Indomie dan Si Tengil Baik Hati #CeritadanRasaIndomie

6
6
Deskripsi

"Kamu kenapa sih, Dek, kayak punya trauma sama Indomie. Emangnya Indomie salah apa sama kamu?”

Sebuah kenangan pahit membuat Kirana terpaksa harus menahan diri untuk tidak memakan Indomie bahkan hingga berhari-hari. Di sisi lain, sang kakak (Galih) mencoba untuk membantu menghibur Kirana. Keinginan Kirana begitu sederhana. Ia ingin dapat menikmati Indomie tanpa harus dibayang-bayangi pengalaman tak mengenakkan.

Sanggupkah Kirana bangkit dari kesedihannya dan menikmati Indomie seperti semula?

 

“Duh, enaknya! Kuah hangat bercampur cabe bubuk … hmmm bumbunya juga, surga banget!”

Aku berdecak sebal. Sudah tahu aku sedang fokus mengerjakan tugas kuliah, dia malah mencoba membangkitkan selera makanku dengan kelezatan Indomie mi kuah. Ugh, dasar sosok kakak yang kekanak-kanakan! Kalau begini kan, aku jadi tergiur dan hampir meneteskan air liur. 

“Bisa enggak sih, makan di dapur aja? Enggak mengganggu orang lain?” tukasku.

Cowok berambut ikal itu malah berujar, “Lha, kamu kan adik kandung kakak, bukan orang lain.”

Aku menatapnya sekilas sebelum kembali menancapkan pandangan pada layar laptop. “Tolong jangan ganggu aku ya, Kak Galih yang ganteeeng.”  

Dari ujung mata kulihat ia malah mengangkat bahu dan lanjut menyantap, tidak memedulikan reaksiku barusan. 

“Makasih banyak udah bilang kakak ganteng.” Ia tersenyum, tapi kemudian sengaja menyeruput kuah dari sendok hingga bersuara sluuurp. Luar biasa menyebalkan! “Oh, ya. Kamu kenapa sih, Dek, kayak punya trauma sama Indomie. Emangnya Indomie salah apa sama kamu?”

Jemariku mulai mengetik tuts huruf demi huruf dengan barbar. Siapa bilang aku trauma dengan Indomie? Asumsi Kak Galih sungguh ngawur.

Di sampingku, Kak Galih memajukan kursinya. Yah, makin sulit deh aku menghindari tatapannya. Belum lagi aroma kuahnya menusuk hidungku, pula.

“Minggu lalu kamu bareng cowokmu buat video ulasan ‘Indomie versi dalam negeri dan versi ekspor’, kan? Kelihatannya oke tuh, tapi kok videonya belum di-publish juga? Ada apa gerangan?” 

Kali ini Kak Galih mengusap-usap dagu; sok-sokan menyelidik. Sial. Kukira setelah Indomie ayam bawangnya ludes dia akan langsung beralih ke ruangan lain. 

“Mau tahu banget, nih?” Aku menolehkan kepala dan menunggu jawaban.

“Iya, dong. Kalau kamu ada masalah, cerita aja. Siapa tahu kakak bisa bantu.”

Sayangnya enggak bisa, jawabku dalam hati. Lagipula aku amat sangat malas menjawab pertanyaan itu. 

“Aku jawabnya nanti malam aja. Bye,” tukasku seraya beranjak ke toilet. 

● ● ●

Sejujurnya aku tak sampai hati memarahi Kak Galih seperti tadi. Kalau saja aku tidak sedang pe-em-es. Apalagi, masih banyak varian rasa Indomie yang belum kucoba, contohnya varian premium collection, mi goreng Aceh, Soto Banjar limau kulit … banyak deh pokoknya. 

Sayangnya, gara-gara masalah itu, aku jadi kurang berselera untuk menikmati Indomie. Ugh. Ada-ada saja cobaan bagi content creator pemula sepertiku. Hmmm. Semoga saja masalah ini segera selesai dan aku bisa melahap Indomie lagi. 

Tapi, gimana ya caranya? Ah, sudahlah. Yang penting tugasku selesai dulu. Ketika aku kembali ke kamar, untungnya Kak Galih sudah tak berada di sana. 

Tak kusangka cakrawala gelap sudah datang. Tugasku selesai tepat pukul setengah tujuh dan perutku mulai keroncongan. Aduh, aku sama sekali belum mengecek persediaan makanan di lemari kabinet dan kulkas. Kalau mendesak, aku beli via aplikasi daring saja.

Aku baru saja bangkit berdiri ketika suara Kak Galih terdengar dari arah tangga. 

“Dik Kirana, makan malam sudah siap. Yuhuuu!”

Aku mengernyitkan dahi. Kak Galih sedang kasmaran atau gimana, ya? Kalaupun iya, seharusnya aku ikut senang. Atau mungkin, sifat tengilnya mulai kambuh lagi. 

“Markimak! Mari kita makan!” Ia berseru seraya menarik sebelah tanganku. Ck. Apa-apaan sih, Kak Galih ini? 

“Kak, enggak perlu begini supaya aku cerita ke kakak. Lebay.”

Kak Galih menggelengkan kepala. “Dik Kirana enggak perlu cerita apa-apa. Pokoknya kita makan,” ujarnya. 

Aku memutar mata. Kak Galih memang suka memasak, tapi sebagian dari diriku merasa tak pantas disiapkan hidangan seperti ini. Astaga! Ia bahkan mengatur agar makanan ini tampak begitu spesial—sebuah piring ia tutup dengan keramik berbentuk setengah bulat ala restoran bergengsi. Hmmm. Sejak kapan ya benda itu ada di dapur rumah ini?

Aku tertawa kecil. Kak Galih memang selalu penuh kejutan.

“Apa kau penasaran dengan hidangan ini, Dik Kirana?” Kak Galih bicara layaknya seorang pelayan. Sebelah tangannya mengarah pada piring di hadapanku.

“Tentu, Tuan,” jawabku. 

Cowok tengil itu mengangguk dan mengangkat keramik yang sedari tadi menutupi makanan di baliknya. 

Aku benar-benar speechless. Belum pernah aku menyantap makanan seperti ini sebelumnya. Kendati aku tahu makanan apa saja yang tersaji, tapi aku sungguh takjub dengan hasil karya ini.  Di atas piring, perempuan mungil tersenyum padaku. Wajahnya terbentuk dari nasi. Mata, hidung, serta mulutnya berupa potongan lembaran nori. Dua sosis bulat menghiasi kedua pipi. Telur dadar dihias sebagai baju. Pita jingga terbentuk dari wotel. Terakhir, rambut yang tentu saja tersusun dari mi goreng Indomie. Kutebak ini varian Indomie goreng jumbo. Biasanya varian itu kami santap berdua.

Aku mulai menitikkan air mata. Sebisa mungkin aku kembali bersuara. “Kak, ini .…”

Kak Galih mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Maaf ya, Dek. Kakak baru tahu soal hubungan kalian yang udah berakhir. Kakak tadi enggak sengaja lihat nama folder di desktop laptop kamu udah diganti.”

Ah, aku baru tersadar sesuatu. Kemarin aku memang mengganti nama folder yang sebelumnya bernama ‘with my lovely BF’ menjadi ‘020219-230722’. Pantas saja Kak Galih tidak menanyakan apa-apa lagi. 

Aku tertawa konyol sembari menitikkan air mata. “Harusnya aku yang langsung cerita ke kakak, tapi waktu itu aku terlalu sakit hati dan bingung—”  

Tangisku meledak ketika Kak Galih memelukku erat. 

“Apa kakak perlu ngasih pelajaran ke dia?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala. “Enggak perlu, Kak. Ini salahku juga. Aku memang enggak berhak menghalangi tekad dia untuk studi di luar negeri dan aku baru sadar, aku kurang dewasa selama menjalani hubungan kami. Maaf ya, Kak. Aku baru cerita—” 

“Ssst. Udah, udah. Menurut kakak kamu cukup dewasa dan kakak paham banget rasanya putus itu gimana.” Ia beranjak mundur sebelum menyeka air mataku. Kak Galih lantas memberikanku tisu dan aku tidak mampu membendung semua kesedihan ini lagi. “Enggak apa-apa. Menangis aja sampai kamu merasa baikan.”

Kurasa aku memang salah mengira. Kak Galih selalu menemukan cara untuk mengembalikan warna di hidupku. Yaaa meskipun dia tengil sih, tapi dia amat sangat baik hati. Sepatutnya aku bersyukur memiliki kakak kandung sepertinya.

“Hebat banget,” pujiku setelah merasa jauh lebih enteng. “Kok kakak bisa kepikiran bikin ini, sih?”

Kak Galih mengangkat bahu. “Aku iseng-iseng cari kreasi Indomie di internet. Lagian, kalau kakak masak mi kayak biasa, kamu pasti nggak mau. Makanya kakak coba cara baru.” 

Aku menjulurkan leher dan mendapati makanan Kak Galih sama sekali tak dihias. Aku memberengutkan bibir. 

“Curang, punya kakak harus dihias juga dong kayak gini!” Aku bicara dengan sok serius. Kak Galih menolak, tapi aku bersikeras agar hidangan miliknya membentuk sebuah wajah. Tidak persis, tapi setidaknya mirip. 

“Nah, sama-sama Indomie bento,” ujarku seraya menyerahkan piring miliknya. Di sana, wajah laki-laki tampak tengah tersenyum.

“Iya deh iya, yang penting kamu enggak mogok makan Indomie lagi.” 

Aku menjawab setelah melahap rambut dan pita. Eh, maksudku mi dan wortel. Ya ampun, aku rindu berat dengan bawang goreng, bumbu, serta kekenyalan mi Indomie yang khas! 

“Iya, mogok makan Indomie berhari-hari tuh nyiksa banget. Sekarang, berkat kreasi kakak, aku mulai move on dari mantan. Kak Galih the best pokoknya!”

Ia mengangguk sebelum berkata, “Kakak juga siap banget lho, kalau kamu mau kita ngonten video bareng. Mengulas makanan kek, travelling kek, apa aja pokoknya.”

Aku mengernyitkan dahi. “Bukannya kakak enggak mau terekspos ya?” Pertanyaan itu kulontarkan mengingat Kak Galih termasuk tipe cowok introvert dan sangat jarang mengunggah foto pribadinya ke publik. 

Tak kusangka ia malah nyengir. “Buat adikku, apa sih yang enggak?”

Aku membulatkan mata. “SERIUSAN, KAK?”

“Dua-rius! Udah ah, kita makan dulu. Seru juga ya bikin Indomie bento kayak gini.”

“Indomie memang selalu seru, Kak. Kapan pun dan di mana pun,” timpalku.

Malam ini, aku merasa hidupku kembali berwarna. Kaya akan rasa, seperti halnya Indomie. Indomie, selerakuuu.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Lukisan Mana yang Kaupilih?
5
2
Tentang Arinda, gadis yang tengah melawan suara-suara dalam kepalanya sendiri dan selalu gelisah ketika dilanda sunyi. Di tengah kebuntuannya dalam melukis, suara-suara itu semakin mengganggunya.Sebuah keajaiban terjadi. Arinda masuk ke dunia di balik kanvas!Akankah ia menemukan jalan keluar di sana, atau malah gadis itu semakin terjerat masalah?●Cerita ini dipublikasi juga di Wattpad: https://www.wattpad.com/story/305216554-lukisan-mana-yang-kaupilih
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan