Bagaimana kalau seandainya kamu tiba - tiba tahu, bahwa ayah yang kamu idamkan dari kecil, ternyata adalah seorang Presiden?
Maukah kamu menerimanya dengan sukacita atau malah menolaknya, karena terlanjur sakit hati.
Saya punya informasi tentang skandal Presiden, temui saya besok jam 6 pagi di Taman Suropati.
Dalilah mengernyitkan kening, setelah membaca surat kaleng yang ditujukan kepadanya. Gadis muda, pemilik mata indah itu menarik napas sebelum memutuskan pergi ke ruangan Arun – atasannya di Mata – Mata.
Lelaki keturunan Indonesia – Italy itu tampak sibuk mengetik. “Masuk, kenapa bengong di situ,” tukas Arun, saat melihat Dalilah yang berdiri mematung di depan pintu.
“Bisakah aku menganggumu sebentar?”
“Well, ada apa?” Arun menghentikan pekerjaannya. Tak biasanya Dalilah bersikap begitu. Sikapnya kali ini tampak lebih berhati – hati.
Dalilah menyodorkan sebuah surat tanpa pengirim pada Arun. Umur lelaki itu dua tahun di atas Dalilah, dan dia tidak suka dipanggil Bapak. “Aku mendapatkan surat ini barusan dari security. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?”
Pria itu membacanya. “Hmm, ini menarik. Aku tahu kamu suka tantangan, dan sekarang kuserahkan keputusan ini padamu.” Dia mengedipkan matanya ke Dalilah. Pakaian yang dikenakan gadis itu sederhana, berupa jeans dan kemeja yang dipadukan dengan sepatu kets. Sedangkan rambut panjangnya di gelung tak beraturan, tapi tetap memancarkan keanggunan.
Dalilah tersenyum kecil. Ia tahu Arun selalu menantangnya dengan pekerjaan yang memacu adrenalin. “Aku mau datang, siapa tahu dia punya kotak Pandora tentang skandal Presiden. Bukankah itu bagus jika kita mendapatkan informasi pertama?” Dalilah mengatakannya dengan bersemangat dan tanpa rasa takut.
Arun manggut – manggut tapi tidak lekas menjawab. “Good! Ku rasa kamu memilih keputusan yang tepat, tapi ingat kamu harus berhati – hati. Kita tidak tahu siapa pengirim surat ini. Satu lagi, ini berita besar.” Dia terdiam sejenak, terlihat mempertimbangkan sesuatu. “Apa sebaiknya, aku ikut denganmu? Supaya lebih aman?” tanyanya menawarkan diri.
“Terima kasih, bukannya aku tidak mau kamu temani, tapi, sebaiknya aku jalan sendiri. Itu lebih mudah bagiku,” tolak Dalilah halus.
“Baiklah, terserah kamu.”
Dalilah melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Jam 7 malam. “Pekerjaanku sudah selesai, jika tidak ada pekerjaan lagi, aku mau pulang cepat. Aku tidak mau ibuku cemas denganku,” kata Dalilah sebelum berbalik.
“Oke, kabari aku bila ada sesuatu.” Arun tersenyum, melihat Dalilah keluar dari ruangannya. Gadis itu menarik perhatiannya, selain cerdas dia juga misterius.
“Hei, kamu mau ke mana?” tanya Sisca pada Dalilah. Dia baru datang dari pantry bersama Maya.
“Pulang, pekerjaanku sudah selesai.” Dalilah menepuk pundak Sisca.
“Jangan pulang dong, Dal, kita nonton ‘Teman Maut’, yuk!” ajak Sisca. Gadis manja itu memegang lengan Dalilah.
“Sisca, ngapain juga ngajak Dalilah, gak levellah dia sama kita, bikin malu saja!” cetus Maya dengan muka cemberut.
“Aku sudah janji sama Ibu untuk makan malam bersama, maaf ya,” elak Dalilah tetap bersikap manis
“Halah! Makan malam sama Ibu saja, kamu hebohnya minta ampun, seperti mau makan malam dengan Presiden,” cibir Maya serius.
Dalilah hanya meringis. “Bye, gaes.” Ia tidak mau menimpali dan cepat – cepat melimpir pulang. Mereka tidak tahu, tentang hidupnya.
Maya dan Sisca keduanya mengedikkan bahu.
“Anak itu memang agak lain gak pernah kulihat dia nongkrong atau ngemall seperti kita. Tiap hari sibuk terus,” kata Sisca kembali meja kerjanya.
“Emang gue pikirin, bagaimana kalau kita ajak Arun?” mata Maya mengerling.
“Boleh, coba aja, kalau dia mau.”
***
Sesampainya di rumah. Bik Asih sudah menunggu Dalilah di depan pintu gerbang. Sikap wanita itu tampak cemas.
“Dalilah, ibumu rewel sekali hari ini, dia mengamuk, menangis dan tidak mau makan dari tadi siang.”
“Benarkah?” Dalilah buru – buru masuk, dan mengetuk pintu kamar ibunya. Dilihatnya wanita setengah baya itu sedang berdiri melihat ke jendela yang menghadap ke taman. Tatapannya kosong.
“Ibu.” Dalilah mencium tangan ibunya. Mata perempuan itu sembab, dan rambutnya berantakan. “Apa kabar ibu hari ini?” Dia menggenggam lembut tangan ibunya.
Saat melihat Dalilah, Ratnadewi tersenyum kecil, tangannya membelai pipi Dalilah.
“Ibu kenapa menangis? Kangen Dalilah ya?”
Wanita itu diam tak bereaksi.
“Ibu jangan sedih, Dalilah bekerja, mencari uang buat Ibu.” Dalilah memandang ibunya. “Ibu harus sehat, karena Dalilah sayang Ibu.” Diciumnya kedua pipi sang ibu, meski wanita itu tidak mengenalinya lagi. Dalilah tetap bersyukur, dia masih bisa melihat wajah ibunya tiap hari.
Bik Asih lalu membawa makanan untuk Ratnadewi.
“Ibu, ini ada nasi, sup dan perkedel jagung. Ibu mau makan apa dulu?”
Ratnadewi melihat sup, saat dia mau menyendok sup, tangannya ragu – ragu.
“Dalilah bantu, ya?”
Ratnadewi menggangguk.
Dengan telaten Dalilah menyuapi perempuan itu.
“Biar Bibik yang menyuapi ibumu, Dalilah makanlah dulu,” kata Bik Asih kasihan.
“Tidak apa – apa, Bik. Dalilah mau menyuapi Ibu. Bibik makanlah dulu,” jawab Dalilah.
Bik Asih adalah tetangganya, janda tanpa anak. Suaminya meninggal 5 tahun lalu, dan semenjak itu, ia bekerja membantu Dalilah merawat ibunya yang amnesia.
Seperti kebiasaannya, selepas makan malam, Dalilah memijiti kaki ibunya sambil memutar musik relaksasi. Kadang dia suka membacakan buku. Hal itu membuat ibunya tenang.
Malam itu Dalilah amat kelelahan, hingga ia tak sadar tertidur di samping sang ibu. Bik Asih yang hendak pamit pulang, urung. Dia hendak membangunkan Dalilah, tapi Ratnadewi mencegahnya.
“Jangan.” Ratnadewi menyelimuti badan Dalilah dengan selimut miliknya.
Keesokan paginya, sebelum subuh, Dalilah bangun. Dilihatnya sang ibu, sudah bangun, dan duduk di sampingnya.
“Apakah Ibu yang menyelimutiku?” ucap Dalilah senang. Dia melihat ibunya yang duduk di kursi goyang yang menghadap ke jendela.
Ratnadewi hanya tersenyum.
“Apa Ibu tahu siapa aku?” tanya Dalilah ingin tahu.
. Ratnadewi menggeleng. “Tidak.”
Dalilah mencium pipi ibunya. “Tidak apa – apa, Dalilah tetap sayang Ibu.”
Gadis itu lalu bergerak dengan gesit, memandikan ibunya dengan air hangat, mengganti popok, berikut bajunya. Kemudian membuatkan teh serta menyiapkan buah potong untuknya.
Secepat mungkin Dalilah mengerjakan tugas rutinitasnya, sebelum berangkat kerja.
“Dalilah sayang Ibu. Hari ini, Dalilah berangkat kerja pagi – pagi sekali. Ibu gak boleh rewel, dan harus nurut sama Bik Asih. Pulangnya nanti, Dalilah bawakan coklat, Ibu suka coklat kan?”
Ratnadewi diam dan hanya menatap Dalilah.
***
Dalilah celingak – celinguk di Taman Suropati. Suasana masih sepi, dan gelap. Maklumlah, taman ini baru buka jam 7 pagi, sedangkan ia datang menemui seseorang yang tidak ia kenal jam 5.50 pagi. 10 menit datang lebih awal, sembari mengamati suasana.
Gadis itu menghitung waktu, ia sudah berdiri sekitar 10 menit, persis di depan tulisan Taman Suropati, seperti perempuan malam yang sedang menunggu pelanggan. Tidak ada kejadian apa – apa.
Angin dingin menusuk pori – pori Dalilah. Gadis itu merapatkan jaket. Sedangkan otaknya mulai berpikir. Bagaimana jika surat kaleng itu bohongan?
Sedetik kemudian, Dalilah menoleh, mendengar suara berdeham, dan matanya tertumpu pada sesosok laki – laki dengan pakaian serba hitam.
“Apa kamu pengirim surat kaleng itu?” tanya Dalilah mendekatinya.
“Saya akan mengantar Nona ke pengirim surat kaleng itu. Mari ikut saya dan jangan banyak bertanya, hingga sampai di tujuan,” kata laki – laki berkepala plontos dengan suara berat. Sikapnya kaku sekali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰