
Aku bingung nyebut ini seri atau apa, dianggap cerpen kok ya nggak pendek, dianggap cerbung kok yang kayak nggak ada end-nya. Jadi anggap aja ini ‘makanan pendamping’ ya, aku menulis ini karena gemeees aja sama Lumi dan pengin supaya onty tahu isi hati dan pandangan Lumi yang simple, polos, tapi kadang absurd dan random.
Lumi megal-megol ndut-ndutan di panggung loh ini. Nggak gratis yaaaa, aku minta dibayar pake komen, titik😡😡😡😡
Katanya, Lumi itu pintar, cantik lagi, Ibuk yang bilang. Ya walau pun tubuhnya memang terbilang montok dibanding teman-temannya, tapi kata Ibuk dan Bapak tidak apa-apa, Lumi sehat kok, karena dia tinggi jadi kelihatannya memang lebih besar. Banyak yang gemas deh pokoknya, Lumi sering sekali diucel-ucel pipinya, lalu tangannya dipencet-pencet dagingnya, sedangkan dia cuma bisa menyengir-nyengir.
"Cantiknyaaa, Adik Lumi."
"Ihihik!" ya begini lah contohmya.
Ah, dulu pernah dia dikatai bocah kembar yang katanya anak temannya Bapak, Lumi jelek katanya, gendut, jelek, tubuhnya besar bikin sesak, dia sampai menangis, mengadu pada Ibuk.
Sebenarnya sudah biasa kok Lumi dibilang gemuk, tapi kan orang-orang bilangnya karena gemas, sedangkan anak dua itu menghina. Apalagi sebenarnya dari awal dia tidak suka bagaimana anak dua itu yang sok seperti princess pengin dijemput lalu ke rumahnya Bapak, memangnya mereka siapa? Dan bukannya baik-baik sama Lumi ajak berteman, tapi malah mengejek, dicubit juga pahanya Lumi sampai ada bekas biru-biru. Lumi marah sekali, dia sampai bilang pada Bapak kalau tidak mau ada anak dua itu yang main di tempatnya Bapak lagi sambil menangis. Biar saja, biar kapok.
Kan Bapak itu bapaknya Lumi, kok mereka sok-sokan sekali seperti anaknya Bapak. Sok-sokan jadi princess mengejek Lumi. Padahal kata Ibuk dan kata orang banyak Lumi itu lucu, gemesin, cantik.
Lumi tidak suka sama anak dua itu. Dia lebih suka sama Jeje. Ah, biar nanti Lumi minta Ibuk buat mengirimkan video dirinya yang menari ke kakaknya Jeje, jadi biar bisa dilihat sama Jeje.
Tapi kok bisa ya Jeje punya sekolah sendiri? Katanya buya nya Jeje punya sekolah sendiri. Kenapa Bapak tidak bikin sekolah juga seperti buya nya Jeje? Biar enak andai Lumi malas kan tidak bakal kena marah.
"Kata Ibuk, Ibuk suruh bilang ke kakak yang dandanin kalau lipiknya nggak boleh merah-merah."
Lumi terheran karena bukannya mendapat persetujuan, dia malah mendengar tawa dari kakak yang meriasnya.
Pipinya dicubit-cubit lagi.
"Jadi yang pink aja ya?"
"He'em."
"Ya udah, merem lagi, Kakak pakein eyeshadow."
Lumina menurut.
"Aku di rumah juga punya banyak alat mekap."
"Iya?"
"He'em, dibeliin sama Ibuk katanya yang boleh dipakai sama anak-anak tapi nggak boleh dipakai kalau sekolah, jadi cuma dipakai main-main."
"Emmm ... gitu. Suka dandan juga dong?"
"Iya. Suka lihat Ibuk pas dandan terus diajarin Ibuk. Tapi aidow nya suka yang warna pink, terus yang pipi oren, kalau Ibuk sukanya yang warna cokelat-cokelat. Temen-temen juga suka aku dandanin terus kakakku juga suka. Pengiiiiin besok pas besar bisa jadi tukang dandanin tapi pengin juga jadi dokter kayak Bapak."
"Bapaknya dokter ya?"
"He'e! Kerjanya jauuuuh! Tapi bapakku baru pulang dari kerja jauh, pernah kerja jauh lama banget dari aku kecil sampai pas sekarang baru pulang."
"Seneng dong bisa sama Bapak lagi?"
"He'e."
Setelah merasa tenggorokan mulai kering dan pahit karena terlalu banyak bicara, Lumi memilih diam dan anteng. Tapi masih senyum-senyum kok, apalagi ketika dia menengok ke jendela dan melihat Ibuk.
Ibuk Juli itu cantik sekali ya, kata orang-orang Lumi itu mirip dengan Ibuk, jadi apa nanti kalau besar seperti Ibuk juga yang cantik dan tinggi?
"Berat nggak kondenya, Sayang?"
Lumi menggeleng-geleng, walau sebenarnya agak kurang nyaman tapi dia menahannya saja, Lumi kan pengin cantik juga.
"Udah, Kakak?"
"Udah, cuantik!"
"Ihik! Boleh keluar?"
"Boleh, Kakak juga mau ganti rias yang lain."
"Makasiiiih!"
Setelah puas dengan penampilannya, Lumi bergegas keluar, beruntung mamanya teman-teman memberikan Lumi jalan, mereka juga pada memuji dia, Lumi imut katanya, badannya gemol bikin gemas. Ah, tidak sabar sekali memamerkannya pada Ibuk, atau juga Bapak kalau sudah datang.
Bapak sudah janji kalau akan datang, tadi pagi-pagi sekali pas baru bangun tidur Bapak juga sudah menelepon katanya akan berangkat bersama kakak dua.
Mata Lumi berkelana, senyumnya mengembang dan berubah jadi kikikan ketika melihat Ibuk dan Bapak yang berdiri dua-duaan di bawah sebuah pohon. Mereka kelihatan mengobrol, terlihat Bapak yang tertawa-tawa sedangkan Ibuk malah manyun seperti Lumi yang ngambek minta dibelikan boba lagi malamnya setelah siangnya sudah minum.
Lumi berjalan pelan, tapi karena tidak sabar lalu juga Ibuk dan Bapak sudah menyadari keberadaannya yang sedang cantik ini, Lumi memutuskan untuk berlari saja.
"Hak!"
"Lho lho!"
"Lhooo! Anak siapa itu jatuh?"
Tapi tidak, harusnya Lumi tidak berlari! Kan sekarang dia jatuh, tidak sakit sih, tapi kan kaget.
Lalu juga .... sobek, bajunya yang di ketiak.
"Haaaaa...."
***
"Kok lamaaaaaaa Ibuk sama Bapak, mau tampil kok," Lumi mengeluh waktu tubuhnya sudah berpindah dari gendongan Kak Jalila ke Kakak Barak.
Mungkin mereka merasa berat tapi tidak peduli, Lumi kan sedang lemas, malas berdiri atau duduk, dia ingin digendong.
Tadi Lumi menangis, lalu dirias lagi sedangkan Ibuk dan Bapak akan memperbaiki kostumnya. Tapi kok lama sekali? Kelompoknya Yesa sudah tampil kok, sebentar lagi bagiannya Lumi.
"Udah di jalan, Sayaaaaang," Kakak Jalila menangkan, keringat Lumi ditotol-totol dengan tisu sedangkan Kakak Barak mengayun-ayunkan tubuhnya.
"Jangan nangis, luntur lagi nanti bedakmu," kata Kakak Barak datar, alisnya yang tebal seperti milik Bapak itu menukik, membuat Lumi sedikit takut tapi tetap saja masih ngalem, kepalanya dia sandarkan manja ke bahunya Kakak Barak, sok lemas, sok sedih.
“Segede ini, minta digendong terus!”
Masa bodoh.
Kakak Barak itu kadang serem, wajahnya ada galak-galaknya seperti Bapak tapi tidak bohongan. Kalau Bapak kan cuma orangnya aja yang kelihatan galak tapi aslinya tidak, kalau Kakak Barak ini galaknya tidak bohongan.
Tapi Lumi ya masa bodoh, dia tetap pengin digendong lalu kalau di rumah Bapak minta diambilkan ini itu sama Kakak Barak, minta dibelikan ini itu, pokoknya dia suka sekali nempel dengan Kakak Barak walau pun kadang mendapat decakan, pelototan, atau gerutuan. Lagipula Kakak Barak tidak akan marah-marah sama Lumi kan dia kakaknya Lumi, sama-sama anaknya Bapak masa mau jahatin Lumi?
"Ini kepala aku gatel yang ada rambut palsunya ini di dalemnya," Lumi merengek, dia menggoyang-goyangkan konde yang menempel di rambutnya.
"Jangan keras-keras nanti copot," Kak Jalila memperingati, dia menarik tangan Lumi dan mencoba menggerakkan konde itu dengan pelan-pelan untuk meredakan rasa gatal dari baliknya.
"Kakaaaak...."
"Hm?"
"Ibuk sama Bapak kan masih di jalan, suruh beli boba?"
Lumi tidak tahu kenapa kakak dua itu saling bertatapan aneh lalu Kakak Jalila tertawa.
"Mau boba terus telat tampil apa bobanya nanti aja pas pulang?"
Lumi cemberut, pipinya yang diberi perona merah itu mengembung. Dia menggoyang-goyangkan tubuhnya yang berada dalam gendongan Kakak Barak.
"Pengin kok."
"Nanti aja—tuh, Ibuk udah sampai."
Lumi mengikuti arah tatapan Kakak Jalila dan benar, Bapak berjalan lebih cepat sambil membawa pakaian Lumi sedangkan Ibuk tertinggal di belakangnya.
Melihat itu Lumi minta diturunkan, dia ingin berjinjak-jinjak tapi takut jatuh lagi.
"Bapaaaaak!"
"Ayo ganti baju, minta digantiin Kakak di dalem."
Bapak menyerahkan baju itu pada Kak Jalila, mereka masuk kembali ke ruang rias yang masih ramai. Ada beberapa yang menanyai Lumi dan dibantu jawab oleh Kak Jalila.
"Kamu mau nari apa sih?"
"Hng?"
"Nari apa lagunya?"
"Suwe Ora Jamu," kata Lumi sambil mengangkat tangan gemuknya untuk melesakkan baju. "Nanti pake gentong itu digendong."
Lumi bingung kenapa Kak Jalila malah terbahak-bahak.
"Gentong?"
"He'e gentong digendong jadi nanti kayak jual jamu."
"Wakul, Sayang. Yang dari anyaman bambu itu kan?"
"Gentong namanya!"
"Wakul."
"Aku suka bilangnya gentong kok."
"Ya udah terserah. Sesek nggak bajunya?"
Lumi menggeleng-geleng. "Ayok keluar tunggu tampil!"
***
Lumi deg-degan sekali, tiba-tiba perutnya terasa mulas ingin buang air tapi dia tidak berani bilang ke Bu Guru, mau bilang sama Ibuk tapi Ibuk sudah duduk-duduk bersama yang lain.
"Vanya!"
"Vanya!"
Lumi cemberut ketika dia sudah berbisik-bisik sekaligus menoel-noel Vanya tapi tidak digubris. Mereka sudah berbaris menunggu naik ke panggung.
"Vanya dipanggil Lumi," Shanum teman Lumi ikut bantu menoel, dan akhirnya Vanya menoleh.
"Pa?"
"Aku mules pengin e'ek. Kamu iya nggak? Kamu iya nggak Shanum?"
Shanum menggeleng, sedangkan Vanya menatap Lumi dengan wajahnya yang masam.
"Ditahan lah ini kan mau tampil, kamu ini gitu terus mau eek mau pipis laper, kooook! Ditahan lah."
"Hush! Vanya jangan berisik."
"Lumi! Dia loh pengin e'ek. Aku suruh tahan lah!"
Alhasil Lumi cuma bisa menunduk malu, jari-jari gemuknya dia tumpu ke pundak Shanum sedangkan tubuhnya bergoyang-goyang pelan supaya tidak deg-degan amat.
Ibuk sama Bapak bilang katanya Lumi santai saja, tidak usah gugup, anggap saja tidak ada orang dan yang melihat cuma Ibuk, Bapak, Nenek, kakak dua, itu saja. Tapi kan tidak bisa, orang ada kelihatan orang banyak gitu kok.
Terus gimana kalau nanti Lumi salah gerakan? Malu lah, mana badannya besar, tinggi, pasti langsung kelihatan.
"Hiiiih!" Lumi memperingati temannya di belakang yang mendorong-dorong gentongnya. Mereka sudah menggendong gentong, diikat pakai gendongan bunga-bunga.
Omong-omong kata Kak Jalila itu namanya wakul, tapi Lumi lebih suka bilang gentong.
Jadi nanti itu Lumi dan teman-teman menari pakai ini lalu nanti di pertengahan dilepas, lalu balik digendong lagi tapi tidak usah pakai kain. Nanti ada menyanyi juga sambil berlenggok-lenggok, ada tujuh anak yang menari seperti Lumi.
"Santai aja ya, rileks. Nggak usah tegang. Semangat."
Yang lain menyahuti ucapan Bu Guru dengan semangat tapi tidak dengan Lumi, dia malah makin mulas.
Matanya berkelana, dia mencari-cari Ibuk dan akhirnya menemukannya di barisan ketiga bersama yang lain. Sayang sekali karena Ibuk dan Bapak malah mengobrol sendiri, lalu yang lain masih fokus melihat pentas drama dari kelas lain.
Alhasil pipi Lumi mengembang kesal.
Kakinya semakin dingin ketika anak-anak yang mementaskan drama petani-petani itu sudah turun dari panggung yang itu berarti sekarang gilirannya Lumi dan teman-teman.
Dada Lumi bergemuruh lagi, dia mencari-cari Ibuk dan Bapak lagi, mereka akhirnya menatap Lumi, sama-sama tersenyum, Ibuk malah sudah tepuk tangan duluan.
Ya ampun, Lumi deg-degan sekali.
"Shanum!"
"Shanum!"
"Hush!"
Lumi melirik takut-takut ke arah penonton. Kemarin saja tidak sabar sekali dia, sekarang malah menciut bengini. Dia itu aslinya pemalu, pun ditambah Lumi juga takut salah gerakan, terus gimana kalau bajunya robek lagi? Ini jariknya agak sesak pula.
"Jadi Ibu, Bapak, anak-anak memilih pertunjukkan berdasar passion mereka. Ada yang gemar menyanyi, bermain peran, membaca puisi, memainkan alat musik, lalu sekarang kita akan kembali melihat pergelaran tari dari anak-anak kita."
Pembawa acara sudah menyambut mereka sedangkan keringat Lumi semakin mengucur.
"Kami perkenalkan anak-anak kami dari kelas jasmine dengan Miss Irma sebagai wali pembimbing. Adik Kenzi, Melya, Vanya, Shanum, Lumina, Isabella, dan Arsi."
Namanya sudah disebutkan, teman-temannya yang di depan sudah mulai berjalan menaiki panggung dan Lumi mengikutinya dengan tegang. Dengan lirikan kecil dia bisa tahu bagaimana Ibuk, Bapak, Nenek lalu kakak dua, dan juga Wawak Marina bertepuk tangan menyambut mereka. Ibuk juga entah bilang apa dari gerakan bibirnya.
Lumi terdiam bingung ketika musik belum juga dimainkan, baru ketika pahanya ditepuk oleh Vanya, Lumi sadar kalau posisinya keliru, dia harus ya di sisi kanan barisan ketiga.
Lumi ingin menangis, tapi melihat Bu Guru yang memberinya arahan dengan sabar dan penuh senyum, rasa takutnya sedikit berkurang.
Musik sudah diputar dan Lumi mulai menggerakkan tubuhnya, bergoyang ke kiri, kanan, depan, belakang. Sesekali dia melihat Ibuk dan Bapak, melihat mereka tersenyum lebar Lumi jadi ikut tersenyum juga.
Lumi dan teman-teman menari dengan latar lagu Suwe Ora Jamu. Kata Bu Guru, lagu itu berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, kota kelahirannya Bapak, dan penciptanya adalah R.C Hardjosubroto.
Sampai pada gerakan mereka melepaskan gentong, yang awalnya Lumi agak kesulitan tapi untungnya bisa terlepas juga. Gentong itu ditaruh di belakang dan mereka mulai melakukan gerakan melingkar sambil menari-nari, kakinya tidak pakai sepatu jadi bisa leluasa bergerak. Setelahnya mereka mengambil gentong itu lagi, jadi menari sambil membawa gentongnya lagi.
Lumi lihat Bapak terus saja tertawa, Kakak Barak juga yang biasanya judes itu juga tertawa-tawa, lalu Ibuk dan Kak Jalila merekam dengan hape.
Tiba Lumi melakukan gerakan duduk, tangannya mengayun-ayun, sekarang posisinya dia yang di tengah setelah tadi di pinggir dan di belakang terus.
Rasanya kayak semua orang sedang melihat Lumi padahal pasti tidak lah, masa ibunya teman-teman juga lihat Lumi aja kan tidak mungkin. Tapi Lumi berusaha supaya tetap senyum dan tidak salah gerakan.
"Suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gelo~"
Setelah lirik itu dan diikuti musik penutupan, akhirnya tarian Lumi sudah selesai.
Akhirnya!
Lumi dan teman-teman berbaris dan mengucapkan terima kasih sebelum turun dari panggung.
Ya begitu lah, mereka mendapat apresiasi dari para pembimbing, minum, lalu Lumi juga masih sempat-sempatnya menggigit lemper padahal tadi mengeluh mulas ingin buang air.
"Katanya mau e'ek?" Vanya yang ada di sebelah Lumi bertanya, dijawab gelengan.
"Nggak jadi udah hilang. Ayo ikut nonton, aku sama Ibuk kamu sama mamah mu. Ayok!"
"Boleh?"
"Tadi ada yang ikut nonton gitu kok. Ayok!"
"Bilang Bu Guru dulu."
"Kamu yang bilang."
"Kamu."
"Hiiih, ayok berdua."
Lumi dan Vanya berjalan bergandengan menemui Miss Irmawati, meminta izin ingin bersama orangtuanya di bangku penonton.
"Boleh, Miss?"
"Boleh tapi bajunya jangan ganti dulu ya, nanti kalau pentasnya selesai, kita foto bersama."
Lumi dan Vanya melangkah kecil-kecil karena takut jatuh seperti tadi. Sekarang yang tampil adalah kelompoknya Yesa, malas sekali Lumi melihat Yesa tapi dia ingin bertemu Ibuk dan Bapak.
"Kamu bentar lagi nggak sekolah di sini sama aku."
Lumi menoleh pada Vanya jadi wajah yang sama-sama bulat itu bertatapan.
"Iya, ibukku udah bilang sama sekolah."
"Habis ini aku main sama Riyu aja, nggak ada kamu."
"Aku malah sendirian di rumah bapakku nggak ada temen buat main-main. Tapi Ibuk bilang nanti aku sama Ibuk sama Bapak sering ke sini jadi pas aku ke sini kita main-main lagi."
"Kenapa kok kamu yang ke sana kok nggak di sini aja kan ada rumah sakit bapak kamu bisa jadi dokter di rumah sakit itu."
"Kata ibukku nggak bisa kayak gitu."
Lumi sedih sebenarnya, dia juga takut kalau teman-temannya di sekolah baru itu nakal. Tidak ada Vanya, biasanya dia apa-apa kan sama Vanya, Lumi belum berani apa-apa sendiri kalau tidak ada teman. Tapi Lumi juga ingin bersama Ibuk dan Bapak di Surabaya, jalannya besar, ada banyak mall, lalu rumhnya Bapak juga bagus, luas, ada kolam renangnya lagi.
Terus yang paling penting Lumi bisa bersama Ibuk dan Bapak setiap hati, tidak berpisah-pisah kayak dulu.
Bakal menyenangkan sekali kan?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
