
Barangkali ajaran paling terkenal dari mazhab Ibn al-‘Arabi setelah wahdatul wujud dan insan kamil adalah ajaran “Lima Hadarat Ilahiyah.” Walaupun ajaran ini sering didiskusikan namun jarang yang ditelaah, terutama di Indonesia, dengan merujuk pada teks asalnya. Artikel ini bermaksud mendeskripsikan bagaimana ide ini dikembangkan oleh lima tokoh yang menyebarkan gagasan-gagasan Ibn al-‘Arabi ke seluruh dunia Islam.
Tulisan ini free — namun jika panjenengan ingin mentraktir saya segelas kopi dengan kasih tip, tentu saya senang sekali.
Al-Qunawi (w. 674/1274) adalah murid utama Ibn ‘Arabi dan tokoh utama yang mensistematisasikan ide-ide Ibn ‘Arabi, sekaligus menunjukkan bahwa gagasan-gagasan gurunya itu berdasarkan atau sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, gagasan-gagasan Ibn ‘Arabi tersebut menjadi lebih diterima di kalangan umat Islam pada umumnya. Al-Qunawi menulis hampir 30 karya, sebagian besar berbahasa Arab, dan sebagian kecil berbentuk risalah ringkas berbahasa Persia. Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, al-Fukuk, dia mensyarah tema-tema karya utama Ibn ‘Arabi, yakni Fusush al-Hikam.
Dua murid utama al-Qunawi adalah al-Farghani dan al-Jandi (keduanya w. 700/1300). Seperti gurunya, mereka menulis dalam bahasa Arab dan Persia. Al-Farghani menyusun syarah yang bagus atas karya penyair sufi Ibn al-Farid yang berjudul “Sajak Tarekat,” berdasarkan pelajaran yang disampaikan oleh al-Qunawi. Dalam syarahnya itu al-Farghani menambahkan bab Pendahuluan yang panjang. Al-Farghani juga menulis penjelasan yang rinci atas Fusush al-Hikam.
Al-Jandi menulis salah satu syarah paling panjang atas Fusush al-Hikam, yang menjadi dasar bagi penjelasan-penjelasan berikutnya yang ditulis oleh sufi-sufi lain. Dalam kata pengantarnya, dia menjelaskan bahwa dia belajar Fusush kepada al-Qunawi. Gurunya itulah yang memintanya untuk menulis syarah atau penjelasan. Salah satu murid al-Jandi yang diajar kitab Fusush adalah al-Kashani (w. 731/1329), dan al-Kashani ini adalah guru dari al-Qaysari (w. 751/1350). Dua tokoh yang disebut terakhir itu adalah pengarang dua ulasan atas Fusush dan menjadi rujukan penting bagi para salik sufi hingga ke masa modern. Jadi empat tokoh tersebut ada di posisi penting dalam silsilah atau sanad pengajaran Fusush al-Hikam.
Ibn ‘Arabi dan pengikutnya menekankan pada ajaran Keesaan Wujud Tuhan dan kesatuan segala sesuatu yang ada. Menurut tradisi ini, wujud atau eksistensi hanyalah milik Tuhan semata: Wujud hanya milik Tuhan, mustahil ada dua wujud hakiki yang eksis. Jadi, semua eksistensi yang ada hanyalah tajalli (teofani, penampakan) dari Wujud Yang Esa. Al-Qunawi mengatakan, “Sebagaimana pada hakikatnya Wujud itu hanya Satu dan tak terbagi, demikian pula dengan Bentuk [lahir]-Nya adalah satu dan tak terbagi.” Lantas, dari mana keragaman itu muncul?
Secara ringkas, Wujud memperlihatkan Diri-Nya sesuai dengan beragam kemungkinan tajalli yang tak terbatas dari Dzat-Nya yang esa; namun orang-orang yang masih tertutup hijab akan melihat penampakan itu berbeda-beda dan terpisah-pisah. Meskipun demikian, segala sesuatu yang ada itu pada hakikatnya adalah Wujud-Nya.
Dalam tulisan ini tidak akan dibahas relasi antara yang banyak dengan yang satu menurut ajaran Ibn ‘Arabi. Di sini, keragaman itu kita terima begitu saja, dan kemudian diajukan pertanyaan “Dengan cara atau mode apa keragaman itu tampak di mata kita?” atau “Kapan Yang Esa menampakkan (bertajalli) Diri-Nya sebagai yang banyak? Apa jenis keragaman yang dapat diamati?” Jika, misalnya, benda-benda fisik dapat dibagi menjadi objek tak bernyawa, tanaman, dan hewan, lalu apa sebenarnya ‘benda’ itu? Jika kita mempelajari segala sesuatu yang dapat disebut sebagai “sesuatu” – termasuk Tuhan – maka apa kategori yang bisa kita buat untuk sesuatu itu?
Ibn ‘Arabi dan murid-muridnya membagi “sesuatu” (syai’un), yang juga disebut ‘ayn (entitas) atau kenyataan hakiki (haqiqat) berdasarkan beberapa sudut pandang. Ketika menyebut kategori umum eksistensi yang mencakup sesuatu yang tak terhitung jumlahnya, mereka kerap menggunakan istilah “Kehadiran” (hadrah), yakni cara Wujud Tuhan Yang Maha Esa memanifestasikan Diri-Nya (bertajalli) dengan cara tertentu, atau cara Tuhan menghadirkan atau menampakkan Realitas-Nya. Ibn ‘Arabi sendiri sering menggunakan istilah ini. Misalnya ketika berbicara tentang cara dan “tempat” di mana Nama-nama Tuhan menjalankan fungsinya, semisal, “Kehadiran Yang Maha Pengasih” (hadrah al-rahman). Atau ketika dia berbicara tentang beragam dunia, misalnya dengan istilah hadrat al-malakut (Kehadiran Kerajaan), yang berarti alam spiritual.
Tampaknya al-Qunawi-lah yang mensistematisasikan ajaran gurunya itu. Ibn ‘Arabi tidak membahas tentang Lima Kehadiran Ilahiah sebagai satu doktrin tersendiri. Dia menyebut Kehadiran-Kehadiran itu secara sendiri-sendiri, namun tidak secara jelas menguraikan bagaimana Kehadiran-Kehadiran itu saling berkaitan sebagai satu kesatuan. Tetapi, dimulai dari al-Qunawi, pengikut Ibn ‘Arabi mengadopsi ajaran itu sebagai salah satu metode untuk menjelaskan dan menyebut berbagai macam entitas dan benda-benda atau hal-hal yang ada.
Kita akan mulai dari al-Qunawi, salah satu juru bicara terpenting dari tradisi ajaran Ibn ‘Arabi. Dia dengan gamblang menjelaskan sifat dari Kehadiran dan alasan kenapa jumlahnya lima, tidak kurang tidak lebih. Kemudian kita akan melihat bagaimana murid-muridnya memodifikasi gagasan tersebut, dan bagaimana muncul penjelasan tentang Lima atau Enam atau tujuh Kehadiran.
Secara umum, istilah “hadarah” atau “hadrah” atau Kehadiran ini sinonim dengan istilah “tingkatan” atau martabat, istilah yang memuat konotasi yang lebih filosofis ketimbang religius. Pengikut Ibn ‘Arabi kerap berbicara tentang martabat wujud, yang mereka pandang jumlahnya tak terbatas tetapi secara garis besar dapat direduksi menjadi lima atau enam atau tujuh martabat yang disebut Kehadiran Ilahiah. Namun masing-masing dari martabat tersebut sering disebut sebagai “alam.”
Alam didefinisikan sebagai “sesuatu selain Tuhan” (ma siwa Allah), namun “alam” dalam bentuk jamak adalah tingkatan atau martabat/Kehadiran. Al-Qaysari menunjukkan bahwa alam sebenarnya tak terhitung jumlahnya. Dia menjelaskan bahwa istilah ini diambil dari akar kata pengetahuan (‘ilm), yang dari situ diturunkan juga kata ‘alamat atau tanda-tanda. Jadi, alam adalah “setiap tanda-tanda yang dapat membuat kita mengenal Tuhan.” Dan karena setiap eksistensi adalah tanda dari Tuhan – sebab melalui eksistensi itu Wujud Yang Esa menampakkan Diri-Nya secara lahir – maka setiap yang ada sebenarnya adalah sebuah alam. Ringkasnya, tingkatan alam yang tak terbatas (atau tingkat-tingkat ontologis) dapat dibagi menjadi kategori umum – dan kategori-kategori tersebut disebut dengan istilah alam, dunia, tingkatan, martabat atau kehadiran (hadarat).
Dalam pandangan religius, manusia mengenal dua level eksistensi atau alam. Al-Qur’an menyebutnya sebagai alam yang tampak (‘alam al-syahada) dan alam gaib (‘alam al-ghaib). Allah “mengetahui” semua alam yang tampak maupun yang gaib, sedangkan manusia, sebagai Muslim, harus “percaya kepada hal yang gaib (yu’min bi al-ghaib). Dari sudut pandang lain, dikotomi mendasar pada seluruh eksistensi disebut sebagai “Tuhan dan alam” – yakni alam itu adalah sesuatu yang bukan Tuhan.
Tetapi bila ini dilihat dari dekat, dikotomi tersebut tidak sepenuhnya mencakup semua realitas yang ada, sebab masih ada realitas ketiga yang tidak sepenuhnya tampak tetapi juga tidak sepenuhnya gaib. Dalam realitas ini keduanya entah bagaimana seperti tercampur. Eksistensi ketiga itu adalah ciptaan yang merupakan bagian dari dunia namun diciptakan sesuai dengan “bentuk Tuhan,” dan karenanya bersifat ilahiah. Dalam bahasa Ibn ‘Arabi:
Tak satupun bagian dari dunia yang bisa menjadi Tuhan, dan Tuhan mustahil menjadi hamba (makhluk). Allah … tidak dapat disebut dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat ketuhanan, sedangkan dunia tidak dapat disebut dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan kesementaraan dan penghambaan [yakni, dunia itu hanya bersifat sementara, tidak mutlak, dan merupakan hamba]. Jadi, manusia memiliki dua hubungan: melalui yang satu dia masuk ke dalam Hadarat Ilahiyyah dan melalui yang satunya lagi dia masuk ke dalam Hadarat al-Kinayyah (martabat eksistensi yang diciptakan). Jadi manusia disebut “hamba” karena dia diberi petunjuk oleh Tuhan dan karena dia berbeda dengan alam semesta ini; dan manusia disebut “tuan” sebab dia adalah “wakil” (khalifah) Tuhan dan dia diciptakan menurut Bentuk-Nya dan diciptakan dalam bentuk terbaik (Q.S. 95: 4).
Ringkasnya, ada tiga level ontologis fundamental: Tuhan, dunia (alam) dan manusia. Al-Qunawi mengatakan, “Walaupun martabat itu tidak terbatas, namun tingkatan-tingkatan itu dapat disederhanakan secara umum menjadi realitas yang tampak, realitas gaib dan realitas yang memuat keduanya.” Jadi manusia adalah barzakh, yakni sesuatu yang berada di antara dua hal yang berbeda, namun memiliki atribut dari masing-masing hal yang berbeda tersebut. Manusia mencakup keduanya, sebab dalam diri manusia ada sifat ketuhanan dan ada sifat alam ciptaan. Tetapi di sini ada perbedaan yaitu di satu sisi ada “manusia sempurna” (insan kamil) yang mengaktualisasikan dan menghidupkan hakikat diri manusia ini, dan di sisi lain ada “manusia biasa,” yang belum menyadari hakikat dirinya ini. Hanya insan kamil yang dapat disebut sebagai barzakh yang komplet, yang mengaktualisasikan realitas ketuhanan dan realitas ciptaan di dalam dirinya.
Walaupun Tuhan, manusia dan alam merepresentasikan Kehadiran Ilahiyyah yang berbeda, ketiganya mempunyai satu kesamaan: ketiganya adalah entifikasi (ta’ayyun) dari Wujud. Ta’ayyun artinya menjadi sesuatu, atau menjadi sebuah entitas atau menjadi sesuatu yang diadakan. Jadi segala hal yang bisa kita bicarakan, atau kita bayangkan atau pikirkan, adalah entitas. Tuhan dan makhluk adalah entitas, namun entitas Tuhan adalah sesuatu yang tak ada batasnya (mutlaq) dan tidak diadakan /tidak diciptakan (ghayru muta’ayyan).
Dengan kata lain, segala sesuatu yang eksis adalah bentuk-bentuk dari tajalli Wujud Tuhan. Namun Wujud bukan bentuk ciptaan itu, sebab jika Dia sama dengan ciptaan, maka Dia beragam (tidak maha esa) dan karenanya mustahil. Jadi Allah disebut “sesuatu” hanya dalam konteks Wujud Tuhan. Tuhan bukan dunia. Dengan cara yang sama, manusia adalah sesuatu dalam kaitannya dengan wujud dunianya, dan manusia adalah sesuatu dalam kaitannya dengan wujud kemanusiaannya. Tetapi Wujud Tuhan meliputi segala sesuatu. Hanya saja, meski meliputi semuanya, Wujud-Nya itu mutlak atau tak dibatasi oleh karakteristik tertentu dari wujud-wujud alam ciptaan. Apapun wujud yang diadakan itu pada dasarnya adalah tajalli dari Wujud Tuhan.
Oleh karena itu, kita harus melihat kepada dikotomi dasar lain yang ada di dalam realitas, yakni perbedaan antara sumber dan prinsip dari segala sesuatu: entifikasi dan nonentifikasi. Hadarat Ilahiyyah adalah entifikasi dari Wujud yang mutlak dan tak terbagi. Wujud mutlak ini disebut “Dzat” dan “Diri-Nya yang maha gaib” (ghayb al-huwiyya). Wujud Mutlak ini bukan Tuhan sebagaimana yang dapat kita pikirkan atau kenali, sebab ketika kita memikirkan Tuhan, kita memikirkannya dari segi sifat dan asma-Nya atau dari segi tajalli-Nya. Jadi manusia hanya bisa mengenal-Nya ketika Dia bertajalli (menjadi entitas) kepada manusia, bukan mengenal-Nya pada segi Dzat-Nya. Kita, manusia, tidak bisa mengenal-Nya sebagai Diri Dzat-Nya, atau mustahil mengenalinya dalam martabat Dzat yang maha mutlak (non-entifikasi). Dalam satu riwayat hadis, disebutkan “Tuhan ada dan tak ada sesuatupun selain Dia,” tidak ada sifat dan deskripsi yang bisa menjelaskan, dan tak ada sesuatu pun selain Dia yang mengenal-Nya.
Jadi ketika Ibn ‘Arabi dan pengikutnya berbicara tentang ketuhanan (al-uluhiyyah), yang mereka maksud adalah Tuhan sebagaimana kita pikirkan atau pahami, yakni Tuhan Yang Maha Sempurna, yang meliputi segala sesuatu dan Sumber segala sesuatu. Tetapi Tuhan sebagai Diri-Nya sendiri, sebagai Dzat mutlak, adalah tak dapat dikenali, tak dapat dibayangkan atau dipikirkan karena Dia tidak berentifikasi, dan bukan “sesuatu” yang dapat kita pikirkan atau bayangkan sama sekali. Sebab, “sesuatu” hanyalah salah satu dari mode tajalli-Nya. Diri Tuhan (dzat) itu sendiri bukanlah mode atau bentuk tajalli tersebut.
Pandangan tentang sifat Wujud tersebut akan membantu kita untuk memahami mengapa al-Qunawi membatasi Hadarat Ilahiyyah hanya lima dan mengapa tokoh sufi lainnya menelaahnya dari sudut pandang yang berbeda. Dalam ajaran al-Qunawi, Wujud Mutlak murni atau Esensi Wujud, yaitu Dzat, bukanlah Hadarat atau tingkatan tajalli sebab Dzat Tuhan itu di luar (atau berbeda dengan) tajalli-Nya, atau entifikasi-Nya. Sedangkan Hadarat itu tak lain adalah tajalli-Nya, atau mode dari penampakan Tuhan.
Sudah dijelaskan di atas bahwa, menurut al-Qunawi, Dzat melakukan tiga mode entifikasi: ‘alam Gaib, ‘alam Syahadah, dan Manusia. Jika kita menelaah entifikasi atau ta’ayyun pertama (‘alam Gaib), kita melihat bahwa entifikasi gaib itu terdiri dari dua mode: tak diciptakan dan diciptakan. Gaib yang tak diciptakan adalah apa yang kita sebut sebagai Tuhan. Al-Qunawi menyebutnya sebagai “Kehadiran Pengetahuan Gaib yang Cemerlang,” yakni Ilmu atau Pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu. Pada level ontologis ini, yang sering disebut “Entifikasi pertama” (ta’ayyun awwal), Tuhan mengetahui semua kemungkinan tajalli yang tak ada batasnya yang dimiliki oleh Dzat Mutlak, yakni Dzat Tuhan itu sendiri. Berdasarkan Ilmu-Nya itu Dia menganugerahkan eksistensi (wujud) kepada segala sesuatu yang Dia ketahui. Artinya, Dzat Mutlak itu bertajalli (memanifestasikan Diri) keluar atau mengaktualisasikan/mewujudkan semua kemungkinan tajalli-Nya yang masih berupa potensi itu. Dan Pengetahuan atau Ilmu Tuhan itu tak diciptakan dan tak berubah, sebagaimana Dia sendiri adalah Dzat yang tak diciptakan dan tak berubah. Jadi Dia mengetahui segala sesuatu, semua entitas, semua wujud, sejak dari zaman keabadian tanpa awal (al-azali) sampai keabadian tanpa akhir (al-abadi). Oleh karena itu, objek dari Pengetahuan-Nya disebut “entitas yang tetap tak berubah” (al-a’yan tsabit). Sedangkan alam gaib yang tak tercipta, itu adalah alam perantara antara Tuhan dengan alam syahadah dan disebut alam al-arwah (alam roh), di mana “roh” ini sinonim dengan “intelek” (al-uqul) dan malaikat.
Dengan cara yang serupa, alam yang tampak itu dapat dibagi menjadi dua macam: hal-hal yang kelihatan di segala seginya, dan hal-hal yang walau termasuk dalam alam yang tampak namun relatif tak tampak. Dua hal itu adalah dunia fisik atau inderawi (alam al-hissi) dan dunia imajinasi (al-khayal) atau ‘alam al-mitsal. Oleh karena itu al-Qunawi mengurutkan Hadarat Ilahiyya menjadi lima: Hadrat al-Batin. Di sini mencakup Nama dan Sifat Tuhan serta entitas yang tak berubah. Kemudian yang kedua, yang menghadap ke al-Batin adalah hadrat al-Zahir. Di antara keduanya adalah Hadrat Pertengahan, yang mencakup hadrat batin sekaligus lahir tersebut dan ini hanya berkaitan dengan insan kamil. Di sisi kanan barzakh, yakni di antara alam pertengahan dan alam gaib adalah alam roh. Terakhir, di sisi kiri, di antara alam pertengahan dan alam syahadah/yang tampak, adalah alam mitsal.

Lima Hadarat Ilahiyyah itu juga dapat dipandang sebagai urutan bertingkat. Kita bisa mulai dari entitas yang tetap permanen dan kemudian turun ke mode eksistensinya atau tajalli-nya di setiap tingkatan. Di tingkatan Pengetahuan Tuhan, entitasnya adalah “non-eksisten” (ma’dum, tiada) sebab pada tingkatan ini Tuhan tidak bertajalli, walaupun tingkatan ini diketahui oleh Tuhan selama-lamanya. Di tingkatan roh, entitas itu mewujud sebagai ciptaan dalam bentuk “cahaya,” berada dekat dengan Tuhan namun terpisah dari-Nya. Pada tingkat selanjutnya, di level Imajinasi, alam mitsal, entitas itu masih bercahaya namun kurang terang dibanding sebelumnya, dan tidak lagi satu atau global, tetapi terdiri dari bagian-bagian. Alam mitsal inilah tempat terjadinya visi para wali. Di sini roh mengejawantahkan diri dalam bentuk yang dapat diindera, dan di sini pula, setelah kematian, sifat akhlak dan amal manusia akan memperoleh bentuk fisik. Terakhir adalah tingkat alam jasmani, yang gelap dan beragam. Itu semua adalah empat level dasar eksistensi, yang secara berurutan diistilahkan sebagai martabat maknawi atau supra-formal (ma’nawi, yaitu berkaitan dengan makna-makna dalam Pengetahuan Tuhan – istilah ma’na ini sinonim dengan a’yan tsabita atau entitas yang permanen), martabat rohani, martabat mitsal, dan martabat hissi (indrawi). Level pertama adalah sesuatu yang tak diciptakan, dan tiga tingkatan berikutnya adalah diciptakan.

Sedangkan martabat insan kamil, ia mencakup keempat level eksistensi tersebut. Manusia biasa juga mencakup keempat eksistensi, setidaknya dalam pengertian bahwa martabat-martabat eksistensial itu tercermin pada dirinya. Realitas atau “makna” manusia adalah entitas yang permanen (a’yan tsabit). Rohnya berhubungan dengan martabat alam arwah. Jiwanya berhubungan dengan alam mitsal. Dan tubuh fisiknya berkaitan dengan alam jasmani yang dapat diindera. Dan sebagai satu kesatuan empat eksistensi, dia adalah manusia sempurna atau insan kamil.
Al-Qunawi kemudian menjelaskan sifat dari tiga alam terbawah dan relasi manusia dengannya. Alam arwah mendahului alam ajsam (jasmani) atau alam material yang dapat diindera baik itu dari segi wujudnya maupun tingkatannya. Pertolongan Tuhan yang menjangkau tubuh jasmani akan bergantung kepada perantara alam arwah, yang berada di antara alam jasmani dengan Tuhan. Pengaturan tubuh jasmani dipasrahkan pada roh, tetapi tidak ada hubungan di antara keduanya, sebab ada perbedaan intrinsik antara “yang tak terbagi” dengan “yang terbagi”: semua tubuh jasmani terdiri dari bagian-bagian, sedangkan roh tidak terdiri dari bagian-bagian, sehingga tidak ada hubungan di antara keduanya. Selama tidak ada hubungan, maka tidak ada aktualisasi sebab dan akibat, tidak ada yang memberi dan menerima pertolongan. Oleh karenanya, Tuhan menciptakan alam mitsal sebagai perantara yang menjembatani alam roh dan alam ajsam (jasmani/materi), sehingga kedua alam itu bisa berhubungan satu sama lain.
Melalui alam mitsal, roh menjadi termaterialisasikan dalam tempat manifestasi (mazahir al-mitsaliyyah), merujuk pada isyarat dalam firman-Nya, “Lalu Kami mengutus roh kami kepadanya [Maryam], maka [roh, yakni malaikat Jibril] itu menjelma kepadanya [dalam bentuk] manusia sempurna” (Q.S. 19: 17). Nabi SAW bersabda, “Kadang-kadang malaikat tampak kepadaku dalam bentuk manusia.” Nabi juga mengisyaratkan ini dalam perkataannya tentang surga dan neraka, “Surga dan neraka diperlihatkan kepadaku di sepanjang dinding ini.” Manusia rohani naik ke alam mitsal dalam suluk mereka ketika mereka melepaskan bentuk-bentuk material dan ketika roh masuk dalam tempat manifestasi spiritual tersebut.
Situasi serupa dapat dilihat – baik secara teori maupun secara aktual – dalam hubungan roh manusia dengan tubuh jasmani. Roh mengatur dan meliputi jasmani: Karena roh dan tubuh terpisah dan karena tidak ada kemungkinan hubungan pengaturan dan datangnya pertolongan, maka Tuhan menciptakan jiwa hewani (nafs al-hawayaniyyah) sebagai barzakh/perantara antara tubuh dan roh yang terpisah itu. Jiwa hewani, sebagai bagian dari kekuatan akal (quwwa al-aqliyyah), ia adalah tak terbagi dan punya hubungan dengan roh yang terpisah tersebut. Tetapi karena dalam diri nafsu itu ada keragaman dan punya banyak bagian, yang tersebar di seluruh tubuh dan menjalankan berbagai macam perbuatan, nafs itu punya hubungan dengan tubuh, yang terdiri dari banyak unsur. Maka terjadilah relasi dan efek memberi dan menerima antara roh dan jasmani, sehingga dapat memperoleh pertolongan dan pengaturan.

Alasan pembagian hadarat menjadi lima dapat diringkaskan dalam term yang sedikit berbeda. Ada dua hadarat dasar, Gaib dan Tampak. Di satu sisi, ada sesuatu yang lebih gaib ketimbang yang lainnya dan ada sesuatu yang lebih kelihatan ketimbang yang lainnya. Jadi setiap Kehadiran dapat dibagi menjadi hadarat sejati (haqiqi) dan hadarat relatif (idafi). Gaib yang sejati adalah Tuhan bersama dengan Nama dan Sifat-Nya. Gaib relatif adalah alam arwah. Di sisi lain, alam yang benar-benar tampak adalah dunia materi/dapat diindera, dan alam yang tampak yang bersifat relatif adalah alam mitsal. Terakhir, insan kamil mencakup keempat-empatnya.
Bila kita menggunakan pendekatan yang lebih filosofis, kita dapat membahas Kehadiran ini dari sudut pandang filsuf peripatetik. Wujud dibagi menjadi tiga kategori: wajib, mungkin dan mustahil. Wujud wajib itu selalu ada dan tidak mungkin tidak ada. Wujud yang mustahil itu tak pernah ada, sebab ia bertentangan dengan sifat Wujud yang selalu ada. Karena itu kita tidak perlu mendiskusikan wujud yang mustahil itu. Wujud yang mungkin adalah sesuatu yang relasinya dengan eksistensi dan non-eksistensi adalah sama. Wujud ini bisa eksis, bisa juga tidak. Semua hal di dunia adalah wujud yang mungkin, yang maujud karena sisi eksistensi lebih menonjol/kuat (tarjih) dibandingkan sisi non-eksistensinya. Wujud Wajib memilihnya untuk diberi eksistensi selama periode tertentu, meskipun Dia juga dapat memilih mencabut eksistensi itu jika menghendakinya.
Jadi di satu sisi kita punya Wujud Wajib, Hadarat Pertama, dan di sisi lain kita punya wujud yang mungkin. Sekarang, wujud yang mungkin ini dibagi lagi menjadi tiga jenis. Pertama ada sesuatu hal yang masih didominasi oleh sifat-sifat Wujud Wajib, yakni Esa dan belum bertajalli, belum bermanifestasi – ini adalah roh. Kemudian ada hal lain yang didominasi sepenuhnya oleh kemungkinan, yakni keragaman dan manifestasi – ini adalah realitas dunia materi/dapat diindera. Terakhir, ada hal-hal yang seimbang, tidak didominasi oleh Wujud Wajib tetapi juga tidak didominasi oleh wujud yang mungkin – ini adalah alam mitsal. Jadi, manusia sempurna menjadi maujud dalam bentuk segala hal, memiliki properti semua tingkatan wujud, dari wajib sampai mungkin, dan menyatukan semuanya dalam satu kesatuan. Dan inilah Lima Hadarat Ilahiyyah yang dijelaskan oleh al-Qunawi: (1) ilahiah (2) spiritual/roh/arwah (3) imajinal/mitsal (4) ajsam/jasmani/inderawi dan (5) manusia sempurna. Al-Qunawi dengan gamblang menjelaskan progresi lima kehadiran tersebut. Mungkin karena dia sudah menjelaskan poin-poinnya, maka para pengikutnya tampaknya tidak mengulangi proses munculnya tingkatan-tingkatan; mereka juga tidak terlalu fokus pada insan kamil. Mereka lebih berkonsentrasi pada pengembangan pembahasan tentang empat martabat ke bawah, dari martabat Ketuhanan sampai ke ke martabat dunia yang dapat diindera.

Al-Farghani lebih memilih berbicara tentang enam martabat alam. Dia memandang level non-entifikasi (laa ta’ayyun) sebagai martabat pertama, dan kemudian menyebutkan lima martabat lain, seperti yang dilakukan oleh guru-gurunya. Namun karena dia berbicara tentang martabat pertama sebagai “Entifikasi Pertama” maka dapat dikatakan bahwa dia melihat dan menambahkan satu martabat sebelum martabat Pengetahuan Ilahiyah.
Ini bukan berarti al-Qunawi tidak mengetahui level ini. Dia tahu, namun dia tidak menjelaskannya saat membahas Hadarat ini, atau dia memilih memasukkannya ke dalam tingkatan pertama. Dan bagaimanapun juga tulisan-tulisan al-Farghani didasarkan pada ajaran al-Qunawi.
Sehubungan dengan Entifikasi Pertama (ta’ayyun awwal), al-Qunawi menulis, “Entifikasi Tuhan sebagai Keesaan adalah mode yang berasal dari Dzat yang belum bertajalli dan mutlak tanpa batas. Setelah martabat keesaan ini adalah martabat di mana Dia mengenali Diri-Nya sendiri melalui Diri-Nya sendiri. Mode ini membuka pintu ke mode lainnya [yaitu, mempersiapkan jalan ke entifikasi selanjutnya]… Jadi relasi Pengetahuan termasuk dalam relasi al-wahdaniyyah (Kesatuan Inklusif), yang berasal dari Dzat Maha Gaib yang mutlak tanpa batas dan tak dikenal.
Jadi Kehadiran Pertama dapat dipandang sebagai dua Kehadiran: pertama, Kehadiran Keesaan, tetapi ini adalah keesaan yang tidak mengandung Nama dan Sifat; dan kedua, Kehadiran Pengetahuan yang objeknya adalah semua hal dan entitas yang jumlahnya tidak terbatas. Dua martabat itu dikenal oleh mereka yang akrab dengan ajaran mazhab Ibn ‘Arabi sebagai martabat al-ahadiyyah (Keesaan Eksklusif) dan al-wahidiyyah (Keesaan Inklusif). Al-Farghani tampaknya membuat dua istilah ini menjadi populer melalui penjelasannya terhadap sajak-sajak Ibn Farid. Namun sekali lagi, al-Qunawi-lah yang mungkin tokoh pertama yang mengungkapkannya dalam dua bagian dari karyanya (di tempat lain dia juga berbicara tentang al-wahdahniyyah ketimbang al-wahidiyyah). Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan “al-ahadiyyah [adalah martabat] di mana semua mode tajalli di dalam Keesaan-Nya menjadi lenyap, sedangkan dalam martabat al-wahdaniyyah semua mode itu diadakan.” Dia juga menulis di tempat lain, “Tuhan bisa disebut sebagai prinsip dan sumber dari sesuatu hanya dalam hubungannya dengan al-wahdahniyyah (Keesaan Inklusif) … al-wahdaniyyah ini ada setelah al-ahadiyyah; al-wahdahniyyah adalah sumber dari Nama dan Sifat, yang mengandung keragaman relatif.”
Ringkasnya, ketika kita memandang Tuhan di martabat Kesatuan-Nya, di mana tak yang ada selain Dia, kita bisa memahaminya sebagai satu-satunya Wujud; dalam hal ini segala sesuatu terserap lenyap dalam Ketunggalan-Nya. Atau kita bisa memahami-Nya sebagai sumber dari segala sesuatu, sebagai Pencipta yang mengetahui semua entitas dalam Pengetahuan-Nya yang tak terbatas dan yang dapat memberikan wujud pada entitas itu jika Dia berkehendak. Dari sudut pandang pertama, Keesaan-Nya menolak setiap konsep adanya segala sesuatu yang selain-Nya. Dari sudut pandang kedua, Keesaan-Nya memuat semua potensi segala sesuatu. Al-Farghani memandang dua hal ini sebagai martabat pertama dan kedua dalam hirarki tajallinya Tuhan. Dia menulis,
Martabat alam semesta ada lima, dua di antaranya berhubungan dengan Tuhan, dan tiga lainnya berkaitan dengan eksistensi yang diadakan (al-kawn). Martabat keenam mencakup semuanya.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
