
”Akhirnya saya menemukanmu, Nona Museum.” –Tobias De Guerra.
────────୨ৎ────────
Isabella Zeeshan, putri tercinta Alvarendra Zeeshan yang kini menginjak usia 23 tahun. Parasnya yang cantik membuat banyak pria berlomba-lomba ingin memilikinya, namun, Isabella tidak pernah tertarik dengan dunia percintaan. Ia menghabiskan waktu hanya untuk menggambar, melukis, bermain alat musik, dan membaca buku. Monoton memang, tetapi tak mengurangi daya tariknya sedikit pun. Semua orang mengetahui bahwa Isabella merupakan perempuan yang acuh pada banyak hal, namun, tidak banyak orang yang tahu jika Isabella adalah sosok perempuan hangat bagi orang-orang yang penting dalam hidupnya, untuk saat ini hanya ada dua orang penting dalam hidup Isabella, yaitu sang Ayah, Alvarendra Zeeshan, dan sang Ibu, Talita Elshanum.
Tobias De Guerra, pria berusia 30 tahun asal Spanyol yang merupakan CEO dari salah satu Perusahaan milik keluarganya, De Guerra House, Tobias mengemban sebagai CEO Perusahaan De Guerra House bidang Industri Pariwisata dan Perhotelan. Puluhan Hotel dan Jasa Pariwisata De Guerra House sudah tersebar di seluruh dunia. Menjadi anak emas diantara 3 bersaudara membuat dirinya disibukan dengan pekerjaan hingga Tobias tak memiliki waktu untuk memikirkan kisah asmara, tak ada gadis yang bisa menarik perhatiannya, terkecuali seorang gadis misterius yang hanya sibuk dengan hobi seninya, Isabella Zeeshan.
****
New York, Amerika Serikat.
Jam dinding menunjukan pukul 1 pagi, tetapi seorang gadis belum juga pulang dari klub malam, dirinya sudah mulai merasakan pening, tetapi ia belum bisa pulang karena teman-temannya masih berpesta di sini.
"Truth or dare, Bell?"
"Truth."
"Berapa kali kamu dan Justin having sex?" Teman-temannya yang lain tertawa dengan pertanyaan yang dilontrakan untuk gadis itu.
"Dude, I never do that."
"Kami tidak percaya."
"Terserah."
"Kenapa kalian tidak pernah melakukan itu?" Tanya seorang teman, penasaran.
"Karena Bella tidak mau," jawab seorang lelaki, yang diketahui adalah kekasih Bella, Justin.
"Bell, kamu normal, kan?"
"Tentu!" Jawab Bella.
"Kalau gitu, lakukan sekarang."
Bella terdiam, ia menatap teman-temannya yang sudah menunggunya. Tangannya terkepal menahan kesal, sedangkan Justin mengusap bahu Bella.
"See? Bella tidak normal," ujar Jenny pada teman-temannya, mereka pun tertawa. Hal itu membuat Bella semakin kesal, ia mengambil botol sampanye dan meneguknya, setelah itu duduk di atas pangkuan Justin dan mencumbu Justin dengan menggebu-gebu.
Suara sorakan dan tepuk tangan teman-teman Bella terdengar sangat riuh. Bella kembali meneguk botol sampanye yang berada di tangannya lalu mencium Justin lagi, pria itu tentu saja senang, tangannya mengusap punggung Bella.
Kesadaran Bella mulai menghilang, Justin beranjak berdiri dengan Bella yang berada di gendongannya. Ia mengambil kunci mobil Bella yang tergeletak di meja dan berpamitan pada teman-teman mereka.
Bella masih berciuman dengan Justin yang terus berjalan menuju parkiran. Ia meletakan tubuh Bella di kursi belakang, mereka terus bercumbu di kursi belakang dengan Bella yang duduk di atas pangkuan Justin.
Tangan Justin mengusap punggung Bella, mencari resleting dress yang Bella kenakan. Setelah itu membukanya. Bella berusaha menarik kepala Justin agar menjauh dari dadanya, tetapi tenaganya telah habis.
"Jus.. Justin stop."
"Apa?"
"Berhenti, Justin. Aku tidak bisa melakukan ini. Tolong bawa aku pulang ke apartemenku."
Raut wajah Justin berubah menjadi kecewa, sedangkan Bella kembali memakai dressnya. Ia keluar dari mobil, berpindah duduk di kursi depan. Justin menghela napas frustasi lalu berpindah ke kursi kemudi.
****
Talita Elshanum atau yang kerap dipanggil El, ibu dari Bella, membuka sosial media Bella karena ia begitu merindukan anaknya, tetapi dirinya dikejutkan saat melihat unggahan teman-teman Bella yang menandai Bella.
Foto dan video Bella yang tengah minum, menari, bercumbu, dan mabuk. Dada El terasa sangat sesak melihatnya, terlebih pada video di mana Bella mencumbu seorang pria dengan begitu buas disertai keterangan 'Bella lost her virginity tonight.'
Hati El terasa sakit sekali, air matanya langsung menetes begitu saja, tubuhnya gemetaran, dadanya terasa sesak, "Mas Alvaaa.." ia memanggil suaminya.
Alva yang baru saja selesai mandi pun menghampiri El, "ya, Sayang?"
El memberikan ponselnya pada Alva, "Bella.." Alva mengernyit, ia menggulir layar ponsel El, dirinya ikut terkejut, "ya Tuhan.."
"Mas Alva, Bella.. Bella.." tubuh El limbun, untung saja Alva segera menangkapnya dan memanggil untuk menyadarkan istrinya, "El? Talita?" Tak ada sahutan, El benar-benar pingsan. Pria itu pun membopong tubuh El dan membawanya ke rumah sakit.
****
Pagi harinya saat Bella terbangun di kamar apartemennya, kepalanya terasa sangat pusing. Ia mencari ponselnya dan terkejut saat melihat banyaknya notifikasi, ia tak mendengar satu pun karena sejak semalam, ponselnya ia heningkan.
67 missed call from Daddy
28 missed call from Omar
5 messages from Daddy
8 messages from Omar
Bella segera menelepon Alva, tetapi nomor Ayahnya tak aktif, akhirnya Bella menelepon adiknya.
"Halo, Mar. Ada ap—"
"What the hell are you doing, Kak?!"
"Hah? Apa sih?" Bingung Bella.
"Liat instagram Kak Bella, Bubu masuk rumah sakit karena itu. Pulang sekarang juga atau Kak Bella akan menyesal.”
Sambungan telepon terputus, Bella segera membuka instagramnya. Ia terkejut ketika melihat ada banyak sekali foto dan video semalam yang ditandai teman-temannya.

"SHIT!" Umpat Bella, ia segera berlari menuju lemari, memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, mengambil beberapa barang-barang pentingnya, setelah itu memesan tiket pesawat dan bersiap-siap untuk pulang ke Indonesia.
****
Jakarta, Indonesia.
Setelah mendapat informasi kamar inap El, Bella berlari cepat. Dari Bandara ia langsung menuju rumah sakit karena orang tua dan adiknya berada di rumah sakit.
Ia tiba di depan kamar VVIP, terdapat beberapa pekerja Alva yang menjaga. Bella langsung masuk ke dalam, ia melihat adiknya yang tengah tidur di sofa dan Ayahnya yang tertidur dengan posisi duduk di sebelah El.
"Baru datang, Bella?"
Itu suara Alva, ia menoleh dan beranjak mendekati Bella, "Daddy." Bella ingin memeluk Alva, tetapi Alva menolaknya.
"Kamu bukan putri kecil Daddy yang Daddy kenal."
"Dad, I'm so sorry."
"Apa maafmu bisa membuat Ibumu sembuh?"
Bella melirik El, lalu kembali menatap Alva, "Bella menyesal, Dad. Bella minta maaf."
"Ibumu merindukanmu, Bella. Ibumu hanya ingin kamu pulang, justru kamu bersenang-senang dengan teman-temanmu di sana sampai membuat Ibumu jatuh sakit."
Bella menundukan kepala, baru kali ini Alva berbicara seperti ini padanya, biasanya Ayahnya itu selalu memanjakanya bagaikan gadis kecil.
"Siapa laki-laki itu?"
"Justin, pacar Bella."
"Berapa umurnya? Tinggal di mana dia? Pekerjaannya apa?"
"25 tahun, dia asli Spanyol tapi tinggal di New York, dia atlet basket, Dad."
"Kamu sudah melakukan hubungan intim dengan dia?"
Bella segera menggeleng, "enggak, Dad. Demi Tuhan, Bella nggak pernah melakukan seks dengan siapa pun, Bella masih menjaga diri Bella."
"Apa dia ingin menikahi kamu?"
"Iya, tapi nggak sekarang karena karirnya lagi naik, dia belum bisa menikahi Bella sekarang."
Alva menghela napas, "putuskan hubunganmu dengannya dan menikah dengan pria pilihan Daddy." Setelah itu Alva berjalan keluar ruangan, sedangkan Bella mematung di tempat.
Air matanya menetes, tubuhnya terasa kaku, dengan gemetaran ia mendekati El, "Mom, I'm sorry. Tolong bantu Bella, Bella tidak mau dijodohin."
****
Dinginnya angin malam yang menusuk kulit tak membuat Bella beranjak dari tempatnya, sudah sejak satu jam yang lalu ia duduk di kursi taman rumah sakit seraya menangis. Gadis itu menangisi nasibnya saat ini. Orang tuanya benar-benar marah dengannya, ia tak bisa melakukan apapun selain menuruti perkataan Alva.
"Kak." Seseorang duduk di sebelah Bella.
"Sejujurnya gue kecewa sama lo, Kak. Daddy dan Bubu sayang banget sama lo, bahkan lo anak kesayangan Daddy. Tapi lo justru buat mereka kecewa sama lo, dan gue ikut kecewa karena lo udah bikin Bubu masuk rumah sakit," ujar Omar.
"Lo egois, Kak. Seharusnya lo pulang ke Indonesia setelah lo menyelesaikan kuliah di sana. Tapi justru lo nggak mau pulang dan bikin kedua orang tua lo sedih. Gue baru aja setahun di Oxford dan lagi ujian semester tapi harus pulang karena denger kabar Bubu sakit," imbuhnya.
"Gue juga kecewa sama apa yang udah lo lakuin. Lo perempuan, punya harga diri, tapi di dalam video itu lo bener-bener kayak jalang." Tangisan Bella semakin kencang setelah mendengar penuturan adiknya.
Pria berusia 20 tahun ini menghela napas, "tapi mau bagaimana pun, lo tetep kakak gue. Gue nggak akan ninggalin lo dalam keadaan apapun." Omar menarik Bella ke dalam dekapannya, menenangkan kakaknya yang terus saja menangis.
"Satu-satunya permintaan maaf yang bisa lo tebus untuk Daddy dan Bubu adalah, menerima keputusan Daddy. Lo harus menikah dengan pria pilihan Daddy."
****
Barcelona, Spanyol.
Suara sepatu pantofel yang setara dengan harga sebuah mobil itu terdengar di telinga para pelayan ketika seorang pria bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam, dan rahang yang tegas, berjalan memasuki mansion. Kepala mereka semua tertunduk saat pria itu melewati mereka, tak ada yang berani menegakan kepala atau bahkan meliriknya sedikit saja.
"Tobias."
Langkah pria itu terhenti, mata tajamnya melirik tangga mewah, tanpa mengindahkan panggilan seorang pria yang tengah berdiri di tangga, Tobias kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah ruangan yang jarang sekali dimasuki oleh orang lain, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke dalam ruangan ini.
Pintu terbuka, suara langkah kaki Tobias yang memasuki ruangan nuansa hitam ini membuat seorang pria setengah baya menoleh, senyum kecil terangkat di sudut bibir pria itu.
"Welcome home, my middle son."
Hembusan napas berat keluar dari bibir Tobias, "to the point, Papa menginginkan saya mengatasi pertemuan di mana?"
Pria setengah baya tersebut tertawa mendengar pertanyaan putranya yang sangat tepat, "Indonesia."
Kening Tobias mengkerut, "tidak biasanya De Guerra tertarik dengan Asia Tenggara."
"Nak, ini bukan pertemuan kecil. Ada banyak petinggi negara yang datang, Papa ingin sekali datang, tetapi ada urusan yang jauh lebih penting. Kau anak Papa satu-satunya yang bisa Papa andalkan dibanding Theo dan Taylor."
Memujinya ketika seseorang membutuhkan perannya, sudah biasa Tobias rasakan, terlebih dengan Ayahnya, pria setengah baya itu memang seringkali mengagungkannya dalam urusan bisnis keluarga dibanding dengan 2 saudaranya yang lain.
"Kau memegang perusahaan di bidang pariwisata dan perhotelan, Indonesia memiliki beberapa tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan manca negara, salah satunya Bali. Kau bisa membuat resor di sana, atau bahkan hotel jika kau mau." Mengiming-imingkannya dengan sesuatu yang cukup menggirukan juga keahlian dari Tuan Hector De Guerra Vázquez.
"Hanya itu?"
Senyum Hector merekah, ia beranjak dari kursinya, menghampiri anaknya yang berdiri bagaikan patung, lalu memeluknya singkat, "kau memang anak yang paling bisa diandalkan, berangkat malam ini ke Indonesia."
****
Penerbangan dari Barcelona menuju Jakarta memakan waktu 16 jam 30 menit tanpa transit, satu hal yang tak Tobias sukai ketika terbang ke benua Asia, yaitu membuang waktu yang cukup lama di atas udara.
Dirinya terbang menggunakan pesawat jet pribadi milik perusahaan keluarganya, ada 3 jenis pesawat jet pribadi yang dimiliki untuk mengantar penerbangan bisnis anggota keluarga De Guerra.
Di antara 2 saudara yang lainnya, Tobias lah yang paling sering menggunakan jet pribadi ini, karena kakak dan adiknya bukan orang yang aktif dalam berbisnis seperti dirinya, maka itulah yang menyebabkan Tobias menjadi anak yang paling diagungkan oleh Hector.
"Andreas," panggil Tobias, ia melempar ipad yang baru saja ia baca ke meja di depannya, kepalanya terasa pening.
"Yes, Sir?"
"Berapa jam lagi kita akan mendarat?"
Andreas, pria berpakaian rapih yang selalu sigap membantu Tobias, biasa disebut asisten pribadi Tobias, pria itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "2 jam, Tuan."
"Saya ingin istirahat sejenak, kepala saya terasa pening setelah membaca berita hoax itu," geramnya, ia beranjak dari kursinya menuju sebuah kamar yang memang didesain di jet pribadi ini berguna untuk Tobias beristirahat.
Melihat kepergian Tuannya, Andreas pun mengambil ipad yang terdampar di meja, helaan napas terdengar berat saat pria itu membaca berita yang tertera.

"Apa maunya wanita sinting ini, Ya Tuhan?" Gumam Andreas.
****
Pesawat mendarat dengan sempurna, sebuah mobil Range Rover hitam membawa Tobias ke salah satu hotel ternama di Jakarta, Indonesia. Pria itu butuh mandi air dingin setelah belasan jam berada di udara. Setiba di hotel, Tobias langsung mandi dan beristirahat, karena nanti malam dirinya akan langsung menghadiri acara pertemuan yang diminta oleh Hector.
Hanya Andreas yang bisa mengakses kamar hotel Tobias, asisten itu meletakan barang-barang tuannya yang akan dipakai oleh sang tuan untuk acara nanti malam.
Melihat Tobias terlelap hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya, membuat Andreas mengurungkan diri untuk berbicara pada pria itu. Ia keluar dari kamar Tobias dan menuju kamarnya yang masih berada 1 lorong yang sama.
****
"Sayang, tolong bantu." Alva mendekati istrinya yang tengah memoles wajah, ia meminta bantuan pada istrinya untuk mengaitkan kancing kemejanya yang sulit sekali dikancingkan.
"Isabella sudah siap?" Tanya Alva, tadi pagi ia sudah mengatakan pada putrinya untuk ikut ke acara pertemuan malam ini. Selain karena acara ini merupakan acara penting, Alva juga berniat menonjolkan Bella pada publik, ia ingin semua orang tahu jika dirinya memiliki seorang anak perempuan yang luar biasa cantik dan berbakat.
Selesai memakaikan kancing kemeja pada suaminya, El kembali berpoles, sedangkan Alva melenggangkan kaki menuju kamar Bella. Ia ketuk pintu kamar putrinya, tak lama Bella keluar dengan penampilan rumahannya.
"Astaga, Isabella. Sudah Daddy bilang, malam ini kamu ikut."
"Bella tidak mau, Dad."
Sorot mata Alva menajam, "tidak ada kata tidak mau, kamu harus ikut. Cepat pakai dress hitam dan berpoles yang anggun!"
Pria itu tak habis pikir dengan putrinya, sebelum anak itu ke Amerika untuk melanjutkan kuliah di negeri paman sam itu, Bella tak pernah membantah perkataan Alva dan El, selalu menuruti apa yang kedua orang tuanya perintahkan. Namun sekarang, diminta untuk ikut hadir ke pertemuan penting saja, Bella tak mau.
El keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat cantik, wanita itu menghampiri suaminya yang tengah menikmati nikotin di ruang tamu, El duduk di sebelah Alva, ia mengambil batang rokok itu dan mematikan puntungnya.
"Kenapa?”
Kepala Alva menggeleng pelan, El mengerti jika baru saja terjadi keributan kecil antara Alva dan Bella, pasti karena Bella keras kepala, sehingga membuat Alva merasa bahwa dirinya bukanlah ayah yang becus dalam mendidik anak. Cukup drama memang, tapi itulah Alva. Pria itu selalu mengusahakan apapun untuk istri dan anaknya, jika istri dan anaknya melakukan hal tak bermoral, maka Alva akan merasakan sakit sekali.
"Sudah selesai."
Alva dan El bersamaan menoleh ke sumber suara, melihat Bella yang berdiri dengan dress berwarna putih bersih dan rambut yang ia ikat satu, lagi-lagi membuat Alva menghela napas.
"Bella, ganti pakaian warna hitam dan gerai rambutmu, Nak." Ujar El, wanita itu tahu maksud dan tujuan Alva yang meminta Bella untuk berpenampilan anggun malam ini, karena Alva ingin perhatian semua tamu teralihkan pada Bella, sehingga memudahkan Alva dalam mencari pasangan untuk anaknya.
Sudah 1 bulan setelah kejadian itu, tetapi Alva belum menemukan kandidat yang cocok untuk menjadi suami putrinya.
"Tidak mau," jawab Bella.
"Sayang, tema pakaian malam ini warna hitam, bukan putih. Di sana banyak tamu penting, jadi rambut kamu sebaiknya digerai, jangan diikat satu seperti itu," imbuh El.
"Bella ikut dengan penampilan seperti ini atau tidak jadi ikut sekalian?"
Alva beranjak dari duduknya, ia mengambil kunci mobil dan langsung berlalu keluar, sedangkan El menghampiri putrinya, "ayo." Mereka menyusul Alva menuju mobil.
****
Tamu-tamu berpakaian formal dan elegan berdatangan, sedangkan Tobias hanya memakai kemejanya, jas yang sudah disiapkan oleh Andreas tak ia pakai. Pria itu melangkah masuk ke gedung acara, dengan Andreas yang berada di sisi kanannya dan dua orang pengawal yang berada di belakang mereka.
"Good evening, Sir. May I know your name, please?" Seorang penyambut tamu menyapa.
"Mr. Tobias De Guerra Vázquez. Me as his personal assistant, Andreas." Jawab Andreas mewakili Tobias.
"Alright your seats are on the right side. But, your bodygruad please wait in the special bodyguard room, Sir."
Andreas mengangguk, ia mengisyaratkan pada dua pengawal Tobias untuk menunggu di ruang khusus pengawal, sedangkan Tobias dan Andreas menuju kursi mereka, acara baru akan mulai 5 menit lagi.
****
Bella merasa suntuk sekali karena harus mendengar percakapan para orang penting di sini, ia berpamitan pada kedua orang tuanya untuk ke toilet, Bella mencoba menghubungi kekasihnya, sudah 2 minggu ini pria itu tak ada kabar, Bella merindukannya.
Karena tak kunjung diangkat, Bella mencoba menelepon temannya, mungkin saja temannya mengetahui keberadaan kekasih Bella, kan?
"Jenny."
"Ya, ada apa, Bella?"
"Apakah ada kabar dari Justin? Dia tidak mengangkat teleponku selama 2 minggu ini, nomornya selalu sibuk."
"Maaf, Bella, aku tidak mengetahui di mana Justin. Seminggu yang lalu dia pulang ke Spanyol."
Bella menghela napas, "baiklah, terima kasih."
"Ya, kau tidak kembali ke New York? I miss you."
"I miss you too, tapi Daddy dan Bubu sedang sensitif sekali, kemungkinan aku akan ke New York tahun depan."
"It's okay, Bella. Your family is your priority. Take care of your self, I love you. Bye."
Sambungan terputus, Bella menghela napas berat, ia mengeluarkan sebuah benda dari tas kecilnya, ingin ia gunakan namun akhirnya ia urungkan, gadis itu berdecak kesal, dirinya seperti tak mengerti dengan dirinya sendiri.
Akhirnya Bella kembali keluar toilet, ia mengelilingi tempat yang lumayan luas ini, mencicipi berbagai macam makanan manis yang disediakan, namun suasana hatinya belum juga membaik.
Mata Bella tertuju pada sebuah piano yang berada di tengah-tengah tamu penting di sini. Tanpa mempedulikan para tamu tersebut, Bella menuju piano itu, duduk di kursinya dan mulai memainkan jemarinya di atas piano.

Alunan lagu yang terdengar sedih dari piano yang Bella mainkan membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya, seketika mereka berhenti berbincang, semuanya menonton Bella yang tengah bermain piano di tengah-tengah mereka.
"Isabella," gumam Alva, di bawah meja, tangannya terkepal menahan geram. Alva memang berniat menunjukan Bella pada semua tamu, tapi bukan seperti ini caranya, ada waktu senggang nanti, tidak sekarang. Saat ini tamu-tamu penting sedang berbincang terkait bisnis mereka.
"Apakah dia putri Pak Alva?" Tanya seorang pria berusia 45 tahun.
Alva mencoba menyunggingkan senyumnya, "ya, Isabella, putri saya."
"Permainan pianonya sangat bagus!" Komentar seseorang.
Semua tamu menikmati alunan piano Bella, sampai akhirnya Bella menyelesaikan permainannya, suara tepuk tangan terdengar begitu riuh, Alva tak menyangka jika ternyata para tamu menyukai permainan piano Bella dan tidak marah karena percakapan mereka harus terpotong akibat ulah Bella.
Begitu pun Tobias, sorot mata tajamnya terus menatap mimik wajah Bella sejak gadis itu baru memulai memainkan piano hingga selesai, sudut bibirnya terangkat satu, tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat.
"Akhirnya saya menemukanmu, Nona Museum."
────────୨ৎ────────
Bagaimana prolognya?
Berikan like dan comment kalian ya ^_^
ISABELLA ZEESHAN

NYCTOPHILE PLAYLIST

Jakarta, 1 Januari 2025
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
