Menikahi Aktor (Merenda Cintamu) 1-Ending (1-10 Gratis)

3
0
Terkunci
Deskripsi

Sinopsis:

Bagaimana rasanya jika status pernikahanmu disembunyikan?

#Novel Religi Romance Part 1-10

Merenda Cintamu 

Part 1 Terjebak Kenyataan

Suasana meriah menghiasi ballroom. Tamu yang hadir dari berbagai kalangan, membuat suasana sedikit unik, juga terlihat aneh. Ada yang dengan anggunnya ngobrol sambil memegang cocktail glass, di sisi lain ada terobsesi memenuhi perutnya dengan segala macam makanan yang tersedia di meja. 

Semua kalangan ada di sini, mulai dari seleb, semua kru, sampai pemeran tokoh...

38,729 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
300
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Hakikat Cinta Part 1-20
2
1
Naskah Hakikat Cinta Part 1-10  Part 1 Apa Hakku Melarangmu?   🌸🌸🌸  Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauḥ Maḥfuẓ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)  🌸🌸🌸  “Menurutmu Ummi bagaimana mengenai poligami?” Deg. Salwa merasakan debaran hebat di dadanya. Lebih dari itu, ia pun merasakan tubuhnya juga mulai bergetar. Ia tahu, bukan tanpa alasan suaminya bertanya demikian. Ia menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya. Berharap gejolak dalam dirinya sedikit bisa tenang. “Tergantung niatnya. Jika untuk memuaskan nafsu, ini sangat tercela. Poligami bukan sekadar urusan perut. Lapar makan, lalu dibuang. Kalau hanya untuk urusan begini, apa bedanya kita dengan hewan?  Niat untuk agama pun, tentu harus dipikirkan matang-matang. Jika tidak mempunyai pondasi yang kuat, alih-laih memberi hidayah, malah kita yang tenggelam,” ucap Salwa panjang lebar. Bagai bendungan air yang baru saja dibukanya setelah sekian lama ia tutup. Terdengar napas berat Salman. Ia mengeratkan pelukannya di bahu Salwa. Sesaat ia mencium ubun-ubun istrinya. “Bagaimana menurutmu dengan Jamilah?”***Di dalam kamar mandi Salwa menumpahkan segala sesak yang terpendam seharian penuh. Air matanya langsung pecah begitu putri kecilnya terlelap. Ia berlari ke kamar mandi karena tidak ingin tangisannya didengar oleh putrinya. Ia menghidupkan shower guna menenggelamkan tangisannya sendiri. Di bawah shower dia meringkuk dengan terisak-isak. Hati wanita mana yang siap suaminya menikah lagi? Apalagi setelah perjuangan yang cukup panjang ia lakukan demi keutuhan rumah tangganya. Namun, apa kuasanya untuk menolak takdir? Apa haknya untuk melarang suaminya melakukan yang dibolehkan dalam agama? Terlebih jika memang suaminya melakukannya untuk agama.“Aku hanya berharap bisa membantu Jamilah mendidik anak-anaknya. Alhamdulillah, jika keduanya bisa masuk pondok, menjadi generasi yang menghidupkan syariat Islam di muka bumi.”Ia teringat ucapan Salmam malam itu. Indah nian cita-cita suaminya, tetapi mengapa sangat menyakitkan baginya. Ia seperti dihadapkan dua pilihan yang sulit. Andai ia melarang niat suaminya, bagaimana dengan Jamilah dan anak-anaknya? Egois sekali, jika ia memperturutkan perasaannya, lalu membiarkan orang lain hidup papa agama. Andai ada yang bisa disalahkan, dirinya  yang harus disalahkan karena selalu tidak bisa menolak kebaikan. “Terima kasih, Mi. Ummi memang bidadari surga” ucap Salman, waktu itu lalu menghadiahi sebuah kecupan di ubun-ubun.Seringai senyum luka terbit di bibirnya. Air matanya terus mengalir bersamaan dengan guyuran air shower. Sesakit inikah untuk menjadi bidadari surga? Kenapa harus dihadapkan dengan pilihan surga? Jika mengabaikan, apakah itu artinya terjauh dari surga? Mengingat surga, ia teringat satu upayanya tiba-tiba berantakan. Satu fragmen kembali muncul, mengabaikan tubuhnya yang menggigil. Saat itu Salwa sedang murajaah sambil menemani anaknya yang sedang bermain bongkar pasang rumahan. Ia langsung menutup mushafnya begitu melihat suaminya keluar dari kamar mandi. “Teruskan saja, tidak apa,” ucap Salman sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil. “Nanti bisa dilanjutkan lagi,” sahutnya sambil mengambil alih handuk di tangan Salman. Dengan isyarat ia menyuruh Salman duduk di ujung ranjang. Ia langsung mengusap rambut hitam itu dengan pelan, seakan khawatir akan membuat rambut suaminya rontok. “Kalau sampai menghentikan bacaan Qur’anmu demi ini, kan tidak bagus juga. Seharusnya aku memberimu banyak ruang untuk  menjaga hafalanmu.”“Tak apa. Semoga Allah menjaga hafalanku, berkat baktiku padamu.” “Aamiin.” Setelah dirasa kering, ia duduk di samping Salman. “Oh iya, Bi. Sekitar  dua bulan lagi akan ada tes hafalan 30 juz. Ummi terpikir untuk ikut. Gimana menurut Abi?”“Ya, bagus. Aku mendukungmu.”“Tapi ….”Salman bertanya dengan mengangkat sebelah alis. “Mungkin banyak yang dikorbankan. Makanan untuk sementara kita beli masak saja. Rumah mungkin akan berantakan, juga pelayanan lainnya mungkin ….”Salman merengkuh bahu istrinya. “Tidak apa. Maafkan Abi. Karena selama waktu Umi habis mengurus Abi dan Salsabila.”“Tidak apa. Umi tidak menyesalkan itu. Tiba-tiba saja ingin mencoba ikutan tes. Semoga Allah, mudahkan.“Amiin.”Salwa menggigit bibirnya, mencegah jeritan hatinya mengeluar melalui kedua bibirnya. Berapa besar perhatian Salman kepada perempuan itu, sehingga lupa istrinya yang sedang berjuang ikut seleksi tes hafalan 30 juz? Sekarang semuanya berantakan. Hari seleksi masih ada beberapa hari lagi, tapi tidak mungkin ia melanjutkan perjuangannya di tengah hati yang hancur berkeping.Andai dalam ajaran Islam boleh tidak memaafkan, inilah yang tidak bisa dimaafkannya pada diri Salman. Mengumpulkan ayat demi ayat sebagai ibu rumah tangga bukanlah yang mudah. Butuh waktu delapan tahun ia baru bisa menyelesaikan setoran terakhirnya. Mengabaikan segala lelah di sela pengabdiannya sebagai seorang istri, ibu bahkan menantu.Ia ingat jelas, bagaimana ia merawat ibu Salman yang sakit. Sebelah tangannya memijat kaki mertuanya, sedang sebelah lainnya memegang mushaf. Saat itu ia sedang berjuang tes 21 juz. Setelah menaiki tangga demi tangga, sekarang berantakan hanya karena keinginan suaminya. Andai boleh meminta keburukan, ia hanya  ingin tidak memaafkan suaminya. Kini pecahlah isakan yang terpendam. Ia biarkan jeritannya mengeluar. Memenuhi ruang kamar mandinya. Biarlah air dan kamar mandi yang menjadi saksi bisu jeritannya di malam ini. ***Di luar rumah seorang gadis berusia 16 tahun mondar mandir di depan pagar rumah Salwa. Hujan deras membuatnya tubuhnya semakin menggigil. Berkali-kali ia menggoncang gagang kunci pagar, tetapi tuan rumah tak kunjung keluar. Kembali ia menghidupkan layar ponsel dengan bernaungkan kain hoodienya yang telah basah. “Aku mohon, Tante. Bukalah!” air matanya kini luruh. Gadis yang suka membangkang ibunya itu kini putus asa. Ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi basah kuyup. Sebelah bibirnya tersungging. Untuk apa pulang? Ia yakin, ibunya telah melupakannya malam ini. Mungkin untuk selamanya. “Hallo!” Mata gadis itu membelalak, melihat panggilannya yang terjawab. Secercah cahaya hadir dalam semangat hidupnya. “Tante, aku ..  di luar,” ucapnya dengan menggigil. “Hah? Apa kau bilang?” terdengar keterkejutan dari sang pemilik rumah. “Aku di luar, Tante! Buka pagarnya.”“Tunggu-tunggu!” Panggilan tertutup. Lega menyusupi relung hati hati gadis itu. Anehnya, air matanya semakin mengalir deras. Sayangnya tidak ada yang tahu, perasaannya malam ini. Tertutup oleh derasnya hujan. Gadis itu tersenyum lebar, melihat seorang wanita tergopoh-gopoh membuka pintu. “Tante, pakai payung!” teriaknya. Wanita itu mengabaikan seruannya, dan terus saja berlari, lalu membuka pagar. “Kenapa tidak pakai payung, Tante? Tante jadi kehujanan.“Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu hujan-hujanan begini?” Kepanikan membuat membuat wanita itu kesulitan memasukkan kunci. Air mata gadis terus saja mengalir. Terharu oleh kebaikan wanita yang dikenalnya hanya beberapa hari yang lalu. Padahal mungkin saja, ibunya kandung telah lupa melupakannya di malam ini. Bagaimana mungkin ibunya ingat padanya, di saat sedang asik mengecapnya manisnya madu asmara. Gadis itu langsung menubruk dan memeluk erat tubuh Salwa begitu pagar terbuka. “Aku takut sekali, Tante! Bagaimana jika Tante tidak membukakan pintu untukku?!” Tangis gadis itu semakin nyaring, tetapi tertelan suara guntur yang menggelegar. Sekilas cahaya putih memperlihatkan duka mereka pada semesta. “Haira, kita masuk dulu!” ***🌸🌸🌸Part 2 Kedatangan Tamu  Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat. (QS. Al-Baqarah:259)🌸🌸🌸Aku takut sekali, Tante! Bagaimana jika Tante tidak membukakan pintu untukku?!” Tangis gadis itu semakin nyaring, tetapi tertelan suara guntur yang menggelegar. Sekilas cahaya putih memperlihatkan duka mereka pada semesta. “Haira, kita masuk dulu!” ***Salwa membawa Haira ke kamar putrinya. Terlihat Salsabila tertidur pulas. Haira tersenyum melihat gadis kecil yang berusia 6 tahun itu. Melihat Salsabila ia teringat kecelakaan yang akhirnya mempertemukan mereka. Secara tiba-tiba saja ia langsung jatuh cinta pada Salwa. Saat itu ia marah pada ibunya karena ingin menikah lagi. Kehilangan seorang ayah sudah menjadi pukulan baginya. Haruskah ia kehilangan lagi seorang sosok ibu gara-gara ibunya jatuh cinta lagi? Dengan perasaan kalut ia mengendarai motor milik ibunya. Mau kemana? Ia pun tidak tahu. Tanpa direncana motornya melaju di daerah sekitar Siringan, salah satu taman kota yang menjadi tempat peristirahatan orang-orang di sela kejenuhan. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke arah tengah jalan. Haira panik. Klakson motornya yang melengking menyadarkan sang ibu. Sang ibu langsung mengejar putrinya.Motor Haira yang semakin mendekat membuat Salwa panik. Saat itu yang terpikirkan di kepalanya hanyalah menyelamatkan putrinya. Ia menenggelamkan putrinya dalam dekapan sambil memejamkan mata. Memasrahkan diri atas keputusan Allah. Ia hanya berharap putrinya selamat, selalu bahagia dan memiliki umur panjang. Anehnya, tidak ada satu benda pun yang menyentuh tubuhnya. Bahkan deru motor kini telah hilang. Salwa membuka matanya. Ia berbalik, di depannya seorang gadis mengendarai sebuah motor dengan napas tersengal-sengal. Gadis itu sepertinya masih syok. Salwa bergegas mendekati gadis itu dengan menuntun tangan putrinya. “Adik tidak papa 'kan?” tanya Salwa cemas. Haira masih tak kuasa bersuara. “Maafkan saya karena telah lalai menjaga anak. Maafkan saya.”Haira masih tidak bersuara. Napasnya masih tidak beraturan. Dadanya masih kembang kempis. Seorang bapak tua mendekati mereka. “Menepi dulu, Nak. Tenangkan dirimu!” Salwa menarik putrinya ke pinggir, lalu mendudukkannya ke trotoar taman. “Salsa duduk di sini, ya.”Salwa segera beralih ke Haira. Ia menarik tangan Haira, hingga gadis mulai tersadar dan mau turun dari kendaraan. Bapak tua di dekat mereka langsung mengambil alih motor itu, lalu menepikan ke pinggir jalan. Haira telah duduk di samping Salsabila. Ia masih belum bersuara. Salwa berinisiatif mencarikan minuman untuknya. “Salsa, temanin Kakak ya. Umi mau cari minuman dulu!” Salwa langsung berlari ke seberang, begitu putrinya mengangguk. Tak lama Salwa sudah  balik membawa air mineral botol yang dingin. Ia menyerahkan kepada Haira setelah membuka penutupnya. “Minumlah, Dik. Barangkali membuatmu sedikit lebih nyaman.” Dengan pelan Haira mengangkat tanganya, tanpa beralih memandang wajah cemas Salwa. Sejak itulah ia mulai mengenal Salwa dan Salsabila. Komunikasi mereka hanyalah lewat chat atau media social. Anehnya, di saat dia putus asa yang teringat di benaknya hanyalah Salwa. “Ini handuknya.” Suara Salwa memecah lamunannya. “Mandi ke kamarku saja. Di sana ada air hangatnya.”Haira mengangguk. Tiba-tiba matanya tertuju pada mata Salwa yang bengkak. “Mata Tante kenapa? Tante nangis? Gara-gara Haira, ya? Apa karena Tante kehujanan tadi?” tanya Haira dengan panik. Salwa tertawa. Seiris silet menyayat hatinya. Yang mengetahui keadaannya malam ini adalah gadis yang dikenalnya hanya beberapa hari yang lalu. “Mandilah! Semoga kamu tidak jatuh sakit. Lihatlah bibirmu, membiru begitu. Berapa lama kamu di luar?” ***Salwa tersenyum melihat Haira yang makan sangat lahap. Sepertinya anak itu sangat kelaparan. Sesaat ia merasa terhibur dengan kehadiran Haira. Tadinya ia sangat menyesali, mengapa memasak begitu banyak, padahal tahu Salman tidak akan pulang ke rumahnya malam ini. Rupanya apa yang telah dilakukannya, telah Allah siapkan untuk Haira. “Kenapa, Tante memandang saya begitu?” tanya Haira dengan mulut masih penuh.  “Senang melihatmu makan sangat lahap. Tadinya, Tante berpikir mau diapakan makanan ini?” Haira menelan makanan. Ia mengambil gelas berisi air lalu mengukkan. Terdengar bunyi dari tenggorokan. “Pelan-pelan!” Salwa mengingatkan. Haira tersenyum sipu. “Melihat makanan ini, tiba-tiba perut saya jadi lapar sekali, Tante,” ucapnya setelah mulutnya telah kosong. Salwa tersenyum. “Kamu keberkahan buat nanti malam ini. Makanlah. Kamu tidur bersama Salsabila malam ini, ya.”Haira mengangguk. Lagi-lagi Salwa hanya bisa memberikan senyuman. Banyak pertanyaan bergilir di benaknya, tetapi ia urung menanyakan, khawatir merusak selera makan Haira. Mengapa gadis itu sampai ke sini? Apa yang terjadi? Apakah gadis ini tidak mempunyai orang tua? Jika ada, apakah orang tuanya tidak mengkhawatirkannya? Jika tidak ada, dengan siapa selama ini ia tinggal? Salwa teringat motor yang dikendarai Haira waktu awal pertemuan mereka beberapa hari yang silam. Ia menduga, Haira berasal dari keluarga yang berada. ***Haira mengerjapkan matanya. sebuah sentuhan lembut menyapa lengannya. Wajah seorang wanita mengenakan mukena dengan gadis kecil yang terlihat di indra penglihatannya. “Assalamu alaikum, Kak,” ucap Salsabila. “Wa alaikum salam,” sahut Haira sambil duduk dengan tangan mengucek matanya. Salwa duduk di tepi ranjang, lalu mendudukkan putrinya di dekat Haira. “Salsabila sangat senang melihatmu.”“Dia tidak kaget, Tante? Tiba-tiba ada orang asing di sampingnya.”“Sempat kaget, nangis malah, tapi langsung diam begitu mengenalmu. Aku bilang, mulai sekarang, Salsabila punya kakak. Dia senang sekali.”“Kakak!” salsabila mengulurkan tangannya yang langsung disambut Haira. “Adik,” jawab Haira dengan canggung. Sesaat mereka tertawa. “Kakak, sebentar lagi salat Subuh. Kakak Salat kan?” tanya Salsabila dengan mimik polos. Haira terdiam. Salwa mengerutkan sebelah keningnya, begitu melihat perubahan air muka Haira. “Ada apa?”“Saya sudah lama tidak salat, Tante. Bacaannya banyak lupa. Apa boleh salat seperti itu?” Sesaat Salwa terkesiap. Ia mulai memahami mengapa Salman ingin menikahi Jamilah. Terhadap Haira yang masih asing saja hatinya terasa sedih, bagaimana dengan Salman sebagai teman lama?Salwa mencoba mengukir senyum. “Tidak apa, Haira. Salat Fardu lima kali sehari itu kewajiban kita sebagai umat muslim. Masalah bacaan, Haira bisa belajar pelan-pelan. Untuk subuh ini, kita salat berjamaah, gimana?”Haira langsung tersenyum riang. Reflex ia memegang kedua tangan Salwa, “Boleh, Tante? Haira mau.”Salwa pun merasakan kebahagiaan yang meluap-luap begitu melihat reaksi Haira. “Kalau begitu, kamu siap-siaplah. Aku tunggu di ruang musholla.”Haira mengangguk. “Salsabila mau ikut ibu, atau nunggu Kakak?” tanya Salwa pada putrinya. “Salsa nunggu Kakak di sini.”“Baiklah, kalau begitu. Ummi keluar ya?” Gadis cilik itu mengangguk.*** Jamilah tersentak, dikejutkan oleh ketukan nyaring dan beruntun. Salman yang tidur di sampingnya ikut terkejut. “Ma! Haira hilang!” 🌸🌸🌸Part 3 Hidayah di Tangan Allah  Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash:56)🌸🌸🌸Jamilah tersentak, dikejutkan oleh ketukan nyaring dan beruntun. Salman yang tidur di sampingnya ikut terkejut. “Ma! Haira hilang!”Mata Jamilah membelalak. Sesaat ia saling bersitatap dengan suaminya, lalu meloncat dari ranjang. “Jamilah, kenakan pakaianmu!” seru laki-laki yang baru saja menikahinya. Jamilah tersadar badannya tanpa mengenakan sehelai kain pun. Secepat kilat ia menyambar handuk piyama yang tergantung di dinding lalu mengenakannya sambil berjalan. Anak pertamanya mondar-mandir dengan telepon di ruang tengah dengan ponsel di telinga. “Bagaimana bisa hilang? Kapan kamu terakhir melihatnya?” tanya Jamilah sambil mengikat tali handuk piyamanya. “Seharusnya aku yang tanya sama Mama!” Haikal keburu menutup mulutnya begitu melihat ayah sambungnya berdiri di belakang ibunya. Ia mendekati ibunya. “Ma, aku tidak akan memaafkan Mama, kalau Haira kenapa-napa!” ancam Haikal dengan wajah berapi-api.Jamilah termundur. Hampir saja tubuhnya limbung andai tidak segera disangga suaminya.“Hallo!” Haikal segera mengangkat telepon. “Haira, kamu di mana?” Mendadak Jamilah mempunyai kekuatan lagi. Ia menyambar ponsel di tangan Haikal. “Haira, kamu di mana, Nak?!” “Kak Haikal!” Jamilah kembali merasakan tubuhnya melemah.Haikal langsung menyambar ponselnya. Haikal menjauh. “Haira, kamu di mana? Hah? …. Baiklah!” Tertatih Jamilah mengikuti anaknya yang masuk ke kamar. “Dia di mana? Dia baik-baik saja kan?” Haikal abai. Ia mengambil ransel, membuka lemari Haira lalu mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. “Iya ... iya ….” Haikal beralih ke pintu lemari sebelah, mengeluarkan beberapa peralatan, juga memasukkannya ke dalam tas.Tanpa menoleh ibunya, Haikal keluar rumah. Tak lama terdengar mesin motor gedenya menyala dan sesaat kemudian lenyap.Jamilah menenggelamkan wajahnya ke dada suaminya. Tangisnya pecah. “Aku gagal jadi ibu.Laki-laki itu mendekapnya. “Yang penting Haira sekarang baik-baik saja. Nanti kita lakukan pendekatan pelan-pelan. Sabar, ya!”Jamilah melepaskan pelukannya. Dengan wajah sembabnya ia mengangguk. “Kau akan sabar membantuku 'kan?”“In sya Allah, jawab suaminya sambil mengusap wajahnya dengan lembut. Sekarang mandilah!” Laki-laki itu seketika memekik ketika  menoleh ke arah jam di dinding. “Astaghfirullaaah.” “Kenapa?” Jamilah ikut terkejut. “Kita belum shalat Subuh. Astaghfirullah .…” Jamilah mengernyit melihat tingkah suaminya yang memasuki kamar dengan terus mengucapkan istighfar. Ia menoleh ke arah jam di dinding. “Baru jam enam.” *** Laki-laki itu terisak dalam doa salat Subuhnya. Mulai baligh sampai dewasa baru kali ini, ia salat Subuh kesiangan. Jamilah mendekatinya dengan masih mengenakan mukena.“Apa yang kautangiskan?” “Pagi ini aku kena musibah.Jamilah tersentak. “Musibah apa?Salman menoleh ke arah istrinya. “Laki-laki wajib salat fardhu berjamaah. Hari ini aku salat fardu kesiangan dan tidak berjamaah.Jamilah memasang wajah tidak mengerti. Mengapa dibilang musibah? Salat bukanlah barang. Lagi pula, bukankah itu di luar kesengajaan? Salman hanya menatap pasrah wajah awam istri barunya. Seketika ia teringat Salwa. Rindu kini menyergap relung hatinya. Selama di sisi Salwa, jangankan salat Subuh, bahkan salat Tahajud pun tidak ketinggalan.Ia beristighfar dalam hati. Betapa ia telah melakukan kesombongan. Menikahi Jamilah untuk membimbingnya mengamalkan agama, ternyata dirinya sendiri pun selama ini ditopang Salwa. *** Dengan bermodalkan share lokasi, Haikal kini berada di depan pagar rumah minimalis bercat abu-abu kombinasi putih Terlihat Haira keluar dengan wajah semringah. Tidak terlihat tanda-tanda kesedihan di wajah adiknya. “Masuklah!” ucap Haira setelah membuka pagar. Haikal kembali menjalankan mesinnya, lalu memasuki halaman rumah. “Ini rumah siapa?” tanya Haikal sambil menyerahkan tas ransel yang sejak tadi ia bawa. “Bentar, aku kenalkan,” jawab Haira, lalu masuk ke dalam rumah. Haikal hanya bisa menggelengkan kepala melihat adiknya keluar masuk seperti rumah sendiri. Tak lama adiknya menyeret tangan seorang wanita berkerudung lebar dan anak kecil yang memegang kain gamis ibunya. “Kenalkan, ini Tante Salwa dan ini Salsabila yang sekarang jadi adikku. Tante, ini kakakku, Haikal, ucap Haira riang.Haikal mengulurkan tangannya, “Haikal.” Salwa hanya mengatupkan kedua tangannya di dada. “Salwa.” Lalu ia beralih ke putrinya. “Salim sama Kakak.”Salsabila mengulurkan tangannya. “Salsabila.”Haikal berjongkok mengimbangi ketinggian Salsabila. Ia menyambut uluran tangan Salsabila. “Panggil saja aku Kak Haikal.”Salsabila mengangguk.“Malam tadi Kak Haira mengganggu enggak?” tanya Haikal dengan nada lembut. Salsabila menggeleng. Dengan wajah malu ia bersembunyi di balik kain gamis ibunya. Wajah imut Salsabila membuatnya tersenyum. Ia berdiri menghadap Salwa. “Maaf, Tante. Saya tidak mengerti mengapa adikku bisa sampai ke sini. Aku sebagai kakaknya minta maaf jika mengganggu Tante.”Salwa menggeleng. “Tidak apa. Salsabila malah senang ada teman di rumah. Mmm … Maaf, ya. Saya tidak mengajakmu masuk  karena di rumah tidak ada laki-laki.”“Tidak apa, Tante. Saya ke sini untuk memastikan keadaannya.” Ia berpaling ke Haira, lalu menyeret  tangan adiknya, menjauh dari Salwa dan Salsabila. “Dia siapa? Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?” bisik Haikal, tetapi terdengar oleh Salwa. “Baru saja kenal, tapi aku sangat mempercayainya,” sahut Haira tanpa merasa harus memelankan suaranya. “Iya, tapi kamu merepotkan orang lain.”Seketika Haira merengut. “Aku tidak ingin melihat laki-laki itu. Aku akan balik ke rumah, kalau laki-laki itu keluar dari rumah. Bilang saja sama Mama. Biar Mama mengerti mauku.” Haira langsung berpaling tanpa menunggu persetujuan kakaknya. “Ayo Salsa, kita masuk rumah.”Kembali Haikal menggelengkan kepalanya. Ia mendekati Salwa. “Maaf, Tante. Haira pasti sangat merepotkan Tante.”Salwa menggeleng. “Tidak kok.”“Apa Haira boleh tinggal di sini beberapa hari, sampai saya bisa membujuknya atau meminta Mama membawanya pulang.”Salwa mengangguk. “Aku tidak tahu apakah ada masalah di keluarga kalian. Haira juga tidak cerita. Saran saya, biarkan dia tenang dulu. Untuk beberapa hari … selama ayah Salsabila di luar, saya tidak masalah. Tapi, jika ayah Salsabila datang, saya tidak tahu harus bagaimana. Laki-laki dan perempuan bukan mahram tidak baik tinggal serumah.”“Iya. Saya mengerti, Tante. Saya akan segera mencari solusi ini. Terima kasih banyak, Tante. Telah menerima Haira di sini.”“Sama-sama.”“Kalau begitu saya pulang dulu!” Salwa mengangguk. “Hati-hati di jalan.”*** Jamilah mempersiapkan sarapan pagi di dapur, sedang Salman memandangi chatnya yang tak kunjung terjawab. [Assalamu ‘alaikum. Bagaimana keadaanmu, Sayang?]Kini ia mengirimkan stiker berbentuk amor merah berhiaskan mawar. Napas lega langsung mengembus begitu ia melihat Salwa terlihat sedang mengetik. [Alhamdulillah. Selama ada Allah di hati, semuanya akan baik-baik saja]Perasaannya terasa teriris membaca jawaban Salwa. Terlihat istrinya lebih tegar darinya. Betapa ingin sekali memeluk wanita yang hampir delapan tahun telah menemaninya.[Aku merindukanmu]“Sayang, sarapan sudah siap,” teriak Jamilah dari dapur. “Iya, sebentar,” jawab Salman tanpa beranjak. Matanya memerah menatap chatnya yang masih belum ada balasan. Mengapa terasa sakit sekali diabaikan begini? Di saat ia sangat membutuhkan Salwa? Seketika ia teringat bagaimana perasaan wanita itu malam tadi?Di saat ia menikah dengan wanita lain? Ia tahu, itu menyakitkan bagi Salwa. Dirinya pun ikutan sakit dengan perasaan Salwa. Ia melakukan semua ini demi membimbing Jamilah dan anak-anak, teman kecilnya. Ia menuntut pengorbanan Salwa, tetapi mengapa dirinya sekarang yang terlihat rapuh. Seketika cairan bening dari matanya menetes. [Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adil. Janganlah menghubungiku. Percayakan aku dan Salsa pada Allah]🌸🌸🌸  Part 4 RapuhWahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Qs. Ali Imran: 200)🌸🌸🌸Seketika cairan bening dari matanya menetes. [Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adill. Janganlah menghubungiku. Percayakan diriku dan Salsa pada Allah]***Mata Salwa membesar menyaksikan pemandangan indah di depan matanya. Haira gadis yang ia kenal pertama kali mengenakan hoodie dengan celana jeans pendek di atas paha telah berubah menjadi manis dan anggun. “Tante, jangan memandangku begitu! Aku kan jadi malu,” ucap Haira tersipu. Ia menunduk, menatap tubuhnya yang sekarang berbalut gamis milik Salwa dengan sedikit kepanjangan. “Kamu cantik sekali, Haira. Tante benar-benar kaget v dibuatmu.”Haira merengut.  “Benar, Tante?! Menurut Tante, Haira cantikan mana dengan pakaian Haira biasanya? Sesaat Salwa terdiam. Ia perlu waktu untuk memilah ucapan supaya tidak memaksakan kehendak, tetapi bisa menyentuh Haira “Selera orang berbeda, Haira. Kalau menurut Tante sih yang ini lebih cantik, anggun dan dewasa. Namun, satu hal yang ingin Tante sampaikan pada Haira. Allah yang memberikan kita kecantikan, alangkah baiknya jika bersyukur kepada Allah dengan taat kepada-nya. Salah satunya dengan menutup aurat. Menutup aurat itu wajib buat kita sebagai muslimah.”“Wajib? Mengapa, Tante? Bukankah ini akan membatasi gerak perempuan?” tanya Haira. Salwa menggeleng. “Mengapa Allah wajibkan, hanya Allah yang tahu hikmahnya. Pastinya Allah lebih tahu tentang diri kita, lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Beberapa hikmah yang kita ketahui di antaranya untuk melindungi fitnah dari laki-laki dan diri kita sendiri.”“Fitnah?” ulang Haira.Salwa mengangguk. “Yang menyukai kecantikan perempuan itu laki-laki. Itu fitrah dia, seberapapun saleh laki-laki itu, dia tetap memiliki rasa suka kepada perempuan. Hanya saja, jika laki-laki saleh, dia akan berusaha melindungi diri dengan menjaga pandangan atau menjauh. Tapi bagaimana jika yang melihat kecantikan kita laki-laki yang tidak bertanggung jawab? Itulah di antaranya ada kasus pemerkosaan, pelecehan bahkan perselingkuhan.  Kejahatan akan terbuka jika ada kesempatan.”Haira tercenung. Ibunya juga termasuk perempuan yang mengumbar aurat, lalu apakah suaminya sekarang termasuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tanpa sadar, ia mengangguk. Ibunya tahu pernah bilang, kalau laki-laki itu sudah beristri. “Mengerti, Tante. Tapi, apakah pantas Haira memakai seperti ini? Bagaimana kalau tidak bisa istikamah?”“Semua orang pantas untuk mentaati Allah. Jika ketaatan dinilai karena mulianya seseorang, maka orang yang mengaku pantas itulah justru tidak layak. Kita mentaati Allah sambil terus berbenah, belajar dan berdoa semoga istikamah melakukannya.”Haira mengangguk. “Aku ngerti, Tante. Aku akan pikirkan lagi.”Salwa mengangguk, tak lupa terus memberikan senyum tulus dan penuh penghargaan. “Sekarang kita berangkat, ya.”“Ayo!” Haira mengulurkan tangannya ke arah Salsabila dan langsung disambut anak kecil itu. Salwa terkekeh melihatnya. Baginya, kemunculan Haira sebuah keberkahan. Tanpa Haira entah bagaimana ia akan melewati malam tadi. Mereka menyusuri gang-gang kecil, jalan tembus menuju pondok Tahfiz Darul Qolam tempat Salwa mengajar. Di sana dia menyetorkan hafalan dan diberi kesempatan untuk mengabdi. Hanya saja, hanya sebagai pengajar tahsin bukan tahfiz karena ia belum mendapatkan ijazah tahfiz. Ia berencana ikut di tahun ini. Sayangnya batal karena konsentrasinya pecah disebabkan keinginan Salman yang ingin menikah lagi. Sepanjang jalan Haira bibirnya terus tersungging senyum. Setelah ayahnya meninggal, barulah kali ini ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Biasanya ia mencari kebahagiaan dengan shopping, nongkrong, jalan-jalan atau pesta sesama teman. Kenyataannya, yang ia dapatkan hanyalah kebahagiaan semu. Kesenangan sementara. Ia akan kembali kesepian jika sendirian dalam kamarnya. Rindu pada kehangatan ayahnya membuat kesedihannya semakin menguasai. Awalnya ia pun tidak ingin ikut ke pondok. Di matanya pondok itu penjara. Pembatas seseorang dengan kesenangan. Lalu harus mematuhi peraturan yang memikirkannya saja membuat kepalanya pening. Ditambah seharian penuh akan mengenakan pakaian yang membuatnya gerah. Ia ikut ke pondok karena tidak ingin sendirian di rumah Salwa. Siapa sangka, ia merasa nyaman dengan pakaian yang diberikan Salwa. *** Jamilah langsung meloncat dari tempat duduknya begitu mendengar deru motor putranya memasuki halaman rumahnya. Menyaksikan pakaian istrinya, Salman langsung menarik dan menyeretnya ke kamar.“Ada apa sih, Mas?” seru Jamilah kesal. “Kamu mau keluar dengan pakaian seperti itu?!” tanya Salman.Jamilah mengerutkan kening. Ia menatap badannya dengan kerutan kening. “Mas, aku bukan mau jalan-jalan. Palingan ke muka pintu untuk menyambut Haikal. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Haira.” “Dengar! Aurat wanita itu tidak tergantung tempat, melainkan situasi. Tidak masalah pakaianmu terbuka kalau kamu sedang berada di tempat yang tidak ada laki-laki bukan mahram. Sebaiknya, meski dalam rumah, kamu wajib tutup aurat kalau itu ada laki-laki yang bukan mahram.” Jamilah mengerang kesal. “Masa cuma mau menyambut putraku harus pakai kerudung? Ribet banget!!” protes Jamilah.“Kalau tidak ingin berkerudung, tunggulah dia masuk.”“Mas, aku mengkhawatirkan putriku, bagaimana aku sempat berpikiran seperti itu?!” Salman menarik napasnya sambil menggelengkan kepala. Ia memang perlu memupuk kesabaran dan kebijakan untuk membimbing Jamilah. “Sudahlah. Yang pasti, sudah aku sampaikan. Lagian sekarang di sudah di dalam, kamu temuilah dia.”*** Di pondok Haira menemani Salsabila di teras selama jam pelajaran. Dari tempatnya duduk terdengar baca-bacaan santriwati. Ada yang terdengar sangat lancar, juga sangat terbata-bata. Bahkan dengan suara timbul tenggelam, ia juga mendengar ada santri yang sedang membaca Iqro. Waktu tidak terasa, telah berhamburan para santriwati, keluar dari pintu masing-masing. Setiap santri memperlihatkan wajah ceria dan di tangan masing-masing memegang mushaf. Haira merasa seperti tersesat, tetapi ia menyukainya. Tak lama Salwa mendekati Haira. “Haira, kamu mau nemenin Salsabila dulu? Aku mau bicara sama teman Tante di sini.” “Iya, Tante. Tidak apa. Salsabila juga pintar sekali.”“Alhamdulillah. Kalau begitu, Tante tinggal ya.”Salwa meninggalkan mereka setelah Haira mengangguk. Ia langsung bergegas mendekati seorang ustadzah yang baru saja keluar dari salah satu pintu kelas. “Assalamu ‘alaikum.”“Wa alaikum salam.”“Ustadzah, bisa kita bicara?” tanya Salwa. Sahabatnya mengangguk. “Bagaimana kalau kita ke kelasku saja?!” Salwa menyetujui. Mereka memasuki kelas Silmi yang isinya hanya karpet hijau serta sebuah meja dengan lebar tak lebih dari setengah meter dan ketinggian tiga puluh centi. “Anti pasti sudah mendengar berita itu,” ucap Salwa setelah ia menyandarkan punggungnya. Silmi mendesah. “Iya. Sabar, ya. Hanya ini yang bisa ana sampaikan.” Salwa tersenyum kecut. “Kalimat yang terkesan terlalu sederhana, tetapi sangat sulit dilakukan.”“Kenyataannya kita hanya berusaha sabar dan tabah, karena kita tidak dapat mengelak dari takdir Allah.”Salwa memejamkan matanya. hatinya kembali berdenyut-denyut. Perih sekali. “Ana hanya tidak apakah bisa bertahan. Andai luka itu berdarah, sampai hari ini, mungkin aku sudah menghabiskan ratusan kantong darah.”“Orang bilang yang menahan perempuan itu suami dan kubur. Jika cintamu pada Salman telah sirna, setidaknya pikirkan bagaimana keadaanmu di kubur nanti.” Salwa meluruskan duduknya, menghadap Silmi. “Semua orang ingin selamat dari siksa kubur dan masuk surga. Namun, hanya inikah jalanku untuk masuk surga?”Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?”🌸🌸🌸  Part 5 Mencari Surga Yang Lain  Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. (QS. Asy-Syu'ara: 80)🌸🌸🌸Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?” “Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur?  Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehingga berefek pada hubungan kami. Ana tidak yakin lagi, luka separah itu apa bisa diobati.”“Astaghfirullah … Salwa. Jangan mendahului takdir. Ana akui, ana tidak begitu memahami kedalaman luka anti. Tapi sebagai sahabat, ana hanya bisa berharap agar anti berupaya untuk mengobati luka. Bagaimana hasilnya nanti, kita serahkan kepada Allah.Salwa terdiam. Lahar dalam dirinya masih meletup-letup. Namun di sisi lain, ia mengakui kebenaran ucapan Silmi.Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih lega dan ikhlas.Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.“Ah iya, Cahya punya makala pembahasan tentang hati,” seru Silmi tiba-tiba. “Cahya? Murid anti yang sekarang ikutan tes 30 juzz?” Silmi mengangguk. “Dia pernah ditawarin beasiswa dari sebuah univ karena karya tulisnya.”“Kok berbeda yang ana dengar. Ana dengar dia kuliah karena beasiswa adiknya Kyai. Ibunya … siapa itu? Dokter juga, kan?”“Lidya, ibunya Setya. Anti tidak salah dengar. Awalnya dia memang dapat beasiswa dari kampus, tapi persyaratan kampus mahasiswa harus meng-asrama di sana. Ibunya tidak mengizinkan. Entah kenapa, singkat cerita dia tetap kuliah tapi di bawah tanggungan Dr. Lidya, tantenya Ustadzah Aisyah.” “Ooh begitu. Ana jadi penasaran dengan makalahnya. Dari dulu dia memang terlihat pintar dan menguasai ayat yang dihafalnya, ya.”“Itu dulu karena sangat kesulitan menghafal. Jadi dia memakai teknik memahaminya dulu, baru menghafal. Alhamdulillah, teknik itu cocok untuk dia, dan siapa sangka dengan jalan itu ia juga mendapatkan beasiswa.”“Alhamdulillah. Tapi ana tidak jarang melihatnya.“Dia terbiasa menghabiskan waktu di gedung sebelah. Sekarang dia memang pulang, ayahnya sakit. Kalau anti mau, nanti saya chat dia.Mau. Jazakillah jhair. Salwa mendesah. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke dinding. Tak lama lagi tes 30 juz dimulai.Salwa memejamkan matanya yang mulai menghangat. Lukanya akan bertambah parah jika mengingat tes. Bisa-bisanya suaminya menikah di saat ia tengah berjuang. Ingat tes? tanya Silmi lirih. Ia hanya menjawab dengan anggukan. Namun, air matanya mengalir deras, seakan mewakili banyaknya kata yang ingin ia curahkan. Silmi menyentuh tangannya. Ia membuka mata. Wajah teduh Silmi membuatnya menghambur diri. Silmi menepuk punggungnya. Sabar, ya. Allah tidak pernah zalim pada hamba-Nya. Hanya saja kita perlu beradaptasi.Ana tidak bisa memaafkan, Silmi. Mengapa dia melupakan perjuanganku sekian tahun? ucapnya di sela isakan.Silmi melepaskan pelukannya, menatap wajah Salwa yang basah. Jangan begitu. Soal tes, anti bisa coba lagi di tahun berikutnya. Salwa menggeleng. Ana tidak yakin lagi. Malam tadi, ana ingin murojaah surat Al-Baqarah saja tidak bisa lagi tanpa mushaf. Selain itu, setiap kali membuka mushaf, ana selalu terluka. Ana seperti trauma. Ana …. Silmi kembali memeluknya. Ana ngerti. Tak apa, jangan pikirkan itu. Sekarang yang terpenting, bagaimana anti bisa mengobati hatimu. Setiap penyakit, pasti Allah sediakan obatnya. Mintalah petunjuk pada Allah. Ana akan selalu mendoakan kebaikan untuk anti. *** “Tante, ayah Salsabila kemana? Selama di sini kenapa aku tidak pernah melihat dia?” tanya Haira sambil memiringkan badan, menghadap Salwa. Mereka memutuskan tidur bersama di ruang tengah dengan menghampar kasur tipis. Gerakan mulut Salwa yang tadinya membaca tasbih Fatimah seketika terhenti “Dia ada urusan di luar. Jadi selama dua hari ke depan, dia tidak akan pulang. In sya Allah.”“Jadi selama tiga hari, aku bisa nginap di sini?” seru Haira girang. Tiba-tiba ia menutup mulutnya, ketika menyadari Salsabila yang sudah tertidur pulas di tengah mereka.Salwa tersenyum. Ia kembali melanjutkan zikirnya. “Tante, kenapa tidak memasang foto-foto di dinding?” tanya Haira sambil duduk. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu dinding rumah Salwa yang hanya ada beberapa miniatur tersusun di rak gantung. “Mengenai hal itu, beberapa pendapat ulama yang berbeda. Ada yang tidak membolehkan memajang benda yang menyerupai ciptaan Allah seperti gambar, lukisan atau patung makhluk bernyawa.” Haira membetulkan duduknya. Terlihat ia serius menyimak. “Sebagian ulama lagi membolehkan foto karena itu hanyalah hasil tangkapan proyeksi. Namun, kami memilih untuk menghindarinya. Jadi foto-foto kami simpan di album atau di ponsel.”Haira mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Haira.”Nada panggilan Salwa membuatnya menatap serius. “Sebelumnya Tante minta maaf. Boleh Tante bertanya sesuatu padamu?”Haira tercenung. Ia mengerti arah pembicaraan Salwa. Namun, bisakah ia mengelak? Entah kenapa, ia merasa tidak berani berbohong pada wanita yang telah menyelamatkannya. Akhirnya ia mengangguk ragu. “Kamu mempunyai orang tua?” Haira mengangguk sambil menelan ludahnya. “Aku masih mempunyai ibu, Tante. Sedang ayah telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu.”“Ibumu pasti mencemaskanmu.”“Aku tidak boleh tinggal di sini ya, Tante?”“Bukan! Begini, Tante sangat senang kamu tinggal di sini, terutama di saat ayahnya Salsa tidak ada. Tapi ibumu pasti sangat khawatir.”Haira menggeleng cepat. “Mama—“ Haira cepat-cepat mengulum mulutnya. Menikah dengan laki-laki yang telah beristri rasanya memalukan. Tidak mungkin ia menceritakan hal itu.“Tidak, Tante. Mama sibuk dengan suami barunya, mana sempat ia memikirkan aku. Andai Mama khawatir, seharusnya dia sudah datang ke sini. Bukankah Kak Haikal sudah tahu keberadaanku. Tidak sulit buat Mama jika ingin mencariku.”Mulut Salwa bungkam. Menatap iba. Ia yakin, ibunya Haira pasti mencemaskan putrinya, hanya saja mungkin tuntutan kesibukan lain. Membuat ibunya Haira menyampingkan  putrinya. Apalagi jika Haikal tahu adiknya baik-baik saja.Salwa menatap wajah putrinya yang terlelap. Perpisahan merupakan mimpi buruk bagi anak-anak. Salsabila terlalu kecil untuk menerima kenyataan ini. Jauhnya dari perhatian seorang ayah sudah pasti, ditambah lagi dengan sang ibu sibuk mencari nafkah. Lalu mungkin suatu saat harus beradaptasi dengan orang asing. Haira salah satu bukti nyata, sulitnya seorang anak menerima sosok baru dalam keluarga.Sebelah tangannya mengelus rambut keriting putrinya. Silmi benar, dibanding memikirkan luka dan kecewa, lebih baik ia berbenah diri, mengobati hati agar kehidupannya terasa lebih ringan dan ikhlas. *** “Haikal! Mau ke mana lagi kamu?” Jamilah dari dapur bergegas ke ruang tengah begitu melihat putranya keluar dengan memakai jaket dan kunci di tangan. Haikal menghentikan langkahnya. “Aku anak cowok, Ma. Bisa menjaga diri. Seharusnya yang Mama khawatirkan tu Haira. Ini sudah 24 jam lo, Ma.”“Bukannya kamu bilang dia baik-baik saja?!”“Astaga, Mama. Hanya begitu! Seharusnya Mama memastikan langsung bagaimana keadaannya.”“Kamu – Jamilah bungkam. “Kamu tahu hari ini Mama sibuk banget. Lagi pula kamu melihatnya langsung. Mama percaya saja kamu,” dalih Jamilah. Haikal menatap sinis. Ia beralih menatap ke arah Salman. “Sibuk melayani dia? Teruskan saja, Ma. Aku keluar dulu. Kunci saja pintunya, aku tidak pulang malam ini.” “HAIKAL!” Haikal menghidupkan mesin motor, tanpa peduli dengan teriakan ibunya. “Haikal!!” Salman menyentuh pundak istrinya. “Sudahlah! Jangan paksa dia. Kehadiranku saja sudah membuat mereka tidak nyaman, jadi jangan tambah lagi dengan sikapmu.” Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke bahu Salman. “Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.”   *** 🌸🌸🌸Part 6 Pengendali Itu Telah Pecah  Cinta akan membuat semuanya menjadi indah. Benci akan membuat semuanya menjadi muram.  🌸Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. “Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” *** Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!  “Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. “Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”“Haira, diam!” tegur Haikal.“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” “Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang merebut dan poligami.”“Sama saja, Ma. Mama pikir, ada wanita yang mau suaminya menikah lagi. Mama sendiri tidak aku akan melakukan itu kan? Mama telah merebut kebahagiaan orang lain. NGACA MA!!” teriak Haira.“HAIRA!!” bentak Jamilah dengan wajah merah padam.“Sudahlah, Ma! Dia baru datang, seharusnya Mama tanyakan bagaimana keadaannya, tapi malah memukuli dia.” Haikal beralih ke adiknya. “”Haira, kamu sudah makan?”Haira mengangguk. “Kamu masuklah! Siap-siap sekolah. Kakak antar ke sekolah.Haira mengangguk ceria. “Kalau begitu aku mandi dulu.” Haira berlalu tanpa menoleh pada ibunya.Haikal berpaling pada ibunya. “Ma, seharusnya Mama kontrol diri. Dia anak gadis, Ma. Sikap Mama membuatnya tidak betah diam di rumah. Kalau dia sering keluar rumah, itu berbahaya.” “Kontrol diri kamu bilang?! Kamu tahu apa perasaan orang tua? Ibu mana yang tidak marah putrinya keluar rumah tanpa pamit dan  bermalam di rumah orang?”“Seharusnya Mama tanyakan mengapa dia keluar rumah tanpa pamit. Mama pasti tahu penyebabnya. Jika Mama ingin marah pada dia, seharusnya Mama marahi juga diri Mama sendiri.”“Kau—“ Haikal tak menghiraukannya lagi. Ia berlalu ke kamarnya, tak lama terdengar dentuman pintu.  *** “Abi!!” teriak Salsabila menyongsong ayahnya yang baru saja membuka pagar. Anak itu telah menunggu ayahnya sejak bagun tidur. Terasa ada yang mengiris di hati Salwa. Kini semuanya tidak sama lagi dengan beberapa hari yang lalu. Sebelum Salman menikah lagi. Salman bepergian bukanlah pertama kali. Setiap akan datang ia selalu berusaha menghiasi dirinya juga putrinya. Teriakan Salsabila menjadi sesuatu yang mendebarkan. Orang yang pertama kali Salman peluk adalah putrinya. Ia akan bersabar menahan diri menunggu putrinya melepas rindu dan bercengkrama terlebih dahulu.Kini teriakan Salsabila menjadi seiris sembilu yang menoreh luka di hatinya. Ia berharap Salsabila terus memeluk atau bercengkrama dengan ayahnya, setidaknya dapat memperlambat dengan dirinya. Apakah dia tidak merindukannya? Ia pasti merindukan laki-laki yang telah menemaninya sekian tahun. Rindu sesuatu yang nelangsa tetapi indah. Kini kerinduan itu bertambah komposisinya. Nelangsa, indah, juga menyiksa. “Abi kemana saja? Kenapa Abi tidak menelepon Salsa dan Umi?” tanya Salsabila, masih dalam gendongan ayahnya. Salman membawanya ke dapur, mendekati Salwa yang terlihat melap meja makan. Bohong. Kenyataannya, mereka belum sarapan. Tidak ada kegiatan yang membuat meja kotor. “Maafkan Abi, Sayang,” jawab Salman. Ia meletakkan sebuah plastik hitam, lalu mendudukkan Salsabila. Sesaat ia melirik Salwa yang telah sibuk membuka kantong plastiknya. Ia ingin merengkuh bahu Salwa, tetapi gagal. Salwa telah menjauh, membuka lemari, lalu mengeluarkan beberapa buah mangkuk. “Umi tidak memeluk Abi?” tanya Salsabila. Gerakan Salwa terhenti. Ia menatap suaminya yang sepertinya juga mengharapkannya. “Mmm ... Umi ingin menuang bubur ini, Sayang,” ucapnya sambil bergegas mengeluarkan isi di dalam kantong plastik. Salsabila masih saja menatapnya heran. “Banyak sekali mangkuknya, Mi? Salwa kembali terkesiap. Sesaat ia menjadi orang linglung. Menatap tiga buah mangkuk yang sudah tersusun. Ia lupa, kalau mereka terbiasa makan satu wadah bersama. “Mmm ... Ummi ingin membuat ini,” ucapnya sambil mengambil gorengan tempe yang sejak tadi masih di atas tirisan minyak. “Membuat gorengan dalam mangkuk, Mi?” tanya Salsabila. Salwa kembali tergagap. Ia membuka mulut, tetapi kembali menutup. Ia merasakan, mendadak otaknya sedang lumpuh. Salman berusaha tertawa. “Anak Abi cerewet banget ya, Salman mencubit bibir putrinya. Kenapa Salsa lebih memperhatikan itu? Salsa tidak merindukan Abi? Salman memasang wajah merajuk.  Salsabila mengalihkan perhatiannya. Sejenak Salwa dapat bernapas lega. Ia segera mengambil dua buah mangkuk yang tadi di atas meja, lalu mengembalikan dalam lemari dan menggantinya dengan sebuah piring. “Rindu, Abi. Sangat rindu. Abi tahu tidak, tiga hari ada kakak di sini. Haira namanya.”“Haira?” sontak Salman setengah berteriak, membuat putrinya terkejut. Salwa menoleh padanya. “Abi kenal dengan Kak Haira?Salman menggeleng cepat. “Mana mungkin Abi mengenalnya. Bertemu saja belum.”“Iya ya,” jawab Salsabila. “Sekarang kita makan, yuk!” Salwa mendekatkan sebuah mangkuk yang telah berisi bubur pada mereka. Salman mendudukkan putrinya pada kursi tengah, lalu ia duduk di kursi samping Salsabila. “Masih panas,” ucap Salwa sambil mengaduk-ngaduk bubur. Terlihat asap keluar dari bubur itu, menguarkan aroma bumbu. Mendadak Salwa menjadi muak menciumnya. Ia memang tidak terlalu suka dengan aroma bumbu, termasuk dari bubur. Hanya saja, selama ini ia menikmatinya karena kebersamaan yang mereka miliki. Entah kenapa, ia tidak bisa bertoleran lagi. Tiba-tiba perutnya merasa mual menciumnya. Ia menyuapkan bubur itu ke mulut Salwa, lalu ke mulut Salman. Ia kembali ingin mengambil, tetapi Salman merebut sendok yang dipegangnya. Tak lama sesendok bubur telah berada di dekatnya. Sesaat ia menatap Salman yang sedang menunggu mulutnya terbuka.Ia memaksakan diri untuk membuka mulutnya. Baru saja, bubur itu menyentuh lidahnya, tiba-tiba mual di perut melonjak. Menuntut dikeluarkan. Ia segera beranjak ke kamar mandi memuntahkan bubur yang tadi disuap. Malangnya, perutnya terus kontraksi, sedang di perutnya tidak ada makanan sedikitpun. Bahkan kini hanya keluar cairan yang menguning, perutnya masih saja melonjak. “Umi kenapa?” tanya Salman yang wajah cemas. “Tidak apa? Abi temani Salwa makan saja,” ucapnya dengan napas tersengal. “Hoak ....!”Salman ingin bersuara, tetapi urung ketika melihat putrinya muncul dengan wajah cemas. Ia keluar dari kamar mandi, lalu mengangkat Salsabila ke dapur. “Umi kenapa?” tanya Salsabila. Salman tak menjawab. Ia mengambil mangkuk bubur, membawa Salsabila ke ruang tengah. “Kita makan di sini saja, ya.”Salwa berjalan, melewati mereka dengan sisa-sisa tenaga. Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang, begitu sampai ke kamar.  “Salsa suap sendiri ya. Abi mau lihat Umi dulu. Salsa mau kan?” Salsa mengangguk ragu. “Anak solehah,” ucap Salman sambil mengusap lembut rambut keriting anaknya. Sampai di kamar ia mengambil minyak kayu putih, membuka penutupnya lalu menyerahkan pada Salwa. Salwa segera membaui aroma dari minyak kayu putih itu dengan mata terpejam. Jasmaninya sedikit lebih lega, tetapi sesak masih membalutnya. “Umi nangis?” Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan menu itu? Belum lagi perbedaan selera warna, hobi, kebiasaan bahkan cara berpikir. Bagaimana ia bisa menghadapi semua keadaan di esok hari? Ia tidak yakin iming-iming surga dapat membuatnya bertahan.🌸🌸🌸  Part 7 Serpihan Hati... Aku takut akan azab hari yang besar, jika aku bermaksiat pada Tuhanku. (QS. Yunus: 15)🌸🌸🌸🌸Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan menu itu? Belum lagi perbedaan selera warna, hobi, kebiasaan bahkan cara berpikir. Bagaimana ia bisa menghadapi semua keadaan di esok hari? Ia tidak yakin iming-iming surga dapat membuatnya bertahan. Ia menenggelamkan wajah ke bantal meredam deru tangisnya. Tangisnya semakin sulit dikendalikan ketika Salman menaruh kepalanya di pangkuan. “Maafkan aku. Maafkan aku, ucapnya  nyaris tak berbunyi. “Abi yang seharusnya minta maaf,” bisik Salman sambil menciumi rambutnya. Sesal tentu saja menyelimuti perasaan Salman. Hatinya hancur melihat keadaan Salwa dan dirinyalah penyebabnya. Naif sekali. Sekarang jelaslah bahwa dirinya hanyalah pahlawan kesiangan.Salwa semakin menenggelamkan kepala mendengar permohonan maaf suaminya. Apa artinya permohonan maaf? Semua telah terjadi. Cintanya terlanjur hancur. Sekarang apa yang harus dilakukannya dengan hati yang hancur? Mampukah ia mengumpulkan serpihan-serpihan hati menjadi utuh? Mungkin waktu bisa mengumpulkan semuanya, tetapi tidak akan seperti semula. ‘Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih dan ikhlas,’ ucap Silmi saat itu. “Umi kenapa nangis?” tanya Salsabila dengan wajah meringis. Salwa terkesiap. Ia segera bangun sambil mengusap wajahnya. “Tidak, Sayang. Umi cuma sedikit tidak enak badan.”Salman membantu merapikan rambutnya yang berantakan. “Kenapa wajah umi merah?” Salsabila sudah duduk di samping ayahnya. “Umi cuma sakit. Salsa hari ini mau kan ke rumah nenek dulu? Atau sama Ammah di pondok? Supaya Umi bisa istirahat. Salsa mau kan?” Salsabila mengangguk. Salsa mau sama Ammah di pondok.”“Baiklah kalau begitu.” Salman beralih ke Salwa. Kembali tangannya terangkat, mengelus rambutnya dengan lembut. “Umi izin libur saja ya.”Salwa mengangguk. “Umi mau makan apa? Biar aku belikan nanti di jalan. In sya Allah.”*** Salwa berusaha memaksa diri beraktifitas. Diam hanyalah membuat hatinya semakin nelangsa. Saat Salman datang dari mengantar Salsabila, ia sedang di dapur membuat telur mata sapi. Salam Salman hanya dijawabnya dari dapur, tanpa merasa harus menyambutnya.  “Bikin apa? Bukannya tadi aku bilang akan membelikan makanan?” tanya Salman sambil meletakkan makanan yang baru saja dibelinya. Ia mengambil mangkuk dan piring dari lemari, lalu menuang sayur ke mangkuk, sedang ikan ke piring. Salwa hanya menjawab dengan senyuman dipaksakan. Ia meletakkan telur mata sapi buatannya ke dalam piring lalu menaruh ke atas meja.  Saat ditanya mau dibelikan apa, ia menyerahkan kepada Salman. Namun belakangan, ia tidak yakin apakah Salman akan membelikan makanan sesuai seleranya. Ia tidak ingin insiden bubur terulang lagi. Sungguh sangat menyiksa, perut ingin memuntahkan isi, tetapi tidak ada yang  bisa dikeluarkan. “Pagi-pagi sudah ada jual sayur masak?” tanyanya sambil memperhatikan isi mangkuk.Salman mengangguk sambil memeluknya dari belakang. Ia meletakkan dagunya di leher Salwa. “Pas kebetulan tadi baru buka. Maafkan Abi. In sya Allah, tidak akan beli bubur lagi.”Salwa mengernyit. Ia merasakan tubuhnya bereaksi. Ya. Ia mengakui, kalau dirinya sangat merindukan laki-laki itu. Andai itu dulu, ia akan berbalik lalu memeluk erat. Kali ini, gengsi menahannya. Ia takut, kalau kerinduannya tidak berimbang dengan Salman. Tentu akan menambah luka lagi. “Tidak apa. Entah kenapa tadi perutnya tiba-tiba mual. Tunggu sebentar.” Ia berusaha melepaskan dua tangan yang bertautan di pinggangnya, tetapi kedua tangan itu semakin mengerat. “Aku mau mengambil piring buat tempat nasi. Abi sudah makan belum?”Salman melepaskan pegangannya. Namun, tanpa disangka tiba-tiba badan Salwa terpaling dan langsung tenggelam dalam pelukan Salman. “Aku sangat merindukanmu,” bisik Salman. Kalimat yang sering membuatnya melayang kini berubah rupa. Fakta yang baru didapatkan pagi ini, perasaannya tidak sepenuhnya lagi percaya pada ucapan Salman. “Bagaimana mungkin Abi merindukanku. Sedang selama tiga hari dia selalu menamani. Barang baru, tentu memberikan sensasi baru,” ucap Salwa nada bergelombang. Salman semakin mengeratkan pelukannya. “Jangan bilang begitu. Bagaimanapun dia orang baru, aku perlu beradaptasi dengannya. Sedangkan kamu, sudah menjadi belahan jiwaku. Sehari saja tidak bertemu, betapa hati ini sangat tersiksa.”Salwa berdecak. Mengapa ia merasa Salman menjadi seorang penggombal. Ia melepaskan diri dari pelukan Salman. “Aku mau mengambil piring.”Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhnya lagi-lagi membentuk pertahanan. Menyadari hal itu, Salman menarik diri. “Kalau begitu, kita makan, ya.” Bibirnya kali ini mengukir senyum. Meski dengan ukiran patah. ***  Lonceng tanda kelas berakhir telah berbunyi. Anak-anak SMA telah berhamburan. Haira bersama temannya berjalan menyusuri lorong kelas menuju pintu gerbang. Kamu ko jadi pendiam banget, Haira? Ga seperti biasanya, tanya Rania teman sebangku. Haira hanya menjawab dengan cengiran. Rania balas nyengir. Dua hari ini ke mana aja? Haira masih tak menjawab.Palingan kabur! Secara kan ibunya kawin lagi, sindir beberapa siswa yang tak jauh dari mereka. Lalu teman yang lain tertawa cekikikan. Langkah Haira terhenti. Tangannya mengepal erat. Jangan didengerin! seru Rania sambil menarik tangannya. ***Seperti yang dilakukannya bersama Salwa, Salman pun ingin menerapkan itu dalam rumah tangganya bersama Jamilah, di antaranya menghidupkan ta’lim dalam rumah. Meski hanya membaca satu atau dua hadis tiap malam. Ia percaya ta’lim akan mendatangkan rahmat dan hidayah. Bukankah berkat ta’lim  di rumah Fatimah binti Khattab telah menyentuh hati orang sekeras Umar bin Khattab? Ia juga percaya, suatu saat akan memberi dampak positif pada Jamilah dan kedua anaknya, meski memerlukan waktu yang cukup panjang.Hari pertama Salman membaca hadits dari buku Riyadhus Shalihin dari Imam Nawawi. Ia duduk di ruang keluarga. Jamilah berhasil membuat Haira duduk, sedang Haikal tidak ingin beranjak dari depan televisi. ***Sesuai janji mereka, Salwa membawa putrinya jalan-jalan di taman siringan. Taman pusat di kota provinsi Banjarmasin. Mereka sengaja memilih bukan di hari libur karena hari itu biasanya taman terlihat sepi. Bahkan kadang pedagang cemilan pun tidak ada. Haira sudah mengantisipasi semuanya. Mulut Salsabila menganga begitu melihat snack dan minuman botol penuh sekantong plastik. Salwa tertawa melihatnya. Mereka duduk di bangku taman yang mengelilingi meja bundar, dinaungi oleh sebuah payung besar.“Sepertinya kamu anak orang kaya, Haira.”Haira terkekeh. Ia mengeluarkan tiga buah botol minuman, lalu sisanya ia tumpah langsung dari plastik ke atas meja. Setidaknya Papa meninggalkan kami harta yang cukup untuk beberapa tahun ke depan.” Haira duduk di kursi samping Salsabila. “Semoga saja suami Mama sekarang bukan orang serakah.”Salwa tersenyum. “Aamiin! Berdoa saja, semoga papamu yang sekarang baik hati, mampu menjaga kalian sekeluarga.”Haira mengedikkan bahu. “Aku tak butuh dijaga. Beberapa tahun tanpa papa kami baik-baik saja. Tidak setelah kehadiran orang baru itu.”Salwa mengembuskan napas. “Sudahlah! Jangan bicarakan dia lagi. Sepertinya mood kamu selalu rusak jika membicarakan keluargamu.”Haira mengiyakan dengan anggukan kepala. Tiba-tiba perhatian mereka teralih pada sebuah mobil hitam yang menepi tak jauh dari mereka. Mobil berhenti sempurna, dan pintu pengemudinya mulai terbuka. Seketika mata Salwa membelalak melihat laki-laki yang keluar dari mobil itu.“Aditya?”Sesaat Haira menoleh. Mimik muka Salwa membuatnya mengerutkan keningnya. Ia kembali mengalihkan perhatiannya ke laki-laki yang telah berjalan ke arah mereka. Wajah ganteng semakin memesona dengan pakaian yang dikenakan. Jeans hitam soft berpadu dengan warna kaos serupa. Haira kembali menoleh ke arah Salwa. Wajah Salwa memunculkan satu kata di benak Haira.'Dia--?'  ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan