Mendadak Talak Part 1- End

3
0
Terkunci
Deskripsi

Naskah Mendadak Talak


 

Part 1. Mendadak Talak



 

Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.

Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah...

49,787 words

Unlock to support the creator

Choose Your Support Type

Post
1 konten
Akses seumur hidup
300 (IDR 30,000)
Berapa nilai Kakoin dalam Rupiah?
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Menikahi Aktor (Merenda Cintamu) 1-Ending (1-10 Gratis)
3
0
Sinopsis:Bagaimana rasanya jika status pernikahanmu disembunyikan?#Novel Religi Romance Part 1-10Merenda Cintamu Part 1 Terjebak KenyataanSuasana meriah menghiasi ballroom. Tamu yang hadir dari berbagai kalangan, membuat suasana sedikit unik, juga terlihat aneh. Ada yang dengan anggunnya ngobrol sambil memegang cocktail glass, di sisi lain ada terobsesi memenuhi perutnya dengan segala macam makanan yang tersedia di meja. Semua kalangan ada di sini, mulai dari seleb, semua kru, sampai pemeran tokoh sekadar lewat pun ada. Dari undangan yang hadir, terlihat si pengundang memiliki kerendahan hati. Konon katanya acara digelar sebagai perkenalan dari seorang putra pemilik PH yang akan menjabat sebagai direktur.   Rumor calon direktur  seorang pemuda tampan lulusan Harvard membuat banyak kaum Hawa saling menonjolkan diri. Terlebih lagi seleb wanita yang memang mereka sudah memiliki kecantikan di atas rata-rata. Berbeda dengan Hilya, ia tidak tertarik dengan rumor itu. Ia berada di sini hanyalah karena pekerjaannya sebagai asisten aktor terkenal. Ia memilih pojokan, mumpung tuannya asik ngobrol dengan seleb lain.Suasana mulai riuh ketika seorang MC memperkenalkan seorang pemuda tampan yang berdiri di atas panggung, Hanif Afnan Purnama. Hilya tersentak ketika nama pemuda itu disebut. Pandangannya terpaku kepada pemuda yang terus saja tersenyum kepada semua tamu. Senyuman yang dikenalnya dulu, ternyata sampai sekarang tidak berubah.   Perkataan Hanif tak lagi didengarnya. Ia tenggelam dalam kenangan masa lalu. Saat hari-hari indah yang mereka lalui, sebelum akhirnya terpisah karena Hanif harus kuliah keluar negeri.Matanya masih saja tak beralih. Nahasnya, bertepatan dengan Hanif yang sedang mengedarkan pandangan tiba-tiba tertuju padanya. Ia terkesiap. Ia segera memalingkan diri, lalu keluar ruangan. Hilya, tenanglah! Dia tidak akan mengenalmu, gumamnya sambil mengelus dadanya yang berdebar. Sayang sekali, dugaannya salah. Hilya! Spontan Hilya berbalik. Hanif berlari ke arahnya. Hilya terus berjalan pura-pura tidak mengenal.   Hilya?! Kamu Hilya kan?! Hanif berlari hingga akhirnya ia bisa menggapai tangan gadis itu. Maaf, saya tidak mengenal Anda, ucapnya, tanpa berani menatap. Anda salah orang.Tidak mungkin. Aku tidak mungkin salah orang. Hanif berusaha mengimbangi langkah cepatnya. Meski wajahmu tertutup, aku yakin itu kamu.Hanif menangkap cepat lengannya, lalu membuka maskernya. Mata Hilya melebar. Sesaat keduanya terpaku. Benar kan kamu Hilya! Hanif segera memeluk tubuhnya.   Hilya melepaskan pelukan Hanif. Ia segera kembali menutup wajahnya dengan masker. Mengapa kamu menghindariku? Aku mencarimu, bahkan ke kampungmu, tapi tidak ketemu. Sekarang setelah aku menemukanmu, kamu masih ingin menghindar? Ada apa, Hil? Kamu tidak merindukanku? Hanif, lepaskan dulu tanganku? pinta Hilya.Hah? Hanif semakin tidak mengerti. Hilya menarik tangannya. Nif, laki-laki dengan perempuan bukan mahram dilarang bersentuhan, ucap Hilya pelan.  Tunggu, apa yang terjadi sepeninggalanku? Hanif masih tidak mampu melepaskan diri dari kebingungannya. Nif, Hilya sekarang bukan yang dulu lagi. Kamu bisa lihat dari pakaian yang kukenakan. Hanif mundur sedikit. Menatap Hilya dari kepala hingga ujung kaki. Hilya mengenakan tunic hijau lumut dengan celana longgar hitam, dilengkapi kerudung warna senada dengan tunic. Iya, kamu memang berubah. Dulu kamu terbuka sekarang pakai tertutup. Tapi dengan pakaian yang kamu kenakan, masih banyak yang salaman, pacaran bahkan ….   Hilya mengerutkan kening. Abaikan. Ayolah, jangan terlalu kaku. Kamu bukan seperti gadis yang kemana-mana selalu mengenakan gamis dan kerudung lebar kan?! Kaku?! Hilya meringis. Aku berencana akan ke sana, untuk sementara hanya sampai di sini, jadi mohon hargai aku.Hil?! Hanif termundur. Sulit baginya untuk menerima. Berhari-hari ia mencari Hilya, setelah bertemu ternyata dengan sosok yang berbeda.Kita masih berteman 'kan?! tanyanya antara pasrah, cemas dan harap.  Hilya tersenyum. Iya.Hanif tersenyum lebar. Terima kasih, Hilya. Senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku pikir akan kehilanganmu. Ternyata di sini? Kenapa panggilanku nggak diangkat?! Tiba-tiba muncul sosok laki-laki lainnya, majikannya.Oh, maaf, ponselku tadi aku silent. Hilya mengeluarkan ponselnya dari tas.Ryu? seru Hanif.   Ryu menoleh. Ia terkejut, tetapi sesaat kemudian tersadar kalau ia sedang berada di acara Hanif.  Ryu berdecak. Ooh, lihat siapa yang datang? Tuan muda Purnama!Ryu, apa-apaan sih kamu?! tegur Hilya.Aku? Kenapa? Benar kan dia tuan muda dari keluarga Purnama?Tapi caramu bicara sangat tidak bersahabat. Bukankah kita satu SMA, jadi seharusnya berteman kan? Teman?! bantah keduanya serentak. Hilya tersentak.  Beberapa mata menatap mereka. Hilya meringis. Ia merasa bersyukur  sudah mengenakan masker. Ayo kita pulang! Ryu menyeret tangannya. Namun secepat kilat Hanif menangkap tangan sebelahnya.   Apa hakmu memperlakukan dia begini? protes Hanif. Ryu memajukan wajah. Dia asistenku.Apa?! pekik Hanif. Ia beralih menatap Hilya. Hilya membenarkan dengan anggukan. Aku duluan, ya. Nanti kita ngobrol lagi, ucap Hilya. Hanif masih syok. Pegangannya terlepas. Assalamualaikum. Aku pergi!Tunggu! Hanif kembali menarik tangan Hilya. Tadi kamu melarangku menyentuhmu, tapi dia memegang tanganmu?Hilya terkesiap. “Aku majikannya,” sahut Ryu.  “Bukan berarti bisa menyentuhmu kan, Hilya?” tanya Hanif tanpa mengalihkan pandangannya dari Hilya.“Aku ….”“Katakan sejujurnya, dia memaksamu?!” cecar Hanif.Begitulah keadaan Hilya. Ia terjebak di antara dua laki-laki yang tidak pernah akur waktu SMA. Ia terjebak dari perhatian dua laki-laki, tetapi tidak satu pun yang mengerti apa maunya. Mereka tidak tahu sebenarnya apa yang sangat ia rindukan.   ****    Afifah Hilya Nafisah nama lengkapnya, dipanggil Hilya. Alumni universitas Islam, aktivis dakwah dalam organisasinya, bekerja di salah satu yayasan amal dan berhasil mendapatkan beasiswa s2 di salah satu universitas Islam  di Maroko. Namun nasibnya berubah seketika, saat  ibunya masuk rumah sakit. “Kak, aku di rumah sakit. Ibu harus dioperasi secepatnya. Kakak punya duit?” ucap Hilya setelah ketiga abangnya telah lengkap di panggilan video call. Ia juga menyebutkan nominal perkiraan biaya operasi. “Maaf, Dik, Kakak belum punya uang segitu.” Baarak, kakak pertamanya mulai angkat suara. “Harus secepatnya ya?”  “Iya, Kak. Dokter bilang, karena infeksi kuman sudah menyebar di kaki ibu, semua daging dan tulang tumit sudah dimakan. Kalau tidak dibuang nanah dan bagian yang sudah membusuk, besar kemungkinan kumannya akan menyebar hingga tubuh bagian atas. Dokter juga bilang, dia khawatir kumannya masuk ke darah ibu, maka akan membahayakan jantung, paru-paru juga ginjal ibu,” sahut Hilya. “Separah itu? Kalau secepat itu, Kakak tidak punya,” imbuh Barak dengan nada sedih. “Kakak Hermawan, Kak Bambang, gimana?” “Aku juga nggak punya. Baru siang tadi bayar cicilan,” sahut Hermawan bercampur dengan suara di televisi besarnya.  Hilya hanya bisa mendesah dengan kakaknya yang satu ini. Dilihat secara rumah, perabotan bahkan kendaraan, bisa dilihat termasuk mewah. Namun, semua itu hasil dari kreditan, jadi jangan harap bisa mendapatkan banyak uang dari kakaknya yang satu ini. “Kak Bambang?!” “Aku punya, tapi sebentar, aku mau bicara sama istriku dulu.”“Siapa, Pa?” Tiba-tiba Liana, muncul di belakang Bambang. Hilya merasakan tubuhnya mengerut. Ia tahu betul sifat istri abangnya yang satu ini. Abagnya sendiri tidak mampu berbuat apa-apa. Bambang sering mengirimi ibunya tanpa sepengetahuan istri.   “Ini Hilya. Ibu mau operasi. Tabungan kita buat biaya operasi ibu dulu ya? Nanti tanggungan kita bagi rata, hanya saja mereka bayarnya nyicil. Ya,” bujuk Bambang.Wajah Bambang tidak lagi muncul di layar. Hilya mengira abagnya yang satu ini lupa kalau sedang online. “Bang, itu tabungan kita sekian tahun. Masa harus habis begitu saja?” protes Liana. “Nggak hilang. Nanti dicicil.”“Nggak, aku nggak rela. Pakai bpjs napa?” sahut Liana. “Nggak sempat lagi, Dik. Operasi harus secepatnya.”  “Makanya jadi orang jangan belagu. Sudah tahu sakit, tidak pakai bpjs. sungut Liana.“Sudah … cukup, Kak,” sela Hilya dengan terbata-bata. Sesak membuatnya kesulitan berbicara. “Hilya, pakai herbal saja, usul istri Hermawan, Romlah.“Nggak sempat lagi, kak,” jawab Hilya.“Alah, itu alasan dokter. Mereka cuma cari duit. Banyak kok yang sembuh hanya dengan obat-obatan herbal.” celoteh Romlah. “Ibu saja yang maunya selalu pakai resep dokter, nggak sembuh-sembuh kan. Malah tambah parah.”  “Ma!” terdengar Hermawan menegur istrinya.Itu hanya obat dari puskesmas, Kak. Gratis, ralat Hilya. Mengapa sekarang malah menyalahkan ibunya?“Lagian kamu, Hilya,” sela Liana. “Gimana sih ngerawat Ibu sampai separah itu? Kamu ke mana saja? Bukankah Bambang selalu mengirimi uang ke kalian? Sekarang minta lebih banyak lagi? Keenakan banget. Nggak tau apa nyari duit itu susah. Kalian enak tinggal ongkang-ongkang saja!“Ma, apaan sih?!” Terlihat layar bergerak-gerak. Hilya tahu, pasti abangnya berusaha mengambil ponsel itu, tetapi Liana masih saja bersikeras.  Ibumu itu juga keterlaluan ….“KAK!!!” teriak Hilya. “Kalau kalian tidak ingin membantu, silakan!”“Bagus kalau tau diri,” ketus Liana.“SELESAIKAN AKU NGOMONG!” teriak Hilya. Tiba-tiba hening. Bahkan televisi di rumah Hermawan yang tadinya bising, kini juga diam. “Aku minta pada abang-abangku, karena ibu yang melahirkan dan membesarkan mereka sampai sekarang ini. Aku sudah tahu sifat kalian. Aku nggak akan minta bantuan kalian, kalau bukan karena terpaksa. Kalian malah mencela. Silakan kalau kalian mau mencelaku, tapi jangan ibuku. Demi Allah, aku tidak akan rela kalian mencela Ibu.  Kak Bambang, hitunglah semua uang yang Kakak berikan pada kami, aku akan membayarnya. Terima kasih atas celaan kalian. Setidaknya aku sadar, bahwa aku memiliki kekayaan di hati. Cinta yang melimpah kepada ibuku, meski saat ini aku tidak memberinya banyak materi. Tapi apalah artinya banyak materi, pada akhirnya telah menyakiti wanita yang telah melahirkan suami-suami kalian.Hilya mengusapkan wajahnya kasar. “Atas nama Ibu, aku minta maaf, jika Ibu mempunyai kesalahan pada kalian. Assalamu alaikum.”Hilya langsung keluar dari grup keluarga mereka. Beberapa menit ia menatap ponselnya, berharap ada abangnya yang menghubungi meski hanya lewat pesan. Kenyataannya tetap senyap.  Pecahlah tangisnya. Tangga rumah sakit jadi saksi bisu air matanya yang tumpah. Seumur hidupnya, baru kali ini ia putus asa dan merasakan dendam yang teramat dalam akibat ucapan ipar-iparnya. Berkali-kali ia beristighfar sambil mengelus dadanya. Ehm …. Hilya terlonjak. Bagaimana bisa di tangga rumah sakit ini orang. Ia menoleh ke belakang. Ryu?! Kenapa ada di sini? tanya Hilya dengan sedikit takut. ***Part 2 Bukan Rezeki Ibu  Hilya terlonjak. Bagaimana bisa di tangga rumah sakit ini orang. Ia menoleh ke belakang. Ryu?! Kenapa ada di sini? tanya Hilya dengan sedikit takut. Tidak apa, cuma cari angin saja, sahut Ryu dengan wajah angkuhnya. Hilya mengernyit. Bagaimana mungkin bisa mencari angin di tangga? Apapun itu, ia tidak ingin tau urusan Ryu. Ia berdiri, menuruni anak tangga. Emosi Ryu terpantik. Bagaimana mungkin laki-laki seperti dirinya diabaikan? Aku bisa membantumu, seru Ryu setengah berteriak. Hilya menghentikan langkahnya. Ia tidak berharap mendapatkan bantuan dari seorang Ryu. Namun, laki-laki itu tau masalahnya, fakta yang tidak bisa terelakkan lagi. Ryu turun dengan seringai senyum sombong. Aku bisa membantumu. Aku akan menanggung  semua biaya berobat ibumu sampai pulih.Hilya memicingkan mata.Seperti yang bisa kamu tebak, tentu ada syaratnya,” ucap Ryu dengan wajah sombongnya. Kerutan kening Hilya mulai melemah. Masuk akal jika Ryu membantunya dengan syarat.“Syarat apa?” Mungkin saja ia bisa memenuhi syarat yang diajukan Ryu.Ryu turun dari tangga hingga wajah mereka berhadapan. Hilya sedikit termundur. “Jadilah asistenku.”Hening. Ryu mengernyit. Mengapa gadis di hadapannya tak bereaksi? Ia tahu, Hilya bukanlah gadis pada umumnya. Andai gadis lain, pasti akan menjawab iya tanpa pikir panjang. Namun, Hilya tidak menimbulkan reaksi apapun kepadanya. “Kamu mabuk?” tanya Hilya dengan wajah dingin, lalu membuka pintu.Ryu tersenyum pahit. Emosinya melejit dengan sikap dingin Hilya. Ia menarik kasar tangan Hilya. Tidak mungkin ia bisa tunduk dengan kesombongan Hilya. Tanpa permisi ia mengambil ponsel Hilya, lalu menyimpan nomornya. Ia mendekatkan wajah ke gadis berjilbab besar itu. “Aku yakin kamu akan membutuhkannya.”***Hilya masuk ke bangsal tempat ibunya dirawat. Ia melewati seorang pasien yang dijaga putranya. Sekelebat silet mengiris hatinya. Mengapa ibunya tidak seberuntung pasien itu Kamu kemana saja? Tadi dokter mencarimu. Katanya operasinya …. Maaf, ucapnya tertunduk.Kakakmu?Hilya menggeleng. Dinayah terdiam sesaat. Sudahlah, batalkan saja. Jangan ganggu kakakmu lagi. Ibu nggak papa kok. Bukankah kamu lebih tahu, hidup dan mati itu di tangan Allah. Penyakit hanyalah sebab. Hakikatnya sudah ditentukan umur kita berapa, iya ‘kan?”“Bu!” rengek Hilya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras.“Sudahlah.” Dinayah mengusap wajah Hilya dengan jari kasarnya. “Itu sudah takdir. Jika memang masih ada rezeki Ibu, pasti ada jalan atau mungkin dengan kondisi seperti ini pun Ibu bisa bertahan. Jadi jangan terlalu khawatir. Hmm ....”Hilya mengangguk gamang. Ia percaya, semua keadaan sudah Allah tentukan. yang membuatnya sedih, dirinya yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dering ponsel di atas nakas membuatnya menoleh. Sebuah nama yang selalu membuatnya tersenyum tertera di layar ponsel.“Aku keluar dulu,” ucap Hilya, lalu bergegas keluar. Dinayah tersenyum. Ia tahu betul, siapa laki-laki yang selalu membuatnya putrinya tersenyum. Tidak ada yang diharapkannya, selain putrinya berjodoh dengan laki-laki yang selalu membuatnya tersenyum. *** “Hallo, Akhi,” ucap Hilya sambil berjalan menyusuri selasar rumah sakit. “Ukhti, mengenai dana yang mau disumbangkan ….”Seketika mata Hilya berbinar cerah. Mengapa ia lupa, kalau ia memegang kunci dana bansos yang akan disalurkan kepada yang memerlukan?“Iya, Akhi.”“Tadi ana mendapatkan telpon dari orang tua Andini, katanya operasi Andini harus disegerakan. Besok kamu punya waktu? Kita antar ke sana bersama. Gimana?”Seketika tangannya meluruh. Ternyata dana itu bukan rezeki ibunya. Ukhti … Ukhti! Berkali-kali si penelpon memanggilnya. Hilya terkejut. Ah iya, Akhi. Bukankah masih belum cukup untuk biaya operasi Andini? tanyanya pelan.Ana sudah temukan donatur dermawan. Dia bersedia mencukupi berapa pun kekurangannya.Hilya menghela napas pelan. Baiklah. Ana di rumah sakit. Nanti ana transfer ke rekening Akhi.Anti di rumah sakit? Siapa sakit? Terdengar laki-laki itu terkejut. Ibu. Sakit apa?Diabetes.Sekarang bagaimana keadaannya?Besok operasi, insya Allah. Minta doanya, Akhi. Mudahan Allah mudahkan dan sukses.Aamiin. Insya Allah, ana turut mendoakan. Ngomong-ngomong seberapa parah sampai dioperasi. Ana tutup ya, Akhi. Sudah malam. Baiklah kalau begitu. Kamu istirahat yang cukup ya.Iya, Akhi. Jazakumullah khair, ucapnya dengan langsung menutup, tanpa menunggu reaksi si penelpon. Punggungnya tersandar di rumah sakit. Ya Allah, mudahkan urusanku, selamatkan ibu,” doanya dalam hati. Ia meringsut duduk. Harus ke mana lagi mencari uang dengan waktu sesingkat ini? Ia membuka aplikasi chat warna hijau, berharap ada abangnya menghubunginya. Berharap disebabkan settingan notifikasinya, sehingga ia tidak mengetahui ada pesan abangnya. Ia membuka persatu, kenyataannya hanya ada pesan beberapa waktu silam. Ia menenggelamkan wajahnya dalam lutut. Menangis tanpa suara.‘Kalau dibiarkan terus, kuman bisa menyebar dan membahayakan keselamatan ibumu.’Ucapan dokter kembali terngiang. Sulit baginya menerima kenyataan, nyawa ibunya terancam karena ketidakberdayaannya. Haruskah ia menerima tawaran Ryu?Menjadi asisten Riyu tidak sesederhana seperti menunggu hukuman gantung. Bagaimana mungkin ia melayani seorang laki-laki yang bukan mahramnya? Asisten seorang aktor, besar kemungkinan ia akan mengikuti laki-laki itu 24 jam. Melayani Ryu sama saja melepas jalan impian surga yang ditempuhnya, tetapi  bagaimana dengan keadaan ibunya? Ibunya harus segera dioperasi. Perjanjian mungkin masih bisa dibatalkan, tapi bagaimana dengan nyawa ibunya?Ia menarik napasnya pelan. Untuk sementara hanya ini yang dapat dilakukannya. Ia mengambil ponsel, lalu menekan nama Ryu.“Hallo,” sahut seseorang di seberang sana. “Ryu, aku Hilya.”“Hilya?” Badan Hilya melemas. Ryu pasti mengerjainya. Mana mungkin Ryu mau membantunya.“Siapa?” Terdengar suara lain. Hilya memerhatikan layar ponselnya, tidak salah lagi. Memang tersimpan dengan nama Ryu. “Hilya?” Si pengangkat mengulang namanya terdengar kresek di seberang sana. “Hallo, Hilya. Ni aku Ryu.”Hilya menghela napasnya. “Ryu, bisa kita ketemu?” ***  “HILYA!!!” Suara menggelegar itu membuat Hilya yang sedang minum tersedak. Ia terbatuk-batuk, sambil mengurut dadanya yang tiba-tiba saja detak jantungnya berlompatan. Meski telah lama membersamai, tetap dadanya berdegup kencang jika laki-laki itu berteriak. “HILYA!!!” Hilya berlari menaiki anak tangga, hingga sampai ke sebuah kamar. Napasnya tersengal-sengal. Batuk belum hilang, detak jantung belum normal, kini paru-parunya harus memompa cepat akibat menaiki tangga dengan berlari. “Itu airnya dinginnya sekali. Kamu mau membunuhku?” tuduh Ryu yang duduk di ujung ranjang dengan mengenakan piyama mandi. Hilya mengerutkan kening. Ia masuk ke dalam kamar mandi, menyentuh air dalam bathtub.“Begini saja dibilang mematikan. Dasar, badan saja yang besar,” gerutunya.“Apa kamu bilang?!” “Tidak ada,” sahutnya ketus sambil menghidupkan kran air panas lalu menambahkan air di bathtub sambil merendam tangan, mengukur kehangatan. “Ryu, coba ke sini.”Laki-laki yang dipanggil Ryu masuk ke dalam kamar mandi. Menatapnya dengan delikan mata. “Coba sentuh! Hangat tidak? Sebelum aku keluar. Nanti teriak lagi, omelnya.Ryu memasukkan tangannya ke bathtub. Matanya masih saja mendelik, seakan ingin siap memangsanya. “Hmm.”“Hmm?”“Iya, bawel!” Hilya mengerutkan kening. Ingin rasanya ia mencungkil mata sendu di depannya ini. Siapa pun tidak ada yang tahu kalau mata sendu ini sebenarnya memiliki kepribadian ganda.Hanya saja, ia tidak ingin pagi-pagi membuat masalah. Fatalnya, si mata sendu ini akan menyiksanya dengan puluhan perintah. Ia berbalik keluar.“Tunggu!” Hilya terhenti. Ia mengembuskan napas keras. Andai tidak mengenakan kerudung, poni rambutnya akan beterbangan akibat napas kerasnya.“Wanginya kurang.”Hilya berbalik, dengan merapatkan gerahamnya. Mengambil botol aroma terapi yang sebenarnya tidak jauh dari tempat berdiri Ryu. Ia meneteskan beberapa tetes, mengaduk airnya hingga wangi mawar lembut menguar di hidungnya. “Ada lagi, Tuan?” tanya Hilya dengan membungkukkan badannya sambil menghayati sebuah peran pembantu di suatu negara jaman lampau.Cukup, sahutnya dengan wajah merah padam. Hilya sedang mengoloknya. “Kalau begitu aku keluar?!”“Ya iya lah. Memangnya kamu mau melihat aku telanjang?!” sahut Ryu ketus. Geraham Hilya menggertak. Bagaimana bisa laki-laki kejam malah membuatnya seperti orang kegatelan? Jelas-jelas dari Ryu yang selalu memerintahnya dengan pekerjaan yang tidak jelas. ***Cukup lama ia mematut diri di depan cermin besar. Nampak dirinya yang memakai celana longgar, kaos longgar, dan kerudung dengan warna yang sama hitam. Lalu ditutup dengan cardigan warna abu-abu. berkali-kali ia menatap dan berusaha menguatkan diri sambil berharap Allah selalu mengampuninya. Ia sudah berusaha memadukan pakaiannya, supaya dapat menutupi lekukan tubuhnya. Tetap saja, hatinya selalu merasa bersalah. Ia beralih ke ranjang. Mengelus lipatan gamis lebar miliknya. Setetes bening luruh dari kelopak matanya. Betapa ia sangat merindukan hari-hari yang dulu. Hari-harinya yang selalu menapaki jalan penuh cahaya keimanan. Gamis dan kerudung lebar selalu menghiasi harinya. Al-Qur’an tak pernah ketinggalan dalam tasnya. Namun kini, semuanya tinggal kenangan, bahkan semakin hari jalan itu semakin jauh dari jangkauannya. “HILYA!” Suara bariton Ryu kembali menggelegar. *** Ryu memeluk seorang perempuan cantik dari belakang. Sesaat perempuan cantik yang memiliki kulit bak pualam itu terkejut. Ryu meletakkan dagunya ke atas bahu perempuan itu. Mikirin apa? tanya Ryu lembut. Part 3 Pasangan Settingan  Ryu memeluk seorang perempuan cantik dari belakang. Sesaat perempuan cantik yang memiliki kulit putih mulus bak pualam itu terkejut. Ryu meletakkan dagunya ke atas bahu perempuan itu. Mikirin apa? tanya Ryu lembut.Hilya yang melihat itu, ingin rasanya memuntahkan isi perutnya. Terlebih lagi, ia selalu mengenakan masker di wajahnya, sehingga merasa bebas berekspresi, meski berkali-kali tak lolos dari delikan mata Ryu.Perempuan cantik itu tersenyum, lalu membalikkan badannya. Menatap Ryu penuh dengan cinta. Ryu melingkarkan kedua tangannya ke pinggang perempuan bak biola Spanyol itu. Ia melayangkan kecupan sekilas di bibir merah perempuan itu. Menatap penuh hasrat, lalu segera memagut sepasang bibir tipis itu. Tubuh sepasang sejoli itu melempar ke atas ranjang.Hilya memegang perutnya, menahan supaya tidak mengeluarkan isi.Cut … cut, teriak Sutradara. Ryu segera melepaskan pagutannya. Hilya berlari, menyerahkan kotak tisu kepada Ryu. Ryu mengambil selembar, lalu melap mulutnya berkali-kali. Sesaat Hilya sempat melihat tatapan jengkel dari perempuan cantik itu dengan sikap Ryu.Ryu duduk di kursi lipatnya. Di dekatnya sebuah meja yang tersaji aneka cemilan, juga minuman. Ia mengambil sebuah kopi dalam gelas plastik yang tertulis sebuah nama brand terkenal. “Fuiihhh ….” Tiba-tiba Ryu menyemburkan kopi yang sempat diminumnya. “Hilya, ini kopi apa?! Sontak orang yang berlalu lalang menoleh ke arah mereka. Meski memakai masker, tetap saja perasaan malu ketika harus mendapatkan tatapan seperti itu. Ia mengambil gelas kopi, lalu memperlihatkan tulisan yang tertera di gelas.“Lihat, ini espresso! Bisa baca nggak?!” “Kamu.” Suara Ryu tertahan. Jari telunjuknya yang terangkat juga tertahan. Matanya melotot, tetapi tatapan Hilya tak kalah tajam.Orang-orang menatap khawatir. Selama ini tidak ada yang berani melawan Ryu, kecuali Hilya yang hanya sebagai asisten pribadi. “Hei, sudah tahu dia tidak suka, kenapa diletakkan di situ?!” ketus perempuan cantik lawan main Ryu, Talita Chelsea.“Sudah … sudah … tidak usah dihebohkan soal beginian,” lerai Fadli, manajer Ryu. “Memang kamu mau apa? Kita pesan online.”“Nggak usah, bikin moodku rusak,” gerutu Ryu. Ia mengambil air mineral, lalu meminumnya dengan wajah merengut.“Sebentar lagi mobil akan datang mengantar kalian ke resepsi pernikahan Isabella. Fadli mengingatkan.Hilya mengingat siapa Isabella. Meski tiap hari mengikuti Ryu, tidak banyak artis teman Ryu yang bisa ia kenal. Lagi pula, apa gunanya ia mengenal mereka. “Kamu Talita, bersiap-siaplah. Kalian harus pergi bersama.” Suara Fadli menebus lamunan Hilya. “Hil, pakaianku mana?” tanya Ryu dengan masih wajah judes.Hilya segera berlari ke mobil, mengambil setelan tuxedo, lalu menyerahkannya ke Ryu.“Lama banget,” gerutu Ryu sambil mengambil setelan yang diserahkannya. “Kamu pulang dengan Irfan! Hilya mengangguk penuh dengan terima kasih, meski kalimat itu penuh dengan penekanan.Pekerjaan syuting Ryu malam ini sudah selesai. Hilya bersyukur, malam ini Ryu harus menghadiri resepsi perkawinan Isabella, aktris juga temannya Talita. Setidaknya untuk beberapa jam, ia memiliki waktu untuk dirinya sendiri.Irfan, nanti jemput aku, titah Ryu kepada sopirnya. Siap, Bos! sahut Irfan.Bagaimana kalau Hilya pulang dengan taksi online? usul Fadli.Kalau kenapa-napa merepotkan. Dia ceroboh, bikin susah saja! gerutu Ryu sambil berlalu.Fadli mengerutkan kening. Hilya hanya menghela napas, ia sudah terbiasa dengan laki-laki kepribadian ganda itu. Pikirannya susah ditebak. Jangan heran, kalau nanti di tengah jalan, tiba-tiba Ryu menyuruhnya balik.***“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222)Sesungguhnya Allah sangat gembira menerima taubat seorang hamba di saat hamba-Nya itu bertaubat kepada-Nya. Kegembiraan yang melebihi kembalinya hewan kendaraan yang berisi muatan bekal makanan dan minuman yang telah hilang.Pemiliknya sempat berputus asa untuk mendapatkan hewannya kembali. Ia berteduh di bawah pohon lalu berbaring hingga tertidur. Ketika terjaga, ia melihat hewannya telah kembali, lengkap beserta muatannya. Serta merta ia sangat bahagia. Ia meraih tali kekang hewannya itu sambil berkata, “Wahai Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.” Ia keliru berucap karena terlalu gembira.*Semoga kita termasuk orang selalu mau introspeksi diri dan mau mengakui, minta maaf serta bertaubat jika memang memiliki kesalahan. Hilya mengklik tab publish. Hanya menunggu beberapa menit, muncul beberapa komentar. Postingannya selalu mendapatkan komentar positif. [Aamiin][Masya Allah, uhkti. Sejuk sekali membaca tulisanmu. Semoga suatu kita bertemu.]Namun di balik komentar-komentar positif yang didapatkan, selalu ada sesak yang sering membuatnya kesulitan bernapas. Mereka tidak tahu siapakah dirinya yang sesungguhnya. Andai tahu, masihkah mereka memujinya? Ia menulis bukan untuk mendapatkan pujian atau materi lainnya. Tulisannya hanya untuk mengikat ilmu-ilmu yang sempat ia dapatkan sambil berharap suatu saat bisa kembali ke jalan itu.***Jika ada waktu, ia menyempatkan diri untuk menulis. Inila satu-satunya pengobat rindunya. Seringkali ia membaca email yang telah diterimanya beberapa bulan yang lalu. Sebuah email yang membuat harapannya membumbung tinggi, tetapi tiba-tiba dihempas kenyataan. Email itu berisi kabar gembira bahwa ia mendapatkan beasiswa kuliah ke Maroko. Sayang tak lama setelah email itu diterima, ia mendapatkan kabar ibunya masuk rumah sakit dengan penyakit sudah sangat parah. Di sinilah akhirnya ia berada. Menjadi asisten seorang aktor muda yang baru naik daun. Membintangi drama website Lautan Cinta yang sekarang sudah episode seribu lebih. Perdana tayang, sinetron itu langsung booming. Chemistry yang disuguhkan Ryu dan Talita menuai banyak pujian. Drama website bermunculan. Tentu saja memengaruhi rating Lautan Cinta. Karena hal itu, pihak manajemen membuat gimmick cinta lokasi antara Ryu dengan Talita dengan menyebarkan beberapa foto yang seakan-akan hasil tangkapan paparazzi. Berita tersebar cepat, dan mendapatkan banyak respon positif dari penggemar Talita juga Ryu. Ada segelintir dari kedua haters yang menghujat, tetapi hujatan mereka malah menambah rating Lautan Cinta. *** Hilya yang tidur di sofa tersentak. Mendengar pintu rumah yang sedang dibuka. Ia bangun sambil mengucek mata. Tak lama muncul Ryu dengan jalan sempoyongan. Dari jalan dan matanya terlihat jelas laki-laki itu sedang mabuk.Ia segera berlari memegang badan Ryu yang hampir roboh. Ia meletakkan tangan Ryu ke bahunya. Laki-laki itu menatapnya nanar.“Hilya?” Ia memegang dagu Hilya. “Aku benci kamu. Kamu baik, tapi mengapa kamu selalu mengikuti dia?”“Ngomong apa sih? Eh, bau sekali. Hilya mengibaskan tangannya, seakan bisa mengusir bau dari alkohol yang diminum Ryu. Sini, aku bantu berjalan.”Susah payah Hilya mengantar ke kamar dengan jalan sempoyongan, Terlebih saat menaiki tangga. Ingin sekali ia mencaci maki. “Huf!” Hilya langsung melempar tubuh Ryu ke ranjang. Napasnya ngos-ngosan ditambah emosinya, membuat napas semakin memburu. Ingin sekali menghajar laki-laki itu, andai bisa membuat sedikit lebih sadar.“HIL!” teriak Ryu saat ia mau menutup pintu. “PANAS”Terlihat Ryu menarik dasinya. Lalu menarik kerahnya. Ryu semakin kesal karena kemejanya tak kunjung terbuka. “Hil! Panas.”Kembali Hilya menghempas napas dan menghirup pelan, menabung sedikit kesabaran sebelum mendekati Ryu. Dengan sedikit takut, ia mendekati Ryu. Siapa sangka, sebelah tangan Ryu menariknya sehingga ia terbaring. Secepat kilat Ryu bangun dan menindih badannya. Ia berusaha bergerak, tetapi Ryu langsung mengunci kedua tangannya.“Ryu, sadar!” ucapnya gemetaran.Ryu menatapnya dengan mata setengah terpejam. Mata merah Ryu membuatnya semakin ketakutan. “Ryu, sadarlah!” Air matanya mulai mengalir. “Mengapa?” ucap Ryu dengan terantuk-antuk. Kedua matanya menggerayangi setiap inchi wajah cantik itu.  Pandangannya terhenti pada dua buah bibir merah jambu. Hilya berusaha berontak, tetapi ketakutan semakin menguras tenaganya. Semakin bergerak, Ryu semakin menekannya. Ryu mulai memajukan wajahnya.“Ryu, kumohon sadarlah!” isaknya.***  Catatan: HR. Muslim.  Part 4 Menghilang  Hilya berusaha berontak, tetapi ketakutan semakin menguras tenaganya. Semakin bergerak, Ryu semakin menekannya. Ryu mulai memajukan wajahnya. “Ryu, kumohon sadarlah! Jangan membuatku takut!” isak Hilya. Ryu tak peduli lagi. Dua bibir merah jambu itu terlalu menggodanya. “Ryu, kumohon.” ngemis Hilya. Ryu makin menurunkan wajahnya. Hilya memiringkan kepalanya dengan memejamkan mata. Namun, tiba-tiba badan Ryu oleng ke samping. Seketika terdengar dengkuran halus. Hilya mengembuskan napas lega, meski badannya masih gemetaran. Ia tidak yakin lagi bisa bergerak, setidaknya laki-laki itu telah tertidur.*** Di atas sajadah Hilya menangis pilu. Sajadah satu-satunya saksi setiap keluh kesahnya. Betapa ia merindukan kehidupan normal, sebagai gadis biasa. Sebagai mahasiswi yang selalu berburu ilmu.Ia tak masalah menjadi babunya Ryu. Selama ia sanggup melayani. Selama Ryu tidak bertindak kasar secara fisik, kecuali saat Ryu mabuk. Yang disesalkan, lingkungan Ryu sangat jauh dengan basic pendidikan juga cita-citanya sebagai seorang muslimah yang ingin mengabdikan hidupnya untuk agama. Ingin memiliki teman yang sama-sama mengingatkan dalam ketaatan. Namun, jangankan memiliki teman sefrekuensi, bahkan ia harus menghilang dari teman-temannya dulu. Pakaian gamis tentu tidak menghalangi untuk bekerja. Sebelum ini pun ia masih bisa bekerja dengan gesit. Hanya saja, di lingkungan ia bekerja, dengan modal imannya yang pas-pas, ia khawatir tindakannya nanti mencemari image dari pakaian yang disandangnya. ‘Seorang jilbaber melayani artis? Setiap saat membersamai laki-laki yang bukan mahramnya? Bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahram? Tinggal serumah? Sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diusung hijab yang diajarkan Islam.' Dan berbagai pikiran negatif membuatnya khawatir. Ia menengadahkan kedua tangannya.Ya Allah, peluklah diri ini, jangan Engkau biarkan diri ini jatuh kepada orang zalim. Ya Allah,  yang memegang jiwa dan ragaku،  lapangkan dada ini, supaya aku bisa melewati hari lebih ringan. Ya Allah, jangan Engkau lepaskan aku hanya sekejap mata. Tanpa kasih sayang-Mu, diri ini pasti sudah binasa.Ya Allah, Engkau yang memegang jiwa dan raga Ryu. Bukalah hatinya untuk taat kepada-Mu. Dia orang kuat dan teguh hati, pilihlah kekuatan dan keteguhannya untuk menjadi pejuang agama-Mu.”***Seorang pemuda memasuki sebuah bangunan yayasan yang bergerak di bidang sosial, mengusung kepedulian terhadap  ekonomi juga kesehatan orang-orang tidak mampu, dan pendidikan anak-anak yatim. Ia menyusuri selasar menuju ke sebuah pintu.  “Masuk!” Terdengar suara perempuan dari dalam setelah ia mengetuk pintu. “Assalamu ‘alaikum, Bu.”“Wa ‘alaikum salam. Masuk, Akram!” sahut seorang perempuan, pemilik sekaligus pengasuh yayasan itu, Bu Irna. Akram duduk di sebuah kursi, berhadapan  dengan Bu Irna.“Ceritakan bagaimana hasil kunjunganmu ke kampung Hilya,” ucap Bu Irna.“Hilya tidak ada di tempat, Bu. Ibunya cerita, dia bekerja pada seseorang, tapi ibunya tidak mau memberitahu kepada siapa ia bekerja.”Kening Bu Irna  mengerut tajam. “Ini aneh sekali. Kenapa harus disembunyikan?”“Itulah yang saya tidak mengerti. Padahal saya sudah menjelaskan pada ibunya bahwa kita sangat mengkhawatirkannya, jadi kita harus memastikannya langsung. Ibunya cuma bilang, dia baik-baik saja. Dia bekerja pada seseorang yang baik.”“Kalau memang majikannya baik, kenapa harus disembunyikan?”“Itulah yang saya tidak mengerti, Bu.”“Kamu juga mengungkit seharusnya dia sudah pergi ke Maroko karena mendapatkan beasiswa?”“Sudah, Bu. Ibunya cukup kaget mendengar hal itu, katanya Hilya tidak bercerita.  Ibunya terlihat sedih begitu mendengar cerita saya. Sepertinya Hilya memang tidak bercerita banyak pada ibunya.”Bu Irna menghela napas. “Coba kamu ingat-ingat lagi, terakhir kamu bertemu dengan Hilya. Barangkali bisa dijadikan petunjuk.”Akram menggeleng. “Terakhir komunikasi, waktu dia transfer dana untuk Andini. Malam itu dia di rumah sakit menemani ibunya. Saya juga cari informasi pada Kinanti, teman sekamar kosnya. Kinanti juga bilang terakhir komunikasi saat sebelum ibunya operasi. Kinanti juga bilang, tidak ada tanda-tanda kesedihan, bahkan Hilya sangat ceria karena baru saja menerima kabar gembira mendapatkan beasiswa. Tak lama, ia ke rumah sakit karena ibunya opname.”Kembali Bu Irna menghela napas. “Semoga dia baik-baik saja. Sangat disayangkan kalau dia melewatkan beasiswa.”Akram membenarkan dengan anggukan. “Dari kasus Hilya, menyadarkan Ibu satu hal, Selama ini kita sangat peduli dengan orang-orang luar yang memang memerlukan bantuan. Tapi lupa terhadap staf sendiri. Aku yakin Hilya, memang mempunyai masalah hanya saja dia tidak cerita ke kita dan  kita juga terlalu sibuk di luar sehingga abai terhadapnya. Seharusnya saat mendengar ibunya ke rumah sakit, kita bersegera memberikan bantuan padanya, minimal dukungan moral. Jika memang bekerja sampai meninggalkan beasiswa, sepertinya dia sangat membutuhkan dana. Terlebih lagi ibunya baru saja operasi, tentu memerlukan dana yang sangat besar.”“Iya, Bu. Saya juga pikirnya begitu. Saya hanya bisa berharap, semoga dia tidak terjerat hutang. Jika mengingat ini, saya jadi sedih. Padahal malam itu saya mengambil uang untuk Andini, tetapi mengapa saya tidak peka dengan situasinya, ungkap Akram dengan wajah tertunduk. “Akram, buatlah event berkumpul para staff, relawan juga para donatur tetap untuk ngumpul-ngumpul. Kita buat keakraban supaya saling peduli dan terbuka. Cukup kita kehilangan seorang Hilya.“Iya, Bu. Saya mengerti. In sya Allah, akan saya atur. Kalau begitu saya permisi.”Bu Irna mengangguk. “Tetaplah mencari Hilya. Aku sangat mengkhawatirkannya.”“Insya Allah, Bu.”***“Hilya, belikan Ryu es cappucino, gue bubble tea,” perintah Talita pada Hilya yang berdiri tak jauh dari team Ryu lainnya. Ia  memerhatikan Ryu sedang bincang-bincang pada sebuah program talkshow di salah satu stasiun televisi. Pamor hubungan settingan mereka, ternyata menyebabkan banyaknya undangan di berbagai acara stasiun televisi, bahkan juga di dunia daring. Seperti hari ini, Talita juga mendapatkan undangan, hanya saja dia di segmen berikutnya.“Tapi ….” “Tapi apa, cepat belikan sana!”“Sekarang, bukankah masih lama? Program baru saja dimulai?” sanggah Hilya. “Bukankah itu kafe favorit? Antrian pasti lama, lalu jaraknya lumayan jauh. Lagian daripada kamu bengong di sini, mendingan sekarang, biar pas dia selesai minuman itu sudah tersedia,” cecar Talita dengan nada melengking. Hilya membuka mulut, tetapi urung berucap. Beberapa penonton menatap mereka. “Baiklah! Kalau dia ada keperluan, tolong ganti aku.”Talita mendesis “Hei, gue pacarnya, tentu gue lebih peduli padanya, ketus Talita.*** Hilya menghirup oksigen kuat-kuat begitu sudah di luar gedung. “Ada untungnya juga dia nyuruh aku. Apa aku pesankan lewat online aja, jauh banget ke sana. Ah sudahlah, beli sendiri aja, mumpung bisa jalan sendiri.” Hilya bermonolog sendiri. Beberapa orang yang lewat menoleh ke arahnya. Ia merasa malu sendiri ketika menyadari hal itu Setelah kaki cukup pegal, sampai di sana ia pun harus antre. Ia membenarkan kata Talita. Kafe ini memang selalu rame. Ia memperhatikan jam di tangan ketika sudah mendapatkan pesanannya. Masih ada waktu sekitar lima belas menit program talkshow akan selesai. Ia memutuskan kembali berjalan saja. Sangat jarang sekali ada kesempatannya berjalan sendiri sambil menikmati kesibukan kota di sore hari. “Semoga tidak hujan,” harapnya setelah melihat langit yang terlihat mendung. Namun, tak sampai separuh perjalanan, rintik-rintik hujan mulai turun, ia mengambil langkah seribu. Untuk tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak seperti yang pepatah katakan. Hilya ditabrak orang yang juga berlari dari lain arah sehingga ia terjengkal dan jatuh. Plastik gelas kopi yang ia pegang terlepas. “Maaf, maaf,” ucap seorang ibu berperawakan besar yang menabraknya, tetapi tidak memberikan bantuan apa-apa. Ibu itu terus berlari, tanpa menoleh lagi padanya. “Apa yang terjadi? Apa dia sedang dikejar orang?” Namun, ia tidak bisa berpikir banyak. Ia harus berdiri karena hujan makin lebat. Namun, baru saja mencoba berdiri, tiba-tiba bagian pergelangan kakinya terasa sakit.“Au,” ringisnya. Hujan makin lebat, mau tak mau ia menyingkir. Dengan kaki terseret, ia mengambil plastik kopi, tetapi isinya telah tumpah menyatu jadi satu. “Ya Allah, hari ini ada apa?” keluhnya. Ia menengadah ke atas. Langit semakin gelap dan hujan semakin deras.      Part 5 Ketakutan“Ya Allah, hari ini ada apa?” keluhnya. Ia mengerjapkan mata, menghalau cairan yang mau keluar. Meski nyeri, ia terus menyeret kakinya hingga sampai di muka pertokoan. Tiba-tiba kaki satunya yang juga terasa lelah. Ia memaklumi karena sedari tadi kedua kakinya lumayan berjalan jauh. Ia memilih duduk di jalan. Beberapa orang yang juga berteduh menatapnya. Ia tidak ingin memedulikan hal itu. Dirinya memang terlihat sangat menyedihkan. Pakaiannya basah dan kotor. Pandangannya beralih ke jalanan yang diguyur hujan. Tanpa sadar bibirnya tersenyum. Sudah lama ia tidak seperti ini. Menatap alam dengan segala fenomenanya. Menatap alam salah satu wasilah seorang hamba  agar lebih mengenal Allah dan semakin mencintai-Nya. Meski dirinya hanya bisa mencintai dalam diam. Tak lama menepi dua orang gadis berpakaian gamis dan kerudung lebar. Salah seorang dari mereka langsung membuka ponsel dan menelpon seseorang. Bahasa gadis itu mengingatkannya masa-masa kuliah. Setiap hari berkutat dengan ilmu, menghadiri pengajian, menghafal, dan berbagi bersama relawan lainnya. Hanya beberapa jam kehidupannya telah berbalik arah.  ***Setelah acara talk show usai, Ryu dan Talita langsung meluncur ke backstage, lalu duduk di kursi yang bersisian. Seorang asisten langsung menyambut Talita, melap wajah cantik itu dengan tisu kering.Ryu mengedarkan pandangannya, karena tidak kelihatan batang hidung Hilya.  “Hilya mana?” “Tadi aku suruh dia belikan minuman kesukaanmu,” sahut Talita. Ia mengambil tisu lalu melap wajah Ryu. Beberapa kru yang lewat menoleh ke arah mereka sambil berbisik-bisik.“Kamu menyuruhnya ke kafe? Bukankah di luar hujan?!”“Tadi kan belum hujan,” sahut Talita. Ryu tersentak. “Berarti sudah lama?!”“Emm … hampir sejam. Pas baru saja kamu on air. Sengaja aku langsung suruh dia, aku pikir saat kamu selesai, minuman sudah siap. Eh, orangnya nggak muncul-muncul,” gerutu Talita.Ryu terdiri. “Talita, dia asistenku. Kenapa kamu berani suruh dia?”Talita tergagap. Sesaat ia menoleh ke arah ke sekeliling. Terlihat mereka pura-pura sibuk.“Aku nyuruh dia juga untuk kamu, bukan untuk keperluan aku. Cuma sekitar sini. Nggak akan hilang kok. Lagian sejak kapan kamu peduli? Bukannya selama ini kamu sering suruh dia tanpa perasaan?” sahut Talita tak kalah sengit.Ryu mendekatkan wajahnya. “Di dunia ini hanya aku yang boleh memerintahnya. Dengar, aku tidak akan memaafkanmu, kalau dia kenapa-napa?!”Talita tersentak. Baru kali ini ia melihat wajah marah Ryu. Ia tahu sikap Ryu selama ini semuanya palsu. Termasuk hubungan settingan mereka. Ryu bersikap seakan-akan mereka benar pasangan. Namun, baru kali ini ia melihat reaksi jujur dari seorang Ryu. *** Ryu berlari keluar sambil meletakkan ponselnya ke telinga. “Ryu, mau kemana?” tanya Fadli, dengan agak keheranan. Sesaat ia menatap Talita yang mematung di backstage.  Ryu mengumpat ketika melihat angka 25 dalam lift. Sedang panggilannya masih belum terjawab. “Awas kau, Hil! Aku akan menyiksamu kalau kutemukan,” gerutu Ryu.Beberapa orang berbisik-bisik dalam lift. Ia tersadar belum memakai memakai masker. Ia memasukkan tangan ke dalam saku celananya, tetapi  kembali mengumpat, ketika menyadari benda yang dicarinya tidak ada dalam saku celana.Tiba di lantai dasar, pintu lift terbuka. Fadli sudah ada di depan lift sambil menyerahkan masker wajah. “Ryu, sabar jangan gegabah. Ingat banyak mata yang memperhatikanmu!” seru Fadli sambil berusaha mengimbangi langkah Ryu. Ryu tidak bersuara. Ia terus berlari dengan ponsel masih saja di telinga. “Ryu, kita cari pakai mobil. Tunggulah sebentar,” teriak Fadli. Ryu abai. Ia terus saja berlari hingga keluar dari lokasi gedung. Tak peduli dengan hujan yang mengguyur badannya. Nalarnya tidak berfungsi lagi. Tertutup oleh ketakutan yang merajalela. Bayang-bayang ditinggalkan orang mencintainya kembali mengulang, membuat takutnya makin berkuasa. Apalagi jika mengingat perlakuan buruknya selama ini kepada Hilya. Tidak mustahil kalau gadis itu bisa kabur darinya.Ia sedikit bernapas lega ketika dari kejauhan melihat gadis itu meringkuk di muka pertokoan. “APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!” teriaknya kesal. Semua orang yang berada di sana menatap. Beberapa orang mengenalinya, meski ia mengenakan masker. Mereka langsung mengabadikan dengan kamera ponsel.“Ryu,” lirih Hilya. Ryu mendekatinya dengan basah kuyup. Napasnya terengah-engah. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Ryu pelan, sambil berjongkok. Ia  melirik sebelah kaki Hilya yang berselonjor. “Kopinya tumpah,” lapor Hilya. “Saat seperti ini kamu masih mikirin kopi?” hardik Ryu. Maaf! Kakimu kenapa begitu? Jatuh, ditabrak orang lari, jelas Hilya. Coba aku lihat! ucap Ryu sambil memegang kakinya.Ryu, cegah Hilya sambil melirik ke arah orang-orang. Aku ngerti. Tapi bagaimana kamu bisa balik dengan kaki begini? Coba bantu aku berdiri, pinta Hilya sambil memegang bahu Ryu. Ryu mengambil tangan Hilya, sehingga gadis itu bisa berdiri. Namun, baru saja berdiri tegak, gadis itu langsung meringis. Sakit? tanya Ryu dengan wajah ikut meringis. Hilya mengangguk, tetapi beberapa detik kemudian menggeleng. Ryu mendesis dengan tatapan mengejek. Bodoh! Kafe sejauh itu, kenapa tidak pesan online saja.Tadinya aku pikir, sekalian bisa jalan santai. Nggak nyangka akan terjadi seperti ini. Maaf. Ryu berdecak. Ia beralih ke samping, lalu meletakkan sebelah tangannya ke bahu Hilya. Ryu, apa yang kamu lakukan? Ryu tak menjawab. Tiba-tiba badan Hilya sudah berada dalam bopongannya. Seketika terjadi keriuhan. Blitz kamera ponsel makin kentara. Ryu, kau sadar ini bisa membahayakan karirmu? ungkit Hilya. Sudahlah. Yang penting sekarang mengobati kakimu. Terlalu lama, nanti bertambah parah, makin susah disembuhkan. Mau tak mau Hilya harus melingkarkan kedua tangannya ke leher Ryu. Ryu melangkah ke arah balik. Rekaman kamera terus mengiringi mereka. Hilya tak bisa mengalihkan pandangannya dari menatap Ryu. Seumur membersamai Ryu, baru kali ini ia mendapatkan perlakuan baik dari laki-laki itu. Sebuah mobil menepi ke arah mereka Talita keluar membawa payung, lalu membentangkannya memayungi mereka, sedang badanya sendiri dibiarkan diguyur hujan. Ryu meletakkan Hilya ke sebuah kursi, lalu ia sendiri masuk, mengabaikan Talita yang sejak tadi memayungi. Ingin sekali Talita meluapkan amarah, andai saja tidak ingat banyak mata yang memerhatikan mereka. “Aku duduk di mana?” tanya Talita. Ke belakang! sahut Ryu abai.  Talita melongo. Ia tidak percaya dengan pendengarannya. Kalau gitu kamu ke sini, Talita. Fadli memberi alternatif. Tak perlu, sungut Talita, lalu berpindah duduk ke belakang. Setelah Ryu masuk, Irfan menjalankan mesin mobil. Ryu, seharusnya kamu tidak gegabah begini. Beruntung bisa diatasi sekarang. Coba kalau tidak, entah nanti bagaimana manajemen mengatasi hal ini.Hilya mendesah pelan. Tadi ia sempat memuji Talita dan ingin berterima kasih. Ternyata apa yang dilakukan Talita hanyalah untuk menjaga image publik.Coba aku lihat kakimu! bujuk Ryu pada Hilya. Fadli melongo. Ia menoleh ke belakang, Ryu masih saja mengabaikannya.Ryu, kamu harus ganti pakaian dulu. Nanti kamu masuk angin. Malam ini kamu masih ada syuting, elak Hilya.Hilya?! Ryu berjongkok melepaskan kaos kaki. Saat ia hendak melepaskan kaos kaki, Hilya menarik kakinya. Ia menggelengkan kepala. Kalian jangan menoleh! titah Ryu. Spontan Fadli kembali menoleh. Kali ini dengan melotot, tetapi Ryu malah melotot balik. AKU BILANG JANGAN MENOLEH!Fadli menghempaskan napasnya, lalu memalingkan pandangannya.Ryu melepas kaos kaki Hilya. Seketika ia memekik melihat pergelangan kaki Hilya.Ya Allah, Hilya.Part 6 Tulus atau Akting  Ryu melepas kaos kaki Hilya. Seketika ia memekik melihat pergelangan kaki Hilya memar dan bengkak. Ya Allah, Hilya. Hilya meringis ketika ia menyentuhnya. “Sakit?” Hilya menggeleng. Ryu berdecak mengejek melihatnya. “Fan, kita pulang!” Spontan Hilya menarik lengan Ryu. “Kita ke lokasi syuting saja. Nanti aku bisa pulang sendiri, ya?” bujuk Hilya. “Bagaimana kamu bisa pulang dengan kaki begitu?!” sanggah Ryu sambil menekan kaki Hilya, membuat gadis itu meringis. “Fan, kita pulang dulu.”“Siap, Bos.”Di belakang Talita merengut.  Menatap mata Ryu yang diselimuti kekhawatiran. Ia masih tidak bisa melupakan Ryu memarahinya di depan orang banyak. Andai bukan Fadli yang menyuruhnya menjemput Ryu dengan membawa payung, mungkin sebentar lagi beritanya akan tersebar sebagai orang yang tercampakkan. Lebih menyedihkan diri kalah oleh seorang asisten yang sampai sekarang belum berani menampakkan wajah di depan orang banyak. Tiba-tiba kebiasaan Hilya membuatnya penasaran. ***   “Terima kasih, Fan,” ucap Hilya begitu mobil memarkir sempurna di muka teras rumah Ryu. ia bergerak perlahan, untuk menghindari tekanan pada kakinya yang terkilir. Namun, tanpa diduga, belum sempat ia turun, Ryu yang keluar dari pintu sebelah langsung mengangkat badannya. “Aku mau mengurus Hilya dulu, kalau kalian mau duluan, silakan,” ucap Ryu tanpa memedulikan wajah merah Fadli dan Talita. “Ryu, aku bisa mengurusnya. Kamu pergilah!” Ryu tak merespon, ia terus membopongnya. “Buka pintunya!” Hilya mengernyit Ryu mendesis. “Kunci pintu rumah, kamu memegangnya kan?!” “Oh, maaf!” Di mobil Irfan kebingungan. Dua orang di dalam mobil seperti ayam yang sedang mengeram. Ia tak berani  bersuara. Fadli low profil, tetapi baru kali ini Irfan melihatnya marah. Ryu memang berperilaku kasar, tetapi laki-laki selalu waktu dan memberikan kinerja yang baik, sehingga Fadli tidak ingin mempermasalahkan soal sikap Ryu. Sedang Talita, sebelas dua belas dengan Ryu. Ia tahu hubungan keduanya hanyalah settingan, tetapi akan sangat berbahaya jika ada yang melihat tindakan Ryu kali ini.“Jadi gimana, Bang?” Akhirnya Irfan memberanikan diri. “Tunggu saja! Ditinggalkan takut lupa waktu,” sungut Fadli. *** “Terima kasih,” ucap Hilya setelah Ryu meletakkannya ke atas ranjang. “Kamu pergilah! Sepertinya mereka menunggumu. Kasihan mereka.”Ryu keluar tanpa suara. Hilya menghela napas lega. Ia menarik ujung kakinya, terlihat memar di kaki pergelangannya. Ia melepas kerudung lalu menyandarkan punggungnya, hingga tanpa sadar sempat terlelap. Namun, kembali terkejut ketika Ryu datang dengan membawa sebuah baskom.“Ryu, kalau masuk ketuk dulu!” bentak Hilya, sambil meraih kerudungnya. Ryua masih tak bersuara. Ia meletakkan baskom di atas nakas. Tanpa permisi, ia melepas kerudung Hilya, lalu melempar kerudung itu jauh. “RYU!”“Jangan khawatir! Aku nggak nafsu dengan bentukan kaya gini,” sahutnya tanpa ampun. Hilya melotot. “Bukan masalah nafsu nggak nafsu,” sahutnya terbata-bata. Ucapan Ryu memang menghantam mentalnya. Ia tahu diri siapa dirinya, tak perlu diingatkan lagi.   Ryu memeras handuk, lalu duduk di dekat kakinya. “Tahanlah sebentar!” ucapnya lalu meletakkan handuk hangat di kakinya dengan sambil menekan-nekan lembut.Hilya meringis, tetapi segera menahan mulutnya begitu Ryu menatapnya. Sakit yang ditahan, ditambah tatapan Ryu membuat kamarnya terasa panas. “Ryu, bisa kamu ambilkan remote Ac?” tanyanya terbata-bata. Ryu berdiri mengambil remote Ac yang menempel di dinding. Hilya mengernyit ketika ia melihat Ryu berbalik ke arah meja riasnya, dan mengambil jepit rambutnya.“Tumben,” ucap Hilya sambil mengulurkan tangan. Namun di luar dugaan, Ryu hanya menyerahkan remote Ac. “Apa yang akan kamu lakukan?!” Ryu berdiri di belakangnya. Tanpa izin merangkum rambutnya. Hilya mengelak. “Diam! Kalau tidak mau leher jelekmu itu kuberi tanda.”Hilya mematung, bahkan tak berani bernapas. “Aku tak menyangka rambutmu bisa pirang begini?” Dengan mudahnya Ryu merangkum rambut, menggulung, dan memasang jepit di kepalanya. Kenapa?“Berasa aneh saja. Bukankah biasanya orang seperti kamu lebih suka kesederhanaan. Hal ini seperti seperti membuang waktu. Eh, tapi memang dibolehkan?”“Aku cuma iseng.”“Iseng?” Ryu telah berpindah, mengambil handuk lalu kembali mencelup ke baskom, memeras, lalu meletakkannya lagi ke kaki Hilya. Hilya tak berani meringis. Ia bersyukur, airnya memang tidak terlalu hangat lagi. “Melihat banyak seleb mewarnai rambut, jadi penasaran.”“Kamu mau menyalahkan lingkungan?!”“Tidak. Tapi tidak dapat dipungkiri, lingkungan sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang. Sama seperti lingkunganku dulu, kami terlalu sibuk, mana sempat memikirkan hal seperti ini.”“Ryu!”“Aaa ….” jerit Hilya sambil menarik bantal lalu menutup ke wajahnya. Ryu tersentak, spontan ia menoleh ke arah suara. “Ngapain ke sini?”“Aku hanya ingin mengingatkanmu, sekarang kita harus berangkat,” sungut Fadli, kesal dengan kedua makhluk itu. “Iya, aku akan ke sana. Pergilah!”  sahut Ryu dengan terus menatap, memastikan Fadli telah menjauh. “Dia telah pergi.”Hilya menurunkan bantalnya. “Kamu sih, seenaknya melepaskan kerudungku,” gerutu Hilya. Ryu tidak merespon. Ia mengambil handuk di kaki Hilya. “Sudah dingin, aku ganti airnya.”Hilya bergegas menarik lengannya. “Pergilah! Jangan buat masalah. Percayalah, aku masih bisa mengurus ini. Ya?” bujuk Hilya. Ryu terdiam, menatap ragu. “Ayolah! Biarkan aku sendiri. Aku juga ingin ganti pakaian. Pakaianku kotor sekali, ya?” rengek Hilya. Ryu mengangguk setelah memerhatikan baju kotor Hilya yang mulai kering. Ia lupa kalau gadis itu sempat kehujanan. “Baiklah, aku pergi. Kamu istirahatlah! Jika mau makan, pesan online saja.”“Iyaaa.” Hilya mulai gerah.Ryu akhirnya berbalik, setelah menatap gadis itu dengan penuh rasa khawatir.   *** “Ada apa denganmu?” tanya Fadli setelah mobil meluncur. “Hah?”“Kenapa kamu tiba-tiba begitu terhadap gadis itu? Bukannya selama ini kamu suka menyiksa dia?”Ryu terdiam. “Bagaimana pun dia asistenku. Mau tak mau, aku harus bertanggung jawab padanya.” Fadli mengangguk. Menurutnya tindakan Ryu masih masuk akal. “Kalian tau tukang urut perempuan nggak? Sepertinya kakinya terkilir.” Irfan dan Fadli menggeleng.“Kalau tukang urut laki-laki sih aku tahu,” ungkap Irfan. “Mana mau dia dengan laki-laki,” sungut Ryu. “Sebenarnya Hilya itu siapa sih?” selidik Fadli. “Baru saja kamu ditinggal sebentar, tiba-tiba dia muncul.”Talita ikut menyimak.Ryu menghela napas. “Sudah kubilang, dia anak bibiku.”“Saudara ibumu?”“Begitulah!” sahutnya singkat. Ia mengambil ponselnya, lalu mengetik sebuah pesan. Talita yang duduk di sampingnya sempat melirik. Ryu yang menyadari hal itu, langsung memperlihatkan pesan itu kepada Talita dengan wajah kesal. “Memang terhadap sepupu boleh memperlihatkan aurat? Setahuku, sepupu itu boleh nikah? Kalau dia memang orang taat beragama, tidak seharusnya dia memperlihatkan auratnya padamu,” cecar Fadli.“Memangnya kenapa kalau dia memperlihatkan rambutnya padaku?!”“Terserah dia, tapi kenapa dengan kedatanganku dia menjerit?” protes Fadli. “Itu terserah dia.”“Munafik,” desis Fadli. Ia ingat betul, sempat melihat rambut Hilya yang berwarna pirang. Ternyata gadis itu sama saja dengan wanita umumnya yang pandai bersolek, lalu diam-diam memperlihatkan pada Ryu. “Apa kamu bilang?” Ryu merangsek ke depan, mendekati Fadli. “Tidak ada!” sahut Fadli tanpa menoleh.***   Talita membuka pencarian di akun instagramnya. Adegan singkat saat ia memayungi Ryu yang menggendong Hilya telah viral. Banyak warganet memujinya, terlebih lagi ada beberapa video yang menggabung saat Ryu marah padanya. [cute bangt 😍][Coupel bikin iri][Mulianya hatimu Talita, padahal sebelumnya kamu dimarahin, tetapi km masih bantu dia😍][Hati-hati dengan asistennya itu, jk dibiarkan bs ngelonjak 😠][Smg mereka berjodoh. 🤲][Amin paling kencang]Talita mengembuskan napas lega melihat komentar-komentar itu. Setidaknya saat ini keberuntungan berpihak kepadanya. Entah nanti. Nuraninya sebagai perempuan, tahu betul dengan tatapan Ryu. Hanya beda tipis, tapi ia tahu betul mata Ryu kepada Hilya memancar langsung dari  hati, bukan seperti pada dirinya yang hanya akting. ***“Ibu? Bibi? Kok kalian ada di sini?” cecar Hilya kebingungan, ketika melihat ibunya yang di depan pintu, rumah Ryu. “Tidak boleh?” tanya Dinayah “Bu … bukan begitu! Hanya saja … hanya saja.” Hilya kebingungan harus menjawab apa. Seharusnya ibunya memberitahu lebih dahulu, agar ia bisa minta izin kepada Ryu. Sekarang laki-laki sedang tidur, entah apa yang akan dilakukan jika tahu ia membawa orang lain seizin Ryu. “Hilya, kamu tidak mempersilakan Ibumu masuk?”   Part  7 Pandangan Orang-orang  “Bu … bukan begitu! Hanya saja … hanya saja.” Hilya kebingungan harus menjawab apa. Seharusnya ibunya memberitahu lebih dahulu, agar ia bisa minta izin kepada Ryu. Sekarang laki-laki itu sedang tidur, entah apa yang akan dilakukannya jika tahu ia memasukkan orang lain tanpa seizinnya.“Hilya, kamu tidak mempersilakan Ibu masuk?” Ryu muncul dari belakang. Hilya menoleh. “Kamu sudah bangun? Kamu yang manggil Ibu?” cecar Hilya dengan masih kebingungan. “Minggir dulu, kasihan mereka lama di luar!” Ryu beralih ke Dinayah dan saudaranya. “Sini aku bantu bawa, Bi. Masuk Bu, Bi!”Hilya meminggir dengan masih berselimut kebingungan. “Aku yang minta Ibu ke sini. Karena kakimu belum diurus betul-betul. Aku nggak punya kenalan tukang urut perempuan. Jadi aku kasih kabar Ibu saja,” ucap Ryu mengambil dua buah tas yang tergeletak di lantai. “Ooh.” Hilya mendekati mereka dengan menggunakan kruk. Ia mengulurkan tangannya kepada Dinayah juga kerabat yang selama ini menemani ibunya, Salamah. “Sekarang bagaimana kakimu?” tanya Dinayah.“Sudah agak baikan, Bu!” sahut Hilya.“Baikan gimana? Diurut belum,” sela Ryu. Ia juga menyalami Dinayah. “Aku harus siap-siap bekerja. Buatlah Ibu nyaman di sini. Maaf, jadi merepotkan Ibu.”“Dinayah tersenyum. Tidak apa, Hilya anak Ibu. Ibu malah senang, tapi nggak papa dengan kedatangan kami ke sini?” “Nggak papa, Bu. Nanti kita ngobrol lagi. Permisi.”“Aku buatkan sarapan, ya?” tawar Hilya.Ryu mengangguk, sesaat ia menepuk bahu Hilya. Hilya berpaling ke arah ibunya, tiba-tiba ia menangkap raut ibunya yang berwarna. “Kenapa Ibu menatapku begitu?”“Tidak apa-apa. Siapkan sarapan buat dia, nggeh!” ucap Dinayah. *** Suasana lokasi syuting hening. Semua mata terpaku pada chemistry yang diberikan Ryu dan Talita, bahkan sutradara pun seakan lupa meneriakkan kata cut. Ryu mulai gerah. Malam ini tinggal scene menemani Talita duduk di taman, dengan hanya merentangkan sebelah tangannya ke bahu Talita. Hanya untuk keperluan profesionalisme, di luar itu ia akan merasa tersiksa, meski hanya beberapa detik Cut cut! teriak sutradara ketika menyadari perubahan raut Ryu. Keriuhan kembali mewarnai lokasi syuting. Setiap anggota kru kembali menunaikan tugasnya masing-masing, begitu juga dengan asisten artis.Bagaimana keadaan kaki Hilya? tanya Talita sambil memegang kipas angin kecil yang diserahkan asistennya. Seorang artis makeup mulai melap wajahnya dengan tisu.Entahlah! Aku belum melihatnya? jawabnya sambil berdiri. Oh, iya. Soal itu, aku tak mau lagi itu terjadi. Dia asistenku, hanya aku yang berhak menyuruhnya.Aku kan sudah minta maaf, bela Talita. Ryu tak lagi merespon. Ryu, kamu mau pulang? Aku ikut, teriak Talita.Ryu mengerutkan keningnya. Bagaimanapun aku penyebabnya, aku ingin melihatnya langsung.   ***  Hei, Hilya. Apa kabar?Hilya mengerutkan kening ketika melihat Talita ada di belakang Ryu saat ia membuka pintu. Bukankah selama ini Ryu tidak suka orang lain masuk ke rumah pribadinya, kecuali urusan pekerjaan? Hilya tersenyum sendiri, ia lupa kalau Ryu punya kepribadian ganda. Minggir! seru Ryu dengan tampang galak. Hilya terkesiap. Ia segera menyingkir, membiarkan dua makhluk itu masuk. Ryu mendelik. Hilya, bagaimana kakimu? Maafkan aku ya, gara-gara aku kamu jadi begini, pinta Talita ramah. Hilya melongo. Susah sekali bergaul dengan orang yang  berprofesi sebagai artis. Dulu ia sempat terharu saat Talita membawakan payung untuknya, ternyata itu hanya image publik. Jangan-jangan minta maaf juga demi image?Kalau sudah, pulanglah! ketus Ryu, lalu berlalu. Kening Hilya makin mengerut tajam. Sikap dua artis ini sulit ditebak. Mengapa tiba-tiba Talita datang minta maaf? Hilya menoleh keluar, apa di luar ada wartawan? Paparazzi? Atau wartawan settingan? Hilya?Talita sedikit terkejut dengan kemunculan Dinayah dari belakang. Oh ada tamu. Tidak kamu persilakan duduk? tanya Dinayah. Oh, maaf. Hilya tergagap. Silakan duduk. Talita menggeleng. Cuma ingin memastikan keadaan kakimu. Dia? tanya Talita sambil menunjuk Dinayah. Oh, dia ibuku. Soal kakiku, sudah agak baikan. Terima kasih. Dinayah mendekat dengan memutar roda kursi dorongnya. Tante, ucap Talita sambil menyalami Dinayah. Sesaat matanya melirik kaki Dinayah yang tertutup kain. Saya teman kerjanya Ryu.Dinayah mengangguk, tanpa memperlihatkan wajah bersahabat. Talita menjadi canggung. Kalau begitu aku pulang dulu."Tidak masuk dulu? tawar Dinayah. Sesaat Talita menoleh ke atas, tidak terlihat Ryu akan muncul. Pandangan Hilya mengiringi tatapan Talita. Kamu ingin bertemu Ryu? Biar aku panggilkan.Tidak usah. Aku pulang dulu.  *** Sebelum tidur, dengan bantuan Salamah kembali mengompres kakinya dengan air hangat.  Sepertinya sudah mulai mengempis, ucap Dinayah yang memerhatikan pergelangan kaki putrinya. Iya, Bu. Sakitnya juga berkurang jika diinjakan ke lantai. Bi Salamah memang tukang urut the best.Dinayah menekan kaki Hilya. Ke depannya harus hati-hati!Au, Ibu, rengek Hilya. Kalau sudah baikan, kami pulang ya, ucap Dinayah. Tiba-tiba wajah Hilya berubah mendung. Keberadaan ibunya lumayan menguntungkan buatnya, setidaknya Ryu tidak berani lagi teriak, apalagi sampai membentaknya. Kenapa? tanya Dinayah. Masih tanya kenapa? Setiap anak pastilah senang di dekat ibunya. Hilya beralasan. Dinayah menghela napas. Tapi ibu tidak mungkin terus-terusan berada di sini. Ibu pernah bekerja di rumah artis, meski baik, ibu memahami kok rumah itu privasi banget buat mereka. Iya. Lagian ibu juga tidak tahan diam di sini terus. Di kampung, minimal ibu bisa berjemur di depan rumah, ucap Hilya sambil memegang kedua tangan ibunya. Ia menoleh ke Salamah yang duduk di ranjangnya. Terima kasih, Bi, telah jaga Ibu. Saya tidak akan bisa membalas kebaikan Bibi.Salamah terkekeh. Saya kan digaji.Tetap saja, Bi.Iya. Sama-sama.Dinayah mengelus rambut putrinya. Ibu beruntung memiliki putri sepertimu.Aku lebih beruntung memiliki orang tua seperti Ibu. Oh iya, Ibu lupa cerita. Akram ada datang ke rumah. Seketika wajah menjadi datar. Dia mencarimu.Ibu tidak bilang kan aku di sini?! Dinayah menggeleng. Ibu tau kok situasinya. Tapi yang membuat Ibu sedih, katanya kamu dapat beasiswa kuliah. Kalau bukan karena Ibu ….Sudahlah, Bu. Ini sudah takdir Allah. Aku tidak menyesalinya.  Malah senang berkesempatan berbakti pada Ibu.Dinayah tak dapat lagi bersuara. Matanya mengembun, menatap bungsunya yang bekerja keras untuknya. Hanya doa yang bisa ia berikan untuk putrinya yang satu ini.Kakak ada datang ke rumah? tanya Hilya. Dinayah menggeleng. Tapi mereka ada kok wa Ibu.Bibir Hilya mengukir senyum, tetapi hatinya bagai teriris sembilu. Namun dipikir-pikir sekarang ia pun hampir seperti mereka. Bu, kalau aku nyewa rumah di sekitar sini, gimana? Rumah perkampungan sih, setidaknya aku bisa nengok Ibu seminggu sekali. Dinayah tersenyum. Tidak usah. Baiknya kamu tabung saja uang itu untuk masa depanmu.Masa depanku rida Ibu.Ibu sudah meridaimu. Ibu bahagia melihatmu baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup. Sepertinya Ryu juga memperlakukanmu dengan baik. Seketika Hilya terkekeh. Baik. Sangat baik, ucapnya sambil menekan nada yang tiba-tiba mau tertawa. Ryu memang sangat hebat akting.***  Setelah kakinya sudah nyaman, Hilya kembali bekerja dan ibunya juga sudah pulang kampung. Hei! Sesaat Hilya terkejut. Hanif datang dengan wajah cerianya. Ia menoleh ke arah Ryu yang sedang asik latihan akting dengan pemain lainnya untuk scene berikutnya.Kenapa kamu seperti ketakutan gitu? tanya Hanif sambil menyerahkan sebotol minuman. Bukan begitu! Aku cuma tidak ingin bikin masalah. Tahu sendirilah gimana Ryu. Ini terima kasih, ya.Hanif mengangguk sambil membuka penutup botol dan ingin menegaknya. Duduk! seru Hilya. Hanif mengernyit, tetapi ia menurut. Ia duduk di sebuah kursi kosong, lalu meneguk minumannya. Sama Ryu kamu juga seperti ini? tanya Hanif. Hilya menggeleng. Kenapa? Karena kamu temanku. Kamu juga tahu siapa dia, sahutnya sambil berjongkok, menurunkan masker, lalu meneguk minumannya.Hanif berdiri. Kamu duduklah di sini. Hilya menatap ragu. Jangan hina aku di depan orang banyak!Hilya tertawa. Ternyata kamu juga pemuja image.Hanif hanya menjawab dengan tawa. Jujurlah, Hil. Dia mengancammu?Heh?Ryu. Rasanya aneh kalau kamu bekerja padanya.Hilya terkekeh. Tidak. Aku bekerja padanya dengan suka rela. Jawaban itu apa sudah cukup?Hanif menggeleng. Berhentilah, bekerja saja padaku. Aku akan memberi gaji yang tinggi.Aku sudah teken kontrak dengannya.Aku akan ganti rugi, tukas Hanif.Hilya tersenyum lebar. Ia melipat kedua tangannya ke dada. Kenapa kamu seperti selalu berpikiran buruk terhadapnya?Hanif terkekeh. Semua orang di sini pun tahu sikapnya terhadapmu.Badan Hilya bergerak-gerak menahan tawa. Sudahlah, aku mau ke kamar kecil. Kamu pergilah.Hanif menampakkan wajah sedih. Kapan kita bisa makan-makan? In sya Allah, kalau ada kesempatan aku telpon kamu.Hanif menautkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya. ***Dasar, perempuan ganjen. Direktur juga dia dekati. Hilya yang di dalam toilet tiba-tiba hatinya mencelos. Direktur? Hanif? Perempuan ganjen itu dirinya?Tidak puas apa dengan Ryu? Sekarang Hanif.Mana orangnya berkerudung, aku saja malu melihatnya, sahut suara yang lain. "By the way, kenapa Direktur dekat sama dia ya? Dipelet? suara perempuan yang pertama tadi. Ya dengan sikap! Secara dia sudah bisa menaklukkan Ryu, pria savage. Mudahlah untuk Hanif, orangnya sudah ramah duluan.Hilya mengurut dadanya. Seperti itu kah dirinya di mata orang-orang? Kamu dengar nggak berita baru?Apa tuh? Katanya Talita melabrak ke rumah Ryu. Benar, ternyata Hilya tinggal di rumah Ryu.Ya wajarlah, kan dia asisten Ryu.Wajar? Bayangkan bagaimana laki-laki dan perempuan satu atap!Hilya yang mendengar jelas gosip itu seketika menahan napas.  Part 8 Ulah RyuYa wajarlah, kan dia asisten Ryu.Wajar? Bayangkan bagaimana laki-laki dan perempuan satu atap!Hilya mendengar jelas tukang gosip itu menahan napas. Dua orang penggosip itu tiba-tiba tersentak, melihat Hilya yang baru saja keluar dari toilet.   ***“Ryu, aku ingin bicara denganmu,” ucap Talita ketika telah selesai dari syuting. “Katakanlah!” sahut Ryu sambil mengambil air minuman yang diserahkan Hilya. Talita menoleh ke arah Hilya yang tak jauh dari Ryu, juga beberapa orang dari team Ryu. “Bisa bicara di lain tempat? Ini penting, mengenai karir kita.” Ryu terdiam. Ia ingin menolak, tetapi Fadli tak jauh darinya sudah memberi perintah. Baiklah. Ryu beralih ke Hilya. Kamu pulanglah duluan!Siap! sahut Hilya cepat. Cepat sekali?! Ada apa? tanya Ryu penuh selidik. Bukan apa-apa. Setiap pasti orang pasti senang lah kalau ada waktu bonus, kilah Hilya. Ryu mengacak pinggangnya, lalu memajukan wajah. Makin mencurigakan!Sudahlah! Hilya memutar bahu Ryu. Pergi saja. Tak baik curigaan. Nanti cepat tua.Ryu makin kesal melihat Irfan dan makeup artistnya cekikikan. Sudahlah, kalian pergi saja. Biarkan Hilya bebas. Fadli menengahi. Daah! Hilya melambaikan tangan dengan ceria. Sebelum masuk ke mobil, Ryu masih sempat menoleh ke arah punggung Hilya yang menjauh.   ***   Ryu dan Talita memasuki sebuah restoran mewah di kawasan elit. Restoran yang mengambil konsep suasana Eropa dengan furnitur dari kayu yang disusun secara cantik, lampu gantung chandelier mini yang tergantung di setiap meja. Ryu, tadi aku dengar gosip miring kamu yang tinggal serumah dengan Hilya, ucap Talita ketika pencatat pesanan telah menjauh. Hilya itu asistenku. Ya wajar kalau kami tinggal serumah. Secara dia melayaniku dari bangun tidur sampai tidur kembali, sahut Ryu. Semua baik-baik saja, kalau kamu tidak gendong Hilya kemarin. Itu meninggalkan kecurigaan buat netizen, terutama para haters. Ini kesempatan mereka untuk menyerangku, kamu atau hubungan kita berdua.Biarin ajalah! Selama tidak mengganggu penjualan. Lama-lama juga akan hilang sendiri, berganti dengan berita baru. Lagi pula  bukankah berita negatif itu bisa dibilang promosi tidak berbayar? tukas Ryu. Talita menghela napas. Mengapa kamu selalu tidak peduli dengan hal ini. Ini sangat berarti bagiku. Harga diriku hancur, jika mereka memandangmu selingkuh dengan gadis biasa.Ryu mengernyit. Bukankah dari awal hubungan kita ini settingan? Tentu apa pun reaksi publik kita tidak boleh ambil hati.Itu bagimu. Aku serius menganggap hubungan ini. Aku serius mencintaimu. Ryu terdiam, lalu beberapa detik kemudian mendesah keras. Jangan bawa-bawa hati dalam urusan profesionalisme ini, Ta!Mengapa? Bukankah sebelumnya kamu bisa menjalin hubungan dengan pasangan settingan sebelumku?Ryu tertawa kecut. Seumur hidupku tidak pernah jatuh cinta dan aku tidak ingin terlibat dalam urusan merepotkan itu. Tapi bagaimana kamu bisa berpikir begitu dan percaya dengan pemberitaan padahal kamu sendiri sedang menjalani? Talita memasang wajah sendu. Isabella pernah cerita kalau kalian memang pernah menjalin hubungan beneran. Kalian berpisah karena sama-sama dalam kesibukan.Ryu tertawa. Dan kamu percaya. Oh iya, dia temanmu ya. Oke. Aku tidak akan membela diri. Kalaupun Isabella membohongiku, tidakkah kamu rasakan kebersamaan kita lebih dari setahun? Siang dan malam? Bahkan kadang kita bersama di lokasi syuting 24 jam. Masa tidak merasakan getaran itu sedikit pun?Aku memang laki-laki tak punya hati.Talita meraih tangan Ryu. Ryu, berilah aku kesempatan, ya. Kita jalin hubungan ini, aku akan berusaha meraih hatimu. Jika memang waktunya habis, aku janji, aku akan mundur.No no. Ryu menarik tangannya. Aku tidak ingin terlibat hubungan apa-apa lagi. Hubungan settingan ini saja sudah merepotkanku. Sudah kubilang, aku tidak ingin berurusan hubungan yang rumit itu. Jadi jangan bawa dirimu lebih jauh lagi.Please, sebagai teman kerja, berilah aku kesempatan! Talita kembali meraih tangan Ryu.Ryu menggeleng. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada dua orang yang baru saja masuk, lalu menduduki sebuah meja yang tak jauh dari mereka. Emosinya tiba-tiba mencuat. Lebih mengesalkan lagi, melihat mereka saling tertawa bahagia. Dengan amarah, ia berdiri mendekati pasangan itu. Pandangan Talita mengikuti langkah Ryu. Ooh, pantesan tadi senang sekali! Jadi memang ada janji?! sungut Ryu. Hilya terdiri. Ryu, kok ada di sini? Kebetulan sekali, seru Hilya tanpa merasa bersalah. Disuruh pulang malah main. Dengan dia lagi? tunjuk Ryu pada Hanif. Hanif mengernyit. Memang kenapa aku makan bareng dia? Tuh ini waktu kosong kan? sahut Hilya. Talita mendekat. Hanif berdiri. Kalian pergi bareng? Kenapa kita tidak gabung saja. Kebetulan sekali kan? Hanif buka suara. Ryu berpaling ke arah Hanif, lalu menyuguhkan senyuman sinis. Tanpa suara ia mendekati Hilya, lalu menarik tangan gadis itu. Ayo pulang!Hilya menyentak tangannya, sehingga pegangan Ryu terlepas.Hanif merangsek. Dia cewek, tidak bisa bersikap lembut sedikit?!Ryu memajukan wajahnya. Dia pembantuku, lo mau apa?!Pembantu?! ulang Hilya. Ia menghempaskan napasnya. Ia mengambil tasnya, lalu memasang ke bahunya. Nif, aku duluan. Maaf, malam ini jadi berantakan, ucap Hilya, lalu menjauh tanpa menunggu jawaban dari siapapun. HIL! teriak Ryu. Namun Hilya terus berlalu tanpa menoleh. Hanif menarik kerah Ryu. Jadi cowok tidak bisa bersikap gentle sedikit napa? Apalagi dia telah melayanimu. Hanif mendorong tangannya, sehingga Ryu termundur sedikit. Hanif berlari keluar.  Melihat Hanif bakal menyusul Hilya, Ryu pun ikut menyusul. Tidak akan ia biarkan Hilya pulang dengan musuh bebuyutannya. Sayangnya, sampai di tepi jalan, ia juga Hanif tak lagi menemukan Hilya.   ***Hilya tidak menampakkan batang hidung ketika Ryu sampai di rumah. Sesal menjalari hati Ryu. Sedih ikut mendominasi. Biasanya Hilya selalu menyambutnya jika sudah duluan di rumah. Siapa suruh pergi dengan cengok itu, gerutu Ryu. Ia mengetuk pintu kamar Hilya. Hilya!Tidak ada jawaban. Ia memegang gagang pintu. Terkunci dari dalam. Ia dapat bernapas lega. Setidaknya Hilya ada di dalam. Hilya, panggilnya dengan sengaja nada ditinggikan. Masakan sesuatu, perutku lapar! Gara-gara kamu, dinnerku jadi gagal! HIL! ketuknya lebih keras. Tak butuh banyak ketukan, Hilya keluar dengan wajah masam. Mau makan apa? tanyanya judes. Terserah. Yang penting cepat masak, sahutnya sambil berlalu. Yakin? Tidak nyesel dengan pilihan pembantu? tanya Hilya dengan penuh penekanan di ujung kalimatnya. Ryu tidak merespon. Ia terus berlari menaiki anak tangga, menuju kamarnya. Dasar makhluk pribadi ganda!  ***  Cuma mie? tanya Ryu ketika melihat dua buah mangkuk mie instan di atas meja. Tadi kamu bilang terserah, yang penting cepat masak. Ya mie instan yang paling cepat, sahut Hilya ketus. Ryu hanya bereaksi dengan wajah merengut. Ia duduk di sebuah kursi, lalu mengambil mangkuk mie itu. Hilya menggigit bibirnya. Menahan senyum melihat wajah sepet Ryu.Tanpa suara Ryu menyuap mie itu, sesekali menghirup kuahnya. Hilya menahan kupu-kupu yang terus menggelitik perutnya. Kalau ditanya, biasanya Ryu akan meminta mie goreng. Ia sengaja membuatkan mie kuah, untuk mengerjai Ryu. Hilya duduk, memakan mie yang satunya. Sadar nggak, kamu makan semeja dengan pembantu? Ryu mengangkat wajah sesaat, lalu kembali menyuap mienya. Terakhir ia menyeruput kuah mie langsung dari mangkuknya.   *** Waktu istirahat, Ryu menggunakannya untuk membaca script skenario. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Hanif yang sedang berbicara dengan seorang sutradara. Ia mengedarkan pandangannya, berhenti pada sebuah pojokan, tempat Hilya asik memainkan ponselnya. Tiba-tiba ide nakal terbersit dalam benaknya. Ia berjalan mendekati Hilya. Hil! Hilya mengangkat wajahnya. Tiba-tiba bulu romanya merinding. Sejak kapan Ryu mendekatinya jika ada keperluan? Biasanya makhluk itu akan langsung berteriak, tidak peduli sedang berada di mana Ia berdiri waswas. Ada apa?Bawaannya curigaan mulu, tukas Ryu. Bantu aku latihan. Sini!Hilya berdiri, mengikuti kemana Ryu bergerak. Berdiri di sini saja! perintah Ryu sambil memegang kedua bahu Hilya. Sengaja ia mendirikan Hilya di lokasi terlindung, supaya tidak melihat Hanif ada di sekitar situ.Kamu cuma bilang, 'aku' seakan-akan kamu kehilangan kata-kata, instruksi Ryu sambil memperlihatkan naskah sekilas. Bahkan tak sempat ditangkap Hilya meski satu huruf. Oke?Hilya mengangguk saja. Meski masih menyimpan kecurigaan. Ryu meletakkan naskahnya di atas meja, lalu berdiri, berhadapan dengan Hilya. Sesaat dia berdeham dengan cukup nyaring. Ekor matanya melirik. Hanif terpancing. Hilya mengernyit. Sayang, percayalah padaku, aku sangat mencintaimu, ucap Ryu lembut.Aku …. Ryu mendekat. Memegang kedua bahu Hilya.  Kedua manik matanya mengunci mata Hilya. Gadis itu tak berani bergerak, meski sekadar mengerjap.  Ryu memeluknya, lalu mencium dalam pucuk kepala Hilya.Hilya masih bergeming. Seakan gadis itu telah melayang rohnya. Ryu menjentikkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya sehingga mengeluarkan bunyi. Hilya mengerjap. Kamu tidak apa-apa? tanya Ryu dengan memasang wajah cemas. Hilya menggeleng, meski dapat dilihat kesadaran gadis itu tidak sepenuhnya pulih. Ryu menoleh ke arah Hanif yang mematung, lalu berbalik. Ia tersenyum penuh kemenangan. ***Hilya mana? tanya Fadli dengan napas terengah-engah.Tau, ada yang mau dibeli katanya, jawab Ryu santai tanpa mengalihkan pandangannya dari naskah. Ryu, gawat. Kita harus temukan dia! Napas Fadli masih memburu.Ryu melepaskan naskahnya. Ada apa?Ini gara-gara, lo. Mencium dia kemarin. Video telah beredar. Ia akan mendapatkan serangan dari  fans Talita.  Part 9 Korban Bullying  Ini gara-gara, lo mencium dia kemarin. Video telah beredar. Ia akan mendapatkan serangan dari  fans Talita.*** Hanif langsung menghubungi Hilya begitu mendapatkan video tersebar dan melihat caci maki warganet. Ia keluar dari kantornya, dengan masih ponsel masih di telinga. Di tengah jalan, ia bertemu dengan sekretarisnya. “Pak, sebentar lagi rapat.”“Batalkan saja. Aku ada urusan penting,” ucapnya sambil berjalan cepat.“Hanif!” Panggilan lembut, tetapi tegas membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah suara. “Mama?”“Kamu mau meninggalkan rapat penting?” tanya Mamanya tegas, Cintami.“Mama, Hilya dalam masalah.”“Hilya anak pembantu?” “MA! Masihkah Mama memandang begitu, padahal dia membersamaiku sejak kecil? Dia sangat penting bagiku, teriak Hanif. Cintami tergagap. Namun secepat kilat ia menutupinya. Maksud Mama dia anak Dinayah?"Memang aku punya teman berapa, Ma? protes Hanif.“Sudahlah! Mama tau berita itu. Lagi pula, bukankah ada Ryu, selaku pembuat masalah. Sudah seharusnya Ryu bertanggung jawab padanya.”“Tapi, Ma ….”“Hanif, ini penting. Kamu baru saja datang,  ini kesempatan untuk membuktikan kinerjamu pada Papa.”“Ma?!” suara Hanif melemah.“Siap-siaplah! Percayalah, Ryu pasti mengatasi masalah ini.”  ***  Semua bermula dari sebuah video kompilasi dari beberapa potongan video. Potongan saat Ryu menggendong Hilya, wajah sedih Talita saat  di sebuah restoran dengan memegang kedua tangan Ryu, seakan Talita sedang mengemis sesuatu kepada Ryu, dilengkapi dengan tulisan kata ‘kumohon’ bertepatan dengan Talita menggerakkan mulutnya, terakhir saat Ryu mencium pucuk kepala Hilya. Hanya beberapa detik, video itu melesat cepat, melahirkan banyaknya cacian kepada Hilya, sebagai perebut kekasih orang. Hilya memasuki sebuah minimarket. Ia mengambil beberapa minuman dingin dalam kulkas. Setelah itu, ia mendekati kasir, seorang ibu dengan asik menonton video itu di sebuah media sosial.“Kurang ajat banget dia, sudah ditolong, eh malah diembat. Dasar perempuan tidak tau terima kasih!” gerutu ibu itu.Hilya tersentak melihat video itu, bertepatan dengan sang ibu kasir mengangkat kepalanya, menatap heran atas sikap Hilya. “Bu … bukan saya,” ucap Hilya spontan.Nyatanya itu pembelaan itu malah membuat ibu itu mengenalinya. “Ooh, jadi kamu pelakor itu?!“Bu … bukan! Ia mengibaskan kedua tangannya.Iya, pasti kamu. Kamu selalu mengenakan masker kan?!Bu … bukan! Ibu itu berdiri. Menarik Hilya keluar. “Keluar kamu! Aku tidak sudi barangku dibeli oleh perempuan macam kamu. Dasar perempuan perusak rumah tangga orang. Oi sini, ni orangnya, pelakor! Dikasih hati minta jantung!Orang-orang berdatangan dari beberapa penjuru. Ibu kasir itu mendorong Hilya hingga terjerembab. Seketika ia sudah dikepung masa. Caci maki terlontar saling bersahutan. Pelakor mati kena azab kau!"Perempuan tidak tahu terima kasih!Copot tu hijab! Memalukan!Hilya berusaha tengadah, tetapi sumpah serapah yang saling bersahutan membuatnya pusing. Wajah-wajah di depannya seperti slide terus berputar cepat tanpa henti.Beberapa orang melempar dengan tisu, kemasan bahkan ada yang melempar dengan telur mentah. Tepat mengenai kepalanya.   *** Berkali-kali Ryu menelpon nomor Hilya, tetapi tak kunjung terangkat. Entah berapa kali mobil mereka berputar mengelilingi sekitar lokasi syuting, tetapi tidak kunjung ketemu.“Kalau cuma beli jajanan seharusnya di minimarket sekitar sini saja,” gumam Fadli sambil terus memutar kepalanya. Ryu masih tak dapat bersuara. Bayangan masa lalu, semakin membuatnya semakin dikecam kecemasan. Mobil terus meluncur, memasuki gang-gang, sesekali mengambil jalan berputar. Ryu semakin panik. Hari telah gelap. Badannya berkeringat dingin, meski mobilnya dilengkapi mesin pendingin. Hingga di tempat yang sepi, cukup jauh dari lokasi syuting, retina matanya menangkap seorang gadis meringkuk di pinggir.“STOP STOP!” teriak Ryu sambil menepuk cepat bahu Irfan. Spontan Irfan menginjak rem mobilnya. Melengking bunyi klakson dari mobil belakang. Ryu langsung berlari begitu pintu mobil terbuka. Tanpa peduli dengan makian pengendara dari belakang.“Hilya!” panggilnya ragu. Hilya mengangkat kepalanya. Wajahnya tidak menimbulkan reaksi ketika melihat Ryu, meski hanya sekadar gerakan bola mata.   *** Hanif langsung berlari keluar begitu rapat selesai. Di dalam lift ia mengumpat. Beberapa karyawan yang ada di lift menatapnya heran.Ia menghidupkan ponselnya, menghubungi Hilya. Masih tidak jawaban. Ia merutuki. Mengapa tiba-tiba harus ada rapat? Mengapa tiba-tiba mamanya datang mengawasi? Dari awal rapat sampai selesai, tidak sedikit pun memberikannya leluasa padanya. Ia telah sampai ke mobil, tetapi panggilannya belum juga terjawab. Tiba-tiba ia tersadar tidak tahu harus ke mana mencari Hilya. Ia tidak menyimpan nomor Ryu, bahkan tidak tahu di mana tempat tinggal Ryu.  ***   Ryu tersentak dengan penampilan Hilya yang berantakan dan kotor. Bahkan kerudungnya entah di mana. Ryu berjongkok. “Ya Allah, Hilya, kerudungmu mana?”Hilya tidak merespon. Ia hanya menatap Ryu dengan tatapan datar. Ryu melepaskan jaketnya, menutupkan pada kepala Hilya. “Ayo kita pulang!” Hilya masih tidak bereaksi. Akhirnya ia memutuskan mengangkat badan Hilya ke mobil. “Fadli, tolong carikan seorang psikiater!” pintanya dengan nada perintah sambil meletakkan tubuh Hilya di atas kursi. Fadli pun terkejut saat menoleh ke belakang, melihat kondisi Hilya yang memprihatinkan. Ryu terkejut melihat Hilya yang bereaksi saat Fadli menoleh. “Irfan, kemarilah!” pancing Ryu tanpa mengalihkan perhatian.“Iya, ada apa?” tanya Irfan sambil berdiri, lalu menoleh ke belakang. Tubuh Hilya mengerut.“Tidak jadi!” sahut Ryu. Irfan duduk dengan keheranan. Ryu memegang kedua tangan Hilya. “Tidak apa. Kamu bersamaku. Aku janji akan selalu melindungimu, asal kamu terus bersamaku. Oke?”Hilya masih menatapnya datar.   ***   Sesampai di rumah, Ryu menuntun Hilya hingga sampai ke kamar. “Mandilah, aku tunggu!” ucap Ryu sambil meletakkan piyama mandi ke tangan Hilya. Gadis itu masih saja bergeming. Ryu kembali membimbingnya sampai ke kamar mandi. “Mandi, ya,” bujuk Ryu. Hilya masih diam. Kali ini matanya mulai bergerak. Ryu keluar dari kamar mandi dan menutup pintu. Di luar kamar mandi Ryu mondar mandir menunggu. Berkali-kali ia melirik jamnya. Berkali-kali pula hatinya terbersit membuka pintu kamar mandi, andai tidak ingat kalau Hilya seorang perempuan. Ia akan dilempari dengan apa saja, andai gadis itu baik-baik saja. Ia kembali melihat jam tangan.“Hampir sejam,” gumamnya. Tepat saat ia memutuskan membuka pintu kamar itu, tiba-tiba Hilya keluar dengan piyama yang telah disediakannya. Air menetes di rambutnya yang basah. Ryu langsung menyambar handuk dan membimbing Hilya duduk ke tepi ranjang. Dengan pelan ia melap rambut Hilya. “Maafkan, aku. Aku tidak menyangka akan begini! Maafkan aku,” sesal Ryu sambil terus melap rambut. Sesaat ia memerhatikan barang-barang di atas meja rias Hilya. “Kamu tidak punya hair dryer? Bagaimana bisa cewek tidak memilki hair dryer? Padahal rambut kalian kan panjang, tentu lebih perlu. Dasar!” omel Ryu, berharap ada sedikit reaksi dari Hilya. Kenyataannya gadis itu masih bergeming. Ryu menuntun Hilya yang masih mengenakan piyama mandi ke ruang tengah, tetapi kali ini Ryu memasangkan sebuah kerudung ke kepalanya. Di sana telah menunggu Fadli, Irfan seorang psikiater perempuan. Melihat mereka bertiga, langkah Hilya terhenti, tangannya menggenggam erat tangan Ryu. “Hil, kamu lupa, mereka Fadli dan Irfan, sedang perempuan itu, namanya dokter Anna, dia akan membantumu,” bujuk Ryu lembut. Hilya malah mundur ke belakang, bersembunyi di balik badan Ryu. “Hil!”“Tak apa. Jangan paksa dia. Biarkan dia istirahat dulu, tapi saya ingin berbicara dengan Anda,” ucap Dokter Anna.Ryu mengangguk. “Kalau begitu, saya antar dia ke kamar dulu!”“Silakan. Tapi sepertinya … siapa tadi, Fadli dan Irfan juga orang yang dikenal Hliya, boleh saya bertanya banyak kepada mereka?” “Silakan. Saya permisi dulu.” Ryu kembali membimbing Hilya sampai ke kamarnya. Ia mendudukkan Hilya ke ranjang, kemudian melepaskan kerudung Hilya. “Kamu istirahatlah. Aku ingin bicara dengan dokter itu dulu, ya.” Wajah Hilya masih saja datar. Ia merebahkan kepalanya ke bantal. Ryu menarik selimut, mengangkat kaki Hilya, lalu menutupkan selimut ke setengah badan Hilya. “Tidurlah!”  ***Dokter sedang mencatat hasil obrolannya dengan Fadli dan Irfan, saat Ryu keluar dari kamar Hilya. Ia duduk di sebuah sofa menghadap Dokter Anna. “Dari hasil wawancara saya dengan Fadli dan Irfan, dia mengalami gangguan syok cukup berat. Dia mendapatkan bullyan ekstrem dari orang-orang tentu merupakan pukulan yang sangat besar baginya. Bahkan Fadli bilang kerudungnya hilang, rambut dan pakaiannya kotor, itu sudah kekerasan fisik.” “Jadi saya harus gimana?” tanya Ryu tidak sabar. Mengungkit penderitaan dialami Hilya membuat emosinya mencuat. “Buatlah dia merasa aman dan nyaman dulu. Kalau ada perkembangan, baru kita dekati lagi.”“Aman dan nyaman? Siapa yang bisa melakukan itu?” tanya Ryu.“Tentu orang yang dia percayai. Sepertinya dia percaya sama Anda. Terlihat saat melihat kami dia langsung bereaksi, membentuk pertahanan diri,” sahut dokter Anna.“Tapi saya bukan yang dia percayai, tidak bisa memberikan perasaan aman dan nyaman. Kejadian ini bersumber dari saya. Keseharian juga, saya sangat sering membuat dia susah.”“Kalau itu, saya tidak tahu. Anda lebih tahu siapa yang dia suka. Tapi menurut pengamatan saya tadi, dia cukup percaya dengan Anda.”“Berapa kali saya berbicara dengannya, sedikit pun tidak ada respon, meski hanya kerlingan mata. Saya seperti berbicara dengan sebuah boneka. Dibanding sikapnya Fadli dan Irfan, entah mengapa saya menyukai seperti ini.”  ***  Hilya telah tertidur saat Ryu masuk ke kamarnya. Saran Dokter Anna mengulang-ngulang dalam benaknya. Ia menyingkirkan beberapa rambut Hilya yang menutupi wajah.“Orang yang dia percayai?” guman Ryu. “Haruskah aku mengantarmu pada Hanif?!” IPart 10 Separuh Jiwa yang Hilang  Hilya telah tertidur saat Ryu masuk ke kamarnya. Saran Dokter Anna mengulang-ngulang dalam benaknya. Ia menyingkirkan beberapa rambut Hilya yang menutupi wajah.“Orang yang dia percayai?” tanya Ryu pada diri sendiri. “Haruskah aku mengantarmu pada Hanif?!” *** Ryu merenggangkan kedua tangannya ke atas, begitu kesadarannya mulai kembali. Ia menggerakkan otot lehernya yang terasa kaku ke kiri dan ke kanan. Saat itulah ia tersadar, bahwa tadi malam ia tertidur dengan posisi duduk di ranjang Hilya. Mata Hilya sudah terbuka. “Kamu sudah bangun?” Hilya tak menjawab. Hanya terus menatapnya datar. “Bagaimana tidurmu malam tadi?” Hilya masih tidak bereaksi. “Bagunlah! Kamu bersihkan diri, lalu kita sarapan, ya.” Ryu memegang kedua bahu Hilya. Membantu gadis itu bangun, juga mengantarnya sampai ke kamar mandi. Ryu juga mengantarkan piyama mandinya. Ia juga menyiapkan pakaian Hilya dan menaruhnya di atas ranjang. Setelah menutup pintu kamar mandi Hilya, Ryu naik ke kamarnya sambil memesan makanan online. Ia kembali ke kamar Hilya setelah menyelesaikan segala keperluan pribadinya. Hilya sudah duduk dengan mengenakan pakaian yang disiapkan. “Untung aku bawa ini,” ucapnya sambil menunjukkan hair dryer ketika melihat rambut Hilya yang basah. Ia duduk di samping Hilya, lalu memutar badan Hilya. “Kamu sengaja ya, balas dendam padaku?! Karena aku sering memerintahmu mengeringkan rambutku?”Hilya tak bersuara. Ryu terus saja bersuara, mengungkit kejadian silam, berharap Hilya memberikan reaksi meski sedikit saja. Setelah rambut Hilya kering, ia memeriksa beberapa peralatan meja rias Hilya sambil membuka satu persatu. Akhirnya ia mengambil sebuah krim tube, lalu mengoleskannya ke wajah Hilya. Hilya sedikit mengernyit. Ryu menghentikan gerakan. Namun ia kembali mencoba, berharap Hilya kembali bereaksi. Kenyataannya, Hilya tetap diam, meski ia menyentuh kulit wajahnya. “Kamu tidak marah aku melakukan ini?” ungkit Ryu. Hilya diam. Yang terdengar hanyalah desahan napasnya. Saat Hilya bergerak, tiba-tiba tersenggol tangan Ryu yang memegang tube krim wajah. Ryu turun dari ranjang untuk mengambil krim yang jatuh. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada koper kecil di bawah ranjang Hilya. Koper itu mengundang penasarannya. Ia mengambil koper itu dan membukanya. Terlihat beberapa pakaian Hilya yang terlipat. Ia mengambil selembar dan membuka lipatan itu. Terlihat gamis itu cukup lebar dan panjang. Ia mengambil lagi kain lain dengan warna senada, ternyata sebuah kerudung lebar. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia baru menyadari, Hilya dulu, sebelum bertemu dengannya adalah Hilya yang kemana-mana mengenakan pakaian yang dulu ia sebut kedodoran. Pakaian Hilya berubah semenjak masuk rumahnya dan menjadi asisten pribadinya.Dulu kamu sering memakai ini ya? Ia mengambil satu stelan gamis itu, lalu meletakkannya di atas pangkuan Hilya. Pakai saja. Aku keluar sebentar. Mungkin delivery sudah datang.Sebelum menghilang dari balik pintu, Ryu sempat memerhatikan Hilya yang terus menatap gamis itu. Kalian sudah datang? Di tengah rumah sudah ada Fadli dan Irfan.  Fadli berdiri, lalu menyerahkan sebuah kantong yang tertulis merek rumah makan. Perasaan tidak pesan ini deh, ucap Ryu sambil menyambut kantong itu. Sontak terlepas ketika membuka box dalam kantong ituAstaghfirullah! lirih Ryu sambil mengelus dadanya. Melihat hal itu Fadli segera mengambil alih kantong, ia pun terkejut ketika melihat isinya. Ayam goreng dilumuri saos yang terlihat seperti darah. Tak lama terdengar seorang delivery di depan rumah. Irfan, kau ambilkan, suruh Fadli. Kau carikan seorang satpam untuk jaga di luar,” ucapnya sambil duduk di sofa. Fadli mengangguk. “Bagaimana keadaan Hilya?” tanya Fadli. Ryu hanya menjawab dengan desahan napasnya. “Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanku?”“Aku cuma bisa minta cuti sehari.” Lagi-lagi Ryu mendesah. Tak lama Irfan muncul membawa plastik berisi box makanan. “Kamu ada pesan itu?” tanya Fadli. Ryu mengangguk. Namun, terlebih dulu Fadli menyambar dan membuka isinya. Ia menyerahkan pada Ryu setelah memastikan isinya aman. “Bisa tidak kita hapus video itu?” tanya Ryu.“Aku tadi sudah tanya ke pihak manajemen, tapi sepertinya mereka tidak begitu menggubris. Berita sensasional dari kamu bukan cuma kali ini. Dan selama ini selalu membuat rating sinetron kamu terus di atas.”“Tapi ini sudah mencelakai Hilya. Kamu lihat sendiri bagaimana keadaan Hilya.”“Iya, aku tau, tapi kamu tahulah, kita tidak banyak memiliki kekuasaan dalam hal ini. Kecuali kamu langsung yang melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Itu pun kamu harus bicarakan dulu kepada pihak manajemen supaya tidak mempunyai masalah dengan mereka kelak. Ingat, kontrakmu dengan mereka masih panjang.Kepala Ryu berdenyut bila disebut manajemen. Selama ini mereka selalu membatasi gerak langkahnya, tetapi ia tidak begitu peduli selama saldo rekeningnya terus bertambah. Namun, kejadian kali ini merugikan Hilya. Kerugian materi mungkin ia masih memaafkan, tidak dengan apa yang dialami oleh Hilya. “Aku mau makan dulu. Kalian sudah makan? Kalau belum pesanlah, aku cuma mesan sedikit,” ucap Ryu sambil berlalu ke ruang dapurnya. Setelah meletakkan ke atas meja, ia kembali ke kamar Hilya. Gadis itu masih diam di tempatnya. Pakaian yang ia letakkan di atas pangkuan Hilya masih belum bergerak. Ia duduk berjongkok di depan Hilya. “Kenapa? Kalau kamu suka itu pakailah. Nanti aku belikan yang baru, jika kamu menyukai style ini.”Hilya tidak bersuara. Ryu berdiri. “Kita makan dulu.” Ia menarik tangan Hilya, hingga gadis itu mengikutinya. Langkah Hilya terhenti ketika menyadari keberadaan Fadli dan Irfan. “Kalian pulanglah! Dia ketakutan lagi.Sesaat Fadli dan Irfan saling bersitatap, menatap Hilya yang memegang erat tangan Ryu.“Baiklah, kami pulang dulu. Nanti aku kasih kabar jika ada berita baru,” seru Fadli lalu undur diri. Ryu mendudukkan Hilya di kursi. Ia mengambil lalu mengisinya dengan bubur yang baru saja dibeli. Ia meletakkan mangkuk itu di depan Hilya. “Makanlah!” Hilya hanya menatap. Tanpa menggerakkan tangan sedikit pun.Ryu mendekatkan kursinya, lalu mengambil mangkuk dan menyodorkan ke mulut Hilya. Sesaat Hilya menoleh ke arahnya. Ryu mengangguk penuh harap, hingga akhirnya Hilya mau menyuap bubur itu. Ryu menghela napas leganya. “Makanlah, mumpung buburnya masih hangat,” ucapnya sambil menyodorkan kembali sesendok bubur. Hilya kembali menyuap.Setelah selesai makan, Ryu membawanya ke atas. Ia berharap setelah melihat kamarnya yang berantakan, sedikit dapat mengetuk perhatian Hilya. seperti biasanya Hilya yang selalu kesal bila melihat kamar berantakan. Kenyataannya bola mata Hilya tidak berpendar sedikitpun. Ia mendudukkan Hilya ke atas ranjang, mengambil laptopnya, lalu meletakkan di samping Hilya, mengambil meja portable, lalu meletakkan laptop di atasnya. Ia memutar badan Hilya. “Aku tau, kamu suka menulis, meski kamu melakukannya sambil curi-curi waktu. Aku jahat sekali, ya. Maaf.” Ryu menyalakan laptopnya, lalu membuka aplikasi office word. “Nah, menulislah. Aku janji tidak akan mengintipnya. Aku ingin merapikan kamarku dulu.” Ryu memungut bajunya di lantai sampai melirik ke arah Hilya. Ia melihat tangan Hilya mulai bergerak. Ia kembali mengambil pakaian lain, lalu sambil melirik Hilya. Hilya mulai meletakkan tangannya di atas keyboard. Ryu tersenyum haru. Ia terus memungut pakaiannya lain, lalu meletakkan ke dalam keranjang yang biasa disediakan Hilya. Jari Hilya mulai bergerak. Ryu mulai pura-pura sibuk merapikan peralatan di atas meja rias meski sebenarnya sudah rapi. Ia mencuri-curi pandang lewat cermin. Ia melihat Hilya menatap layar laptop. Jarinya tak lagi bergerak. Ada yang membuatnya penasaran. Mengapa mata Hilya mengerjap cepat?***Menulis. Yang ada di benak Hilya hanyalah blognya yang tidak diketahui orang lain itu miliknya. Ia merasa itulah yang paling aman, karena ia memakai nama pena. Baru saja dasbor terbuka, ribuan notifikasi langsung masuk. Jemarinya mengklik notifikasi itu. [Hei, munafik. Tulisan saja bagus, tapi hatinya busuk][aku tak menyangka, kamu serumah dgn artis itu. padahal kamu mengatakan pentingnya menjaga aurat dan pergaulan] [padahal aku ngefans sekali sama kamu. Hiks][Jadi kamu Hilya, narasumber waktu seminar di kampus, pantesan rasa pernah mengenal gaya tulisan ini]“Astaghfirullah, mengapa membuka ini?! Sesaat Hilya terkejut dengan yang Ryu tiba-tiba muncul. Ryu merebut laptop, melipat,  menjauhkannya, lalu berbalik ke arahnya. Ryu memegang kedua tangannya. “Maaf, tidak seharusnya aku meninggalkanmu.”Sayup-sayup Ryu mendengarnya ponselnya berbunyi. Sesaat ia berusaha mengingat di mana ia meninggalkan ponselnya. “Aku tinggal sebentar ya. Nanti aku balik lagi,” ucapnya lalu keluar kamar. Setengah berlari ia menuruni anak tangga, mengambil ponsel lalu berbalik lagi sambil meletakkan ke telinganya.“Ya, Fad!” “Bukalah link yang kukirim.”Panggilan langsung dimatikan. Ryu mengernyit. Ia naik ke atas  sambil menatap ponselnya. Sesaat ia menghela napas yang mulai memburu, mengingatkannya bagaimana keseharian Hilya yang harus bolak balik memenuhi perintahnya. Langkahnya terhenti ketika link yang dikirim Fadli mengarah ke sebuah video. “Bisa Mbak Talita jelaskan sebenarnya apa yang terjadi?” tanya salah seorang wartawan ke Talita yang sedang mengadakan konferensi pers. Talita mengusap matanya yang basah. Ryu bisa melihat jelas, semua itu hanyalah akting. “Aku juga tidak tahu, ternyata mereka menikamku di  belakang.”Ryu tersentak. “Aku sangat mempercayai mereka dan menganggap asistennya seperti saudaraku sendiri, tapi ini yang dilakukannya padaku. Hiks.”Ryu merasakan gemeretak giginya. Amarahnya sampai di ubun-ubun. “Aku tidak akan memaafkanmu, Talita!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan