Wanita Hamil di Restoran Suamiku

2
0
Deskripsi

Masih gratis!

Part 1-5

● Part 1
● Jumpa Pertama

PoV Nadia

"Mas, hari ini biar aku saja yang ngecek resto yang di sini. Mas ada jadwal memantau resto yang di Bandung, 'kan?" tanyaku, masih tak ingin melepaskan tubuhnya.

Sejak dua tahun lalu, Mas Irwan--suamiku--membuka cabang restorannya di beberapa kota besar. Salah satunya di Bandung.

Jarang Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh, itu sebabnya, suamiku tak perlu menginap di sana. Berangkat setelah subuh pun bisa, dan akan kembali ke rumah tengah malam.

"Gak usah, biarkan saja si Badrun yang urus. Kamu di rumah saja, istirahat," ucapnya, mencium dahiku sejenak, lalu kembali fokus pada dasi yang melingkar di lehernya.

"Aku setiap hari di rumah. Ngurus rumah, Allisya dan cek aplikasi pesan antar. Sesekali aku mau juga berada di tengah-tengah kesibukkan para koki dan pramusaji, Mas."

Suamiku terdiam sesaat, seperti berpikir sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.

"Baiklah. Tapi ingat, tugas utamamu hanya mengurus Allisya," tukasnya. Aku melihat raut jawahnya sedikit kurang bersahabat. Apa mungkin, Mas Irwan tak suka jika aku berada di luar rumah?

Wajar, bukan, jika aku ingin membantunya. Apalagi, resto yang ada di kota ini adalah yang terbesar dan paling ramai. Tidak bisa ditinggalkan pemiliknya begitu saja.

"Mas pamit, ya. Do'akan, semoga di sana tidak ada masalah." Ia mendekat, mengulurkan tangannya untuk kucium. Berat sebetulnya, tapi inilah tugasnya sebagai kepala keluarga.

"Hati-hati."

"Iya. Kalau gak sempat ke resto, kabari Mas saja."

"Memangnya, kenapa? Bukannya ada Badrun juga di sana?" tanyaku sedikit heran.

"Ya, supaya Mas bisa kabari Badrun. Kalau kamu jadi ke sana, biarkan saja Badrun libur."

"Oh, begitu. Iya, Mas."

Sepeninggalan suamiku, kurapikan kasur yang sepreinya sudah tak karuan, bekas permainan kami semalam. Dengan rambut yang masih terlilit handuk, kubuka perlahan seprei itu dari kasurnya, hendak menggantinya dengan yang baru.

Tiba-tiba aku teringat dengan permainan kami semalam. Mas Irwan bergumam, "Awas, Sayang, perutmu. Takutnya tertekan."

Memang, mengapa jika perutku tertekan? Sepertinya Mas Irwan sangat ingin segera memiliki anak lagi. Sejak usia Allisya dua tahun, ia selalu memintaku untuk tidak berKB. Dan sekarang, hingga Allisya sudah sekolah kelas 1 SD, aku tak kunjung hamil lagi.

Agaknya, gumaman Mas Irwan akibat ia terlalu berharap ada janin di dalam rahimku.

Setelah kupikir ulang, apa sebaiknya aku ke rumah sakit saja, memeriksakan kesuburanku. Ke resto, 'kan bisa kapan-kapan, pikirku. Baiklah, hari ini sebaiknya aku ke dokter kandungan. Syukur-syukur, dapat rekomendasi obat yang baik untuk kesuburan.

**
"Al, Mama mau ke rumah sakit. Kamu mau ikut?" tanyaku pada gadis kecil berusia tujuh tahun yang kini tengah memainkan ponselnya.

"Ngapain Mama ke rumah sakit?" tanya gadis kecilku.

"Ada urusan sebentar, Sayang. Kamu di rumah saja, ya, sama Bibi."

"Hmm ... ini, 'kan hari libur, Ma. Apa rumah sakit tidak libur?" tanya polosnya, membuatku terkekeh sejenak. Allisya benar juga. Gegas kucari klinik praktek dokter kandungan melalui laman internet.

"Rumah sakit gak ada liburnya, Sayang. Mama juga sudah cari dokter yang mau mama temui di hari libur begini. Memang, sih, hari libur biasanya tidak ada dokter spesialis di rumah sakit," jelasku, mengusap lembut rambut hitam lurusnya yang diturunkan dari Mas Irwan.

"Dokter spesial? Seperti martabak spesial?" tanyanya. Aku semakin gemas dengan gadis kecilku. Meski sudah kelas 1 SD, namun tak banyak yang ia pahami layaknya orang dewasa.

"Beda, Sayang. Dokter spesialis itu, ahlinya menangani suatu penyakit," terangku lagi.

"Mama sakit apa?" tanyanya lagi, dengan wajah terlihat khawatir.

"Mama gak sakit, cuma mau ngobrol sama dokter," jawabku. Memang butuh kesabaran dan cara bicara yang berbeda ketika berbicara dengan anak sekecil ini.

"Allisya ikut saja, Ma." Ia merengek, sepertinya memang tak ingin ditinggalkan. Demi mengusir rasa bosannya yang berlibur di rumah saja, aku pun menyetujui keinginannya.

Kubawa serta Allisya bersamaku. Rencananya, setelah ini, akan kuajak dia jalan-jalan di mal kota yang kebetulan tak jauh dengan resto milik kami.

[Mas, aku gak jadi ke resto, ya. Suruh Badrun tetap masuk.] Kuketik pesan pada layar ponsel, lalu mengirimnya pada Mas Irwan. Gegas kumasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas, lalu bersiap melajukan mobil. Sejenak aku menoleh pada Allisya, memastikan bahwa ia sudah memakai seatbeltnya.

Beruntung alamat praktek dokter yang akan kutuju, tidak terlalu jauh. Ya, meski memang lebih dekat rumah sakit. Alamatnya pun familiar, tidak sulit untuk dicari. Aku tidak ke rumah sakit, melainkan ke klinik praktek dokter.

Lebih dari setengah jam, akhirnya kami sampai di depan klinik yang cukup besar. Aku mengambil antrean, bersama beberapa wanita hamil yang perutnya mulai membuncit. Bahkan, sepertinya ada sudah dekat dengan hari kelahiran. Melihatnya, aku turut tersenyum haru seolah tengah menantikan kelahiran sang bayi.

**
"Dua puluh delapan!" panggil seorang perawat. Dan hanya tersisa satu nomor dari nomor antreanku. Artinya, setelah ini adalah giliranku.

Aku mendongak, melihat seorang wanita hamil yang perutnya sudah cukup besar. Wanita itu cantik, hanya pakaiannya saja terlalu seksi. Dia ditemani oleh wanita berusia setengah baya, sepertinya adalah ibunya.

Seketika aku teringat pada Ibuku di kampung. Allah ... beri mereka kesehatan selalu.

**
Dokter bilang, kesuburanku baik-baik saja. Aku hanya diberi beberapa buah vitamin untuk menunjang kebaikan bagi kesuburanku saja. Terkadang aku menyesal, mengapa tidak melakukan ini sejak awal.

"Baru jam sepuluh, Al. Kita mau jalan-jalan ke mal dulu, atau langsung ke resto Papa?" tawarku pada gadis kecil yang nyaris terlelap di sampingku. Agaknya, dia bosan menunggu antrean tadi.

"Ke mal, habis itu ke resto Papa makan siang di sana. Aku mau main timezone di mal, terus makan eskrim paling enak di resto Papa." Celotehnya membuatku sontak melengkungkan senyuman. Sepertinya gadis itu sangat senang akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.

Ponselku berdering, kuminta Allisya untuk melihatnya.

"Sayang, kamu ke resto, ya. Hari ini Dia tidak ke resto." Allisya membacakan chat yang masuk ke ponselku.

"Siapa yang chat, Nak?"

"Papa, Ma. Memangnya, siapa lagi yang suka panggil Mama sayang? Lagian, ini namanya Papa." Allisya menunjukkan isi chat itu dengan sedikit menggoda. Papanya memang terkadang bermanja di hadapan Allisya. Sejenak aku memerhatikan nama pengirimnya dan benar Mas Irwan yang kuberi nama 'Papa.'

Mengapa Mas Irwan chat seperti itu. Siapa 'Dia' yang Mas Irwan maksud? Dia atau dia? Sedangkan namaku sendiri Nadia dan sejak dulu Mas Irwan memanggilku 'Dia.'

"Coba dibalas, Al," pintaku pada anak gadis. Meski baru kelas 1 semester 2, Allisya sudah pandai membaca dan menulis sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dia pun sudah pandai berbalas pesan dengan Papanya.

"Balas apa, Ma?"

"Emm ..." aku berpikir sejenak, apa perlu kutunjukkan rasa janggal ini pada Allisya.

"Gak usah, Nak."

**
Setelah puas bermain di mal, Allisya merengek merasa lapar dan memintaku segera meluncur ke resto yang jaraknya hanya sekitar 200 meter saja. Sebetulnya, jalan kaki pun bisa. Tapi, arah pulang lebih dekat dari resto ketimbang balik lagi ke mal ini.

"Meluncur!" ujarku dengan ceria, meski pikiran-pikiran buruk mulai bergelayut.

Kami sampai di resto bertepatan dengan waktu makan siang. Pengunjung sangat ramai, gegas aku masuk ke dalam untuk mengecek bagian dapur dan pramusaji. Jangan sampai ada yang terlihat santai saat sedang ramai seperti ini.

Langkahku seketika terhenti ketika mata ini menangkap sosok wanita hamil yang tadi sempat kutemu di klinik praktek dokter. Wanita seksi itu masih ditemani seorang wanita setengah baya, sedang memarahi koki yang dia anggap lamban dalam bekerja.

"Cepetan! Jangan sampai pelanggan kita kabur, gara-gara kerjamu lelet!" sentaknya.

Siapa dia? Jika dia salah satu pengunjung, mengapa lancang sekali memarahi karyawan suamiku?


● Part 2
● Gelagat Mencurigakan

PoV Nadia

Kuperhatikan terus wanita hamil berpakaian ketat itu dari kejauhan. Dari gelagatnya, wanita itu seperti sudah terbiasa berada di sini. Pasalnya, para koki dan pramusaji di sini tidak ada yang berani menjawabnya.

"Ma, laper," rengek Allisya. Gegas kuminta ia untuk diam sebentar, dengan cara menempelkan jari telunjuk di bibir.

"Mama kenapa, sih?" tanya gadis kecilku sedikit berbisik.

"Ya, sudah. Kita ke sana aja, yuk. Tapi dipakai maskernya," ajakku, ketika melihat wanita hamil itu seperti hendak menuju ke arahku. Aku bergegas menarik tangan Allisya agar segera duduk di kursi pengunjung.

Sayangnya, sudah tidak ada meja yang kosong. "Permisi, saya gabung, ya. Soalnya penuh semua," ucapku pada seorang Ibu dengan anaknya yang kebetulan sebaya dengan Allisya.

"Oh, silakan, Bu. Kami juga tidak sedang menunggu siapa-siapa." Ibu itu menyambut dengan sangat ramah.

Kulirikkan mata ke arah wanita hamil yang kian mendekat. Ia berhenti di samping kasir, berdiri seraya memerhatikan sekeliling restoran ini.

Siapa dia? Mengapa gayanya seperti bos saja? batinku bertanya-tanya. Rasanya aku tak tahan ingin menghampirinya dan bertanya tentang statusnya di restoran ini.

Enggak! Aku gak boleh asal bertindak, agar tidak ada yang bersiap membohongiku. Sebaiknya, kuselidiki sendiri.

"Mbak! Lihat meja itu. Berantakan banget. Cepat bersihkan!" suruhnya dengan penuh penekanan, meski suaranya sudah ia tekan agar tidak terlalu keras.

Perlahan aku melirik ke arah meja yang tunjuk. Ya ampun! Padahal, pengunjungnya baru saja berdiri hendak keluar. Kalau begini, bisa kesal pengunjungnya, karena merasa diusir.

"Mama, aku laper," ucap Allisya, menghentakkan kakinya ke lantai. Aku sampai lupa dengan tujuanku datang ke sini.

"Iya, Sayang." Aku merayunya, gegas memanggil pramusaji yang kebetulan sedang menaruh makanan ke meja lain.

"Silakan, Bu, ini menunya. Bisa dipilih dulu, lalu langsung disetorkan ke kasir. Terima kasih," ucap sang pramusaji dengan ramah.

"Terima kasih, Mbak." Kuambil buku menu, dan segera memesankan makanan untuk Allisya.

"Mama ke kasir dulu, ya." Aku berdiri, berjalan mendekat ke arah wanita yang saat ini sedang berdiri di samping kasir. Dengan ramah, ia menunduk ke arahku seraya melengkungkan senyuman. Meski penasaran, aku membalasnya tak kalah ramah.

Sambil menunggu penghitungan, aku sesekali melemparkan pandang ke arah wanita setengah baya di samping wanita hamil itu. Terlihat wanita setengah baya itu berbisik, dengan tatapan mata tertuju ke arahku. Gegas kupalingkan wajah, demi menyembunyikan statusku di sini.

"Lho, Bu?" Agaknya penjaga kasir mengenaliku. Kukedipkan mata ke arahnya, agar tidak banyak bicara.

"Terima kasih," ucapku setelah menerima kembali kartu debitku, dan segera melenggang ke arah meja kami.

Entah mengapa, aku merasa kedua wanita asing itu sedang memerhatikanku. Duh, memangnya siapa yang asing di restoran ini. Mengapa jadi aku yang mereka perhatikan.

Demi menutupi penyamaran ini, aku bersikap layaknya pengunjung. Menunggu dengan ponsel di tangan, berselancar di laman media sosial. Namun, mata ini tetap kuarahkan pada dua wanita asing itu yang agaknya sudah tidak lagi berada di tempat yang sama.

"Mama nyari siapa, sih? 'Kan Papa gak ada di sini," tanya Allisya. Bocah cantik ini memang memiliki rasa penasaran yang besar, meski dirinya sudah terlibat obrolan dengan anak yang semeja dengan kami.

"Gak nyari siapa-siapa," ucapku gugup. Memang aku baru saja mengitari restoran ini, mencari keberadaan dua wanita beda usia tadi.

"Makan, Sayang." Kuberikan makanan yang baru saja diantar pramusaji, sementara sepasang ibu dan anak di samping kami sudah makan lebih dulu.

Allisya kegirangan, segera membuka masker dan meraih sendok miliknya.

"Lho, Neng Allisya? Ibu?" tanya pramusaji, mengenali Allisya usai membuka maskernya.

"Sst!" Kuulangi hal yang sama seperti pada penjaga kasir tadi. Takutnya, dua wanita itu masih berada di sini.

"Emm ... anu, Bu__"

"Kembali ke dalam," ucapku setengah berbisik. Dan beruntungnya, dia mengerti dan segera meninggalkan meja kami.

"Ibu kenal dengan pelayannya?" tanya ibu yang duduk bersama kami.

"Ah. I-iya, Bu. Kebetulan kami tetanggaan," jawabku sedikit kaku. Tidak mungkin bukan, harus kukatakan bahwa aku adalah pemilik restoran ini. Bisa gagal penyamaranku untuk menyelidiki dua wanita asing itu.

Menunggu Allisya makan, rasanya sangat lama sekali. Beberapa kali aku menoleh ke sekeliling, namun wanita itu tetap tak kutemukan. Di mana mereka berada? tanyaku di dalam hati.

Kumainkan ponsel kembali. Mencoba membuka beberapa chat yang belum sempat kubaca. Tadinya, aku juga ingin mengirim pesan pada Mas Irwan, sekadar untuk mengingatkannya makan siang, sekaligus mendalami isi chat yang tadi suamiku kirim saat kami masih di mobil.

[Pesan telah dihapus.]

Chat terakhir dari Mas Irwan telah ia hapus. Apa dia lupa, jika chat itu sudah bercentang dua warna biru.

[Mas, sudah makan?] Kirim. Aku sengaja berbasa-basi, tidak boleh kelihatan mencurigai isi chatnya pagi tadi.

[Sudah, Mama sayang. Kamu dan Al sudah makan?] balasnya.

[Sudah, Mas.] Kemudian kukirim foto Allisya yang sedang makan di restoran ini. Biar saja, aku ingin lihat bagaimana reaksinya.

Tidak berapa lama, Mas Irwan menelepon.

"Hallo, Mas."

"Kamu di resto? Katanya gak jadi," tanya lelaki yang sudah delapan tahun ini menjadi pelindungku.

"Allisya yang maksa. Dia kangen makan enak di sini, juga sama eskrim terkenal di sini," jelasku.

"Oh, begitu. Tapi ... emm."

"Apa, Mas?"

"Oh, gak ada apa-apa. Ya, sudah. Kalian lanjut makan, ya. Aku masih banyak yang harus dicek," pamitnya.

Mas Irwan menutup panggilan sebelum kami saling mengucap salam. Dari suaranya, jelas aku mendengar sebuah kegugupan. Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang kau sembunyikan dariku? Batinku terus bertanya-tanya.

"Mbak! Eskrim sekarang, ya," ucapku pada pramusaji, karena memang sudah kubayar serta eskrim itu, hanya memintanya mengantar nanti saja.

Eskrim kesukaan Allisya pun tiba. Gadis kecilku semakin kegirangan, meski makan siangnya belum habis. Aku tersenyum bahagia. Di luar sana, banyak sekali anak yang tidak bisa merasakan makanan enak setiap saat. Aku beruntung, anakku lahir dari keluarga beruntung seperti kami.

"Mama, kenapa gak makan?" tanyanya, menatapku.

"Bu, kami permisi duluan, ya."

Belum sempat kujawab pertanyaan Allisya, ibu dan anaknya yang duduk di meja yang sama, pamit pulang duluan.

"Oh, iya, Bu silakan." Dengan ramah kujawab.

Bertepatan dengan itu, ekor mataku menangkap dua wanita beda usia itu keluar dari dalam ruang khusus pemilik resto. Mereka terlihat tergesah-gesah hendak keluar dari restoran ini. Aku sampai ngilu, melihat perut buncitnya dibawa jalan cepat.

Gegas kutundukkan tubuh ini, pura-pura mengambil sumpit yang sengaja kujatuhkan, ketika mereka hampir melewatiku. Entah mengapa, meski aku tak tahu mereka mengenalku atau tidak, tetap saja aku merasa mereka sedang ketakutan padaku. Hal itu dapat kulihat dari cara mereka saat melintasi mejaku.

"Sayang, kamu makan eskrim sendiri, gak pa-pa?"

"Mama mau ke mana?"

"Mau ke toilet, sebentar. Sudah kebelet," ucapku berpura-pura. Kulirik makananku yang sejak tadi hanya kuaduk-aduk. Tak selera rasanya untuk makan, di saat hati ini tengah diburu rasa aneh.

"Ya udah. Jangan lama-lama, ya, Ma. Al takut sendirian. Nanti ada yang menculik Al, gimana?" Bawelku terus saja merengutkan wajahnya, padahal, hanya akan ditinggal sebentar saja.

"Mbak, sudah agak sepi?" Aku memanggil seorang pramusaji yang tengah mengelap meja.

"Eh, Ibu. Udah agak lengang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Temani Allisya sebentar, ya."

Aku segera bangun dari duduk, setelah mendapat persetujuan dari pramusaji itu. Langkahku melebar menuju dapur, akan ada banyak orang yang kutanya tentang wanita tadi.

"Dennis! Siapa wanita yang tadi berani memarahimu?" tanyaku pada salah satu koki yang kebetulan sedang istirahat.

"A-anu, Bu." Pria muda yang baru satu tahun ini menjadi koki di restoran ini, terlihat sangat gugup.


● Part 3
● Oleh-oleh

Masih PoV Nadia

"Siapa wanita hamil yang tadi memarahi kalian?" ulangku dengan nada sedikit meningkat.

Tak hanya Dennis, tetapi hampir seluruh karywan restoran ini pura-pura menyibukkan diri, sepertinya enggan menjawab pertanyaanku.

"Hey, aku ini pemilik restoran ini dan mengapa kalian tak ada yang mau menjawab, satu pun?" tegasku. Kesal juga rasanya, diabaikan seperti ini.

Waktuku tidak banyak, karena Allisya sudah pasti mencariku jika terlalu lama menunggu.

Aku melangkah, mendekati salah satu koki baru yang sepertinya tidak sedang memasak. Tetapi, dia seperti sibuk sekali membereskan sayuran yang tadi sudah selesai digunakannya.

"Katakan pada saya, siapa wanita tadi?"

Pria yang usianya di atasku itu, hanya diam menunduk. "Oke, saya pecat kalian jika tidak ada yang mau bicara!" ancamku.

"Jangan, Bu. Maafkan kami," ucap beberapa pramusaji wanita.

"Cepatlah. Saya tidak akan katakan pada siapa pun, apa yang kalian katakan padaku."

"Tapi, Bu. Kami sudah berjanji tidak akan bicara pada Ibu," ujar Nining, salah satu pramusaji terlama di resto ini.

"Hmm!" Aku menghela napas berat. "Baik. Siapa yang melarang kalian mengatakannya padaku?"

Geram sekali rasanya. Mereka semua kebanyakan wanita, tapi mengapa tak satu pun yang mendukungku. Mengapa mereka justeru terlihat seperti menutupinya dariku.

"Kalian hanya diminta untuk tidak bicara tentang wanita itu padaku, bukan? Tidak ada yang melarang untuk tidak mengatakan, siapa yang menyuruh kalian seperti ini? Jadi, cepat katakan, siapa yang melarangnya?" tegasku lagi. Sesekali aku menoleh ke arah meja Allisya. Aku tidak mau anak semata wayangku melihat apa yang sedang kulakukan pada karyawan di sini.

"I-iya, Bu. Tapi, apa kami semua akan dipecat?"

"Tentu saja! Saya tidak takut kehilangan karyawan yang tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Perasaan seorang istri. Perasaan seorang Ibu!" tekanku.

"Baik, Bu, kami akan katakan siapa yang melarang kami bicara. Tapi kami mohon, jangan pecat kami, Bu." Nining tetap menjadi pembicara di antara yang lainnya, yang hanya sesekali berbisik padanya.

"Oke. Cepatlah!"

"Bapak yang melarang kami mengatakan tentang wanita hamil tadi, Bu. Kami mohon, jangan pecat kami, Bu."

Aku mengangguk paham. Mas Irwan yang melarang mereka mengatakannya padaku. Tanpa dijawab pun, agaknya hati ini sudah sangat paham dengan apa yang telah terjadi.

Tega kamu, Mas!

Kehamilan wanita itu sudah besar. Artinya, sudah cukup lama Mas Irwan berbuat hal tak sepantasnya di belakangku. Awas saja kamu, Mas!

"Mama!" teriak Allisya mengejutkan aku. Sontak saja aku menoleh padanya yang tiba-tiba sudah siap menghambur memelukku.

"Ya Allah, Nak. Bikin kaget saja. Ada apa?"

"Mama lama sekali? Al takut," katanya, terus memeluk pinggangku.

"Gak pa-pa, Sayang. Di sini aman." Kuusap lembut rambut hitamnya, hingga ia merasa nyaman.

"Ingat! Jangan katakan apa pun pada Bapak. Jika dia bertanya tentang saya, katakan saja saya hanya makan di sini. Dan jangan katakan bahwa saya sudah bertemu dengan wanita itu." Aku memicingkan mata, mengancam ke semuanya tentang yang terjadi siang ini.

"Baik, Bu, kami janji."

"Saya pegang janji kalian. Jika kalian punya hati, sepatutnya kalian lebih mengerti diriku."

Aku segera beralih ke ruangan khusus Mas Irwan. Tidak kuduga, pintunya terkunci.

"Di mana kuncinya?" tanyaku pada Hana, yang kebetulan ada di dekatku.

Hana memang anak baru di resto ini. Ia menoleh pada seniornya, seolah meminta pendapat untuk menjawab pertanyaanku.

Nining mendekat ke arahku, tetap menunduk seperti menahan rasa takutnya. "Maaf, Bu. Kuncinya dibawa oleh Ibu Rita," ujarnya.

Aku mengernyit. Apa, wanita itu bernama Rita?

"Siapa Rita?" tanyaku lagi, mencoba lebih tenang sebab ada Allisya di sampingku.

"An-anu, Bu. Yang tadi. Ibunya namanya Bu Rita."

Aku mengangguk lagi. Jadi, wanita setengah baya itu yang bernama Rita.

"Tulis nomor teleponmu di sini." Kuberikan ponsel dengan tampilan papan ketika telepon, untuk memudahkan Nining menulis nomornya. Sebetulnya aku ingin bertanya banyak tentang wanita hamil itu, paling tidak, namanya saja. Tetapi, aku tidak ingin rasa penasaran Allisya akan membawaku pada kesulitan.

Aku harus bisa menyelidiki ini sendiri, meski sulit harus kudapatkan.

"Ada apa, sih, Ma? Kita masuk aja, yuk!" ajak Allisya, menunjuk ke ruangan khusus milik Papanya. Karena biasanya pun, anak gadisku selalu dibebaskan masuk ke dalam sana asalkan ada aku atau Papanya.

"Gak bisa, Sayang. Pintunya dikunci dan dibawa oleh sekretaris Papa yang baru." Aku mencoba menjelaskannya pada Allisya, agar gadis kecilku tak memaksa masuk. Di dalam sana, ada beberapa boneka barbie kesayangannya. Pasti Allisya rindu pada boneka-boneka itu.

"Yaaah ... kita pulang saja, Ma, Al ngantuk. Biasanya, bisa bobo di dalam sana," tunjuknya ke arah pintu bertuliskan 'Owner' itu.

"Ya, sudah. Kita pulang saja." Kugamit jemari kecil itu menuju keluar restoran, setelah mendapatkan kembali ponselku yang tadi Nining gunakan untuk menyimpan nomor teleponnya.

Aku mengedipkan mata ke arah Nining, berharap gadis itu berpihak padaku dan tidak akan membocorkan ini pada Mas Irwan maupun wanita itu.

Sepanjang perjalanan pulang, hati ini merasakan panas yang teramat. Pantas saja, dua bulan ini Mas Irwan tidak pernah mau mengijinkan aku datang ke sini. Padahal, jarak dengan rumah kami pun tidak terlalu jauh. Bo_dohnya, aku juga tidak curiga sedikitpun. Malah terlena dengan kesibukan baru yang Mas Irwan beri.

Ya, dua bulan ini Mas Irwan memintaku menjadi direktur di aplikasi pesan antar yang ia buat untuk memudahkan pelayanan melalui laman internet, bagi para costumer yang tidak sempat datang ke restoran kami.

Jika dibandingkan dengan omset penjualan secara offline, tentu saja lebih banyak omset secara online dalam aplikasi yang kupegang. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Tapi yang jelas, pencapaian di aplikasi semakin meningkat dalam dua bulan ini, sejak dua tahun lalu Mas Irwan buat.

Tak hanya di aplikasi yang dibuat khusus, kami juga membuka kedai online di beberapa layanan pesan antar lainnya, seperti pada layanan ojek online yang juga menyediakan pesan antar berbagai makanan.

"Nak, mama boleh minta tolong?" ucapku pada Allisya, ketika kami sudah berada di dalam mobil menuju pulang.

"Apa, Ma?"

"Jangan bilang sama Papa, kalo Mama tadi ngobrol di dapur sama pekerja restoran kita, ya."

"Emang kenapa?"

"Gak pa-pa. Soalnya ... Om Badrun gak masuk. Takut Papa jadi marah sama Om Badrun," bohongku. Untung saja aku tiba-tiba ingat pada Badrun.

"Oke, Ma."

Ah, syukurlah. Semoga saja, Allisya bisa menjaga ucapannya.

Kami sampai di rumah tepat jam dua siang. Gegas kubereskan surat-surat pemeriksaan di rumah sakit tadi. Sepertinya, tidak perlu kuceritakan hal ini juga pada Mas Irwan. Lebih baik kisimpan di tempat yang aman.

Ponselku berdering, panggilan dari Mas Irwan. Panjang umur, batinku, seraya meraih benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumussalam. Sudah pulang?"

"Sudah. Baru aja sampe. Ada apa?"

"Mas juga sudah mau pulang. Mau dubelikan oleh-oleh apa?" tawarnya.

"Seperti biasa aja, Mas. Kue bandros Bandung, ya." Kutekan nada bicaraku agar tetap terdengar biasa saja. Jangan sampai lelakiku mencurigai apa yang sedang ku-curigai darinya.

"Siap, Bos. Allisya mau apa, ya?"

"Bolu susu aja, kayak biasa," jawabku.

**
Jam sembilan malam, Mas Irwan sudah sampai di rumah. Ini tidak biasa, karena biasanya ia akan sampai ke rumah menjelang dini hari. Paling cepat tengah malam.

Suamiku itu mengucap salam dengan ceria, sepertinya ingin disambut ceria pula. Kuikuti maunya, menjawab salam itu tak kalah manis. Allisya yang kebetulan belum tidur, menghambur ke pelukan sang Papa.

"Nih, oleh-oleh buat kalian." Mas Irwan memberikan dua buah papper bag ke arahku dan segera kubawa masuk ke dalam dapur, berniat untuk menyajikannya.

"Hah? Kenapa isinya bolen pisan dan beberapa macam kue kering?" gumamku. Kubuka lagi papper bag satunya. "Wajik? Di mana pesananku?"


● Part 4
● Penyamaran

Nadia PoV

Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.

Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.

Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar.

"Sudah malam, Sayang."

"Ah, Mama ... masih seru," rengeknya.

"Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?"

"Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku.

"Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak.

"Iya, Ma."

"Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa.

"Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susunya," mohonnya. Mana tega kubantah keinginannya yang sepele itu. Tapi masalahnya, tidak ada bolu susu seperti yang dikatakannya.

"Anak cantik gak mau bobo, ya, Ma?"

Aku menoleh ke sumber suara. Mas Irwan sudah berganti pakaian, menghampiri kami yang masih di ruang tamu.

"Iya," jawabku singkat. Ingin bersikap biasa saja, tapi rasanya tetap sulit. Bagaimana pun juga, aku sudah menyadari bahwa aku sedang dibohongi.

"Allisya mau makan kuenya, Pa," rengek si cantik Allisya, menghambur ke pelukan suamiku.

"Boleh. Tolong, Ma, diambilin. Biar Papa yang suapi. Tapi ingat, jangan banyak-banyak dan langsung sikat gigi. Oke?"

"Oke, Pa!" Gadis kecilku begitu antsias. Maaf, Sayang, sebentar lagi kamu akan kecewa karena kue yang kamu inginkan mungkin telah berpindah ke alamat lain yang Mama sendiri tak tahu, batinku.

Kuambilkan oleh-oleh yang Mas Irwan bawa, tetap dalam kotak dan bungkusnya masing-masing. Sejak melihat isinya yang tak sesuai pesanan, aku jadi malas untuk memindahkannya ke atas wadah di rumah.

"Nih," ucapku, memberikan kotak berisi bolen pisang ke arah Mas Irwan.

Lelaki itu sontak membeliakkan mata, lalu menoleh ke arahku. Aku tersenyum tipis ke arah wajahnya yang terlihat sedikit pucat.

"Ada apa, Mas?" tanyaku tetap santai.

"Oh. Gak pa-pa." Ia menggeleng, menerima kotak itu dan beberapa kue kering yang kuberikan. Jelas sekali aku melihat kepanikan di wajahnya.

Jangan menganggapku sebodoh itu, Mas. Aku tersenyum getir, ketika ia membuka kotak itu dan terlihat sedang berpikir.

"Lho, Pa? Ini apa?" tanya Allisya, menatap kue itu sedikit heran. Kami memang tak pernah memberinya kue yang kini ada di tangan Mas Irwan. Wajar saja gadisku itu tak tahu.

"Ini namanya pisang bolen, Sayang. Rasanya enak. Cobain, dulu, ya." Tak kusangka, pria di hadapanku pandai sekali berakting. Wajah tegangnya seketika lenyap ketika Allisya bertanya.

"Kue kesukaan aku mana?"

"Tadi tokonya tutup, Sayang. Jadi, Papa belikan yang ada saja." Pria itu kembali menjelaskan pada putri kami, namun tetap tak mendapat respon yang baik dari Allisya. Bocah cantik itu merengutkan wajahnya, seraya menyilang tangan di depan dada.

"Ini enak, lho, serius." Mas Irwan memakan kue yang tadi tak diterima oleh Allisya. Ia kemudian menoleh padaku.

"Ma, maaf ya. Papa juga gak nemun kue bandros yang biasa Papa beli itu. Gak tau, hari ini sepertinya banyak yang tutup," ucapnya.

"Gak pa-pa. Tapi, itu Papa yang habiskan saja. Papa 'kan tau, Mama gak suka pisang." Aku berbicara dengan nada yang lembut. Namun, kedua mataku kutajamkan ke arahnya saat Allisya tak melihat kami.

"Sayang, yuk, bobo." Aku menarik jemari bidadari kecilku. Tak kusangka, ia tak membantah. Sepertinya, Allisya kecewa pada Papanya.

**
Allisya sudah terlelap di kamarnya. Aku masuk ke kamarku dengan Mas Irwan. Rupanya, pria itu sudah menunggu di atas kasur kami.

"Sini!" panggilnya, menepuk kasur di sampingnya.

Aku abai. Kupakai skincare malamku setelah tadi sempat cuci muka di kamar mandi Allisya. Tiba-tiba saja, lelakiku mendekat ke arah kursi kayu meja riasku. Tangannya ia lingkarkan di leher jenjangku.

Ia merundukkan tubuh, menyusuri setiap inci tengkuk yang tak tertutup rambut.

"Permisi, Mas, aku mau ke kamar mandi." Aku bangkit setelah melepaskan tangannya. Kuulas sedikit senyuman agar ia tidak curiga.

Bagaimana pun juga, aku harus pandai menyembunyikan rasa dan apa pun yang sudah kuketahui.

Selesai dari kamar mandi, aku langsung merebah ke atas kasur. Kupejamkan mata yang sebetulnya tidak mengantuk ini. Sebagai wanita, aku pun sama ingin bertanya dan memakinya, menunjukkan segala rasa yang kini menempel di hatiku.

Aku sangat penasaran, ingin bertanya langsung tentang wanita hamil dan ibunya itu. Tapi aku yakin, hanya kebohongan yang akan kudapat, jika bertanya padanya.

Ya, nanti saja, setelah aku tahu semuanya dengan kata kepalaku sendiri.

"Sayang ..." ia yang semula masih menunggu di depan meja rias, kini ikut merebah ke atas kasur.

"Aku sedang ha_id, Mas," ucapku. Ya, aku tahu dirinya sedang berhasrat. Buktinya, sejak tadi terus saja mendekatiku. Dan hanya jawaban itu yang bisa mengamankan aku untuk saat ini.

Aku tidak akan membiarkanya menyentuhku, sebelum kuketahui semuanya. Jangan sampai aku mengandung benih cintanya, saat kapal yang dinahkodainya nyaris karam.

"Yaaah ... padahal udah sengaja pulang cepat," desahnya.

"Maaf," ucapku seraya melengkungkan senyuman.

"Gak papa. Oh, ya, Sayang. Apa tadi resto rame?"

"Rame, pas jam makan siang."

"Owh, syukurlah. Aplikasi, rame?"

"Rame juga, Alhamdulillah."

"Emm ... apa tadi di resto, kamu ketemu orang asing?" tanyanya.

"Orang asing? Bukannya semua pengunjung itu asing, ya, Mas? Paling ada beberapa pelanggan tetap," tukasku, menoleh penuh selidik ke arahnya.

Sebetulnya aku paham betul, apa yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tentu saja aku bertemu wanita asing itu, Mas. Sudah bagus, tidak kujam_baki rambut pirang wanita hamil yang tidak punya baju gobrang itu. Aku tidak mau imageku hancur hanya karena seekor wanita mu_rah_an.

"Iya. Semuanya bahkan tampak asing," kekeh Mas Irwan kaku.

Pada akhirnya, kami terlelap dengan pikiran masing-masing. Tak akan kutanyakan apa pun kepadanya, karena aku mampu bergerak sendiri dan mengendalikannya sendiri. Daripada hanya kebohongan yang akan kudapatkan.

**
Mas Irwan sudah berangkat ke resto yang kemarin kutemukan seonggok wanita tak punya malu itu. Rencananya, sedikit siang nanti, aku akan menyusul tanpa membertitahunya.

Tidak akan lama. Aku hanya ingin melihat lagi wanita itu, sekadar untuk memastikan bagaimana sikapnya pada Mas Irwan. Setelah itu, akan kujemput Allisya di sekolah.

Waktu yang kunanti pun tiba. Sudah kusiapkan beberapa helai pakaian yang tak biasa, serta make up yang sedikit tebal. Aku juga akan memakai hijab dengan warna yang sangat jreng, demi menunjang penyamaran ini. Tak lupa kugunakan kacamata hitam lebar, serta masker untuk menutupi wajah. Setidaknya. Saat kubuka kacamata dan makser, aku tetap terlihat berbeda.

Aku pun siap berangkat, setelah mengenakan semuanya. Jangan lupakan mobil lain yang sejak kemarin sore kusewa khusus untuk hari ini.

**
Aku masuk ke dalam restoran yang masih sepi, duduk di kursi yang mengarah langsung ke pintu area dapur. Tak kutemukan sosok Mas Irwan di dalam sana. Namun aku menangkap sosok wanita hamil itu seorang diri, tengah mengecek buku kasir.

Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.


● Part 5
● Didera Dilema

Nadia PoV

Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.

Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.

[Di mana Bapak?]

Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.

Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.

[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.

Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.

[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Nining.

Aku segera berjalan masuk ke area samping dapur, di mana ruangan khusus owner berada. Sambil memerhatikan kesibukan wanita hamil itu, aku melangkah kian masuk ke area dalam restoran.

Aku harus mendapatkannya sekarang juga, seiring berjalannya kecurigaan ini yang semakin menggebu. Lihat saja, Mas, aku tidak akan diam saja kau bohongi.

Wanita hamil itu masih sibuk memeriksa buku kasir, aku memanfaatkan waktu untuk menyelinap masuk. Ah, si_al! Masuk ke ruangan sendiri pun harus mengendap seperti maling. Aku dikagetkan dengan tepukan di bahu, ketika tangan ini sudah memegang tuas pintu ruangan owner.

"Anda siapa? Mau ngapain?" tanya seorang pramusaji, melemparkan tatapan menikam ke arahku. Aku tak punya banyak waktu lagi. Gegas kukeluarkan kartu nama di dalam tas yang selalu kubawa.

Kuangkat kartu nama itu tanpa suara sedikitpun, namun tatapan mata ini membalas menikamnya agar diam.

"Maaf, Bu." Dia menunduk dan aku yakin ia akan bungkam tentang aku yang menyelinap masuk.

Aku mengunci ruangan khusus ini dari dalam, mencari petunjuk tentang apa yang sebetulnya telah Mas Irwan tutupi dariku.

Kusisir seisi ruangan dan belum menemukan apa-apa, sementara jarum jam di dinding ruangan ini terus berputar tanpa lelah.

Kubuka laci meja, kotak berkas bahkan brankas yang ternyata sudah tidak bisa kubuka dengan kode yang kuketahui.

"Mas Irwan sudah merubah kode brankas ini. Keterlalu kamu, Mas!" gumamku, menggerutu akan semua yang telah suamiku lakukan di belakangku. Baru dua bulan saja aku tidak masuk ke dalam sini, ia sudah melakukan segala tindakan di luar sepengetahuanku.

Baiklah. Aku tidak akan memaksa brankas ini untuk terbuka. Lain kali aku kembali, Sayang, batinku.

Gegas kubuka kembali kotak berkas dan laci, mencari beberapa lembar berkas penting yang harus segera berpindah ke tanganku.

Beres! Berkas itu sudah aman di dalam tasku dan aku segera mengendap untuk keluar dari ruangan ini.

Pramusaji tadi masih berdiri di samping pintu. "Aman, Bu," ucapnya, seolah paham jika aku memerlukan penjagaan.

"Terima kasih," ucapku.

Pandangan ini terus tertuju padanya, sehingga aku tanpa sengaja menabrak seseorang.

"Maaf, maaf," ucapku dengan sopan, tanpa melihat wajah yang kutabrak. Namun, mataku tepat terarah pada perut yang buncit dengan pakaian yang sudah kukenali sejak datang pagi ini.

"Tidak apa. Maaf, anda siapa? Mengapa keluar dari arah dapur?" tanyanya dengan suara yang lembut.

"Maaf, Bu. Saya baru saja habis komplen karena ada lalat dalam makanan saya," jelasku berbohong. Bagusnya, masker di hidung dan mulutku masih tertutup dengan rapi.

"Oh, begitu. Saya sebagai pemilik restoran ini, sangat menyesal atas kejadian kurang mengenakan itu, ya, Bu. Saya harap, Ibu tidak akan kapok datang dan makan di restoran kami," ucapnya dengan sangat ramah.

"Oke. Hari ini saya maafkan. Tapi, jika lain kali ada kejanggalan lagi dalam restoran ini, saya tidak akan segan-segan memviralkannya. Anda sebagai pemilik, seharusnya bisa lebih upgrade pengetahuan, agar pelanggan selalu puas dan betah makan di sini!" balasku. Aku sengaja menggertaknya. Sekalian saja, mumpung dia tidak mengenali siapa aku.

"Jangan begitu, Bu. Saya benar-benar minta maaf," ucapnya seraya menunduk takut.

"Oke. Tak apa." Aku melenggang sombong meninggalkannya. Dada ini terasa panas ketika mendengar dirinya menyebut sebagai pemilik restoran ini.

"Bu, Bu! Jangan pergi dulu. Sebagai permintaan maaf, ijinkan saya memberikan satu porsi makan gratis untuk Ibu. Pilihannya bebas," mohonnya, setelah mengejarku beberapa langkah.

"Maaf. Saya bukan orang mis_kin yang suka dengan barang gratisan, ataupun diskon. Makanan gratisnya buat pengemis saja," ucapku sedikit menunduk ke arah telinganya yang memang tidak setinggi tubuhku.

Ia menunduk lemah, seolah tersinggung dengan ucapanku.

"Kalau anda ingin menebus kesalahan, silakan perbaiki kepemimpinan anda terhadap restoran ini. Ingat, yang dibutuhkan pelanggan adalah kepuasan, bukan gratisan yang enggak mutu!" tegasku lagi. Kali ini aku benar-benar pergi meninggalkannya. Ternyata dia betul-betul tidak mengenaliku seperti kemarin sempat ketakutan.

Aku yakin, kemarin Mas Irwan yang sudah memberitahunya tentang kedatanganku. Bagus juga kostum norak dengan warna ngejreng ini untuk mengelabui wanita itu, yang tidak pintar-pintar amat.

"Sombong! Sana aja pergi, gak usah datang lagi." Aku masih bisa mendengar gerutunya dari jarak beberapa meter. Kulengkungkan senyuman merekah atas keberhasilanku hari ini, meski belum sepenuhnya berhasil. Setidaknya, untuk hari ini sudah cukup membuat jantungnya berdebar.

**
Di dalam mobil, kuhapus make-up aneh yang kupakai tadi di rumah. Masih ada banyak waktu. Jangan sampai Allisya melihatku dengan dandanan yang super heboh ini. Bagaimana pun juga, ia tidak boleh tahu masalah apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya.

Sesampainya di sekolah, kusempatkan mengganti pakaian ini dengan pakaian sederhana yang biasa kukenakan di dalam toilet sekolah. Allisya bisa heran, jika aku tetap mengenakannya.

Gadis kecilku sudah keluar dari kelas, tepat di saat aku selesai dari toilet.

"Mama!"

"Sayang."

"Mama, kok, pucet? Mama sakit?" tanyanya, setelah menyalami punggung tanganku.

Aku menggeleng, menjawil ujung hidungnya yang bangir. "Enggak. Mama sehat, kok."

**
Allisya sudah tidur siang setelah tadi kutemani makan siang. Seketika bayangan Mas Irwan tengah bermain dengan perempuan lain, tiba-tiba membayang menakutkan.

"Astaghfirullah," gumamku.

Kusambar ponsel yang tergeletak di atas meja kamar Allisya, lalu keluar dari sana agar tidak menganggu.

Tidak ada pesan dari Mas Irwan seperti biasanya, yang selalu bertanya apakah aku dan Allisya sudah makan siang atau belum. Isi whatsapp-ku bahkan benar-benar kosong, tak ada satu pun pesan yang masuk.

Entah mengapa, aku jadi merasa kehilangan. Mas Irwan, kamu sedang apa? Di mana?

Baiklah. Aku akan coba mengirim pesan lebih dulu.

[Mas, sudah makan?]

Tidak berapa lama, pesanku terbalas.

[Sudah. Kalian sudah makan? Maaf, ya, Papa agak sibuk hari ini.]

[Sibuk apa?]

[Restoran yang di Tangerang kebakaran, sebagian area dapur hangus terbakar. Maaf, Mas tidak memberitahu sebelumnya, takut kamu syok. Yang penting, sekarang semua baik-baik saja.]

"Astaghfirullah ... jadi, ini alasan Mas Irwan sibuk seharian tak memberi kabar. Bakhan dia pergi ke sana tanpa seijinku," gumamku.

"Apa aku sudah salah paham padanya? Tapi, siapa wanita hamil yang sudah mengaku sebagai pemilik resto itu?" Aku bermonolog, dengan deraian air mata yang kian menderas.

Sebaiknya segera kucek berkas yang tadi sudah kudapatkan. Semoga dengan itu, aku bisa mendapatkan jawaban atas semuanya.

Bersambung ...
Wah, ternyata Irwan jujur sedang di Tangerang karena restonya kebakaran. Lalu, mengapa dia berbohong soal wanita itu?

Dan berkas apa yang Nadia ambil dari ruang khusus owner itu?

 

  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dinikahi Duda (Perjaka)
0
0
Kabar gembira dari Naira dan Shaka!Makin baperrr….Bab 60, 61, 62, 63 dan 64
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan