang sosok yang sempurna. Tapi, sayang aku tak dapat melupakan cinta pertamaku, Nabila.
Suatu hari Nabila tiba-tiba datang kepadaku. Dia mengatakan sudah menggugat cerai suaminya karena KDRT. Aku menjadi sangat iba padanya.
Awalnya, dia minta dibantu mencari pekerjaan, karena selama menikah dia berhenti kerja. Lama-lama bertemu dengannya menjadi mirip seperti kebutuhan. Mirip jaman aku masih menjadi kekasihnya. Padahal aku sudah punya Fahira. Rasanya, bertemu dengan Nabila menimbulkan sensasi dan getaran tersendiri. Sedangkan dengan Fahira memang rasanya biasa saja. Mungkin karena aku awali hidup dengan Fahira tanpa cinta, sehingga kehadiran Nabila hanya membuat Fahira tak terlalu berarti lagi.
Aku tahu, Fahira sangat mencintaiku. Tapi, aku juga mencintai Nabila. Meskipun begitu aku tak mau melepaskan Fahira. Dia adalah pelengkap hidupku. Aku memang serakah.
Siapa yang mau melepaskan gadis sebaik Fahira. Gadis yang menerimaku apa adanya. Tak pernah menuntut apapun. Bahkan, saat aku ajukan syarat agar dia tidak hamil dulu, dia pun menurut. Padahal bisa saja dia menolak. Perempuan mana sih yang tidak ingin segera punya keturunan setelah menikah? Apalagi dia terlihat sangat keibuan.
“Bay, mantan suamiku pengen balikan, aku ngga bisa. Mereka mengancam orang tuaku,” ujar Nabila saat itu.
Dia sangat takut jika mantan suaminya bertindak nekat kepada kedua orang tuanya. Satu-satunya jalan menyelamatkannya dan orangtuanya adalah menjadi pelindungnya, yaitu menikahinya.
Aku rasa ini memang ide gila Nabila. Tapi aku pun ikut menjadi gila. Nabila memang unik. Beda dengan Fahira yang kalem dan penurut. Nabila adalah perempuan yang menarik karena daya pikatnya. Dia mudah bergaul dan menarik lawan jenisnya. Karena itu juga aku selalu terpikat dengan Nabila.
Sedangkan Fahira, dia sangat pemalu dengan lawan jenisnya. Dia jarang bergaul dengan pria lain selain aku. Katanya, di kantornya dia hanya berinteraksi dengan pria jika hubungannya dengan pekerjaan. Dia enggan berinteraksi jika menyangkut masalah pribadi. Bahkan, makan siang saja jika tidak ada teman perempuan, dia malas makan di luar. Dia akan memilih membeli dan dibungkus lalu dimakan di meja kerjanya.
Bedanya lagi, Fahira tak pernah mencecarku dengan berbagai pertanyaan saat aku mau ke mana ataupun pulang dari mana. Dia mempercayai saja apa yang menjadi perkataanku.
Berbeda dengan Nabila yang terlihat menjadi sangat ‘care’ terhadapku karena dia selalu menanyakan apa yang sedang aku lakukan.
“Nanti aku yang bilang ke om dan tante,” ujar Nabila meyakinkanku. Nabila memang sudah dekat dengan kedua orang tuaku. Bayangkan, kami pacaran hampir delapan tahun. Tentu saja dia sering kuajak ke rumah.
Fahira dan mamaku sebenarnya sangat dekat. Tapi sebelum ini, sebelum aku kembali dekat dengan Nabila.
Mama dulu mengkhawatirkan hubunganku dengan Fahira yang tak kunjung membaik. Dua tahun pertama memang hubunganku sebatas melakukan kewajiban saja. Mamaku sering memberiku dan Fahira nasehat. Meskipun sebenarnya aku sudah mulai ada rasa sayang dengan Fahira, namun kusembunyikan. Gengsi rasanya mengakuinya. Apalagi mama dan papaku sangat yakin kalau suatu hari nanti aku akan mencintai Fahira.
Yang aku heran dari Fahira adalah, mengapa dia tidak jujur saja ke mama kalau aku yang memintanya untuk tidak hamil dulu di awal-awal pernikahan. Mamaku memang menyarankan agar Fahira segera hamil agar aku segera luluh. Tapi aku mengatakan ke Fahira jika dia hamil sebelum aku mencintainya, aku khawatir justru itu akan membuat masalah rumah tangga yang baru. Dan Fahira pun setuju. Hingga akhirnya, ketika mama sering menanyakan tentang program hamil, Fahira hanya menanggapinya dengan senyuman.
Mama dan papaku tentu saja tadinya menentang keras rencanaku menikahi Nabila. Tapi aku meyakinkannya bahwa Fahira pasti akan menerima apapun keputusanku. Aku tahu, Fahira istri yang sangat penurut. Bahkan, aku juga bisa berbuat adil. Buktinya, sikapku terhadap Fahira tak pernah berubah meskipun sudah hadir Nabila.
Bahkan, saat Fahira merengek mengunjungi orang tuaku, mereka masih bisa menyembunyikan rahasia ini dari Fahira. Orang tuaku tak berdaya. Mereka tak bisa menghalangi cintaku dengan Nabila.
Aku dan Nabila juga orang tua kami merencanakan pernikahan kami dengan rapi. Tanpa diketahui Fahira tentu saja.
Hanya satu orang yang tidak menyetujui hubunganku dengan Nabila, yaitu Faisal teman kantorku sekaligus sepupu jauhku. Dia memang satu-satunya orang yang tahu aku sudah putus dengan Nabila dan menikah dengan Fahira.
Sayangnya, Fahira tak pernah kukenalkan langsung dengan Faisal meskipun Faisal hadir di pernikahan kami. Diapun tahu kalau aku kembali ke Nabila karena beberapa kali dia memergoki aku sedang bertemu dengan Nabila.
Beruntung, saat aku dan Fahira makan malam di luar, dan Faisal memergoki kami, Fahira tidak mengenalinya.
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba. Aku sudah mengajukan cuti ke kantor jauh-jauh hari agar persiapan pernikahan keduaku tidak terganggu. Aku bilang ke Fahira kalau aku akan keluar kota. Biasanya dia akan percaya saja dan tidak banyak bertanya.
Herannya, di saat yang sama dia merengek mengajakku mengunjungi orang tuanya. Memang kuakui, kami sudah lama tidak mengunjunginya. Mungkin lebaran terakhir kami ke sana. Dan setiap ke sana pertanyaannya sama dengan pertanyaan mama, kapan Fahira hamil. Padahal aku memang belum menghendakinya.
Akhirnya aku mengijinkan Fahira pergi sendiri ke rumah orang tuanya karena aku sudah terlanjur menyusun acaraku selama seminggu di luar kota.
Selama aku pergi, aku memang tak menanyakan kabar apapun tentang Fahira. Itu juga sudah menjadi kebiasaan kami berdua. Kami saling percaya. Jika tidak ada yang teramat mendesak, kami tidak saling menghubungi. Dia hanya sekali menghubungi saat berada di Yogya karena aku memintanya memberitahukan ku agar aku bisa menelpon ayahnya.
Aku kira, Nabila masih orang yang sama aku kenal dulu. Tapi, mungkin juga dulu aku terlalu dibutakan oleh cinta. Drama itu baru saja dimulai di hari pertama persiapan pernikahanku.
“Bay, kenapa kita tidak beli rumah saja?” ujar Nabila.
Mataku langsung membulat. Apa aku salah dengar? Membeli rumah? Memang aku sekaya itu? Bahkan kalau bisa mengontrak rumah saja yang ukuran kecil karena kami baru berdua.
“Kebutuhan kita tidak hanya rumah sayang. Habis itu kita masih harus beli perabot dan kebutuhan lain,” ujarku.
Tiba-tiba aku jadi membandingkan dengan Fahira. Dulu memang dia tidak minta rumah, karena sebenarnya aku sudah lama mulai mencicil rumah itu sebelum menikah. Saat aku menikah dengan Fahira, kami tinggal mengisi dengan perabot. Dan Fahira pun tak banyak menuntut. Dia malah memintaku menahan untuk tidak buru-buru membeli karena harus disesuaikan dengan prioritas mana yang diperlukan dan mana yang nanti tidak terlalu dibutuhkan.
“Oke, tapi aku mau kita mengontrak di kompleks yang elit. Aku tidak mau kalau hanya di perumahan biasa,” ujar Nabila.
Demi cintaku pada Nabila, akhirnya kuturuti juga apa maunya. Aku tahu dia masih gengsi dengan mantan suaminya juga jika kami tinggal diperumahan biasa. Mantan suaminya adalah orang yang sudah mapan. Tidak seperti aku yang baru saja merangkak meniti karir.
Aku benar-benar menguras tabunganku dalam dua hari. Setelah membayar sewa rumah selama setahun diawal, aku juga harus mengisi furniture dan perabotan lain yang tentu saja tidak murah. Melihat tabunganku terkuras, tiba-tiba kepalaku menjadi pusing. Padahal uang itu dapat kutabung setelah aku menikah dengan Fahira.
Dulu, saat aku pacaran dengan Nabila memang aku boros dan tak bisa menabung. Tapi, itu tak pernah kusadari. Setelah menikahi Fahira, aku merasa uang gajiku tak habis-habis. Mungkin karena Fahira tak pernah minta jalan-jalan atau shopping yang menghabiskan uang. Bahkan, membeli barang mahal saja kalau aku bertanya dulu ke Fahira, pasti dia memilih menggeleng dibanding mengangguk.
Hingga menjelang hari H, pikiranku menjadi tidak fokus. Otakku tiba-tiba dipenuhi dengan kebimbangan. Bagaimana aku bisa menjalani hidupku ke depan, sedangkan secara materi saja aku masih berfikir dua kali untuk membelanjakannya. Tapi, aku langkahku sudah terlalu jauh. orang tua Nabila sangat mengharapkanku. Akupun tak dapat memaksakan Nabila berbuat seperti Fahira karena memang sifatnya dari dulu begitu. Hanya aku saja yang buta oleh cinta yang tak pernah menyadarinya.
Aku lebih banyak murung. Bahkan aku tak berani menghubungi Fahira sekedar menanyakan kabarnya. Padahal jujur saja aku merindukannya. Merindukan hidup yang nyaman tanpa tuntutan. Tiba-tiba senyumnya menghantui pikiranku. Padahal sebentar lagi akad nikah akan dilaksanakan.
Karena ini pernikahan keduaku dan Nabila, memang hanya diselenggarakan sederhana. Tak ada resepsi di gedung. Kami hanya mengundang saudara dekat dan tetangga dekat saja untuk menjadi saksi pernikahan kami.
Malam itu, aku merasa sangat lelah setelah seharian menerima tamu. Aku memilih segera mandi dan bersih-bersih.
Keluar dari kamar mandi, aku kaget saat melihat Nabila sedang memengang ponselku. Segera kuraih ponsel itu dari tangannya.
Mataku membulat saat kuliah missed call dari Fahira sebanyak 20x. Ada apa Fahira? Apakah ada yang penting sampai dia menelponku sebanyak itu?
Aku buka call history, dan ada percakapan masuk dengan durasi 1 menit beberapa menit lalu.
“Nabila, apa kamu mengangkat panggilan dari Fahira?” tanyaku dengan cemas. Wanita yang masih memakai baju pengantin itu hanya terdiam. Lalu membuang muka.
“Jawab Nabila!”
BIARKAN AKU PERGI (10)
“Jawab Nabila!” kuulangi pertanyaanku dengan suara yang meninggi. Seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu.
Kulihat Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Tapi dulu aku menyukai sifatnya itu. Tidak untuk sekarang.
Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat kulihat tatapan mata Nabila. Aku memilih mengemasi barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobilku. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila.
Aku tak peduli dengan tatapan orang tua Nabila. Tak ada gunanya aku menjelaskannya karena dadaku sudah dipenuhi dengan emosi. Hanya Fahira yang ada dalam kepalaku.
Sebelum kustater mobilku, kubuka kembali ponselku. Aku sampai lupa tidak menelpon balik saat aku melihat jejak panggilan Fahira saking emosinya. Belum sempat aku memencet panggilan, sebuah pesan singkat masuk.
Pesan dari Fahira!
[Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin]
Mataku seketika membulat. Segera kutekan lagi tombol panggilan ke nomor itu. Sayangnya, nihil!
Nomor itu sudah tidak aktif.
Segera kupacu mobil ke arah rumah. Tepatnya rumahku dengan Fahira.
Pukul 23.00 aku tiba di depan rumah. Pemandangan yang biasa kulihat. Gerbang terkunci, dan aku membawa kunci cadangannya. Lampu teras yang menyala dan tentu saja, di dalam rumah selalu ada satu lampu menyala di ruang makan.
“Fahira!” panggilku sambil melangkah menuju kamar kami.
Jantungku bergemuruh saat aku masuk ke kamar itu dan menyalakan lampunya.
Tidak ada! Kamar itu kosong. Bahkan selimutnya masih terlipat rapi.
Kemana Fahira? Bukannya tiap pergi dia selalu pamit?
Apakah ke rumah orang tuanya? Bukannya dia sudah ke sana kemaren? Mengapa dia pamit lagi?
Kutarik napas dalam-dalam. Sepertinya besok pagi saja aku telpon ayah dan ibu mertua. Ini sudah terlalu malam untuk menelpon. Khawatir mengagetkan keduanya.
Bergegas aku menuju lemari pakaian mengambil baju gantiku. Baru saja aku membuka pintu lemari, jantung langsung mendesir saat aku menatap lemari bagian baju Fahira yang nyaris kosong.
Akhirnya kubuka juga pintu lemari gantung di mana Fahira lebih banyak menyimpan bajunya.
Ya, Tuhan. Dia hanya meninggalkan beberapa potong baju. Sedangkan baju favoritnya tidak ada! Apa mungkin ke rumah ayah dan ibu membawa baju sebanyak ini? Apakah Fahira akan meninggalkanku? Apakah Fahira tahu kalau aku menikah lagi?
Tak sabar aku menunggu pagi. Rasanya aku ingin jarum jam segera menunjukkan angka enam pagi, agar aku bisa segera menelpon ayah mertuaku.
Apakah Fahira marah karena aku menunda mengantarkannya ke rumah Ayah? Apakah sebaiknya aku menyusulnya?
Berjuta pertanyaan memenuhi benakku. Bahkan aku sudah tak memikirkan Nabila dan keluarganya lagi yang baru kunikahi pagi tadi. Bahkan, harusnya aku masih tinggal di sana sampai esok hari, tapi aku memilih segera kembali.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menjemput ke Yogya sekarang? Atau aku menelponnya saja?
Ada rasa bersalah dan malu menyelimuti fikiranku. Malu dengan mertuaku karena aku tak becus menjaga anaknya, sekaligus bersalah dengan Fahira karena mengkianatinya.
Kenapa? Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Mengapa tidak kemarin? Mengapa aku tidak mendengarkan saja nasehat mama dan papa saat mereka tidak menyetujuinya?
Segera kubuka aplikasi tiket di ponselku. Sepertinya aku harus segera memesan tiket penerbangan paling pagi ke Yogya. Dan aku harus mempersiapkan apa yang harus kukatakan pada mertuaku, jika memang Fahira pergi karena sudah mengetahui kebusukanku.
Tapi, dari siapa dia mengetahuinya? Apakah mama dan papa sudah membocorkannya?
Aku segera mengeluarkan beberapa potong baju ganti untuk kubawa ke Yogya. Kumasukkan ke dalam tas punggung agar lebih simple.
Tiba-tiba mataku tertuju pada laci yang ada di dalam lemari.
Segera kutarik laci itu. Mataku kembali terbelalak. Fahira meninggalkan ATM di sini? Ada juga buku tabungan atas namanya yang dulu sengaja aku buka untuk menstransfer uang bulanannya. Kulihat saldonya, sepertinya dia baru mencetak print out nya kemaren. Kenapa kamu Fahira?
Tiba-tiba lututku tak mampu menopang berat badanku. Aku jatuh terduduk di depan lemari. Aku tak dapat menahan linangan air mata yang mengalir melalui sudut mataku.
--
“Ma, apa mama bilang ke Fahira kalau aku menikah dengan Nabila?” tanyaku ke mama melalui sambungan telepon.
Pagi ini saat aku menumpang taksi menuju bandara. Aku ingin memastikan apakah Fahira ke Yogya hanya ingin bertemu orang tuanya saja, atau karena sebab lain.
Aku sangat cemas dengan keputusan Fahira yang pergi begitu saja dan meninggalkan pesan yang sangat singkat. Bahkan, sampai pagi ini nomor Fahira pun tidak aktif.
“Tidak. Mama tidak tahu. Kenapa?” tanya mama dengan suara cemas.
“Fahira tidak ada di rumah, Ma. Semalam dia pamit melalui pesan singkat. Tapi nomornya tidak bisa aku hubungi lagi. Saat ini aku menuju Yogya,” ujarku sambil menutup sambungan teleponku ke mama.
Entah apa yang akan dilakukan mama dan papaku kemudian, karena mereka sejatinya adalah teman orang tua Fahira.
Sepanjang jalan, pikiranku berkelana. Bahkan panggilan dari Nabila tidak aku indahkan. Hanya Fahira yang ada dalam otakku. Bayangan ayah dan ibu Fahira akan marah pun menghantuiku. Bagaimanapun aku telah berjanji menjaga Fahira, anak bungsu kesayangan mertuaku itu.
Taksi dari bandara Yogyakarta sudah berhenti tepat di pintu pagar rumah mertuaku. Jantungku bergemuruh. Ada mobil terparkir di depan rumah. Bukan mobil mertuaku. Sepertinya ada tamu. Wajar karena ini Hari Minggu.
Saat aku membuka gerbang rumah itu, seorang pria muda muncul dari balik pintu ruang tamu. Mas Farhan! Kakak Fahira itu menatapku dengan tatapan mata yang tajam. Nyaliku seakan diuji.
Segera kulanjutkan langkahku mendekat ke rumah itu. Rumah yang dulu aku pernah datang melamar Fahira bersama kedua orang tuaku. Rumah di mana aku melafadzkan akad nikahku dengan Fahira.
“Kamu datang juga!” ujar kakak iparku tanpa mengulurkan tangannya. Biasanya dia akan mengulurkan tangan dan memelukku sebagai sambutan. Sepertinya ada kemarahan terhadapku.
Aku masih berdiri mematung. Bingung dengan sambutannya. Ingin kuulurkan tanganku, tapi aku takut ditepisnya. Hingga suara ayah dan ibu dari dalam rumah membuyarkan lamunanku.
“Masuk Bayu!” ujar ayah dengan suara datar. Berbeda dengan sebelumnya yang selalu hangat.
Ibu pun di belakangnya hanya menatapku datar. Aku menjadi merasa kikuk.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Padahal biasanya aku langsung masuk dan duduk di ruang tengah. Ngonbrol santai dengan ayah dan Mas Farhan. Tapi suasana ini menjadi berbeda.
Tiba-tiba aku teringat peristiwa pekan lalu, saat Fahira datang ke rumahku. Dan sambutan mama dan papa tidak seperti biasanya, kikuk, meskipun Fahira bersikap biasa saja.
“Lalu apa maumu sekarang?” ujar Ayah membuatku tersentak.
Sebenarnya, aku menunggu Fahira keluar. Tapi, tak juga aku melihatnya.
Apakah pantas aku menanyakan di mana Fahira? Bukannya ini sangat memalukan sampai aku tidak tahu Fahira kemana? Jika aku bukan laki-laki, ingin rasanya aku menangis di sini.
“Maafkan saya, Ayah. Saya ingin ketemu Fahira,” ucapku dengan suara bergetar sambil menunduk. Malu rasanya mengatakan ini.
“Setelah apa yang kamu lakukan dengan adik saya?” tanya Mas Farhan dengan suara lantang.
Aku hanya bisa memejamkan mataku dan mengatupkan kedua bibirku.
Aku dan Mas Farhan sama-sama laki-laki. Aku tahu Mas Farhan sangat marah padaku. Akupun jika aku punya adik perempuan dan dia mengalami apa yang dialami oleh Fahira, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama.
“Pergi kamu! Jangan sampai datang lagi ke sini tanpa membawa Fahira!” ujar Ayah Fahira.
Mataku seketika membulat mendengar kata Ayah.
“Apa maksudnya, Ayah?”
“Masih berani kamu bertanya sama, Ayah? Jawab sendiri pake otak kamu!” ujar Mas Farhan sudah siap menonjokku jika saja Ayah tidak menghalanginya.
“Sebaiknya kamu pergi, Nak,” ujar ibu sambil mendekatiku. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca. Begitu juga mataku sudah mengembun. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi sungguh.
Tapi, keluarga Fahira sepertinya enggan memberitahuku di mana keberadaan Fahira. Apakah mereka menyembunyikan Fahira dari sisiku?
Aku memutuskan meninggalkan rumah itu. Kupesan taksi online dari depan gang perumahan mertuaku. Kuhembuskan napas dengan keras agar mengurangi sesak dadaku. Tak lama taksi yang kupesan sudah menjemputku. Kupejamkan mataku memikirkan apa yang harus kulakukan.
Tak hanya keluarga Fahira. Sebentar lagi papa dan mamaku tentu juga akan murka kepadaku jika orang tua Fahira tidak terima. Tapi aku tetap belum tahu akar masalahnya apa? Apakah benar Fahira pergi karena dia tahu aku telah mengkianatinya? Tapi? Dia tahu dari mana? Apakah penting aku mencari tahu Fahira tahu apa yang kulakukan?
Minggu sore aku sudah menaiki taksi menuju rumah. Sebenarnya sudah sejak tadi aku sampai Jakarta. Tapi aku memilih menghabiskan waktu di café sambil mengisi perutku yang sejak pagi belum terisi apa-apa. Aku sengaja memblokir nomor Nabila karena aku tidak ingin dia mengangguku. Emosiku sudah memuncak jika melihat panggilan darinya, sedangkan masalahku dengan Fahira belum tuntas.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak saat taksi yang aku tumpangi berhenti di depan rumahku. Kulihat Nabila sudah duduk di teras bersama papa dan mama nya. Ada dua koper besar di sana.
BERSAMBUNG….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
