BAB 01-05: NICHOLASTEIN 02

18
1
Deskripsi

Berisi BAB 01 sampai BAB 05

***

BAB 01

MENJAGA ADIK

 

Nikki dan Nikko duduk bersila di antara meja belajar mini. Di atas meja tersebut sudah tersaji dua cangkir berisi teh. Kegiatan rutin yang dilakukan Nikki saat di rumah adalah bermain layaknya seorang bangsawan.

"Kak Nikko jadi papa," kata Nikki sambil meneguk teh hangatnya.

"Kenapa gak jadi kakak saja?" tanya Nikko sambil mengamati rupa tehnya yang terlalu gelap. "Aku kakakmu."

"Ini main rumah-rumahan! Terserah Nikki, dong."

 

BAB 01

MENJAGA ADIK

 

Nikki dan Nikko duduk bersila di antara meja belajar mini. Di atas meja tersebut sudah tersaji dua cangkir berisi teh. Kegiatan rutin yang dilakukan Nikki saat di rumah adalah bermain layaknya seorang bangsawan.

"Kak Nikko jadi papa," kata Nikki sambil meneguk teh hangatnya.

"Kenapa gak jadi kakak saja?" tanya Nikko sambil mengamati rupa tehnya yang terlalu gelap. "Aku kakakmu."

"Ini main rumah-rumahan! Terserah Nikki, dong."

Nikko mulai meminum teh miliknya. "Bukankah kamu tadi bilang ini cuma minum teh? Apa setiap hari harus minum teh? Apa Klaus mau melakukan ini denganmu? Mengapa?"

Nikki jadi cemberut. Dia tidak menyangka tingkah cerewet Nikko melebihi dirinya. Sambil mengerutkan dahi, ia protes, "Nikki masih SD, kakak sudah SMA! Harusnya yang banyak tanya itu Nikki! Jangan cerewet, nanti Nikki hajar loh."

"Kamu jadi suka kata hajar sejak nonton kartun, jangan nonton lagi."

"Tinggal iya'in kenapa sih? Banyak tanya."

"Oke, jadi aku harus apa? tehnya sudah kuminum."

"Kan sudah kubilang, Nikki jadi anak, kak Nikko jadi papa."

"Kenapa gak kakak saja, aku lebih suka jadi kakakmu."

"Ini pasti neraka." Nikki kesal. Dia merasa seperti berbicara dengan robot. Kakaknya punya kebiasaan mengulang pertanyaan yang sama. Bahkan para ayahnya yang super serius saja bisa diajak bermain rumah-rumahan. "Yang kreatif dong, masa tiap hari jadi kakak Nikki! Nikki bosan jadi adik kakak!"

"Papa itu ngapain? Melarangmu pacaran? Atau menyuruhmu kerja rodi?" tanya Nikko membayangkan papa ideal. "Apa yang harus kulakukan?"

Dia benar-benar tak tahu gambaran Papa yang baik dan benar. Dua figur papa yang ia tahu sangat parah. Papa Hannah terlalu posesif, Om Edwin, malah terlalu egois.

Sementara itu, ketiga ayah kloningnya seperti terbuat dari batu yang diberi nyawa, tak peka sedikitpun. Lebih jauh lagi, ayah ketiga, ayah yang menemaninya sejak dia bangkit dengan tubuh baru tak pernah mengajarinya bicara.

Intinya semua papa di sekitarnya tidak bersikap sebagaimana orangtua.

"Kalau Nikki mau sesuatu, langsung turuti, belikan, lalu manjain Nikki, terus kalau Nikki lelah, gendong, dan ajak jalan-jalan setelah ini, Seperti Ayah Kraz, dia selalu senang mengajak Nikki jalan-jalan!" ungkap Nikki dengan mata berbinar penuh diharap diperlakukan layaknya seorang princess.

Nikko sama sekali tak membayangkan seorang ayah yang menggendong anaknya. Setelah mendengar penjelasan Nikki, dia malah kebayang dengan tetangganya yang sering mengajak anjingnya jalan-jalan. "Oh, begitu."

"Paham'kan? Jadi kita akan ke taman belakang, dan papa harus membuatkan Nikki tiara dari bunga-bunga. Semua ayah itu memperlakukan putrinya seperti seorang putri."

"Kamu memanggilku Papa?"

"Iyalah, masa Kakek! Kesel deh. Tanya lagi, Nikki beneran hajar, ya." Nikki menunjukkan tangan kanan yang sudah mengepal. Sedangkan tangan kirinya meremas pinggiran meja hingga remuk.

Nikko masih ingin mengajukan pertanyaan. "Bagaimana cara membuat tiara bunga-bunga? Bunga siapa yang diambil? Kamu mau aku nyuri?"

"Selama ini, Nikki ngira kalau kak Nila adalah manusia robot serius gak punya hati paling menyebalkan di dunia, tapi, Kak Nikko, selamat, kakak mengalahkan rekornya."

"Nila memang menyebalkan, jangan samakan aku dengannya. Aku baik padamu, coba saja, kamu ajak Nila minum teh, dia pasti akan memasukkan teh sekalian cangkirnya ke mulutmu. Dan, jangan berkata 'menghajar' pada seseorang, itu jahat."

"Jangan ceramah! Nikki bukan anak-anak!" 

“Kamu kan masih SD, bukan anak-anak? Terus apa? Nenek?”

Nikki membuang muka dengan kesal. Ia sendiri juga paham kalau memang kakak perempuannya malah tak bisa diajak main. Satu-satunya saudara yang paling baik adalah Klaus saja.

Tak mau mendengar teriakan kemarahan Nikki yang jelas akan membuat telinag orang sekomplek berdarah, Nikko mulai menenangkan, "maaf, maaf. Aku mau melakukan apapun untukmu."

Nikki tersenyum lagi. Dia mudah senang kalau dituruti.

Obrolan mereka terjeda saat ada suara memanggil dari luar, yang makin dekat dan dekat. Hannah. Gadis ini sengaja datang ke rumah Om Edwin dengan membawakan dua mangkuk puding buatannya.

Senakal apapun Nikki, dia berusaha untuk mengambil hatinya.

Dia membuka pintu, lalu memamerkan senyum pasta gigi yang penuh kebahagiaan.

"Selamat pagi, Double Nik!" sapanya.

"Hannah~" Nikko ikut tersenyum pula. Dia menggeser tempat duduknya.

"Mama! Mama terlambat! Duduklah di samping Papa, waktunya makan bersama!" Akting Nikki bertingkah layaknya anak manja sudah pantas diberikan piala oscar. Dia benar-benar membuat Hannah melongo untuk beberapa saat.

Hannah duduk di sebelah Nikko, masih bingung. Dia menaruh dua puding itu di atas meja, lalu menatap sang kekasih. "Mama?"

Nikko menjelaskan, "kami bermain rumah-rumahan, aku gak tahu apa fungsinya. Kukira semua anak suka bermain mandi bola—dia gak mau, dia hanya mau bermain ini." Dia sendiri juga masih menyukai permainan dimana dia tenggelam di dalam ribuan bola plastik warna-warni. Itu lebih menyenangkan ketimbang pura-pura jadi papa.

"Saat aku berusia sepuluh tahun, aku sudah les tari, dan adikmu masih main rumah-rumahan?" bisik Hannah di telinga Nikko.

Nikki memicingkan mata. "Nikki bisa mendengar Kakak loh, memangnya kenapa kalo main ini? Seumur hidup Nikki menghabiskan waktu di dalam penjara baja! Nikki bahkan baru tahu Barbie itu perempuan!"

"Baiklah, maaf—maaf, jangan begitu, dong," kata Hannah meringis penuh sesal, lalu bertanya dengan lembut, "jadi kita ngapain, Dik?"

"Habis makan puding ini, ayo jalan-jalan," ajak Nikki mulai menyendok puding hijau lumut itu, lalu memakannya. "Lumayan, manis, kukira rasanya akan seperti air comberan yang dibekukan."

Hannah melototinya. "Kak Hannah'kan sudah bilang, kalau dibuatin makanan sama seseorang itu bilangnya makasih, jangan dikatain. Untung Kak Hannah ini baik hati seperti bidadari, jadi gak mungkin marah."

"Nikki gak bisa bohong, ini kan gak enak, tapi gak buruk juga, jadi Nikki sebut lumayan. Lagipula Kak Hannah itu bukan bidadari, tapi Medusa~"

Hannah malas mendebat.

Nikko mencoba puding itu. "Enak." Memang tidak ada kosa kata lagi selain itu kalau mencoba makanan buatan sang kekasih. "Makasih, Han. Kamu memang bidadari."

"Tapi kalau makin dikunyah—rasanya terlalu manis ya, kalau saja gigi Nikki normal, pasti sudah lepas semua karena terlalu manis." Nikki masih ingin menyindir rasa puding itu. "Untung juga Kak Nikko bukan orang biasa, dia pasti mati kena diabetes kalau lama-lama pacaran dengan Kak Hannah."

Ketimbang menanggapi sindiran itu, Hannah protes pada Nikko, "kapan adikmu ini akan pulang, Nik?"

"Ini main rumah-rumahan! Kok panggilnya Nik, sih? Ini ceritanya'kan kalian sudah menikah, pakai panggilan Sayang, lagian ya—selama sebulan disini, Nikki gak pernah sekalipun melihat kalian seperti pasangan." Nikki menatap wajah Nikko dan Hannah bergantian. "Kalian ini benar-benar pacaran? bahkan ayam saja bisa romantis."

"Anak sepuluh tahun gak tahu apa-apa." Hannah memalingkan wajah dengan sebal sekaligus malu. "Jangan ngungkit masalah pacaran kakakmu."

"Apa kalian pernah ciuman?" pertanyaan Nikki ini mengalirkan sengatan luar biasa di dalam diri pasangan itu. Melihat reaksi mereka yang tegang, akhirnya gadis cilik ini paham. “Jangankan ciuman, kalian pasti gak punya panggilan romantis.”

Memang. Ciuman. Jangankan melakukannya, memikirkannya saja tidak pernah. Selama ini Hannah dan Nikko hanya senang berjalan bersama, mengobrol dan kegiatan lainnya. Meskipun hubungan mereka begitu dekat dan manis, tapi memang ada yang kurang.

"Dengar ya, Adik Kecil, kita itu gak boleh ciuman kalau belum menikah, jangan kebanyakan nonton televisi," kata Hannah menasehati gadis cilik itu dengan wajah bersemu merah, menahan diri agar tak seperti orang salah tingkah.

"Nikki kira jika pasangan gak pernah nyium artinya gak cinta."

"Gak benar! Itu sesat!"

Nikko menoleh cepat pada Hannah. Walaupun sadar diri kalau sedang malu, tapi perkataan Nikki memang ada benarnya. Ia menginginkan ciuman. "Hannah?"

"Gak!" Hannah langsung menolak sebelum diminta."Ucapan adikmu itu sesat, Nik, dia terus saja mengerjai kita, kamu lupa—waktu itu mengatakan kalau gak diberi coklat, artinya gak cinta? Yang benar aja."

Nikki tertawa melihat mereka berselisih paham. "Kalian gak romantis."

Hannah memasang wajah tak peduli, tapi Nikko memikirkan itu terlalu serius. Selama ini, hubungannya dengan Hannah memang terkesan selalu datar, dia ingin mulai lebih memahami makna "berpacaran" yang sesungguhnya.

"Han, ayo kita pacaran," ajak Nikko dengan wajah mulai kemerahan.

Hannah menatapnya kesal. "Kita sudah pacaran."

"Maksudku—maksudku—" Nikko mendehem seraya memainkan telunjuknya sendiri. "Kita gak pernah—"

Nikki menyela ucapan Nikko yang tersendat-sendat itu, "oh kalian mau ciuman! Silakan! Wah, pasangan aneh akhirnya mau berciuman." Niat hati ingin bersiul, tapi tak bisa, dia mengatakan, "ciyuuuu ciyuuuu."

"Aku gak yakin adikmu ini anak manusia berusia sepuluh tahun, Nik, maaf, aku harus jujur, dia iblis!" bisik Hannah pada kekasihnya. "Dia lebih parah dari kakak kamu."

Karena momennya diganggu sang adik, Nikko memalingkan wajah, tak jadi mengutarakan keinginan tadi.

"Ah, mendingan aku belanja ketimbang darah tinggi gara-gara adikmu," gumam Hannah sembari berdiri. Ia hanya ingin melarikan diri agar tak digoda Nikki lebih jauh lagi. Kini bayangan berciuman dengan Nikko malah bertebaran di kepalanya.

Nikki mengekor. "Nikki ikut!"

"Gak lanjut aja rumah-rumahannya sama kakakmu itu?" tanya Hannah ingin marah tapi tak bisa.

"Mendingan jalan-jalan bersama kalian!" ajak Nikki menarik lengan Nikko agar ikut bersama mereka, "Kak Nikko ini yang peka dong, kalau pacar mau belanja, itu bantuin!"

Anak ini memang terkadang sangat aktif, tapi ucapannya juga terkadang sangat jahat dan pedas. Dia terbiasa berkata keras saat di rumah, keluarganya memang mengandalkan otot saat ingin perhatian.

"Aku harus sabar," ucap Hannah lirih seraya mengelus dada. "calon adik ipar, adik ipar, adik ipar."

Nikko berjalan di sebelahnya. Dengan wajah agak tertunduk, dia berkata lembut, "akan kubantu belanja, Sayang."

Seketika Hannah kaget, serasa jatuh dari kasur awannya.

***

"Jadi, kita akan nonton lumba-lumba'kan?" tanya Nikki masih bergelantungan di tangan Nikko. "Kita sudah membuat janji loh."

Nikko sendiri masih menatap Hannah. Dia bertanya-tanya apakah panggilan "sayang" tadi agak menyebalkan? Hannah tak bicara sejak tadi, bahkan menoleh.

Tentu saja Hannah malu. Ketimbang melihat Nikko, dia fokus memilih sayuran untuk persediaan di rumah. Dari mulai sawi, jagung, hingga daun bawang dimasukkan ke dalam troli.

"Dengar, dong!" Nikki merangkak naik hingga ke bahu Nikko, lalu mengetuk kening kakaknya berkali-kali. "Kita sudah membuat agenda'kan? Liburan nanti— kita, Kak Klaus, Kak Nila akan mengunjungi pertunjukan lumba-lumba."

"Ya, terserah." Nikko sedikit menelengkan kepala karena jari Nikki sudah seperti bor. "Tolong jari kamu, Nikki, jauhkan dari pelipisku, ya … Kamu mau melubangi mataku?"

Nikki makin kurang ajar. Dia mulai melingkarkan kaki di sekeliling leher Nikko, lalu menjadikan kepala kakaknya itu untuk bertopang dagu.

Tubuh gadis sepuluh tahun memang sudah cukup besar. Akan tetapi, Nikko terbiasa dililit tubuh Nikki dalam berbagai gaya. Sudah sebulanan adiknya itu meliuk-liuk di tubuhnya bak ular.

Beberapa pengunjung yang melihat tingkah mereka sedikit keheranan.

Nikko masih memandang Hannah. "Kamu ikut liburan'kan? Dari kemarin kamu gak menjawabnya."

Hannah menggeleng. "Gak, aku ingin tidur saja. Liburan semester lebih baik dimanfaatkan untuk tidur. Kalian saja yang liburan, lagipula dari dulu aku gak suka liburan— bikin capek."

Jawaban itu langsung menusuk hati Nikko. Padahal selama ini dia sangat ingin menonton atraksi lumba-lumba.

Nikki menyindir, "pantesan di sekolah Kak Hannah terkenal kuper, emang jarang bersosialisasi. Dasar membosankan."

"Eh, adik kecil, kakak ini kelas tiga, banyak tugas, liburan hanya akan membuat tubuh makin lelah. Nanti aja kalau udah lulus," ucap Hannah mencoba tenang. "Lagipula kakak ini gak suka berkeliaran di pulau pribadi, lalu menjelajahi mansion tua, lalu menonton lumba-lumba."

Nikko yang patah hati langsung menghadap ke rak sayuran, lalu menyentuh daun bawang. Dia tak pernah tahu kalau menonton lumba-lumba itu hanya untuk anak-anak. Padahal dia berpikir bisa mengajak Hannah menontonya.

"Padahal Kak Nikko ingin melihatnya—" kata Nikki memainkan rambut kakaknya. "Dia bilang rencana kencanmu seperti anak-anak, Kak."

Hannah kaget. "Kencan?"

"Gak," dusta Nikko langsung menggeleng. "Kalau kamu gak suka liburan, gak apa-apa, aku juga gak akan ikut— aku akan di rumah saja, lalu belajar, lalu belajar, belajar, belajar sampai botak."

"Eh—" Hannah paham kalau itu hanya kebohongan. "Gak perlu ngomong belajar sampai empat kali."

"Aku gak peduli walaupun lumba-lumba bisa melompat dari atas air. Aku gak ingin menontonnya. Jika Hannah tak suka, maka aku tak suka."

Hannah paham kalau Nikko tak bermaksud menekannya. Dia tahu pacarnya tak bisa menyembunyikan niat dengan baik, alias tak bisa berbohong. Setelah menghela napas panjang, dia pun mengangguk.

"Oke, oke, ayo kita liburan, aku suka lumba-lumba kok," katanya.

Nikko terbelalak senang, tapi masih bersikap tak mau diajak. "Tapi Han, kalau kamu mau kita belajar sampai muntah, aku setuju saja kok, kita gak perlu liburan. Liburan hanya untuk orang lemah."

"Kata-katamu itu kadang seperti sindirian. Gak, kita akan liburan."

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, Nikki benar, kita harus lebih romantis— Sayang," Nikko tertegun karena agak malu mengatakannya.

Dua kali, dua kali Hannah mendengar mulut Nikko menyebut panggilan itu.

Ia berubah jadi batu kembali. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa masih saja malu? Mengapa selalu merasa kaku saat Nikko bersikap layaknya "kekasih"?

Nikki malas melihat ulah mereka. "Kalian payah. Lebih baik jangan romantis, aku malah merinding."

Untuk mengurangi tensi ketegangan, Nikko menyentuh daun ketela, lalu mengalihkan pembicaraan, "Eh, ini daun apa, Han? Bentuknya mirip jari."

"Eh— eh— daun—" Hannah juga salah tingkah. "Daun—" Dia mulai tak bisa membedakan mana kangkung mana bayam.

Tiba-tiba seseorang di belakang mereka menyahut, "daun ganja."

Reno.

Dia menahan tawa karena sedari tadi ada di belakang rak sebelah untuk mendengarkan obrolan mereka.

Hannah dan Nikko menoleh bersamaan. Wajah mereka berubah masam.

"Eh adikku dan pacarnya lagi belanja bareng," ucapnya seraya menyeringai lebar. Alisnya beberapa kali terangkat, ia selalu ingin menggoda adiknya.

"Sekarang aku percaya— Kak Reno itu iblis, kenapa ngikutin aku terus? Manusia itu butuh privasi," kata Hannah menahan amarah.

"Jangan salah paham, ya, aku kemari untuk menemani pacarku," kata Reno menoleh ke arah rak lain, "Nayla Sayang, kemarilah!"

"Nayla? Kak Reno ganti pacar lagi?" Hannah sangat benci saat nama gadis yang disebut kakaknya selalu berganti setiap saat.

"Kakakmu ini hanya jomblo satu menit," bisik Reno pada adiknya.

Pacarnya mendekat dengan membawa keranjang penuh bumbu dapur. Gadis bertubuh tinggi yang cantik luar biasa. Memang cocok bersanding dengan Reno. Serasi.

"Nayla, kenalkan ini adikku, Hannah, yang sering kuceritakan itu, yang cebol, kalau ngomong suaranya kek jeritan tikus kejepit," kata Reno menuding Hannah, lalu Nikko, "dan itu cowok tampang datar, yang di lehernya ada syetan cilik, itu pacarnya."

Nayla ogah berjabat tangan dengan Hannah. Dia melingkarkan tangan di lengan Reno, begitu mesra dan serasi layaknya pengantin baru.

"Kalian ini kencan masa di supermarket, yang benar saja," sindir Hannah melirik mereka. "Ke Mall kek."

"Ini kita ada cara masak-masak, Adikku," kata Reno mencubit hidung Nayla dengan gemas. "Latihan kalau hidup berumahtangga."

Hannah membuang muka tak percaya. Ia pun mencibir, "Halah, seminggu juga lepas, bacotin rumah tangga segala."

Nikko merekam perlakuan romantis Reno pada Nayla. Dari mulai cubitan mesra di hidung, lalu tatapan maut yang menggoda, hingga begandengan tangan.

"Sudah ya— kalian jangan mampir kemana-mana, cepat pulang, bocil itu nggak usah main jauh-jauh," kata Reno sambil mengajak pacarnya pergi. "Kak Reno ini tidak bisa mengawasimu terus, Han, sebaiknya pulang dan kerjakan PR."

Hannah menampakkan raut wajah jelek, muak berlipat ganda, tapi tak mau melawan ucapan kakaknya. Dia sadar, semakin dia banyak bicara, jurus silat lidah Reno semakin keluar.

Nayla berpandangan dengan Nikko. Sebagai gadis yang normal, sudah sewajarnya menyukai sosok Nikko. Meskipun orang yang dia gandeng tak kalah tampan, tapi Nikko punya sisi manis yang tak sanggup ditolak.

Mereka menjauh.

Nikko masih memperhatikan mereka. Dia ingin meniru apa yang dilakukan Reno pada Nayla.

Hannah menyadari kalau mereka saling bertatapan. Dia melihat mereka bergantian dengan sebal. Rasa cemburu pun menjalar ke seluruh tubuh. Kecemburuan yang lebih kuat ketimbang saat teman sekelasnya, Carissa, berusaha mendekati Nikko setiap saat.

Selama ini dia selalu khawatir, bagaimana jika penampilan biasanya mulai tak menarik perhatian Nikko?

"Tapi aku cantik— aku 'kan perempuan," gumamnya lirih sekaligus kesal, kerutan di dahinya makin terlihat. Dia pun melirik kekasihnya itu, lalu mengingatkan, "jangan ngelirik pacar kakakku seperti itu, Kak Reno bisa mengguyurkan air keras ke tubuhmu nanti."

Ia pergi ke rak lain.

Nikko mengikutinya dengan pikiran yang dipenuhi bayangan 'mencubit hidung Hannah, bergandengan dengan Hannah, berlarian di pinggir danau dengan Hannah, lalu menonton lumba-lumba dengan Hannah'.

Hannah, Hannah, Hannah, Hannah.

Kalau saja isi kepala Nikko bisa dibuatkan peta, maka seluruh tujuan akhirnya hanyalah Hannah. Tidak pernah berubah, sejak dia melihatnya pertama kali menyentuh pipi gadis itu dengan jemari kotornya.

Ia sampai tersenyun karena memikirkan itu adalah hal romantis. Akan tetapi senyumannya malah membuat Hannah makin cemburu.

Karena kesal, ia tak berminat berbelanja terlalu lama. Setelah membayar semua, dia keluar supermarket itu.

"Biar kubawakan—" pinta Nikko ingin merebut kantong belanjaannya.

Hannah cemberut. "Gak perlu."

"Kamu kok kayak marah?"

"Enggak? Aku gak marah."

"Kalau kamu gak suka lumba-lumba, kita bisa jalan-jalan ke taman bunga nanti."

Hannah menghela napas. Memang ngambek pada orang seperti Nikko itu kadang percuma. Laki-laki itu agak sulit paham masalah sensitif. "Aku tidak marah karena lumba-lumba. Sudah, tidak masalah kok."

"Kalian benar-benar aneh—" Nikki bosan melihat tingkah laku pasangan itu. Dia berlari ke lahan parkiran. Tidak ada yang menyadari kepergiannya. "Mendingan jadi pahlawan."

Anak itu mendatangi sekelompok pria mencurigakan. Karena sering sering menghadapi penjahat, dia terbiasa dengan gerak gerik mereka.

Ya, kelompok pria yang terdiri dari tiga pria dewasa itu hendak mencuri salah satu motor yang terparkir paling jauh dari pemantauan CCTV.

"Pantes Nikki nyium bau kejahatan, siap-siap ya, Om-om~" katanya menggeretakkan jemari tangan yang kaku. Tanpa basa-basi, dia langsung menendang sebuah mobil ke arah mereka.

Mobil itu pun bertabrakan dengan motor yang hendak dicuri. Akibatnya hancur semuanya.

Ketiga pria pencurinya kaget, mereka beruntung bisa menghindari dari hantaman. Sederet umpatan serta doa pun melontar dari bibir mereka.

Suara gaduh pun sampai di telinga Hannah. Dia menoleh ke sumber suara. "Baru lima menit gak kelihatan mata udah gini!"

Nikko gerak cepat. Dia langsung mengambil beberapa batu, lalu melempari kamera CCTV luar supermarket. Sembari memberikan jempol, dia tersenyum puas. "Sudah aman, Han."

"Aman apanya! Adikmu mau membunuh orang! Hentikan!" Hannah menuding Nikki yang mengangkat salah satu mobil, berniat menghancurkan ketiga pria yang sudah gemetaran di atas tanah itu.

Orang-orang berlarian keluar, termasuk para pegawai.

Nikki yang sudah setengah mengangkat mobil orang itu mulai berkata, "Ayah Kraz selalu minta Nikki untuk membunuh penjahat! Jadi dengan akan Nikki hajar kalian—"

Ketiga pria itu kompak menjerit sekencang mungkin. "AHHH! MONSTEERR!"

Nikko berlari kencang ke sana, lalu menyambar kerah baju belakang adiknya, sehingga mobil itu pun terlepas.

Ketiga pria itu pun pingsan.

"Turunin Nikki, jangan ganggu momen pahlawan Nikki," pinta Nikki tak bisa bergerak banyak yang menggantung di udara.

Nikko masih memeganginya, lalu membawanya kembali ke Hannah. "Sudah kubilang, jangan membuatku susah, mereka bukan Nachash, jangan menghajar orang biasa, mereka gak sekuat kita, mereka bisa mati. Kamu masih belum bisa mengendalikan kekuatanmu."

Nikki bersedekap sebal. "Mereka penjahat." Dia berusaha menendang pinggang kakaknya, tapi gagal terus. "Turunin Nikki! jangan megang Nikki kayak karung!"

"Tapi janji, jangan meniru adegan kartun."

Nikki mendengus kesal.

Hannah langsung menyeret mereka untuk kabur. "Kita harus lari, lari lari sebelum mereka mengerumuni kalian! Ah seram sekali! Telfon ayahmu, Nik, suruh mereka membawa pulang adik iblismu!"

***

BAB 02

PERTEMUAN KELUARGA

Kepulauan surga, begitu namanya. Di lautan ini terdapat banyak sekali pulau-pulau dengan berbagai fasilitasnya. Resort mewah, area pantai yang indah, serta pegawai yang bekerja melayani selama 24 jam. Siapapun yang bisa liburan ke tempat ini hanyalah mereka yang "terpilih".

Untuk mereka, para keluarga pemburu. Hanya untuk mereka.

Seharusnya, tapi untuk kali ini, keluarga Nikko memberikan sebagian tiketnya untuk keluarga Hannah. Bagaimana pun mereka sudah berjuang bersama di saat pertarungan terakhir melawan Alpha Nachash di kota.

"Selamat pagi, selamat datang di penginapan pulau surga X-12, nama saya J-23, kalian bisa memanggil saya J saja, mohon maaf atas nama itu, itu hanyalah nama tugas. Mulai saat ini saya adalah kepala pelayan yang akan mengurus liburan kalian," ucap seorang pegawai laki-laki yang memakai jas hitam layaknya seorang agen rahasia. Dia tersenyum ramah, tapi seperti raut mukanya itu seperti topeng.

Seluruh pegawai di sini adalah mereka yang bekerja untuk pusat. Sebagaimana tugas utama mereka, melayani dan mengawasi para keluarga pemburu di seluruh nusantara.

Saat ini, mereka hanya perlu melayani.

Hannah sekeluarga sama sekali tak peduli dengan apapun ocehan pria itu. mereka melongo dengan pemandangan sebuah mansion tua yang berdiri tepat di balik rerimbunan rumput dekat pantai.

Mereka mendekati mansion bergaya era 1800an, era Belanda kuno. Seluruh bangunanya berdiri kokoh, dan terlihat sangat bernilai seni tinggi. Tidak heran kalau memang liburan di sini hanya untuk mereka yang "superior", yang seumur hidup mempertaruhkan hidup melawan musuh manusia.

Kakek Hannah terlihat tak percaya. "Ini luar biasa, apa kita ada di luar negeri? Atau kembali ke jaman penjajahan?"

"Papa, sudah aku bilang dari awal-lebih baik Papa tidur di rumah saja," ucap Om Edwin menoleh pada ayahnya itu. "Papa bisa terserang stroke kalau melihat ulah keluarga itu."

"Jangan begitu, Nikko itu sekarang juga cucuku. Lagipula aku mau melihat bulan madu anakku yang gak guna."

"Jangan mengintip, Tua Bangka Mesum."

"Gak sudi. Aku hanya ingin memastikan kalian serius menikah, kamu baru menikah di usia yang mau kepala empat … sudah tua dan baru sekarang memikirkan membangun keluarga?" gerutu kakek itu sambil menoyor kepala anaknya. "Aku bisa malu kalau mati sekarang."

"Aku sudah pernah menikah, dan dia meninggalkanku karena aku miskin …”

“Sekarang pun masih sama.”

“Tapi kali ini aku bersama wanita yang lebih baik, dan gak usah bahas beginian di sini, Pa," ucap Om Edwin melirik jauh ke belakang dimana Aksa dan istrinya, Tante Mira, berjalan santai sambil menikmati pemandangan.

Papa Hannah menyindir, "Yana gak meninggalkanmu karena miskin, tapi karena kamu gak mau kerja. Kamu cuma ngurung diri di rumah berhantu, dan menyebabkan anakku ketemu dengan anak Tarzan yang sekarang jadi anakmu!"

"Edwin, jangan lupa juga, kamu belum punya anak kandung," kata sang kakek memberikan lirikan tajam pada Om Edwin. "Kalau kamu bisa membuktikan gak mandul, aku baru mau mati."

"Aku sudah punya dua anak, satunya utusan iblis bernama Nikko, satunya berandalan yang banyak masalah di sekolah bernama Aksa," kata Om Edwin tampak stress tapi membanggakan diri sendiri, "lihat itu? mana ada ayah yang kuat menangani mereka kalau bukan aku? Saat pertama bertemu dengan Nikko, dia mencekikku sampai hampir mati, saat pertama bertemu dengan Aksa, dia mengerjaiku dengan oli. Lihat, buktinya aku menaklukkan mereka, aku sudah bisa bertanggungjawab, jangan khawatirkan aku … mati saja sana, Pa."

Ayahnya kembali menoyor kepala pria itu. "Enakmu sendiri."

"Dan jangan lupakan hutangmu, Win, kalau kamu gak bisa bayar bulan depan, aku akan mengambil ginjalmu dan kujual." Papa Hannah melirik benci saudaranya. "Kamu bahkan buat aku yang nanggung beban katering pernikahanmu!"

"Kan juga ikut makan, ya ikut bayar dong," kata Om Edwin tertawa puas. "Lagipula mana bisa itu disebut hutang, memangnya aku bilang mau berhutang padamu? Aku'kan bilang minta tolong."

"Sialan sekali."

Mereka bertiga berjalan bersebelahan, saling memandang penuh permusuhan.

Hannah dan Reno yang berjalan tepat di depan mereka bisa mendengar umpatan apapun yang keluar dari anggota keluarga tertua itu. Mereka sudah terbiasa dengan tingkah laku itu, sama sekali tidak ada sisi dewasa di antara mereka bertiga, sekalipun sang kakek.

“Para tua bangka itu gak sadar umur," gumam Reno mulai bersiul-siul seraya berjalan lebih cepat. Dia tidak mau terjebak perkelahian antara papa dan pamannya.

J-23 membukakan pintu ganda mansion itu, memperlihatkan suasana kacau ruang depan. Dia sama sekali tidak menyangka hari pertamanya bekerja akan seperti ini. Klaus dan Nikki sudah bertengkar. Mereka saling melemparkan perabotan hingga sampai melubangi sebagian tembok.

Suara hantaman demi hantaman menggelegar.

J-23 langsung melarikan diri, "baik, di sini penginapannya, saya akan melihat arena permainan lain, sampai jumpa, Tuan dan Nyonya, semoga kalian bisa bersantai dengan tenang."

Suara retakan tembok makin terdengar.

"Berikan papan selancar Nikki!" bentak Nikki mulai kehilangan kesabaran karena digoda oleh Klaus. Semakin dia marah, semakin besar energi elektrik yang dikeluarkan tubuhnya. Inilah alasan mengapa dia lebih baik dikurung, karena kapasitas kekuatannya tak terbatas jika makin marah.

"Coba tangkap kakak~" goda Klaus yang hanya memakai celana renang, di tangannya terdapat dua papan selancar. Dia menjulurkan lidah pada adiknya, lalu menendang tembok di belakangnya hingga retak membentuk lubang menganga.

Dia berlari keluar lewat lubang tersebut, Nikki mengejarnya.

Sebuah pemandangan yang sangat mengingatkan Hannah pada masa kecilnya, dimana dia selalu-hampir setiap hari, setiap waktu, diintai, dikerjai, dan dibuat kesal oleh iblis bernama Reno.

Ketiga ayah mereka hanya berdiri di belakang sambil meneguk teh. Di samping kanan dan kiri mereka sudah berdiri dua anak yang lain, Nila dan Nikko.

Nila mengamati keluarga Hannah. "Siapa mereka, Ayah?"

"Rombongan sirkus," jawab Ayah Avis singkat.

Nikko tersenyum pada Hannah. "Hannaaaah~"

Aksa yang sedari tadi ada di samping papa barunya hanya bergumam, "wah, ini keren, aku masih gak percaya bersaudara dengan keluarga monster." Dia masih mengenakan baju tidur, hanya dia yang tidak siap berangkat liburan.

Om Edwin merasakan gejala sakit perut. Setiap kali bertemu dengan ketiga pria kloningan dan para anaknya, penyakit ini tak bisa disembuhkan. "Kalau saja bisa menolak, aku lebih ingin liburan di Eropa." Dia menoleh pada sang istri. "Benarkan, Sayang? Harusnya kita main ke Brasil."

Reno menyela, "Brasil itu benua Amerika."

Tante Mira terkagum-kagum pada tiga sosok ayah Nikko yang punya badan dan rupa serupa. "Kenapa kamu gak bilang kalau punya sanak keluarga hebat, Edwin? Mereka bekerja untuk pemerintah, seperti PNS gitu?"

Kakek Hannah juga tak pernah melihat ketiga orang itu. "Oh, kembar tiga? Identik?"

"Bukan, Pak Edo, kami memang … tiga orang," ralat Ayah Avis yang paling kaku, dia berniat menjelaskan secara ilmiah mengapa dirinya ada banyak. "Tahu sejenis kloning?"

Ayah Alas menepuk bahunya untuk mengingatkan tak usah banyak bicara. "Ya, kami kembar tiga. Salam kenal, anda pasti kakeknya Hannah, Pak Edo, dan anda istri baru Pak Edwin, Nyonya Mira. Perkenalkan kami para ayah Nikko, mungkin agak aneh, tapi anggap saja kami bertiga memang ayahnya Nikko."

Tante Mira memang bingung, tapi dia tak ambil pusing. "Benar, saya Mira."

"Sejujurnya kami kembar empat, tapi saudara ketiga kami meninggal dunia. Pertama, perkenalkan saya Alas, saudara kedua, dan ini saudara pertama saya, Avis, dan saudara keempat saya, Kraz, walau kedengarannya nama kami konyol untuk ukuran pria paruh baya, anggap saja itu nama pembeda." kata Ayah Alas memperkenalkan mereka bertiga.

Ayah Avis keberatan. "Kamu bilang konyol? Nama kita berasal dari nama perbintangan. Itu gak konyol, Aranggah-02."

Ayah Kraz mendehem. Dia berbisik, "gak usah dibahas, Aranggah-01."

"Benar, Aranggah-04." Ayah Alas tertawa palsu. "Aku gak tahu kenapa kita harus berdebat masalah nama?" Dia memandangi keluarga Hannah yang bingung, lalu mendehem, "maafkan kami, perdebatan nama akhir-akhir ini sering terjadi di antara kami. Kalau boleh memilih, aku lebih ingin dinamai Ferdinand."

Ayah Avis mengejek, "Itu nama banteng bukan? Dari animasi kemarin yang ditonton Nikki?" Dia tertawa terbahak-bahak, untuk pertama kalinya, pria ini menunjukkan sisi seperti ini karena biasnaya kaku. "Aku yang berhak mengatur nama, aku yang pertama, dan jangan banyak protes."

Ayah Kraz melototi saudara pertamanya. "Sejak Nachash gak ada di kota ini, kenapa kita terus membahas nama? Kalian gak mikir namaku yang paling aneh? Kraz? Kalau saja gak terhalang hubungan darah, aku ingin menghajarmu, Avis."

"Sudahlah, kita kena sindrom pengangguran, kalau gak ada kerjaan, bawaannya ingin marah, membuat pikiran kita jadi gila, dulu kita menjadi empat karena demi mengimbangi banyaknya musuh, tapi sekarang gak ada musuh, kita jadi tertekan, makanya liburan itu penting," terang Ayah Alas memisahkan tubuh kedua saudaranya. "Kita ada misi setelah itu, sebaiknya gak perlu mendebat nama lagi. Ngomong-ngomong namaku yang paling jelek, Avis."

Keluarga Hannah terlihat menikmati pemandangan itu.

Papa Hannah menyeringai. Setelah tertawa, dia balik menyindir, "sekarang siapa yang keluarga barbar dan anggota sirkus, hah?"

Ayah Avis memegangi kepalanya, malu dengan dirinya sendiri. "Sial, aku baru tahu kebodohan itu adalah virus. Kita kena virus bodoh keluarga mereka …" Dia menatap para saudaranya dengan serius, "sudah kubilang, kita harus menjauh dari orang-orang normal, mereka bodoh."

Tante Mira kebingungan. "Ada apa ya?"

Ayah Alas tertawa palsu. "Gak ada apa-apa, Nyonya. Kakak saya, Pak Avis ini sangat tertutup, jadi dia malu karena tertawa barusan."

Reno ikut tertawa. "Efek pengangguran bikin orang jadi gila, pantes …"

"Apa~" Om Edwin sudah merasa disindir, dia langsung menyentil kening keponakannya itu. "Penghasilan Om sekarang melimpah, jangan mengungkit kata 'pengangguran'."

"Biar kuperkenalkan lagi, Pak Edo dan Nyonya Mira," potong Ayah Alas memperkenalkan anak-anaknya, "ini anak perempuan pertama kami, Nicola, atau Nila, dia yang paling berbakti dari keempat anak nakal kami-dan yang tadi berkelahi, salah satunya Nikki, anak terkecil, anda pasti kenal, bukan? Kami menitipkannya pada anda sekeluarga kemarin. Satunya adalah kakak Nikko, Niklaus atau Klaus, dia … maaf … dia agak sulit diam, jadi sekarang malah pergi sebelum tamu datang, tapi jangan khawatir, mereka semua anak yang baik, tidak akan pernah berbuat jahat."

Papa Hannah menggerutu, "anak pertamamu pernah menginjak anakku."

Ayah Avis tersinggung. Dengan culasnya, dia berkata, "kukira masalah itu sudah beres, maaf, Pak Edrik, Nila memang agak kelewatan saat itu."

"Bahkan telingaku belum mendengar kata maaf dari anakmu itu."

Nila mendeteksi adanya aura permusuhan dari diri Papa Hannah. "Ayah, siapa dia?"

Ayah Avis menjawab, "dia Pak Edrik, papanya Hannah."

"Siapa itu Hannah?"

"Pacar adikmu."

"Klaus punya pacar?"

"Nikko."

"Kukira kita gak boleh berhubungan dengan siapapun?"

"Nila, sebaiknya kamu ngancurin batu di luar, atau terserah, melubangi gunung mungkin." Ayah Avis mulai muak kalau menjelaskan hal remeh kepada putrinya. Selama ini, dia memang tak pernah mengobrol biasa kecuali perintah untuk menghancurkan Nachash. "Lakukan saja semaumu."

"Itu bukan perintah, aku akan di sini."

"Ya sudah, jangan tanya lagi."

Papa Hannah memandang mereka tak percaya. "Mereka makin aneh."

Hannah masih takut dengan keberadaan Nila, sama sekali tak ingin melihat wajahnya. Dia pun menarik lengan kemeja papanya. "Sudahlah, Pa, mereka sudah melindungi kita, jangan yang diingat yang buruk-buruk saja, kita harus ingat, mereka melindungi kita."

Reno kaget mendengar adiknya mengatakan hal yang terindah seperti itu. "Kamu tadi pasti habis makan racun tikus, mau mati ya? omonganmu kayak orang loh, Han."

"Emang aku orang."

Ayah Alas memperhatikan anggota keluarga Hannah. "Oh iya, apa Nyonya Siska gak ikut? Dan mana saudara perempuan Hannah? Siapa namanya? Bonny, bukan?"

"Rini!" ralat Reno tak terima.

"Maaf, hanya bercanda, lucu ya?" Ayah Alas menertawai ucapannya sendiri. Orang ini benar-benar versi dewasa dari Klaus, tidak diragukan lagi. Apalagi dia sekarang terkena sindrom pengangguran, otaknya tak bekerja keras sejak inang Nachash kota ini sirna.

Tidak ada yang tertawa.

Ayah Alas mendehem. Dia juga bingung dengan sikapnya akhir-akhir ini. Baginya makin banyak tertawa, makin menunjukkan tingkat stress seseorang. "Aku ilmuan, gak boleh bercanda seperti itu."

Papa Hannah menjawab, "istriku akan kemari, tapi telat, mungkin dua hari lagi. Jadi apa benar di sini pelatihan bisnis kuliner? Yang benar saja … di pulau begini?"

"Ya, apapun ada di sini, wahana permainan, pantai, perkebunan, taman bunga, bahkan pertunjukan lumba-lumba," jawab Ayah Avis cepat, "kalian bisa bersantai dan menikmati apapun. Liburan artinya bisa melakukan apapun … hancurkan saja pulau ini, bukan masalah."

"Hebat, sepertinya aku mau mandi di pantai," kata Aksa mendadak gerah ingin menjajal seluruh tempat. "Boleh'kan?"

"Nila, ini perintah, ajak dia berkeliling," pinta Ayah Avis pelan. "Lindungi dia, pastikan gak terjadi apapun ya, pokoknya, jangan melakukan apapun yang berbahaya. Ingat, dia manusia biasa, jatuh kena kerikil saja bisa tergores kulitnya."

Nila mengangguk. Tanpa banyak bicara, dia berjalan keluar bersama Aksa.

Aksa tersenyum manis pada gadis yang jauh lebih tua darinya itu. Belum ada sepuluh detik berjalan berdua, dia sudah mulai merayu, "hai, perkenalkan nama cowok imut ini Aksa, ini pertama kalinya kita bertemu … aku gak tahu Nikko punya kakak seindah dirimu."

"Diam kamu, Semut."

"Matamu yang hitam itu, sangat tajam loh, seperti ada bilah pisau gitu, nusuk banget di hatiku … tahu gak maksudnya apa?"

Nila tak menanggapi.

Aksa menjawab sendiri, "maksudnya aku jatuh cinta padamu, Kak Nila."

Tak ada balasan. Kepala Nila memang tidak ada isinya. Dia tidak akan bereaksi sekalipun Aksa merayunya dengan jurus gombalan maut mematikan.

Om Edwin agak khawatir melihat kebersamaan mereka, mengingat siapa itu Nila. "Yakin itu Aksa pulang gak tinggal nama?"

Istrinya heran. "Pulang tinggal nama?"

"Gak, Sayang, kelihatannya Aksa akur sama Nila, semoga mereka jodoh," balas Om Edwin tersenyum cepat. Dia memang tak peduli dengan anak-anak syetan. Baginya memang, lebih baik bersantai dan menikmati bulan madu.

"Kalian pasti lelah, ayo kutunjukkan ruangan untuk kalian," kata Ayah Alas dengan ramah seraya berbalik, diikuti kedua saudaranya. "Ada di lantai atas, ruangannya cukup nyaman."

"Kalau saja baju mereka gak ada nomornya, aku sama sekali gak tahu perbedaan mereka," kata Kakek Hannah masih berusaha membiasakan diri dengan para Ayah Nikko. "Kembar identik, tiga orang, hebat."

Sementara itu, Hannah nempel dengan Nikko. Mereka berjalan di belakang para keluarga. Reno sengaja melambatkan langkah kakinya guna mengawasi tingkah adiknya.

"Di sini dingin ya?" kata Hannah basa basi.

Nikko menggeleng. "Gak kok, suhunya normal."

"Obrolan selesai, Nik."

"Oh~ iya di sini dingin, dingin banget, Han-" Nikko paham itu, lalu tersenyum seraya memberikan pelukan singkat pada kekasihnya itu. "Tapi jangan khawatir, aku akan selalu menghangatkanmu."

"Kamu bisa aja~" Hannah menahan malu dengan tertawa. Dia menuding punggung papanya yang sudah jauh di depan, lalu berbisik pada Nikko, "tapi jangan peluk sembarangan, nanti kita diceramahi."

Reno tidak kuat mendengar mereka mengobrol. "Aduh, teletabis pacaran, hati abang merontah-rontah~"

Nikko dan Hannah kompak meliriknya.

"Apa?" tantang Reno tersenyum lebar, lalu menirukan ucapan Nikko, "aku akan selalu menghangatkanmu .… di ranjang," Ia menertawainya sendiri, "kalau kalian main kuda-kudaan, kakak tombak perut kalian."

"Gak dengar apapun," kata Hannah pergi mendahului.

Nikko mengikutinya. Kalau saja Reno menggunakan istilah umum, Nikko memahami maksudnya. Akan tetapi bagi Nikko, permainan yang dimaksud Reno sama dengan permainan Nikki yang selalu menjadikan Klaus kuda. Ia bertanya pada Hannah, "kamu suka kuda-kudaan, Han?"

"Gak." Hannah sudah tahu isi kepalanya. Pemahaman lurus Nikko takkan bisa sampai di pemahaman mesum Reno.

"Syukurlah, soalnya aku gak suka jadi kuda."

Reno melewati mereka sambil menyindir, "Oscar, kalau gak tahu arti dokter-dokteran juga, jangan harap bisa nikah nanti."

***

 

BAB 03

SARAN RENO

 

Reno dan Nikko masuk ke dalam satu ruangan yang sama. Tak terlalu luas, hanya ada dua ranjang berspresi putih.

“Akhirnya bisa tidur juga.” Reno menaruh ransel di atas meja, lalu menghempaskan diri ke atas ranjang.

Nikko menutup pintu, lalu duduk di tepi ranjang yang bersebelahan dengan Reno. Dia sedikit canggung, ingin sekali menanyakam sesuatu.

Reno curiga. “Kenapa di sini?”

“Ini kamarku juga. Kita sekamar,” jawab Nikko dengan senyuman ramah.

Reno langsung syok, serasa niat liburannya runtuh. Di kepalanya tergambar deretan percakapan antara laki-laki normal dan bocah laki-laki,'Kita sekamar—' 'kita sekamar.' 'kita sekamar, Kak Reno.' 'Hai Kak Reno, aku menyayangimu, relakan Hannah untukku.' 'Kak Reno, semoga mimpi indah.' 'Malam ini bintangnya banyak, Kak Reno.'

Apapun yang ada di kepala Reno itu adalah respon betapa tidak sukanya dia dengan jalan pikiran kekanakan Nikko.

“Kenapa kita sekamar?” tanyanya.

Nikko menjawab, “karena kita laki-laki.”

“Aku gak tanya jenis kelaminmu, aku tanya kenapa kita sekamar? Lebih baik aku sekamar dengan Klaus ketimbang dirimu.”

“Aku gak akan menganggumu, tenang saja.”

“Yakin?”

“Ya, aku gak akan bicara agar gak ganggu.” Nikko mulai menaikkan tubuh ke atas ranjang, masih memikirkan tentang betapa romantisnya Reno dan Nayla.

Reno agak ragu, tapi kemudian, dia mulai mengambil ponselnya, lalu memposisikan diri senyaman mungkin.

Belum sepuluh detik, Nikko bertanya, “boleh kutanya sesuatu?”

Reno pura-pura tidak mendengar.

“Bagaimana kalian bisa romantis begitu, ajari aku caranya, aku harus apa agar Hannah menempel padaku?” tanya Nikko agak pelan karena malu mengatakan hal semacam itu.

“Sepuluh detik yang lalu kamu bilang gak bakalan bicara,” kata Reno masih bersabar, “cara agar Hannah nempel padamu? Gak usah cara, dia sudah nempel padamu seperti daki.”

“Maksudku, aku ingin Hannah bersikap seperti pacarmu padamu.”

“Gak mungkin, Hannah itu tomboy sejak janin, jangan harap dia akan bersikap seperti pacar-pacarku.”

“Aku ingin sekali kami bisa romantis.”

“Gak perlu—” Reno membaca majalah dewasa di layar ponselnya. Masih berharap agar mulut Nikko berhenti bicara. “Kalian sudah romantis seperti teletabis.”

“Tolong bantulah aku, Kak Reno.”

Reno menyerah, dia sadar mulut Nikko takkan berhenti kalau tak diakali sesuatu. “Oke, pertama, mulai sekarang panggil aku Reno, jangan pakai embel-embel Kak. Aku bukan pembina pramukamu.”

“Reno.”

“Kedua, rebahkan dirimu di atas ranjang.”

Nikko melakukannya. “Lalu apa?”

Reno masih memandangi wanita-wanita cantik minim busana. Dia berkata, “Ketiga, pejamkan matamu, dan bayangkan berlarian di tepi pantai dengan Hannah, saling berpegangan tangan.”

Nikko melakukannya tanpa banyak bicara.

Berlarian di pantai, pegangan tangan, pikirannya mulai menggambarkan kejadian romantis itu. Senyumannya pun mengembang. Ia berencana melakukan hal itu besok pagi-pagi buta.

“Terakhir, tidurlah, dan lakukan kegiatan itu besok,” pinta Reno yang hanya berniat membuat Nikko berhenti menganggunya. Ia ingin membaca majalah dewasa lebih nyaman.

“Kenapa aku harus tidur? Ini masih siang.” Nikko tak berani membuka mata, karena tidak ada perintahnya.

Reno beralasan ngawur, “tidur siang cocok untukmu, banyak tidur membuat wajahmu tampan, artinya Hannah akan menyukaimu.”

Nikko paham. Dia berusaha tidur, tapi malah membayangkan bergandengan tangan dengan Hannah terus menerus. Senyuman gadis itu membuat jantungnya berdebar-debar, padahal hanya khayalan.

“Aku jadi gak bisa tidur, tolong aku,” katanya mulai tak nyaman.

Reno menjawab dengan malas, “aku harus apa? Bernyanyi Nina Bobo? Menepuk bokongmu?”

“Ini mendebarkan, aku jadi sulit tidur, beritahu caranya tidur, kamu paling sering tidur'kan? Pengalamanmu banyak—”

“Sejak lahir pasti bisa tidur, tidur gak butuh pengalaman!” Kening Reno sudah dipenuhi otot-otot amarah. “Ngajakin ribut?”

“Maaf, aku hanya grogi, isi kepalaku hanya Hannah.”

“Dan isi kepalaku hanya bra.”

“Bagaimana ini? Aku tidak bisa tidur siang, kepalaku membayangkan Hannah terus.” Nikko makin gelisah, dia menggeliat ke kanan—kiri.

Reno tidak tahan lagi. Ia menyentaknya, “sudah cukup, Oscar, buka saja matamu, dan diamlah di pojokan tembok!”

Nikko bangun sembari mengelus dada. “Aku gak yakin bisa tidur nanti.” Ia tersenyum karena masih mengingat khayalannya. “Membayangkan Hannah di pantai itu menyenangkan.”

Reno memberikan tatapan penuh ingin tahu. “Bayangkan apa? Hannah pakai bikini di pantai?”

“Kenapa tebakanmu jahat sekali? Hannah tidak boleh memakainya. Itu terlalu terbuka, bisa terkena angin, di pulau ini anginnya terlalu kencang, dia nanti sakit.”

“Kukira ayahmu harus meng-upgrade otakmu. Kenapa masih saja bodoh?”

“Sudah gak ada yang salah dengan kepalaku.” Nikko memegangi kepalanya. “Aku sudah normal.”

Reno memperlihatkan foto wanita telanjang dada dalam majalah yang ia baca dari tadi. “Oke, kalau kuperlihatkan gambar ini, apa pendapatmu?”

“Siapa dia?” Nikko hanya fokus melihat wajahnya. “Aku gak kenal.”

“Gak penting, Sialan, pendapatmu apa?”

“Kurasa bibirnya terlalu merah. Apa dia terlalu banyak makan pedas?”

“Aku yakin iblis yang menggodamu pasti menangis,” kata Reno menggelengkan kepala tak percaya, “kamu sudah tahu apa itu malu, kenapa gak tahu foto telanjang itu bisa menggoncang jiwa laki-laki?”

“Aku tahu dia telanjang dada, memang begitu bentuknya perempuan, terus kenapa? Bukankah ini ada di pelajaran SD?”

Reno mulai berpikir, jika Nikko tak bereaksi pada perempuan lain, kemungkinan dia hanya bereaksi jika foto ini adalah Hannah. “Mungkin begitu.”

“Apanya?”

“Lupakan.”

Pintu dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Klaus hadir hanya dengan memakai celana pendek untuk renang. Dia baru kembali setelah berlarian mengelilingi pulau dengan adiknya.

Ia tampak letih.

“Nikko, giliranmu mengajak Nikki bermain besok, aku sudah cukup membuatnya tidur seharian,” katanya menghampiri ranjang mereka.

Reno menyodorkan foto wanita telanjang tadi pada Klaus. “Apa pendapatmu?”

Klaus langsung menyeringai. “Cantik, aku suka dia, model'kan? Aku gak mau berkata mesum saat ada ayah-ayahku, pendengaran mereka kuat sekali.”

“Bro, normal ternyata?” sindir Reno tertawa terbahak-terbahak. “Dia ini—” Menuding Nikko. “Di luar batas kemanusiaan.”

Klaus duduk di tepi ranjang Nikko. Dia menatap adiknya itu. “Dia sudah seperti ini sejak dulu, mirip Nila, gak bakalan suka orang telanjang.”

Reno tak setuju pendapat itu, masih curiga dengan Nikko. “Tapi, biasanya yang pendiam itu yang cabul.”

Nikko menatap mereka berdua. “Aku hanya ingin tahu cara menjadi romantis, kenapa malah membahas wanita telanjang?”

“Romantis? Oh, mau tips dariku?” tanya Klaus tersenyum dengan bangga, “walaupun aku jomblo, tapi aku pernah berpacaran.”

“Tapi pacarmu sudah mati dimakan Nachash,” kata Nikko sama sekali tak bereaksi meskipun mengatakan hal mengerikan. “Gak guna.”

“Sialan memang—” Klaus tertawa sedih sambil memukul pundak Nikko sampai dia membungkuk, hampir saja ranjang berkerangka besi ini terbelah jadi ambruk.

Nikko mendehem. Dia memandang kedua laki-laki ini dengan serius. Dengan wajah agak malu, dia menjelaskan rencananya “aku berencana mengajak Hannah melihat atraksi lumba-lumba besok, saat aku memberikan makanan pada lumba-lumba, dia akan merekamku, bagaimana? Itu romantis?”

Reno mendadak ingin punya kemampuan menghilangkan diri. Penjelasan Nikko baginya seperti penggambaran seorang ibu merekam anaknya berinteraksi dengan binatang. Di mana titik romantisnya?

Klaus menepuk bahu adiknya. “Mereka selalu menganggapmu tolol, tapi aku membelamu karena kamu adikku, tapi sekarang aku sadar— kamu itu sangat tolol.”

“Sudah kubilang, ajak Hannah main di pantai,” kata Reno memijat keningnya. “Pakai kolor terbaikmu, jangan pakai kaos, dadamu bagus'kan, tunjukkan itu, dijamin Hannah akan mencintaimu sampai mampus. Kalian akan jadi pasangan romantis. Selesai.”

“Aku setuju,” tambah Klaus, “ketimbang menghabiskan waktu menonton tutorial memberi makan lumba-lumba, mendingan kamu duduk di tepi pantai dengan Hannah, menikmati keindahan langit. Itu baru romantis.”

Nikko mengangguk.

“Ya sudah, sana cari Hannahmu.” Klaus mendorong adiknya itu hingga terjatuh dari ranjang. “Katakan padanya, Hannah Sayang, kita ke pantai yuk besok, tampil cantik ya untukku~”

Hannah sendiri berada di ruang tengah bersama kakeknya. Mereka masih menikmati arsitektur bangunan berlangit-langit tinggi ini.

Sang Kakek menyentuh guci-guci mewah yang bernilai seni tinggi. Segala bentuk sifat manusiawi merajai isi kepalanya.

Sedangkan Hannah malah tertarik memperhatikan lukisan keluarga Nikko yang sudah seperti keturunan bangsawan. Dia sampai melongo.

Di lukisan itu pria bernama Aranggah yang hanya pernah dia temui sekali itu duduk di sebuah sofa. Di sisi kanan berdiri Nila dan Nikki, sedangkan sisi kiri berdiri Klaus dan Nikko. Sementara bagian belakang adalah tiga ayah kloning mereka.

Semuanya memakai mantel hitam yang sama, riasan tajam dan menawan.

“Apa-apaan ini— kenapa mereka terlihat seperti keluarga kerajaan, lukisan ini pasti di filter—” gerutu Hannah merasa muak karena Klaus digambarkan jauh lebih tampan ketimbang aslinya. Dia memandangi sang kekasih. “Harusnya Nikko digambar lebih tampan, dia punya bentuk wajah oval dan dagu bagus, matanya juga indah.”

Kakeknya masih menimbang-nimbang harga guci berlapis permata yang ada di atas meja. “Hannah, menurutmu kalau ini dijual, berapa ya harganya?”

Dari tadi, dari awal, pria tua ini hanya memikirkan harga dari perabotan. Ingin sekali dia membawa semua barang ke rumah, lalu membuka rumah lelang.

“Opa, jangan mikir gimana nyolong benda ini-itu mulu dong,” kesal Hannah menoleh pada kakeknya yang sudah terbius oleh keindahan guci mahal.

“Kamu gak sopan ya? Opa gak mikirin gimana nyuri guci ini—” bantah kakeknya, lantas mendehem. Ia menjauhi benda itu agar tak dicurigai lagi. “Cuma melihat-lihat.”

Hannah makin curiga. “Hmm?”

“Ngomong-ngomong, mana papamu?”

“Pamitnya pergi ke tempat pelatihan bisnis, Om Edwin sama Tante Mira nengokin Aksa, Kak Reno di kamarnya.”

“Kamu gak mau ke pantai gitu?” tanya sang kakek mendekat, “ajak pacarmu.”

Dari seluruh anggota keluarga, hanya kakek dan mamanya saja yang tak mempermasalahkan hubungannya dengan Nikko.

“Nikko lagi diam di kamar, biarin aja, mungkin lagi ngobrol asyik sama Kak Reno.”

“Kakakmu jelas gak suka mengobrol dengan Nikko.”

Hannah penasaran pendapat kakeknya terhadap Nikko. Dari semua orang, hanya pria tua itu yang belum mengutarakan pemikirannya. “Menurut Opa, Nikko itu orangnya gimana? Jawab yang jujur.”

“Nikko itu seperti kamus yang dijadikan manusia. Dia lurus, sesuai aturan, dan jelas mudah ditipu. Jadi sebaiknya, kamu sering-sering mengajarinya hal-hal yang sifatnya gak ada di kamus.”

“Hal-hal—”

“Bilang padanya, kalau dimanfaatkan Om kamu untuk membersihkan kompleks perumahan, dia bisa nolak. Dimintai tolong sama dimanfaatkan itu memang beda tipis.”

Hannah tertawa pelan. “Opa kayaknya kesal banget sama Om. Nikko udah tahu kok, Opa, dia rela bantuin Om kerja keras buat nambah biaya nikah kemarin.”

“Aduh, ini bikin Opa malu kalau mati sekarang,” ucap kakeknya seperti hendak menangisi keadaan, “gimana mungkin anaknya malah nyariin modal nikah ayahnya?”

“Opa, gak usah banyak pikiran, nanti sakit lagi.” Hannah menahan tawa mendengar curahan hati paling dalam sosok anggota keluarga tertuanya itu.

Nikko berjalan mendekati mereka. Dia sedikit grogi, bayangan Hannah berlarian di pantai masih memenuhi kepalanya. “Hannah?”

Hannah senang melihatnya. “Ada apa? Kamu mau makan siang lagi?”

“Mmm~”

Kakek Hannah mendehem. “Opa pergi dulu ya, kalian baik-baik di sini.” Pak tua ini berjalan cepat dari sana, membiarkan mereka mengobrol.

Selepas itu, Nikko baru bisa mengutarakan maksudnya, “ayo ke pantai.”

“Sekarang? Udah siang, panas—” Hannah sedikit mendesah malas, “kamu mau punya pacar keling?” Ia mengerutkan dahi, membayangkan Nikko berpaling pada gadis cantik seperti deretan pacar kakaknya. “Harus perawatan ini, aku gak mau kamu nanti jadi noleh ke Carissa terus.”

Nikko sama sekali tidak mengerti ocehan Hannah. “Carissa? Kenapa aku noleh ke teman sekelas kita? Aku bukan tukang contek.”

“Noleh bukan selalu artinya nyontek, Nik,” ucap Hannah menghela napas panjang.

Nikko menyambar kedua tangan kekasihnya itu. “Besok, ayo main ke pantai besok, kita bisa membangun istana pasir—”

“Oh boleh,” sahut Hannah tersenyum bahagia, “aku sudah bawa baju renang.”

“Bukan bikini'kan?” Nikko agak malu mengatakannya. “Jangan, Han, angin dari lautnya kencang, kamu bisa masuk angin.”

Hannah merinding. “Kamu bercanda ya? Ya enggaklah.”

Agar berhenti membayangkan momen pantai mereka, Nikko mengalihkan pembicaraan, “ya sudah, ayo kita makan siang.”

“Ayo—” ajak Hannah menariknya pergi ke belakang. “Makan lagi!”

Mereka berdua tak tahu kalau sedari tadi dua orang telah mengawasi mereka di balik tembok. Keduanya memasang wajah kecewa bukan main, rasanya sia-sia menguping barusan.

Reno dan Klaus.

“Kenapa dia tolol sekali? Apa waktu lahir, darahnya menyembur ke otak?” Reno masih tak percaya mendengarkan pembicaraan mereka. “Ke pantai bukannya ngajakin mesra-mesraan malah bangun istana pasir? Dia pikir dia itu Elsa?”

Klaus setuju. “Kalau aku jadi dia, aku akan memanfaatkan kesempatan dengan menciumi Hannah dari ujung rambut sampai jempol kaki begitu sampai di tepi pantai.”

Reno menoyor kepala Klaus yang sekeras batu itu. “Dengar, Syetan, aku gak peduli walaupun kau pekerja monster Inc., jika kamu melecehkan adikku, akan kuhajar.”

Klaus membalas perlakuan itu. Walaupun sentuhannya pelan, tapi efeknya sampai membuat Reno terjatuh, lalu mencium lantai keramik coklat tua ini. Ia memberikan seringai lebar. “Jangan menyentuhku.”

Reno bangun, membalikkan wajahnya yang kemerahan karena terhantam keramik. Wajah itu berangsur dipenuhi amarah. “Kalau sampai hidungku patah—” Ia memeriksa kelancipan hidungnya Wajah adalah aset penting bagi pemuda ini.

Klaus tergelak, merasa seperti melihat dirinya sendiri. Baginya, wajah juga aset utama. “Oh, ngomong-ngomong, kamu mau gak jadi agak lebih kuat seperti kami?”

Reno berdiri sambil memicingkan mata penuh waspada pada Klaus. “Kuat?”

“Ayah-ayahku baru-baru ini menciptakan obat penambah kekuatan otot. Jadi kupikir kamu bisa mencobanya, agar gak terlalu lemah—” Klaus jelas hanya berniat menyindir. “Katanya obat ini juga membuatmu tahan lama, kamu pecinta tisu, kan?”

Reno langsung mengangguk. “Ayo kita lihat, Kadal—”

***

BAB 04

JERIT MALAM (A)

 

Malam hari tiba, agenda yang telah direncanakan Ayah Avis dilakukan. Tepat setelah makan malam, semua anggota keluarga berkumpul mengintari api unggun di halaman depan Mansion.

Mereka duduk di atas batuan layaknya sedang berkemah. Penerangan lampu halaman sengaja dimatikan, hanya lampu balkon-balkon mansion yang dibiarkan menyala. Meskipun demikian, cahaya api unggun sudah cukup menerangi sampai jauh.

Nyala api terlalu besar karena Nikki terus melemparkan bongkahan batang kayu. Gadis cilik ini memang setengah mengantuk, tapi malah semakin aktif menyeret kayu dari hutan.

Hannah duduk di samping Aksa dan Reno. Dia muak karena sepupunya itu semakin lama semakin menjengkelkan. Hanya karena slot gadis di sana cuma ada dirinya, dia terus digoda.

"Ada tiga kata yang ingin kukatakan untukmu," katanya lirih.

Aksa tersenyum seraya menebak, "'kamu sangat tampan'?"

"'Kamu sangat menyebalkan'," ralat Hannah menatapnya datar, agak muak tapi apa daya sudah jadi saudara. "Aku ini sepupumu sekarang, aku juga pacar Nikko, jangan menggodaku terus."

"Jujur saja, Honey, aku sedang kesepian, disini hanya ada kamu, aku menunggu kakakmu untuk datang menghampiriku. Aku menyukainya."

"Kak Reno?"

"Rini."

"Dia takkan suka padamu."

"Karena aku lebih muda?"

"Karena jelek."

"Enak saja, jangan sok begitu, begini-begini, Kakakmu, Reno itu, kalah dengan pengalamanku, jumlah pacarku melebihi bintang di angkasa."

"Banyak banget, itu pacar atau dosa?" sindir Hannah sinis. Semakin hari dia makin ingin meludahinya. Tidak hanya menjengkelkan, tingkat hidung belangnya sudah terasah sejak dini.

Aksa bagaikan Reno kedua. Dia mulai suka menggoda Hannah. Jadi ia bersajak, "Oh, bunga mawar berguguran, walau jadi syetan, aku tetap buaya tampan."

Hannah mengangkat tangan, "Pa, tukar tempat duduk dong."

Papa Hannah duduk di seberang api unggun, dia menghiraukannya karena sibuk berdebat dengan Om Edwin. Sudah sejak pagi perdebatan mereka awet. Kalau sudah membahas hutang, tidak ada yang bisa menyela.

"Kau lihat'kan, tadi di pelatihan bisnis jamur, semua hal itu bisa dijadikan bisnis, sementara dirimu- bisanya cuma berhutang," cela Papa Hannah menatap saudaranya.

"Jangan samakan aku denganmu, Edrik, kau maniak pekerjaan, aku diam saja sudah dapat uang."

"Dengan apa? Menjaga lilin?"

Mereka mulai menyingsingkan lengan, sadar sejak dulu jika bertikai takkan ada habisnya kecuali salah satu babak belur.

Mama Mira malah sibuk melumuri jagung dengan mentega, lalu membakarnya. Sama halnya dengan Kakek Edo yang mendorong singkong ke arah bara api.

"Makan-makan," kata pria tua itu.

Di samping mereka adalah para ayah dan kedua putrinya. Nila sedang membakar jagung hingga kehitaman, tapi tak juga ditarik. Sedangkan Nikki mulai menempel di punggung Ayah Kraz.

"Nila, jagungmu sudah jadi arang," kata Ayah Avis melihat Nila yang seperti batu di depan api unggun. Dia masih kesal dengan ulah anak gadisnya yang masih saja tidak bisa mengetahui bedanya gosong dan matang.

Nila menarik jagung bakarnya yang sudah tak bisa dimakan. Bahkan logam penusuknya sudah kemerahan karena terlalu lama dibakar. Walau begitu, tangannya tak merasakan panas sedikitpun.

Dia memberikan jagung arang itu ke ayahnya. "Aku membakarnya untukmu, Ayah."

"Tidak perlu." Ayah Avis tersenyum paksa.

"Aku selalu menuruti ucapan Ayah, aku tidur hanya saat ayah menyuruhku tidur, aku pergi berburu ular sendiri, pergi ke luar kota, berkeliling membasmi mereka, menjinakkan bom, meringkus teroris-"

"Oke, oke, kumakan."

Nila tersenyum.

Ayah Avis terpaksa memasukkan arang ke dalam mulutnya.

Sementara itu, Reno duduk di samping Klaus. Sejak siang mereka terlihat akrab. Memang masih ada benih-benih kebencian, tapi keduanya kompak dalam beberapa hal, terutama kejantanan.

"Aku merasa tubuhku bertenaga setelah meminum obat aneh tadi, itu bukan narkoba'kan?" tanya Reno amat lirih, takut terdengar oleh papanya.

"Mana ada obat terlarang yang membuatmu bisa menarik pintu sampai kusennya lepas."

"Memang benar." Reno menatap Hannah yang risih mengobrol dengan Aksa. "Oh iya, ngomong-ngomong, aku tahu kau mendekati adikku, jangan harap dapat restuku."

"Siapa yang mendekati Hannah?"

"Maksudnya Rini."

"Tidak sama sekali, dia sangat menyebalkan, jangan tersinggung. Berhubungan dengan cinta itu hanya membuatku muak."

"Ternyata benar, tampang playboy, hati sadboy-" Reno menepuk bahu Klaus layaknya teman yang sudah akrab lama, "bahkan adik tololmu yang lahir dari benih timun saja punya pacar."

Dia berdiri dengan dada membusung. Apa yang terjadi beberapa jam yang lalu membuatnya percaya diri. Obat kuat yang manjur.

Klaus mengingatkan, "Minggu depan kau akan tidur pulas seharian seperti orang mati, itu efeknya."

"Tidak masalah." Reno mulai tertawa dalam hati, merasa di atas awan, tak mungkin dikalahkan dalam duel dengan para monster itu.

Dia berjalan mendekati Hannah, kemudian duduk di batu sampingnya. Batu yang seharusnya untuk Nikko, hanya saja dia masih di dalam Mansion.

"Hannah, kamu diganggu ya, minta tolongnya sama kakak dong," katanya sambil mendorong tubuh Aksa agar menjauh sedikit dari adiknya.

Aksa terkejut, dorongan tangan Reno seperti tandukan binatang saja, kuat bertenaga. Ia hampir saja terjatuh kalau saja tak menahan tubuh di tanah.

"Kak Reno aneh banget," kata Hannah memperhatikan wajah sumringah kakaknya yang tersinari oleh api unggun.

Reno melirik Aksa yang bingung. "Sa, tolong ambilkan minum, nanti kuberikan nomor cewek cantik."

"Jangan mentang-mentang aku bodoh, kau bisa menipuku," sahut Aksa malas.

Di saat bersamaan, Nikko keluar mansion bersama J-23 dan ayah utama, Arranggah-00. Pria itu masih tampak segar, walaupun jalannya agak tertatih. Fisiknya sudah seperti ranting pohon yang bisa patah hanya karena diinjak.

Mereka bertiga berdiri di hadapan semua orang.

J-23 masih berbalut seragam hitam. Dia langsung memberikan pesan pada semua keluarga, "Tuan dan Nyonya, di malam yang sangat cerah sekali, berdasarkan permintaan Tuan Aranggah-00, diadakan kegiatan acara malam, yaitu uji nyali."

Ayah Aranggah menyambung, "anakku Nila walaupun penurut, tapi dia sangat kaku, anakku Klaus walaupun sok pemberani, tapi sangat takut hantu, anakku Nikko- dia selalu serius dan lugu, dan anakku Nikki, dia memang masih kecil, tapi kadang kekuatannya tidak dapat dikendalikan. Mereka harus 'ditakuti'."

Setelah jeda sejenak, dia kembali melanjutkan, "jadi kuputuskan menghibur mereka dengan permainan uji nyali berhantu. Jangan remehkan ayah kalian ini, walaupun aku ilmuan, tapi makhluk tak kasat mata juga termasuk dalam ilmu pengetahuan, artinya mereka ada dan kita bisa mendeteksinya."

Klaus merinding saat mata Reno, Hannah, dan Aksa mengarah padanya dengan seringai lebar. Selama ini hanya pihak keluarga saja yang tahu kalau dia takut sekali dengan hantu.

"Aku menamakan ini terapi malam, aku sudah menyiapkan rute kalian berjalan- nanti Nila, Klaus, Nikko, Nikki, Reno, Hannah dan Aksa- silakan menikmati terapinya."

"Boleh aku tidur saja?" Aksa agak malas berkeliaran, apalagi kalau bersama laki-laki.

"Ponsel kalian ada di tempat tujuan, kalau kalau tidak mengambilnya dalam waktu dua jam, semua itu akan hancur terhantam batu," kata Ayah Aranggah sambil memperhatikan waktu, "dan sepertinya hitung mundurnya sudah dimulai."

"Apa katamu?" Reno paling jengkel, ponsel adalah satu-satunya benda yang ia cintai. Dia berbalik dan berteriak, "ayo berangkat, mana garis start-nya?"

Nikko menghampiri Hannah sambil mengulurkan tangan. "Ayo pegangan tangan, Han. Walaupun hantu tak bisa melukai, tapi aku tak mau kamu diganggu."

Hannah meraih tangannya. "Santai saja, nggak ada hantu itu. Satu-satunya yang terbesit di kepalaku saat menyebut hantu adalah bapak kunti."

***

Lokasi awal tepat berada di luar gerbang mansion. Kelompok mereka berjalan menyusuri jalan yang disediakan.

Lampu-lampu kecil terpasang di sisi kaman-kiri pepohonan, membatasi langkah mereka menuju ke tempat penyekapan ponsel.

Nikki menarik Nila berlari lebih cepat, meninggalkan lainnya.

"Hei-" Suara Klaus sudah tak mampu menjangkau mereka. "Kebiasaan nih Nikki."

Reno memperhatikan cara Nikko menggenggam tangan adiknya. "Kurang mesra."

"Kami nggak ada niat mesra-mesraan, kasihan yang jomblo dan yang nggak ditemenin pacarnya," sindir Hannah.

Aksa tertawa, lalu mengatakan, "jomblo, tapi bermartabat, takkan goyah walau dipameri-"

"Dalam hati menangis," balas Hannah cepat, "sok-sokan bilang pacar lebih banyak ketimbang bintang, ah jomblo."

"Hati-hati, ntar kamu jatuh cinta padaku loh, Honey."

"Halah-"

Nikko melirik saudaranya itu. "Jangan menggoda Hannah."

"Aku tidak menggodanya, dia yang tergoda-" Aksa malah tertawa karena ucapannya sendiri.

Hannah merinding. "Ternyata syetan itu ada." Dia menoleh ke pacarnya. "Nik, cari saja akar, terus gantung dia di pohon."

"Ya." Nikko mulai mencari akar merambat.

Aksa panik. "Eit-eit, jangan galak-galak dong- Nikko, aku kakakmu."

"Aku lebih tua, aku kakakmu," ralat Nikko menemukan akar merambat, lalu menariknya hingga keluar dari dalam tanah. Dia membentangkannya sembari berjalan mendekati Aksa.

Aksa berlari cepat ke depan, menghampiri Klaus dan Reno yang diam saja. Nikko mengejarnya.

Hannah tertawa melihat mereka berdua. Namun, tawanya lenyap karena mendengar suara aneh, "hu ... hu ... hu ... hu."

Ia menoleh, gelap, dingin dan sunyi. Bulu tengkuknya berdiri seketika. Suara apa barusan?

"Eh, Nikko, tolong tetaplah bersamaku-" pinta Hannah segera berlari mendekati kekasihnya. Ia melingkarkan tangan ke lengan kiri Nikko. "Sudah biarkan dia, aku mendengar sesuatu barusan."

Nikko bahagia. Dia membuang akar itu, lalu membelai tangan Hannah dengan lembut. Akhirnya gadis itu menempel padanya dengan manja.

Padahal Hannah ketakutan.

Aksa bersiul, lalu berkata, "katanya siulan itu mengundang hantu loh, persiapkan diri." Jelas dia hanya ingin menakut-nakuti. Ia berbisik seram, "Syetan, hai teman-temanku, datanglaaaah~"

"Hu ... hu ... hu." Reno mengeluarkan suara hantu di belakang Klaus. "Klaus~ aku nenekmuu~"

Klaus berbalik, lalu meninju perutnya sampai dia terlempar ke belakang. Kali ini dia tak menahan diri.

Bokong Reno lantas menghantam ke tanah berumput basah. Akan tetapi kali ini dia tak terlalu sakit. Kalau saja tubuhnya normal, dia pasti sudah dibawa ke ruang ICU.

"Beneran manjur obatnya-" katanya bangga yang sanggup berdiri. Dia melemaskan otot pinggangnya. "Sakit sedikit tapi."

Hannah kaget. "Kak Reno masih hidup?"

"Kamu mau kakakmu mati hah? Tanya yang benar itu, 'Kak Reno, kamu nggak apa-apa?'" Reno menanggapinya dengan kesal, "tapi tenang, Han, kakak makan obat kuat tadi."

"Obat kuat?" Hannah tak paham, apapun yang diucapkan kakaknya selalu saja membingungkan.

Aksa melongo melihat adegan mirip kartun itu. "Kok bisa? Mau dong jadi Hulk juga."

Reno berjalan mendekat sambil terus membusungkan dada. Dengan culasnya, dia berkata, "tampan, menawan dan kuat. Siapa yang bisa menandingiku sekarang? Andai Nayla disini."

"Nikko lebih kuat darimu dan lebih tampan." Hannah makin mengeratkan pegangannya. Dia mengendus parfum yang semerbak di jaket Nikko. "Ngomong-ngomong, kamu lebih wangi dari biasanya, Nik. Ganti parfum ya?"

Nikko menjadi malu. Untuk menghindari salah tingkah, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Hmm~"

Reno merinding setiap kali mereka terlihat mesra. "Ini kebalik ini, kenapa ceweknya malah gombalin cowoknya?"

Hannah menggeleng. "Enak saja, aku nggak gombal. Aku jujur."

"Kamu juga wangi Hannah." Nikko membalas pujian itu dengan senyum tulus.

Senyuman itu selalu manjur melelehkan hati Hannah. Dia sampai kehabisan kata-kata.

Klaus sama sekali tak peduli dengan mereka. Dia berjalan mendahului karena tidak nyaman. Ayah pasti merencanakan sesuatu, pikirnya.

Jika saja bertemu Nachash, dia bisa tenang, tapi tak sanggup kalau sampai hantu.

"Ayah bercanda," katanya menguatkan diri. "Kalaupun ada hantu, mereka pasti tak muncul dadakan. Menurut penelitian, hantu takut pada manusia."

Reno menempeleng kepalanya. "Tak muncul dadakan? Kau bodoh sekali, kalau dia hantu, masa perkenalan dulu, 'eh maaf, aku hantu, bisa aku menakutimu?'"

Aksa menertawai wajah pucat Klaus. "Serius takut hantu? Hantu itu tidak ada. Kalaupun bertemu hantu, jangan lari, cukup menegurnya, 'Hantu, apa kabar?'"

Merasa diremehkan, Klaus meliriknya tajam. Akan tetapi belum sempat menghajar wajah Aksa, ia kaget melihat ada batang pohon besar mengayun ke arah mereka. Terlalu takut membuatnya lupa kalau sang ayah ahli jebakan.

Batang pohon raksasa itu langsung menghempaskan mereka bertiga keluar dari rute jalan.

"AAAAHHH-" suara Aksa paling keras. Dia berpegangan pada rambut Klaus. "AAAAANJING."

Klaus berteriak kencang."Ayah! Akan kubakar kasurmu!"

"NAAAAYYLAAAAA~" seru Reno sampai menggetarkan pepohonan.

Mereka menghilang di antara pepohonan.

Hannah kebingungan. "Kak Reno! Apa yang terjadi?"

Nikko waspada. "Hannah, bahaya-"

Setelah batang kayu itu berayun kembali, suara lesatan anak panah kecil datang dari berbagai arah.

Nikko mengendong Hannah, lalu menghindari semua jebakan gila itu dengan melompat, menunduk, menyamping. Semuanya dia lakukan tanpa kesulitan.

Sedangkan Hannah terus saja menjerit dalam dekapannya.

Seluruh anak panah itu menancap ke pepohonan dan sebagian patah.

Dada Hannah berdegup kencang. "Apa-apaan ini!" Dia waspada pada sekitar, berharap jebakannya hanya ada itu. "Ada musuh?"

Nikko membawanya lari kencang karena ada suara deru kendaraan bermotor di belakang. "Ada kendaraan penggilas aspal mengejar, Han."

Hannah mengintip ke balik bahu Nikko, dia syok melihat kendaraan itu samar-samar mulai muncul di kegelapan. "Yang benar saja!"

"Ayah memang sadis kalau merencanakam sesuatu, bahkan mungkin ada jurang pisau di depan." Nikko mengatakannya tanpa rasa takut.

Hannah melotot. "Ini bukan uji nyali! Ini jalan menuju akhirat!"

"Jangan khawatir, aku terbiasa berlatih seperti ini, kadang sampai patah tulang," sahut Nikko tersenyum. Dia sengaja mempercepat larinya sembari menghindari anak panah yang terus saja mengarah kepada mereka.

Hannah menjerit setiap apa panah yang melesat. "Liburan apaan ini-"

Nikko malah tertawa pelan. Dia senang melihat wajah panik kekasihnya yang ada dalam gendongannya ini. Menurutnya sangat manis.

Cintanya memang sudah keterlaluan. Dalam kondisi apapun, Hannah tampak cantik.

***

BAB 05

JERIT MALAM (B)

 

Hu ... hu ... hu ...

“Suara apa itu!” bentak Klaus mengedarkan pandangan kemana-mana. Dia tidak mencium aroma apapun dan siapapun.

Reno menepuk bahunya. “Kau ini, tubuh sama otak isinya otot, ngapain takut sama hantu?"

“Orang itu bisa dihajar, tapi ini beda, hantu itu tidak bisa.”

“Halah, palingan orang iseng.”

“Aku tidak mencium bau siapapun. Bagaimana kalau Ayah berhasil membuat alat memburu hantu?”

“Ayahmu itu ilmuan apa Ghostbuster?”

“Diamlah, Dungu.” Klaus mulai bergidik. “Dia lebih menakutkan ketimbang Alpha Nachash. Orang jenius memang mengerikan.”

Sejauh mata memandang hanya pepohonan dan semak. Kegelapam semacam ini tak membuatnya kesulitan mendeteksi jika ada orang. Akan tetapi kini, dia tak melihat apa-apa, hewan sekalipun.

Saat mereka sibuk mengawasi keadaan, Aksa masih membersihkan pakaiannya yang kotor berlumpur. Terlempar jauh dan mendarat di pinggiran rawa membuat dirinya bak kucing kecemplung selokan.

“Ayahmu itu orang gila ya? Hampir saja aku mendarat di rawa kotor itu, bagaimana jika ada buaya?” omel Aksa menunjuk rawa kecil di samping mereka. Ia mendehem, lalu menggumamkan, “maksudku buaya beneran, bukan aku.”

Klaus menjawab, “Ayah sangat sadis. Dia selalu bisa memperkirakan apapun yang terjadi, dia pasti sudah tahu kita akan ada di sini.”

“Oh iya? Apa dia tahu kapan aku punya pacar lagi?” sindir Aksa memijat lengan kanan atasnya. “Atau bisa menebak jam siklus harian BAB-ku?”

Klaus acuh, masih takut dengan sekitar. Memang lebih baik menghadapi orang ketimbang hantu. Dia sampai menyelidik ke atas dahan-dahan pohon.

Aksa mendengus kesal. “Sial, tanganku jadi sakit. Ayah macam apa yang menghantam anaknya dengan batang pohon raksasa? Untung saja aku ini lucky boy.”

Reno menyundul kepalanya. “Jangan cengeng, kau jatuh di atas rumput, aku? bokongku mendarat di atas batu ....”

Dia membelai pantatnya yang tak terasa sakit. “Coba kalau aku tidak minum obat sialan itu, pasti langsung kena wasir.”

“Kita dimana ini? Nasib HP-ku terancam, ayo kembali.” Aksa mendongak ke rembulan yang bersinar terang. “Mana bulan purnama, kalau aku jadi manusia serigala gimana?”

“Kau itu cocoknya jadi manusia kardus—” sahut Reno menepuk bahu Aksa layaknya saudara sejati.

Karena sifat mereka sama, maka mereka mudah akrab. Bahkan saat kritis di antah berentah begini, mereka masih bisa tertawa.

Klaus sendiri membatu kala melihat sekelebat bayangan putih di balik sebuah pohon. Ia yakin, tidak mencium bau manusia ataupun mendengar langkah kaki. Lantas apa itu tadi?

Di suasana segelap ini, bayangan itu jelas menampakkan diri di pupil matanya.

“Sepertinya aku melihat sesuatu—” Dia merinding hingga sampai ke ubun-ubun, terlebih saat melihat ada sosok bergaun putih tanpa kepala yang mengintip di pohon yang sama. “Kalian harus lihat itu.”

Reno dan Aksa menoleh. Mereka sama-sama melihat makhluk itu. Tidak ada raut ketakutan sama sekali. Hantu itu tidak ada, itulah yang mereka pikirkan.

“Hai mama muda, culik Aksa dong—” ucap Aksa memberikan cium jauh. “Tahu nggak kenapa jantungku berdebar—”

Reno meremas mulut Aksa agar tak merayu hantu. “Diamlah, Syetan. Kau membuatnya nggak punya harga diri. Dia pasti nangis nanti.”

Namun anehnya, sosok itu kemudian menghilang di telan kegelapan malam. Pencahayaan dari sinar rembulan tak bisa menyinari semua area.

Klaus menatap mereka dengan wajah pucat. “Kalian lihat, apa dia punya kepala?”

Reno melepaskan mulut Aksa, lalu tertawa terbahak-bahak. “Hebat sekali akting orang sewaan ayahmu.”

“Dia tanpa kepala, Tolol, akting bagaimana!” geram Klaus sudah berniat lari.

“Makanya sering-sering main ke wahana hantu, banyak kayak begituan.”

Mendengar ada suara berisik, Klaus menoleh ke arah rawa, dan melihat sesuatu mirip selendang putih mengambang di air keruh itu.

“Ini serius—” katanya lagi seraya menuding benda itu, yang bergerak-gerak bak ikan, “Kenapa jadi horor begini?”

Aksa ikut terperanjat pula, dia yakin barusan tidak ada. Bulu tengkuknya pun berdiri. “Selendang? Bidadari jatuh?”

Dia menengok ke atas, tanpa sengaja melihat sesuatu mirip kepala wanita berambut panjang nangkring di atas salah satu pohon. Jika ada badannya mungkin bisa berpikir jernih, tapi ia yakin tak ada bagian tubuh yang menggantung di bawahnya.

Dia sontak melompat ke punggung Reno. “Ren, Ren— ada—ada kepala cewek di atas pohon—” Suaranya bergetar karena ketakutan. "Beneran kayaknya~"

Reno tidak merasakan berat sama sekali walau ditempeli laki-laki segede Aksa. Dia menatap sekilas wajah gelap kepala itu. Sontak saja dia mengambil langkah seribu ke sembarang arah. “Homina homina homina.”

“AAAHHH—” Klaus ikut berlari kencang, kecepatannya bak sambaran kilat yang tak peduli menerjang apapun, bahkan batu sebesar dirinya sampai hancur karena dia tendang.

Dia melewati Reno hanya dalam hitung detik, lalu menghilang ditelan kegelapan.

“Ka ra ca na ha!” teriakannya sembari menggoyangkan kesepuluh jari seperti hendak mengucapkan mantera. “Blis blis tan tan, pergi—”

Reno mendadak takut melihat teriakan dan lari Klaus ketimbang penampakan barusan. “Dia kesurupan mungkin.”

“Itu barusan doa ya?” tanya Aksa yang masih nyaman menggelantung di punggung Reno.

Reno menoleh ke belakang, ada sosok penampakan tadi muncul beberapa kali di balik pohon.

Dia menambah kecepatan larinya. Selama ini dia tak pernah melihat penampakkan yang asli. Untuk mengurangi ketakutan, dia membayangkan banyak hal, “bikini, ayam panggang, bikini, ayam panggang, bikini, ayam panggang—”

Aksa tak berani melepaskan leher Reno. Sesekali ia menengok ke belakang. Karena panik, dia ikut melantur, “dia— dia bisa melayang, bukan hantu— bukan hantu dia— dia ninja—”

“AAAAAAAAHHHHHH~” teriakan Klaus menggema dimana-mana, menerbangkan burung-burung, menggoyangkan dedaunan, bahkan mengusik waktu makan binatang liar.

Sekuat-kuatnya Klaus, hatinya tetap rapuh, apalagi kalau sudah didatangi hantu. Ia yakin tidak mencium bau manusia pada diri sosok tadi.

Ia gemetar, tapi itu pula yang membuatnya bahaya bagi sekitar. Pohon-pohon tumbang, bebatuan hancur, kengerian malam sesungguhnya berasal dari dia. Hutan itu hancur. Bahkan hantu pun pasti mundur karena ketakutan.

Suara “AAAAAHHH—” -ya terdengar hingga ke telinga Nikko dan Hannah. Makin dekat, dan dekat.

Nikko sendiri tengah menghadang dua robot berbentuk manusia dewasa. Ia menoleh ke arah sumber kegaduhan Klaus.

Hannah panik. “Nikko, hiraukan saja, cepat hajar Iron Man di depanmu!” Dia menuding kedua robot berwarna perak. Baru pertama kali, dia melihat ada robot berbentuk manusia yang punya kemampuan beladiri, dan parahnya hampir imbang dengan kekuatan Nikko.

“Kenapa ada robot, Nik? Kita ini ada dimana sih?” Ia ketakutan. “Tadi kendaraan penggilas aspal, lalu panah, lalu robot? Ini uji nyali seriusan?”

Mengetahui Hannah sudah berada di ambang batas kepanikan, Nikko mulai serius. Ia menghajar tubuh baja salah satu robot. Tinjunya yang kuat mampu menerbangkan robot itu hingga terlontar jauh, lalu hancur kala mendarat di tanah.

Mendadak Klaus melompat keluar dari semak-semak, lalu memukul robot satunya hingga terlempar jauh dan menabrak batang pohon besar hingga tumbang.

“MAMPUS!” bentaknya yang terdengar seperti hilang kendali. Dia kemudian memeluk dirinya sendiri sambil melihat ke sekeliling, memastikan ini aman. Matanya berputar-putar penuh kepanikan.

Dia kembali berada di rute awal.

“Butuh kamar mandi?” tanya Nikko keheranan dengan sikap kakaknya seperti menahan kencing tiga hari. “Ada banyak pohon di sini, lakukan saja di bawahnya.”

Klaus lantas melototi adiknya itu. Sambil menyeka keringat di kening, dia berseru, “tadi ada hantu! kita harus kembali. Ini neraka.”

“Beneran takut hantu? Hantu itu nggak ada—” Hannah menahan tawa. Bola matanya diputar, wajahnya berpaling. Jelas sangat ingin tertawa. “Cowok otot semua takut sama hantu, lucu banget, ketekku bisa ketawa ini.”

Dua kali diejek dengan ucapan yang sama oleh dua bersaudara itu, Klaus langsung terbakar amarah. Dia menyentil kening Hannah.

Gadis itu nyaris terjungkal ke belakang. Untung saja, Nikko mendekapnya erat.

Ia menyembunyikan wajah Hannah di dalam dada, lalu mendorong Klaus menjauh. “Jangan menakuti Hannah.”

“Ngumpet sana terus, anak burung,” ledek Klaus melirik Hannah.

Hannah memanfaatkan kondisi dengan melingkarkan tangan di pinggang Nikko. Sesekali dia menengok ke Klaus, lalu menjulurkan lidah.

Nikko mengelus kening Hannah yang agak kemerahan. “Kamu nggak apa-apa?”

“Sakit—” rengek Hannah jelas hanya pura-pura. Dia masih menyimpan dendam kesumat padanya. “Kakakmu jahat, Nik.”

Nikko menajamkan tatapan pada Klaus, sangat marah. Dia menunjuk wajahnya, lalu mengancam, “berani menyentuh Hannah lagi, akan kuhajar.”

Klaus tersenyum muak pada Hannah. “Beginilah akibatnya kalau yang lugu pacaran dengan iblis wanita.”

“Jangan mengataiku iblis wanita!” Nikko salah paham. “Aku laki-laki.”

“Maksudku pacar sialanmu itu.”

“Hannah ini lugu.”

Hannah senang dengan pemikiran itu. Hanya orang lugu saja yang akan mengatakan dia lugu.

“Terlalu baik, aku nggak rela kalau kamu menyukai gadis lain,” katanya menggosokkan wajah di baju Nikko.

Nikko melepaskan pelukan mereka, lalu mendongakkan wajah Hannah ke arahnya. “Aku tidak menyukai siapapun kecuali kamu.”

Hannah lega. Kecemburuannya saat di supermarket, kala Nikko memperhatikan pacar kakaknya, pun sirna. “Aku akan luluran lebih rajin.”

“Melihat kalian rasa takutku berubah jadi jijik—” Klaus memalingkan pandangan. “Sudah, ayo kita kembali.”

“Mana Kak Reno? Mana Aksa?” tanya Hannah mulai curiga karena dimanapun tak ada tanda-tanda Reno ataupun Aksa kembali.

“Masih dikejar hantu mungkin.”

“Sudah kubilang, hantu itu nggak ada. Mungkin jebakan yang disiapkan ayah kalian, iya'kan, Nik?”

Nikko mengangguk. “Iya, dari tadi aku dan Hannah diserang jebakan. Dari kendaraan tanpa sopir, panah, jaring, hingga terakhir itu robot.”

“Robot—” ulang Klaus melihat ke kejauhan, dimana robot yang rusak, terkapar di atas tanah. “Sejak kapan Ayah bisa membuat barang semacam ini? Apa dia ahli teknologi? Kenapa aku tidak tahu?”

“Ayah Aranggah selalu sendirian di kamarnya, kau mana bisa tahu jalan pikirannya.”

“Ya, dia bisa mengoperasi kita sendirian sampai seperti ini— bukan mustahil menciptakan barang begini.”

Nikko mengamati punggung tangan kanannya yang agak lecet. “Robot itu sepertinya diatur agar jadi lawan tanding kita nanti, kekuatannya hampir mengimbangiku.”

“Sial—” Klaus juga mengamati punggung tangannya sendiri. Sehabis memukul benda baja bergerak itu, kulitnya jadi kemerahan. “Gawat, dia pasti sedang bosan, lalu keluar kamar, dan mengerjai kita habis-habisan selama liburan. Dia memang raja iblis.”

“Dia kadang baik, tapi kadang sadis.”

Hannah tak percaya mendengarkan obrolan dua bersaudara yang seolah disiksa oleh ayahnya. “Kalian— kalian nggak apa-apa'kan? Maksudku Ayah kalian yang itu kelihatannya baik, aku pernah sekali mengobrol dengannya. Dia pria normal, bukan manusia super seperti kalian.”

Klaus berkata, “bayangkan saja sifat ketiga ayahku dilebur jadi satu.”

Ayah Avis — suka mendikte, sombong

Ayah Alas — manipulatif, sadistik terselubung, pemalas

Ayah Kraz — pendendam

“Setidaknya Nikko mirip dengan mending ibu kalian— ya, walau aku tak tahu ibu kalian bagaimana,” kata Hannah kembali memeluk Nikko. Dia merasa beruntung bak memenangkan hadiah utama. Ya, memang hanya saudara ketiga, Nikko, yang punya watak terbaik.

Nila — sombong, kasar

Klaus — manipulatif, sombong/sok

Nikki — liar, tak suka dibantah

Nikko diam saja karena suka dipeluk. Semakin Hannah menempel, dia makin yakin kalau usahanya untuk romantis berhasil.

Hannah melepaskannya, lalu tersenyum. “Ini pasti berkat ajaranku dulu, makanya kamu jadi orang baik, kamu ingat bukan, Nik?”

“Sialan,” sahut Nikko sangat ingat.

Senyum Hannah memudar. “Apa kamu bilang?” Dia tersinggung dengan kata kasar itu.

“Sialan,” ulang Nikko mengingat ajaran Hannah. Dia mengerutkan dahi karena bingung. “itu kata pertama yang kamu ajarkan dulu.”

“Oh, oh itu, iya tentu—”

Klaus menertawai ekspresi wajah mereka. “Sudah kuduga kalian— parah!” Namun tawa itu cepat terhenti karena mendengar suara asing lagi. “Aaaahh, basa-basi selesai, ayo kita kembali! Aku serius, ada hantu tanpa kepala tadi— ini pasti ulah ayah, siapa tahu dia menyebarkan alat penangkap syetan.”

“Ya ampun, penakut,” kata Hannah berjalan lagi ke arah yang seharusnya. “Aku harus ngambil ponsel, tahu nggak harganya? Mahal! Mana keluaran terbaru— banyak foto cute Nikko juga, mana rela aku melihatnya hancur.”

“Han, kamu ngoleksi fotoku?” tanya Nikko mengikutinya berjalan. Senyumnya mengembang, bahagia sekali. Ia baru tahu ternyata isi ponsel gadis itu ada dirinya.

“Ya jelas dong, masa foto tetangga.”

“Aku juga ngoleksi fotomu, semua isi ponselku cuma kamu. Wallpaper-ku sekarang fotomu saat kemarin ikut kontes busana daerah di sekolah. Aku menyukainya.”

Hannah tahu tanpa perlu diberitahu. “Aku tahu itu, bahkan kontakmu saja cuma ada aku'kan?”

Nikko mengangguk. “Karena hanya kamu yang penting.”

Hannah lantas mencubit lengan Nikko. “Kalau ada yang jualan boneka berbentuk kamu, aku pasti membelinya, Nik dan kuajak tidur setiap hari.”

“Aku bisa tidur denganmu—” Nikko ngomong asal keluar dari mulut, dia langsung tertegun, lalu meralatnya, “maksudku bukan begitu.”

Hannah tergelak keras. “Aku tahu. Jangan sampai Kak Reno dengar.”

Memang bukan Reno yang mendengar, tapi Klaus. Dia mendadak ingin buang air setelah mendengar semua ucapan berlebihan budak cinta Nikko. Dalam hati, dia juga ingin menukar adiknya dengan kacang.

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Nicholastein02
Selanjutnya BAB 06 - 10: NICHOLASTEIN 02
12
0
Berisi BAB 06 - BAB 10BAB 06JERIT MALAM (C)Aksa memeluk dirinya sendiri. Keberaniannya sudah habis. Dia terus menerus menggoyangkan punggung Reno yang sedang membuang air kecil di bawah pohon. Abang tamvan, ayo pergi, rengeknya.Reno berusaha untuk tetap tenang, tapi kelakuan Aksa membuatnya murka. Shh, ini lagi kencing bukan kentut! Butuh ketenangan!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan