THE BRIDE WHO NEVER WAS - 4

0
0
Deskripsi

Brie bertemu dengan budak-budak wanita lain… lalu ada ide terlintas di benaknya! Apakah itu?

Pertemuan Gadis Terpilih

𝕂afeinnya bekerja di sini. Brie tak tahu harus mengklasifikasikan itu termasuk berita bagus atau bukan. Semalaman ia terjaga. Tak membiarkan sedetikpun matanya untuk terlelap, meski badannya terasa sangat letih. Bukan letih karena malam liar terjadi, tentu. Pria itu, Achilles, tak menyentuhnya. Nah, itu baru berita bagus.

Maksudnya menyentuh dalam artian menjajalnya. Kalau menyentuh karena ditodong bilah perunggu, itu hal lain untuk didiskusikan. Intinya adalah tak terjadi apapun diantara mereka berdua semalam. Meski Brie sempat takut setengah mati bila dia akan disetubuhi paksa. Tetapi ketika Achilles —dengan rahang mengeras dan alis masih bertaut, pasca aksi penodongan— menyuruh Brie naik ranjang, pria itu hanya rebahan menyebelahinya. Lalu tak lama dengkuran halus mengalun. Ketika Brie melongok pria itu terbujur di sisi kanan dengan memunggunginya.

Kalau boleh jujur, Brie sebenarnya bukan tipe konservatif atau religius. Mungkin ia pernah satu atau dua kali —mungkin bisa jadi tiga— terlibat one night stand. Jadi ketika ada seorang asing terbangun di sebelahnya, ia akan tetap bisa menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun, kali ini jauh berbeda. Sosok yang terbaring satu ranjang dengannya adalah entitas kuno.

Oh, dan perlu diingat, saat Brie melakukan one night stand statusnya adalah seorang gadis lajang merdeka, bukan budak. Tapi kini, ia terbangun dengan gelar baru yang disandangnya, bersama orang yang benar-benar asing baginya.

Ayolah... pertemuan pertama mereka sangat jauh dari kata normal. Mereka tak bertemu suatu malam di club dengan insiden saling sapa di meja bar. Bukan karena tidak sengaja seirama saat menari konyol di dance floor. Bukan pula karena saling lirik ketika menunggu jemputan taksi di luar club. Pertemuan mereka benar-benar diawali dengan kejadian sangat traumatis berhias tumpahan darah.

Oh... jangan lupakan juga fakta bahwa, pria itu telah merampas apa yang bahkan tak pernah dimiliki oleh wanita pada masa ini. Satu-satunya yang tersisa dalam diri Brie, yang dibawanya sebagai manusia modern yang terjebak di masa lampau.

Haknya untuk bicara.

Tapi apakah Brie akan bungkam? Tidak. Meski harus ditodong lain waktu dengan xiphos atau bahkan tombak, Brie rasa ia takkan biarkan dirinya dibisukan begitu. Tekadnya kembali bertunas, membersamai terbitnya baskara pagi ini.

Achilles bangun pagi-pagi sekali. Dia keluar lewat pintu samping. Ada beranda kecil yang menghadap langsung ke muka teluk. Sayup-sayup Brie mendengar suara orang lain yang sudah menunggu di luar. Suara beratnya menyapa, ketika Achilles sudah keluar pondok. Tidak lama suara langkah bersisian terdengar menjauhi pondokan. Kelak Brie baru tahu kalau ini adalah kegiatan rutin pagi Achilles bersama sahabat karibnya.

ཐི༺𓆩𓐬𓆪༻ཋྀ

Brie mengira wajahnya akan tampak mengenaskan. Nyatanya ia salah. Mungkin memang sedikit kelihatan kurang tidur, tetapi itu sudah sesuai standar orang-orang di sekelilingnya. Apa yang diharapkan coba? Di tengah peperangan ingin tetap cantik bak model Victoria Secret? Tak ada waktu. Bisa tidur nyenyak tanpa takut gudang dibakar oleh penyusup saja rasa-rasanya sudah syukur.

Ia berjalan keluar pondokan untuk menghampiri tempat Iphis berada. Para prajurit yang berkegiatan di luar pondok jumlahnya berkurang drastis karena sebagian besar sedang ada di medan perang. Yang berkeliaran paling-paling prajurit yang masih dalam masa penyembuhan makanya ditinggal.

Brie juga melihat beberapa budak wanita mondar-mandir mengangkut air atau bahan makanan. Kadang ia lihat anak kecil tanggung melesat lari dan hilang di gang-gang sempit pondokan. Kadang ada juga yang membawa karung bahan pangan, mengekor di belakang budak dapur. Lalu pertanyaan kembali muncul dalam benak Brie, jadi selama penjarahan prajurit Achaeans juga menawan anak tanggung yang dipisahkan paling awal itu?

Iphis sedang jongkok untuk mengambil pintalan benangnya yang terjatuh ketika bahunya ditepuk kecil. Sesosok anak lelaki dengan rambut ikal padat selegam arang menatapnya. Ia mengulurkan tangan kecilnya. Iphis menerima uluran tangan yang memberikannya sebuah kelopak bunga aster warna peach tersebut. Sebagai tanda terima kasih, Iphis memberikan bocah itu sepotong roti sisa dari kantong kain yang ia bawa. Bocah tersebut langsung melahap rotinya dan berbalik badan pergi dari pondokan.

"Eh..." sentak Brie, karena tak sengaja menabrak seorang bocah saat masuk pondok tenun.

"Briseis!" panggil Iphis sembari bangkit. "Ayo ikut denganku!" ajaknya buru-buru.

Iphis langsung meninggalkan pintalan benang itu dan menyeret Brie untuk keluar pondokan. Keduanya menyusuri jalan setapak utama. Tidak lagi lewat gang-gang sempit seperti biasa.

Mereka berjalan untuk masuk ke kompleks pondokan sebelah. Penanda kompleks yang berbeda, biasanya dapat dilihat dari perisai-perisai yang terpajang di depan pondokan. Tiap legiun yang dibawa oleh aliansi Yunani memiliki rupa perisai yang berbeda. Itu adalah pelajaran baru bagi Brie untuk menghafalkan tiap bentuknya supaya tak tersesat di sini.

"Iphis... di sini memang banyak anak kecil, ya?" tanya Brie.

Iphis mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Melihat ada gerombolan anak yang berada di bawah pondokan sedang berteduh dari terik. "Setelah dipikir-pikir memang jadi banyak, ya."

Brie mengernyit. "Bukannya mereka juga tawanan yang dibawa ketika penjarahan?"

Iphis kini menolehkan wajahnya ke arah Brie. Ada jeda sebentar sebelum ia menggeleng pelan. "Para prajurit tak pernah membawa tawanan anak-anak ataupun bayi, mereka hanya membawa para wanita."

Brie memegang tangan Iphis untuk melambatkan jalannya. "Lalu... mereka anak-anak siapa?"

Helaan napas berat diembuskan. "Perempuan-perempuan di sini," lirih Iphis.

Bibir Brie sudah menganga setengah. "Dan bocah laki-laki tadi? Yang kulihat keluar dari pondokan... juga?"

Iphis mengangguk kali ini. "Mereka tak diakui baik oleh prajurit yang menghamili ibu mereka, ataupun ibu yang mengandungnya sendiri. Maka dari itu mereka biasa mengais-ngais makanan dengan melakukan pekerjaan apapun..."

Kernyitan di dahi Brie memudar, digantikan alis yang mengendur saat tahu fakta tesebut. Kenyataan pahit lainnya adalah berarti anak-anak tanggung Lyrnessus yang dipisahkan dari keluarga mereka dilenyapkan di kota itu.

"Salah satunya seperti yang dilakukan bocah tadi. Dia adalah... pengantar pesan? Itu ya sebutannya... Kami tahu trik ini dari Hecamede, yang meniru Tuan Nestor. Oh... bocah tadi namanya Agapios, kalau sewaktu-waktu kau butuh untuk mengantar pesan kau bisa minta tolong pada anak-anak seperti dia. Tentu saja jangan lupa untuk mengupahnya," terang Iphis lagi. Cukup panjang juga hingga tahu-tahu keduanya sudah mencapai fasad sebuah pondokan.

"Iphis? Kau kah itu?" teriak seseorang dari dalam pondok. "Boleh minta tolong ambilkan air bersih? Ada bejana di samping, ambil saja!"

"Baiklah!" seru Iphis. Ketika akan pergi ke samping, seorang perempuan berwajah pucat muncul dari arah datangnya Brie dan Iphis tadi.

"Oh... Chryseis..." kata Iphis yang langsung menghampiri perempuan muda itu.

Namanya tak asing. Dimana ya aku pernah dengar? Atau karena itu memang namanya seirama saja dengan Briseis? batin Brie.

Wajah perempuan yang jauh lebih muda dari Brie dan Iphis itu tampak seperti orang linglung. Mungkin sama linglungnya dengan wajah Briseis kemarin saat digiring Odysseus. Entahlah.

"Briseis... bisa tolong gantikan aku mengambilkan air? Bejananya ada di samping bawah jendela. Langsung bawa masuk saja nanti," pinta Iphis. Brie merasa tak keberatan dilimpahkan tugas itu. Toh, sepertinya si gadis dengan rambut secerah daffodils itu kelihatan lebih membutuhkan bantuan. Sesepele menuntunnya untuk masuk pondok, karena dia terlihat sangat tersesat sekarang.

Brie berjalan ke samping pondokan sambil mendengar wanita-wanita di dalam berseru menyebut nama Chryseis. Keduanya sama-sama memekik dengan nada prihatin.

"Oh... Kau perawat baru yang dikirim Machaon ya?" kata wanita dengan suara paling nyaring. Tak lama setelah pekikan prihatin atas Chryseis surut. Sepertinya pondok itu kedatangan tamu lain.

"Kau kenapa lagi?" Kini suara seorang wanita menyahut. Yang pasti bukan suara Iphis, dan Brie ragu suara itu berasal dari si gadis pucat.

"Ah... kau tahu aku dan Ajax. Kebuasan seorang pejuang terbaik tak bisa dikontrol," sahut wanita yang pertama lagi. "Sini periksa nadiku dulu. Machaon biasa melakukan itu. Oh, tadi pagi aku merasa perutku sakit dan sedikit mual, apa kata Machaon itu normal? Maksudnya perutku sudah sebesar ini tapi tetap merasa mual."

"Tetapi kau kan sedang hamil... Memangnya si pejuang terbaikmu tidak bisa diminta untuk berhenti dulu melakukan itu? Bayimu bisa-bisa naik ke dada karena disodok terus," balas wanita kedua. Brie dapat mendengar Iphis terkekeh karena guyonan barusan.

"Percayalah Hecamede... kalau kau dijanjikan hal yang sama denganku, kau pasti akan melakukan apapun yang dipintanya."

"Memangnya apa yang Ajax janjikan padamu?" Iphis akhirnya bersuara juga.

"Dinikahi dan diboyong ke sana," sambar wanita yang namanya disebut tadi. Hecamede.

"Ke Pulau Salamis?" Kali ini suara baru yang sangat lembut menyahut.

"Iya benar... Kau mau ikut denganku, Chrys? Akan kucarikan seorang pejuang yang jauh lebih muda dan bergairah buatmu," tawar wanita hamil itu.

"Tecmessa..." ujar Hecamede memanggil nama wanita tersebut. Mungkin bermaksud mengerem apapun yang akan ia katakan selanjutnya.

"Ah... Ajax selalu berkata bagaimana ia ingin bercinta denganku tiap saat tanpa harus pergi ke medan perang..." Tecmessa menghela napas. "Kalau tak berangkat perang hari ini, mungkin sekarang kami sedang bercumbu penuh nafsu di atas meja itu."

"Apakah kau jatuh cinta padanya, Tecmessa?" tanya Chryseis. Hecamede dan Iphis terdengar seperti menahan tawa.

"Aku menerima dia apa adanya... Setelah perang ini usai aku akan jadi istri Ajax. Aku akan melahirkan banyak bayi laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya. Dia akan sangat bangga bercinta denganku dan kita hidup bahagia selama-lamanya di pulau!" Tak lupa sebuah tawa menggelegar terdengar.

Brie yang berada di samping pondokan mendengar semua percakapan itu sambil mengerutkan keningnya.

"Seven hells!" Brie mengumpat lirih, sembari membungkuk untuk mengambil bejana air. "Dia tak benar-benar mempercayai semua omong kosong pria itu, kan?"

Ketika Brie kembali berdiri, jendela di pondokan tiba-tiba terbuka. Lalu ia mendapati perempuan di dalam pondokan tak lagi bercakap-cakap. Tatapan mereka tertuju pada Brie yang berdiri di luar sekarang. Angin saja enggan berembus untuk memutus kecanggungan yang ada. Sialnya, ia lupa mau selirih apapun berbicara, kayu pondokan itu dibangun tak kedap suara.

"Dan... Siapa ini?" sinis Tecmessa. Dari situ, Brie sadar bahwa ucapannya pasti terdengar mereka semua.

Iphis yang pertama kali sadar akan situasi tak enak ini langsung berlari keluar. Ia menghampiri Brie dan menggandengnya masuk menemui ketiga temannya. Iphis meringis sambil berdiri menyebelahi Brie.

"Perkenalkan ini... Briseis," ujar Iphis.

"Oh, aku sudah dengar tentangmu... Senang akhirnya dapat bertemu," sapa Hecamede ramah. "Aku Hecamede," lanjutnya sembari tersenyum.

"Salam kenal, Lady Briseis," ucap perempuan yang tadi dibawa masuk Iphis. "Namaku Chryseis."

"Hecamede tinggal di pondok Nestor, sementara Chryseis di pondok Agamemnon," terang Iphis.

Ah! Chryseis dan Agamemnon. Itu dia, melengkapi potongan puzzle yang ada di otak Brie. Nama gadis itu tak asing karena sering disebut dalam beberapa referensi bacaan di perpustakaan tentang perang ini. Secara tak langsung ia bakal punya andil penting atas perseteruan antara Raja Mycenae dan Pimpinan Myrmidons kelak. Yang mana akan merambat ke masalah lain, dan berujung melibatkan Briseis juga. Tapi itu adalah cerita lain untuk diceritakan dan Brie berharap tak bakal mengalami ke bagian tersebut. Semoga saja sebelum bagian tersebut terjadi, ia sudah berhasil kembali ke dirinya semula di perpustakaan.

"Halo? Ada wanita hamil yang masih tersesat di sini. Dia siapa sebenarnya?" celetuk wanita berambut jingga cerah yang masih memandang Brie dengan tatapan menilai.

"Achilles—"

"Ah!" Tecmessa mengangkat jarinya, menyela ucapan Iphis. "Majikanmu sudah usang ya, Iph, makanya dia butuh mainan baru? Jadi ini mainan baru Achilles?"

Hecamede berdeham pelan sembari melirik ke arah Tecmessa. Wanita hamil itu hanya menaikkan dagu untuk membalas tatapan Hecamede.

"Salah," koreksi Brie.

"Apa?" sahut Tecmessa.

"Kau salah, aku bukan mainan barunya."

Tecmessa tertawa sinis. "Lalu kau apa? Mainan cadangannya, ya?"

"Aku trofi kemenangannya. Trofi kemenangan dari pejuang nomor satu di sini. Kurasa kita semua tahu siapa pejuang terbaik yang asli... Kurasa semua juga tahu kalau Ajax itu nomor dua," sanggah Brie terdengar lantang dan bangga.

Demi apapun, detik itu juga Brie ingin muntah rasanya. Sepertinya habis ini ia akan membasuh lidahnya dengan air laut sebanyak dua belas kali. Apa-apaan itu tadi!? Sejak kapan menjadi budak Achilles adalah sesuatu yang patut dibanggakan dan dipamerkan. Brie merasa lama-lama ia jadi tak waras sendiri berada di tempat antah berantah ini.

Tak ada yang lebih baik dilabeli antara kedua hal itu. Tapi Brie merasa trofi kemenangan kedengaran lebih mending daripada disebut mainan. Setidaknya begitu yang terbesit di benak tak warasnya tadi. Melalui ekor mata, Brie dapat melihat Hecamede yang tersenyum sambil mengangguk padanya.

Tecmessa melegakan tenggorokannya dengan batuk kecil, kemudian memelintir rambut ikal padatnya. "Kau bisa rawat Chryseis sekalian? Kulihat ada memar di lehernya tuh," suruhnya tiba-tiba pada wanita berkerudung lusuh yang sedang berjongkok di hadapannya.

"Kau belum mengenalkan dirimu," celetuk Hecamede.

"Tecmessa," singkat wanita itu. "Duduklah di sebelahku, Chrys."

Tecmessa mengomando supaya Chryseis pindah posisi. Mungkin agar si perawat baru lebih mudah menjangkau gadis muda itu. Mungkin juga karena ia tak mau kursi kosong di sebelahnya diisi oleh Brie.

"Duduklah Briseis," saran Hecamede sambil menunjuk tempat kosong bekas Chryseis berada tadi.

"Cybele?" panggil Brie ketika melihat wanita yang memeriksa leher Chryseis. Wanita yang memakai kain penutup rambut itu membalas dengan menunduk hormat.

"Kalian saling kenal?" tanya Iphis.

"Iya... Kami sama-sama dari Lyrnessus," aku Brie. "Kau tinggal di pondok mana, Cybele?"

"Bukankah sudah jelas kalau dia tinggal bersama Machaon?" cetus Tecmessa, putaran bola mata ikut mengiringi kemudian.

"Briseis baru sehari di sini, jadi wajar dia tak tahu hal itu... Tecmessa," tandas Hecamede.

"Machaon pandai mengobati serdadu. Pondokannya biasa digunakan untuk merawat mereka yang terluka perang," terang Iphis.

"Dia bersedia merawat budak juga?" tanya Brie.

Tecmessa mendecih. "Dia seorang Yunani, mana mungkin mau."

"Tapi kau—" Iphis langsung meremas tangan Brie agak keras, hingga gadis itu tak meneruskan ucapannya.

Kini alis wanita hamil itu menyatu dan bibir mungilnya menganga. Seolah-olah ia tak habis pikir dengan apa yang barusan dilontarkan wanita berpakaian warna berma itu.

"Kau menyebut aku, apa?" tegas Tecmessa.

Hecamede menggaruk ujung alisnya, "Briseis, jadi... Bagaimana malam pertamamu di sini?"

Iphis masih dengan ringisan kikuknya ikut nyeletuk. "Ah... Aku penasaran akan hal yang sama juga! Dari tadi aku ingin menanyakannya padamu."

Kentara sekali sengaja mendukung Hecamede mengalihkan topik, supaya ketegangan yang tercipta sirna.

Brie menaikkan satu alisnya, tak paham. Tetapi ketika mengedarkan pandangan, semua wanita itu seperti menantikan jawabannya. Bahkan Cybele, yang sedang menggerus tanaman obat memelankan ulekannya.

"M-maksudnya?"

"Aku tebak dia melakukannya dengan sangat lembut, ya?" cetus Chryseis.

"Aku lebih suka malam pertama yang liar," tandas Tecmessa. "Kau juga kan, Hecamede?"

"Yah... Dulu malam pertamaku cukup kasar, aku tak begitu suka. Kalau sekarang mungkin akan beda cerita."

"Malam pertamaku di sini berat untukku." Iphis mengeluh, tetapi kemudian ia mendapat lirikan sengit dari Hecamede dan Tecmessa. "Aku bilang untukku... Jangan bandingkan dengan Chrys," koreksinya.

Chryseis mendesah sedih. "Aku membenci seluruh malam di sini, tak hanya malam pertamaku."

"Aku juga!" setuju Brie. Ada hening yang tercipta mendadak. Ulekan Cybele juga tak terdengar lagi.

"Achilles... Bersenggama dengan kasar?" Hecamede mengajukan tanya.

"Dia suka lewat jalur belakang juga?" tanya Chryseis.

"Tak mungkin kurang menggairahkan, kan? Harusnya turunan Dewi berbeda," tutur Tecmessa.

"Kalian sudah melakukannya?" Giliran Iphis yang bertanya.

"Iphis... Itu pertanyaan yang konyol. Tentu mereka melakukannya," sela Tecmessa. "Atau kalian sudah melakukan bertiga?" imbuhnya.

"Apa? Aku tak melakukan apapun dengan Briseis dan Tuan Achilles," sanggah Iphis tak terima dituduh.

"Bukan kau. Tuanmu, tuannya, dan dia," jelas Hecamede.

"Kau mungkin tak diajak lagi karena kan sudah pernah melakukannya bertiga," kelakar Tecmessa.

"Aku tidak pernah melakukannya bertiga!" kelit Iphis.

"Kalaupun iya setidaknya kedua pria itu tak kasar," kata Chryseis.

"Benarkah itu, Iph? Keduanya tak kasar?" goda Hecamede.

"Chryseis lebih baik kau menutup telinga karena kau anak orang suci. Dan aku tegaskan sekali lagi, aku tak pernah melakukan apapun selain dengan Patroclus."

"Wah... Sebuah pengakuan kesetiaan yang agung," ledek Tecmessa.

"Jadi bagaimana dia, Briseis? Pejuang terbaik menghadiahimu malam terbaik pula, kan?" tembak Hecamede.

Masih dengan memainkan rambutnya, Tecmessa mencondongkan badan ke depan. "Apa dia semenggairahkan kelihatannya? Kurasa tangan keturunan dewi mahir melakukan banyak hal, benar?"

"Dia mejamahmu dengan hati-hati dan berperasaan, kan?" bisik Chryseis. Gadis belia tersebut ikut mencondongkan badan sedikit.

"Kalian semalam tinggal berdua saja di pondok, kan?" ujar Iphis.

"Iya!" timpal Brie langsung menjawab pertanyaan Iphis. Nadanya naik beberapa oktaf. Tak tahan dengan cecaran pertanyaan tersebut.

"Tidak!" Kali ini Brie menunjuk ke arah Tecmessa dengan salah satu jarinya.

"Tak akan kubiarkan hal itu terjadi!" tuding Brie kepada si gadis berkulit pucat.

"Tidak ada yang namanya malam terbaik!" Terakhir Brie menolehkan wajahnya pada Hecamede.

Semuanya tertegun mendengar elakan Brie barusan. Termasuk Cybele yang kini juga menghentikan kegiatannya mengoles leher Chryseis dengan racikan obat.

"Aku tak percaya cerita malam pertama payah itu justru datang dari sosok Achilles," dengus Tecmessa. Sisa wanita di situ, kecuali Brie, menyepakati ucapan Tecmessa barusan dalam benak masing-masing.

ཐི༺𓆩𓐬𓆪༻ཋྀ

Brie mempelajari cukup banyak hal selama bertamu di pondokan Tecmessa. Pertama, mereka —perempuan-perempuan di kamp— memiliki insting kuat kapan legiun Yunani mundur dari pertempuran. Hecamede berkelakar, ada rambat getaran pada tanah yang mereka pijak bila kuda-kuda Yunani dan langkah berbaris legiun itu kembali ke kamp. Ini membantu mereka tahu kapan untuk kembali ke kompleks dan kembali bekerja.

Kedua, istilah gadis terpilih yang disebutkan Iphis kemarin merujuk pada posisi teman satu ranjang. Di dalamnya tentu ada peraturan lisan bahwa mereka dapat sewaktu-waktu bertugas untuk melakukan aktivitas intim. Tiap malam, jika si tuan menginginkan. Tak semua budak bisa mendapat predikat ini. Hanya yang termalang dari yang paling malang. Setidaknya begitu dalam kacamata Brie. Meski bagi Tecmessa mungkin tidak.

Ketiga, pertemuan yang Brie hadiri merupakan sebuah pertemuan rahasia 'gadis terpilih' dari petinggi di legiun ini. Tecmessa berani menamai kumpulan ini dengan julukan 'The Favourites', pasalnya mereka merupakan budak wanita yang paling sering diminta menemani tidur para petinggi itu. Jarang dari mereka ada yang diganti, seperti sudah jadi sosok tetap yang mengeloni pria-pria itu lah. Apa mereka punya keistimewaan? Ya tentu. Mereka boleh meminum anggur satu kendil dengan tuannya. Berpakaian lebih bagus. Meski masih memakan sisa makanan, tapi mereka tak perlu mengais-ngais makanan. Tidak seperti budak-budak lain.

Apalagi ya? Ah entah lah. Pokoknya berdasarkan pertemuan di pondok itu, Brie dapat menyimpulkan bahwa Hecamede merupakan pentolan grup dan cukup disegani. Tecmessa yang paling banyak omong dan pongah atas posisinya. Iphis sebagai pengikut yang membonceng arus saja. Chryseis sama seperti Iphis, tetapi lebih polos dan hilang arah. Itu dapat dimengerti karena Chryseis yang paling muda dari mereka tetapi harus melayani seorang monster.

Ketika berjalan untuk kembali, Brie sengaja melangkah lebih lambat untuk mengimbangi Cybele yang berada di belakang.

"Cybele," tegur Brie. "Kalau aku mau pergi dari sini, kau mau ikut denganku?"

Cybele langsung mendongak ketika ide sinting itu dilontarkan wanita bangsawan di kotanya dulu. "Maaf, Lady, maksudmu?"

"Iya, kau tak salah dengar. Aku mengajakmu melarikan diri dari sini. Dari tempat terkutuk ini," terang Brie. Tentu saja agak berbisik supaya tiga wanita lain yang berjalan di depan tak mendengarnya.

"Memangnya kau mau kembali kemana? Lyrnessus?" heran Cybele. "Kota itu sudah jadi abu sekarang."

Jeda sebentar, Brie melihat sekelilingnya. Jujur ia tak tahu harus melarikan diri kemana. Tetapi satu yang ia tahu, kalau memang ia ditakdirkan untuk tak bisa kembali sesegera mungkin ke tempat asalnya, kamp ini bukanlah pilihan terbaik untuk tinggal. Bahkan kamp ini tak layak masuk dalam pilihan.

"Troya?" Meski sedikit ragu, Brie akhirnya mengatakan kota itu.

Maksudnya, Troya belum hancur dan meski mungkin di balik gerbang kota mereka kesusahan, setidaknya ia takkan jadi budak di sana. Lyrnessus dan Troya berkerabat jadi dia punya posisi aman, bukan?

Kini Cybele menghentikan langkah. "Dan kalau boleh tahu bagaimana caramu ke sana? Karena aku berani taruhan baru lewat gerbang perbatasan saja kita sudah akan kehilangan kepala."

Ya. Sebuah pikiran yang lebih rasional. Tak ada yang dapat mendekati gerbang perbatasan. Tidak gerbang masuk perkemahan Yunani maupun gerbang kota Troya. Area itu dipenuhi oleh serdadu Yunani yang siap membidik mati siapapun yang keluar atau mau masuk ke dekat Troya.

"Lalu apa kau mau tetap tinggal di sini?" Brie sudah ikut menghentikan langkahnya, memposisikan diri berhadapan dengan Cybele. "Kau tahan dengan semua ini? Menjadi budak?"

Ada gejolak menggebu yang tertahan dari ucapan Brie barusan. Frustasi, marah, atau semacamnya dan Cybele dapat merasakan hal tersebut. Ia melihat dari tautan alis yang tercipta pada wajah Brie.

"Tentu tidak," tanggap Cybele kalem. "Tapi aku sadar ini adalah kehidupan dan posisiku sekarang."

Brie mendecih. Ia teringat Achilles nyaris mengatakan hal serupa mengenai posisinya di sini semalam.

"Kau punya pilihan untuk pergi lari bersamaku..." Brie mengatakan dengan yakin, "Aku juga akan mengajak mereka." Kini Brie sudah kembali menghadap depan, di mana ketiga perempuan dari pondokan sudah berjarak beberapa meter jauhnya dari Brie dan Cybele.

"Hecamede pasti akan setuju, dia cukup pintar dan dapat menyusun rencana. Iphis, akan ikut selama teman-temannya juga bergabung. Dan apa perlu kita bicarakan Chryseis? Bocah itu akan langsung setuju untuk sesegera mungkin keluar dari neraka ini..." jelas Brie, ia menarik napas sejenak. "Untuk Tecmessa... Kita bisa mendiskusikannya nanti."

"Oh... Lady Briseis..." Cybele menggeleng prihatin. Dalam benaknya, perempuan yang sudah melingkarkan lengan di sebelahnya ini terlihat masih tersesat. Mungkin akibat trauma tak terbendung atas apa yang menimpanya.

"Kita tak pernah punya pilihan, My Lady... Sebelum perang ini terjadi pun, kita tak pernah punya pilihan. Sebab kita terlahir sebagai perempuan."

Hanya sesederhana itu, Brie dapat merasakan hatinya mencelos. Ucapan Cybele ada benarnya. Tidak. Ucapan wanita itu memang benar sepenuhnya. Perempuan, muda atau tua, gering maupun berisi, hidup ataupun mati, budak dapur atau gadis terpilih sekalipun, tak punya pilihan di sini.

Entah bagaimana Brie jadi yakin 'Briseis' juga pasti sama tak punya pilihannya. Mungkin pernikahan dengan Raja Mynes itu juga bukan pilihannya. Mungkin mengenakan chiton merah juga boleh jadi bukan pilihannya. Mungkin bersembunyi di kotamara juga bukanlah pilihannya sendiri.

Cybele kini mengelus rambut ikal milik perempuan di sampingnya dengan pelan. "Kau dengar apa yang mereka semua katakan tentang tuanmu? Mereka mendambakannya, sedikit berharap ada di posisimu."

"Itu karena mereka tak tahu seperti apa dia," dengus Brie.

"Melihat kepalamu masih berada di tempat semestinya, mengenakan kain tenun elok, dan bukan kau yang tadi harus kuobati karena memar di leher... Kurasa tuanmu memperlakukanmu dengan baik," timpal Cybele lagi.

"Dia menodongkan kopis ke leherku semalam," tandas Brie.

"Dan... Apakah ada alasan di balik hal itu sampai terjadi?" selidik Cybele. Ia agaknya termakan omongan wanita-wanita di pondokan yang melabeli Achilles sebagai pejuang bengis yang masih punya nurani sedikit.

Brie tak langsung menjawab. Ia menghela napas sejenak, sebelum berucap lirih. "Aku menyuruhnya memukulku."

Cybele mengernyit. "Apa? Kau menyuruhnya untuk... apa?"

"Meminta," koreksi Briseis, sambil mengarahkan ibu jari ke mulut untuk digigiti pinggiran kukunya. "Kau tak mau memukulku kan saat di kapal."

Gantian Cybele yang menghela napas sekarang. "Lady Briseis... tak ada budak yang menyuruh, atau meminta apapun pada tuannya."

"Aku tahu, makanya aku tak mau jadi budak," protes Brie yang sudah menurunkan jarinya.

"Tak ada yang mau, My Lady," sahut Cybele.

"Maka dari itu, ayo pergi dari sini. Kita cari cara keluar dari sini, pasti ada cara," desak Brie lagi.

Cybele diam sebentar. Entah merenungkan sesuatu, entah menimang tawaran kedua Brie.

"Kau tahu, My Lady... kadang cara terbaik untuk kembali adalah dengan bertindak kebalikannya. Kebalikan dari apa yang sebenarnya kau suka atau yang semestinya kau lakukan."

"Maksudmu?" Kening Brie mengerut tipis.

"Bertahan di sini. Tinggal di sini, di kehidupan nyata yang terbentang di hadapanmu saat ini. Menerima keadaan yang sekarang, meskipun kau membencinya. Mungkin kelak kala semua ini berakhir, ketika itulah baru kita dapat kembali ke titik semula."

Semakin dijelaskan, Brie semakin tak mengerti. Kehidupan nyata yang terbentang apanya!? Brie tak mau menerima dengan begitu pasrah kehidupan ia di sini. Ia punya tenggat essay yang entah tinggal berapa lama waktunya tersisa sekarang. Masih mending kalau ia terdampar di tempat lain. Tapi tinggal di kamp ini? Oh tidak. Terima kasih.

"Dan berdasarkan apa yang kuamati. Jika kau ingin bertahan di sini. Air mata dan rengekan jelas bukan senjata yang tepat untuk kau gunakan..." terang Cybele, ia menurunkan sedikit pandangannya. "Sesuatu yang terletak diantara kakimu adalah senjata terbaik di sini. Gunakan itu."

Brie menghentikan langkahnya. Melepas tautan lengan pada Cybele. Wanita yang lebih tua darinya itu mengimitasi gelagat Brie.

"Kau menyarankan aku untuk menjadi pelacurnya?" simpul Brie.

"Apapun untuk membuat kepalamu masih utuh di tempatnya. Kau tak perlu menyukainya seperti wanita rambut merah itu."

Brie masih tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Cybele. Posisinya di sini sebagai gundik sudah cukup menjengkelkan. Dan dia diminta untuk melebarkan kakinya untuk entitas kuno asing itu secara sukarela. Di tempat asalnya, Brie mungkin tak masalah kalau itu dilandasi consent. Di sini? Ia ragu mereka —pria-pria di kamp ini, bahkan mengenal yang namanya bertanya untuk meminta ijin melakukan suatu hal terlebih dahulu. Apalagi hal-hal mengenai berhubungan seksual.

"Cobalah lakukan semua hal di sini tanpa merasakan apapun. Terutama hal-hal yang dapat melibatkan air mata. Jika perlu... jangan rasakan apapun ketika lelehan itu dirasa meluncur dari pelupukmu, My Lady," anjur Cybele.

"Kau tak perlu memanggilku dengan sebutan formal..." sinis Brie setelah jeda agak lama. "Kedudukan kita setara sekarang. Hanya budak yang bersedia melakukan apapun supaya tetap punya kepala," imbuhnya penuh penekanan di bagian label memuakkan itu, sebelum melenggang pergi untuk menyusul Iphis.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya THE BRIDE WHO NEVER WAS - 5
0
0
Kesempatan berkenalan dengan tuan Iphis yang baik hati, disusul dengan ajakan tiba-tiba. Masalah apa yang Brie perbuat kali ini?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan