
Berisi BAB 06 - BAB 10
BAB 06
JERIT MALAM (C)
Aksa memeluk dirinya sendiri. Keberaniannya sudah habis. Dia terus menerus menggoyangkan punggung Reno yang sedang membuang air kecil di bawah pohon.
"Abang tamvan, ayo pergi," rengeknya.
Reno berusaha untuk tetap tenang, tapi kelakuan Aksa membuatnya murka. "Shh, ini lagi kencing bukan kentut! Butuh ketenangan!"
BAB 06
JERIT MALAM (C)
Aksa memeluk dirinya sendiri. Keberaniannya sudah habis. Dia terus menerus menggoyangkan punggung Reno yang sedang membuang air kecil di bawah pohon.
"Abang tamvan, ayo pergi," rengeknya.
Reno berusaha untuk tetap tenang, tapi kelakuan Aksa membuatnya murka. "Shh, ini lagi kencing bukan kentut! Butuh ketenangan!"
"Pernah dengar kalau kita dilarang kencing di hutan? Nanti kita malah dikejar syetan!"
"Di hutan memang tak ada WC umum, kau mau aku buang air dimana? Mulutmu?"
"Kita harus lari dulu, Bro!" Aksa mengedarkan pandangan kemana-mana, semuanya hanya pohon dan semak-semak. "Tapi ngomong-ngomong, dari tadi kita muter melulu, kita tersesat ya?"
"Lurus saja, nanti juga ketemu."
"Kalau sampai kita tersesat, ini salahmu! Kau yang mimpin jalan dari tadi!" bentak Aksa seraya memukul pundak Reno dengan kasar. "HP-ku itu banyak video berharga, Sialan."
"Berani sekali!" bentak balik Reno memasang resletingnya lagi, lalu menendang Aksa hingga terjungkal agak jauh. "Kau pikir cuma HP-mu yang penting?"
"Sekarang bagaimana? Gawat, Ren, aku tadi merayunya, bagaimana ini?" Aksa kembali berdiri, lalu mundur ke arah Reno lagi, terlalu takut jika melihat hantu. "Kalau dia menculikku, bagaimana?"
"Ya bagus dong, pengeluaran Om Edwin berkurang."
"Aku sepupu barumu, kau tega kehilangan?"
"Kalau perlu nggak usah balik."
Aksa merasa dirinya lemah di saat malam-malam penuh hantu begini. Ia sadar, hantu lebih menakutkan ketimbang deretan guru bimbingan konseling sekolahnya. "Dimana kepala menggelinding tadi?"
"Itu pasti cuma ilusi mata."
"Sumpah, Ren, ayo pergi—tadi itu serius hantu, beneran!"
Ya jelas dong beneran~
Detak jantung mereka seolah berhenti sekejab.
Suara menggema barusan membuat Aksa dan Reno menoleh ka atas dahan pohon yang sama. Lagi-lagi ada penampakan selendang putih sedang menggantung di sana.
"AAAHHHH!" Mereka kompak berteriak dan berlari bersama-sama.
Aksa berseru, "lakukan sesuatu! Dia terbang lagi!"
"Dia tak mungkin hantu, mana ada hantu bilang dong." Reno menoleh dan langsung mendapat pemandangan selendang melayang ke arah mereka. "Sialan, nggak mungkin, nggak mungkin!"
"Apa kubilang, jangan kencing sembarangan!"
"Shshshshshssh~"
"Apa terlalu takut membuatmu bisa bahasa ular?" Aksa malah tertawa. Tawa itu berguna untuk mengurangi rasa takut, walaupun beberapa detik kemudian, teriakannya datang lagi. "Aaaaah Mamaaa!"
Mereka berhenti sekejab kala sosok berbaju putih terlihat mengintip di salah satu pohon jauh di depan mereka. Di situasi yang gelap nan sunyi begini, gaun sosok itu melambai-lambai.
"Kacang, kacang— apa yang—yang bisa menyelamatkan kita?" ucap Aksa terbata-bata seraya mencengkra baju Reno. Karena terlalu takut, mulutnya tanpa sadar mengeluarkan tebakan konyol.
Reno malas menanggapi itu.
Mereka mundur selangkah demi selangkah.
"Salah," kata Aksa menoleh ke belakang, waspada kalau selendang tadi juga masih ada, dan ternyata—masih ada, sedang menggelantung di salah satu dahan pohon. "Yang benar—" Dia berbisik di telinga Reno, "Kacang polong!"
"HANNAH! POLONG KAKAK!" teriak Reno yang sudah di ambang ketakutan.
***
Suara teriakan itu sangat keras, sampai menembus ke langit. Lalu angin membawanya hingga ke telinga Nikko dan Klaus. Sedangkan Hannah sama sekali tidak mendengar. Dia fokus ke jalan depan, berharap segera tiba di lokasi penyekapan ponselnya.
"Han, kakakmu minta polong," ucap Nikko.
Hannah bertanya, "polong apa? polong jembatan?"
"Tolong mungkin."
"Dia masih hidup?"
"Masih."
"Ya sudah."
"Sepertinya dia ketakutan."
"Yang penting'kan masih hidup." Hannah menuding ke depan dengan ranting yang ia temukan, jalanan masih gelap dan kelihatan tanpa ujung. "Fokus kita mencari lokasi HP kita, Nik, foto cute-mu lebih penting ketimbang Kak Reno."
"Aksa juga bersamanya."
"Bagus dong!" Hannah menyeringai. "Aksa dan Kak Reno, hilang~ kita bisa berpacaran dengan tenang~" Dia tertawa jahat agak lama. "Mampus."
Dalam kepalanya sudah tergambar pagi hari yang cerah di pantai bersama Nikko, sedangkan kedua saudaranya hilang di hutan.
Nikko ikut tertawa, sama sekali tidak tahu kenapa juga harus tertawa. "Menertawai orang kesusahan itu jahat, Han."
"Ingat waktu itu, kita pernah berharap mereka tersesat, dikabulkan sekarang— ini bukan jahat, lagipula ini'kan hutan, mereka bisa makan pisang, paling lambat besok pulang."
Klaus menerobos di antara mereka berdua, lalu berjalan lebih dulu seraya berkata, "wanita racun dunia~"
Hannah memicingkan mata ke arahnya. "Ah, jomblo sad boy."
"Oh~" Klaus berbalik badan sembari melemaskan otot tangannya hingga terdenagr bunyi gemeretak. "Apa katamu, Chibi?"
Nikko mendekap Hannah, menyembunyikan gadis itu dari tatapan mata penuh amarah kakaknya. "Jangan main tangan—Hannah ini seorang gadis."
"Siapa yang bilang kalau Hannah-mu itu curut, Dedek?" Klaus mengatakan itu dengan nada jenaka, khas sekali kalau dia bicara dengan Nikki. Dia geli sendiri harus memperlakukan saudara laki-lakinya seperti ini.
Nikko pun sama gelinya. Dia lantas menarik tangan Hannah, lalu mengajaknya berlari. "Kita duluan saja, Han, aku benci dengannya."
Dia mendahului Klaus yang tersenyum mengejek. Sudah lama mereka tidak saling ejek dan pukul, tapi ini bukan saatnya berkelahi karena jarum jam terus berputar—waktu semakin sempit—artinya ponsel mereka akan kian mendekati ajal.
Klaus tersadar sendirian lagi, dia buru-buru berlari pula. "Jangan pergi sendiri! Kalian bahaya kalau sendiri!" Padahal dirinya yang ketakutan jika sendiri. "Bersatu kita teguh, bercerai kita—"
"Kencing berdiri," sambung Hannah menoleh ke belakang hanya untuk menunjukkan ekspresi mengejeknya. Dia sangat ingin melihat orang yang pernah melukai mereka itu ketakutan sampai membasahi celana.
"Pacarmu perlu direndam limbah, Nik," kata Klaus geram melihat ulahnya. "Dia bukan gadis baik-baik, dia gila."
Nikko membalikkan wajah Hannah ke depan lagi, lalu berbisik, "Han, jangan membuatnya kesal, dia jahat, nanti kamu dilukai."
"Kan ada kamu," kata Hannah memeluk pinggang Nikko. Dia menyunggingkan senyuman manis. "Selama ada kamu, orang-orang seperti Klaus bukan masalah."
"Adik-adik, serius—kita harus bersama," kata Klaus sambil memisahkan paksa mereka, lalu berdiri di antaranya. Dia tak bisa melepaskan pemandangan kepala dan tubuh berbalut gaun putih tadi. "Saat ini kita bagaikan orang telanjang yang kapan saja bisa mendapatkan serangan roket. Dimana-mana ada bahaya, jadi berdiri dekat denganku, kalian akan aman."
Hannah mendorongnya menjauh, lalu berjalan di samping Nikko lagi. "Jangan dekat-dekat dengan pacarku!"
"Aku calon kakak iparmu, sopan sedikit." Klaus kembali berada di antara mereka.
"Nggak sudi."
"Sampai sekarang aku heran, bagaimana bisa gadis sepertimu tidak terkena seleksi alam? Orang menyebalkan sepertimu ini harusnya mati lebih dulu saat ada serangan Nachash."
"Mau Nachash atau Nachos, selama Nikko jadi pacarku, semua aman terkendali. Iya'kan, Nik?" Hannah menoeh ke samping, tapi Nikko terlihat tak memperhatikan mereka.
Nikko sedang membayangkan apa yang dikatakan oleh Klaus barusan, orang telanjang yang ditembak roket. Meskipun tahu itu adalah perumpamaan, tapi isi otaknya adalah: orang telanjang yang ditembak roket.
Melihat kekasihnya hanya diam, Hannah paham. "Nikko, berhentilah membayangkan orang telanjang ditembak roket. Maksud kakakmu itu, kita sekarang berada di dalam bahaya yang tidak kita ketahui."
Nikko mengangguk cepat, tak menyangka jalan pikirannya bisa ditebak semudah itu. Agak gugup, dia menjawab, "aku tahu, nggak perlu dijelasin, Han."
"Sebentar." Klaus merentangkan tangannya untuk menghentikan jalan mereka. Pandangannya lurus ke depan, tepatnya pada kendaraan tank yang tengah mendekat. Ya, tank militer dengan pelontar tembakannya berputar kepada mereka.
Hannah syok. Kepanikan yang sudah reda akibat robot tadi kembali muncul. Untuk pertama kalinya dia melihat sebuah kendaraan tempur itu. Tubuhnya menggigil ketakutan. "Apa-apaan itu? kita benar-benar orang telanjang ditembak?"
Nikko melongo karena takjub. Untuk pertama kalinya juga, dia melihat kendaraan itu. Anak laki-laki biasanya memang tertarik dengan kendaraan semacam ini. "Oh ..." Dia menuding meriam tank yang siap menembak. "Hannah, lihat itu—keren sekali." Wajahnya girang seperti bocah yang mendapat mainan baru. "Ayo kita kendarai berdua!"
Hannah-nya mendadak berubah jadi batu.
"Siapa yang mengendarainya?" heran Klaus curiga. Dia mulai menyingsingkan lengan baju, lalu berjalan mendekat. "Sial, itu pasti bukan tank biasa, ayah keterlaluan sekali! Bisa-bisanya dia menciptakan alat-alat seperti ini hanya untuk menyiksa kita."
Nikko menahan kakaknya agar tidak menyerang dahulu. "Aku ingin mengendarainya, Klaus, jangan dirusak."
"Dasar bodoh, meriamnya mau menembak kita!"
"Tapi kendaraan itu keren sekali!"
Di antara mereka, ada Hannah yang masih menjadi batu.
***
"HA~ HA ~ HA~ HA~"
Sebuah tawa jahat juga terdengar di kejauhan, tepatnya di depan mansion tempat para keluarga menginap. Suara yang berulang-ulang itu berasal dari mulut Ayah Aranggah.
Sudah lima belas menit lamanya dia duduk santai sembari menikmati layar laptop yang menunjukkan live streaming apa yang terjadi di sepanjang hutan.
Orang ini memang kelewat jenius. Seluruh kamera diletakkan di tempat dimana mereka berada seakan telah direncanakan.
"Kalian apakan anak-anakku!" bentak Papa Hannah. Dia berusaha menjejak pria itu, namun kakinya tak mampu menjangkau karena terus ditahan oleh saudaranya.
Om Edwin berbisik, "tenangkan dirimu, Edrik, kau mau melebur jadi abu?"
"Orang gila ini mengirim Tank pada Hannah, dan melemparkan Reno dengan batang kayu! Mereka bisa mati!"
Hanya mereka berdua yang tinggal di luar. Sedangkan, Pak Edo dan Tante Mira memilih tidur lebih awal.
Ayah Aranggah tersenyum. "Jangan khawatir, Tuan-tuan, aku sudah merencanakan semuanya, tidak akan ada yang terluka, mereka akan pingsan sebentar lagi—dan saudara-saudaraku ini akan membawa mereka ke tempat tidur."
Dia menoleh ke samping kanan dan kiri dimana ketiga saudara kloningnya tengah berdiri menemaninya bak pengawal pribadi. Saat berada satu jajar begitu, pria ini kelihatan terlalu mirip dengan mereka.
Ayah Avis menengok ke pepohonan yang ada di depan mansion. "Nila akan sampai dulu, bukan? Dia selalu yang terbaik."
"Itu karena Nikki mengajaknya dahulu," balas Ayah Kraz seraya membusungkan dada. "Anak itu selalu aktif, apalagi setelah tadi makan coklat."
"Aku tak ikut mendebat, Klaus sangat bodoh kalau bertemu hantu," ucap Ayah Alas memalingkan wajah karena malu dengan sikap Klaus sepanjang kegiatan malam ini di mulai.
"Mereka punya peluang sampai sama-sama 90%, kita tunggu saja, kurang lebih sepulu menit lagi—aku sudah mendapatkan data kemampuan mereka, jadi sudah waktunya tidur." Ayah Aranggah tersenyum kecil, agak kecewa, tapi kemudian terlihat puas apapun hasil penelitiannya hari ini.
Dia berkata kembali, "ternyata performa Klaus sangat buruk kalau melihat hantu, isi kepalanya tidak karuhan karena tidak bisa membedakan mana manusia, mana hologram."
"Performa? Kalian pikir anak kalian motor?" sergah Papa Hannah mulai beralih pergi ke arah hutan. "Sudah cukup, yang benar saja aku menunggu di sini bersama empat makhluk psikopat, sementara anakku diserang tank tempur. Tempat apa ini, malam-malam begini ada kendaraan begitu—"
Segala omelan itu membuat Om Edwin resah. Dia pun memukul tengkuk saudaranya itu. Serangan abal-abal yang ditiru dari televisi itu sama sekali tak berdampak.
Papa Hannah mengelus lehernya, lalu melirik tajam pria itu. "Mau berantem ya hah?"
Om Edwin heran. "Loh, nggak pingsan?"
"Mau buat orang pingsan? Begini caranya?" kata Papa Hannah sambil menghadiahkan saudaranya itu sebuah tinju.
***
BAB 07
JERIT MALAM (D)
Reno dan Aksa bersembunyi di balik pohon. Mereka sudah dekat dengan tujuan, tapi memang mata mereka tertutup karena ketakutan. Tidak ada yang berpikir mengenai ponsel saat itu. Keduanya waspada akan keberadaan hantu bergaun putih.
"Mana dia?" bisik Aksa mengamati dahan-dahan pohon.
Reno mulai tak nyaman dengan kegelapan malam ini, terlebih lagi nyamuk dari semak belukar menyerbunya. "Sial. Kenapa kita tersesat terus?"
Ksrk ... krsk ... krsk ...
Suara berisik terdengar di semak belukar beberapa meter di depan mereka.
"Apa itu?" Aksa menelan ludah kala melihat kejadian itu. "Ada yang bergerak, Ren!"
"Sial," umpat Reno tidak tahan lagi.
Dia meninju pohon sampingnya sampai membekas. Hal itu malah membuatnya menjadi bangga, lupa akan keberadaan sang hantu. Obat pemberian Klaus memang mampu membuat kekuatannya menjadi beberapa kali lipat. Ya, walaupun tak sekuat empat bersaudara itu.
Aksa ikut keheranan. "Pokoknya, Brother, aku minta juga resepnya."
Krsk ... krsk ... krsk ...
Mereka berdua kembali menoleh ke semak depan mereka. Segelap apapun malam ini, mata mereka masih bisa melihat ada kaki binatang yang keluar dari sana. Binatang berkaki empat kaki berbulu. Cahaya rembulan perlahan menyinari tubuh besarnya.
Krsk ... krsk ... krsk ...
"Oh sialan, sebenarnya ada apa dengan tempat ini? Bukankah ini pulau liburan orang kaya?" Aksa bergidik kembali melihat hewan setinggi semak belukar itu muncul. Ia tak bisa melihatnya dengan jelas, yang pasti sangat mirip anjing. "Ren, dia berkaki empat—apa itu? kucing? Anjing? Serigala?"
Reno tak bergerak.
Aksa mengoyak bahu sepupunya itu. "Kau kuat'kan? Coba lawan saja dia!"
Ketika binatang mirip anjing hutan itu muncul, memperlihatkan sorot mata kuningnya, barulah Reno bereaksi. Dia lantas berbalik dengan tangan gemetaran. Alergi bulu binatangnya pasti kambuh kalau dia tak melarikan diri.
"Ada satu hal yang kubenci selain tidak punya uang," bisiknya pada Aksa, "—binatang berbulu."
Tanpa menunggu balasan, dia kabur meninggalkan Aksa. Ketimbang bergelut dengan seekor binatang yang terselimut bulu, dia lebih baik berkelahi dengan manusia.
Aksa menjerit, lalu mengejar Reno. "Sepupu sialan! Kau benar-benar tidak berguna! Tahu begini, biar aku saja yang mengonsumsi obat kuatnya!"
Anjing berbulu hitam itu menggeram, lalu berlari ke arah mereka.
Melihat itu, Reno gemetaran sembari bersin-bersin.
"Bercanda'kan? Kau alergi binatang!" Aksa tak percaya melihat sepupunya yang selalu sombong ini. "Playboy alergi kelinci? Kelinci alergi kelinci?"
Reno menuding ke belakang "Itu anjing, Sialan!" Intensitas alerginya meningkat seiring dengan mendekatnya anjing tersebut. Dia pun mempercepat larinya. "Sialan! Menjauhlah dariku bola bulu!
"Aaaaahhh!" Aksa ikut berteriak saat melirik ke belakang dimana jarak antara mereka semakin dekat. "Mama! Sumpah, Ma, ada anjing gila, Mamaaaaaaaa!"
***
"Entah mengapa aku khawatir dengan Aksa, aku merasa dia membutuhkanku, Edwin," ucap Tante Mira saat duduk di depan meja rias kamar. Dia memandang keluar jendela, langit begitu cerah, sunyi dan tidak mungkin terjadi sesuatu yang buruk.
Sang suami, Om Edwin, yang akhirnya ikut masuk ke kamar, hanya berkata, "dia sudah besar—kita tak perlu menganggu, mereka sedang bersenang-senang di hutan—"
—tapi bo'ong, anak-anak bedebah itu pasti tersiksa di sana, lanjutnya dalam hati sembari menyunggingkan senyuman lega karena bisa menikmati malam dengan istri baru tanpa gangguan. Dia sudah tahu apa yang sudah dilakukan Ayah Aranggah, tapi tidak khawatir sama sekali.
***
Klaus menerjang badan tank tempur itu dengan kakinya hingga rodanya terlepas, dia menggunakan siku untuk menghancurkan tembakan meriamnya. Dalam sekejab saja, kendaraan di depan matanya ini sudah hancur. Asap tampak mengepul di udara.
Selepas itu, dia membersihkan telapak tangannya. "Mampus."
Kata itu menjadi kata favorit Klaus sepanjang malam ini.
Di dalam kendaraan itu, tidak ada siapapun yang mengemudikan. Ya, sebuah kendaraan kendali jarak jauh. Setelah mesin kendaraan hancur, sebuah pesan suara terdengar, "Klaus, selamat, kekutanmu lebih baik ketimbang adikmu, dan Nikko—berhentilah meratapi hal yang tidak berguna." Pemilik suaranya jelas adalah Ayah Aranggah, dia benar-benar tahu apa yang terjadi.
Nikko memang meratapi apa yang terjadi di depan matanya. Kendaraan yang baru dia lihat malah hancur sebelum dia sentuh. Padahal dia sudah membayangkan mengendarainya, lalu Hannah akan berdiri bertugas mengarahkan meriam.
Hannah melirik kekasihnya. "Aku tahu isi pikiranmu, aku tidak mau."
"Hannah, padahal kita bisa bermain tembak-tembakan di dalamnya."
"Hentikan."
Klaus mengomentari obrolan mereka, "kalau main tembak-tembakan di kamar."
"Apa kamu ini?" sergah Hannah benci sekali para kakak ini. "Kak Reno jilid dua?"
"Lebih seru di tempat terbuka," sahut Nikko menoleh pada kakaknya. Dia jelas punya pemikiran sendiri.
Klaus tertawa karena memikirkan hal yang berbeda. Dia menuding Nikko, lalu menegaskan pada Hannah, "lihat, pacarmu ingin bermain tembak-tembakan di tempat terbuka, uh—agresif sekali."
Hannah merinding karena tidak bisa marah.
Nikko mengamati mereka berdua, lalu bertanya-tanya, sedang bahas apa sebenarnya? Kenapa Hannah kelihatan marah?
Keheningan pun terjadi.
Namun, mendadak suara Nikki terdengar tak jauh di depan mereka. "Kak! Aku menemukan ponsel kalian!"
Sorot mata Hannah seolah berubah ganas. Dia menatap ke kegelapan jalan depannya, lalu berlari mengejar suara itu. "Oh! Ponselku!"
"Hannah! Jangan lari-lari di hutan," seru Nikko mengejarnya. Melihat gadis itu menjauh darinya beberapa langkah terasa mendebarkan baginya.
Hannah hanya peduli dengan ponsel. Dia tak melambatkan langkah kakinya, malah semakin kencang, menembus kabut embun malam ini. Ya, semakin malam, maka suasana makin dingin.
Saat ponsel tak di tangan, gadis ini tidak takut apapun, termasuk hantu. Dia sama sekali tidka peduli sekalipun pengakuan Klaus benar adanya. Sekarang yang terpenting adalah mengambil ponsel.
Ponsel. Ponsel. Ponsel.
Di ujung jalanan sunyi ini perlahan terlihatlah sebuah meja dimana ada tujuh ponsel tertata rapi di depannya. Selain itu terdapat sebuah benda seperti termos air berukuran sedang dengan sebuah kertas bertuliskan pesan singkat: "Yang boleh menyentuh tombolnya hanya Hannah" melekat padanya.
Akibat perintah itulah, Nila terpaksa mengikat Nikki di batang pohon terdekat. Gadis itu sangat patuh pada aturan, terlebih ada bau tangan Ayah Aranggah di kertas tersebut. Dia takkan membiarkan siapapun menyentuhnya kecuali Hannah.
Sudah lebih dari setengah jam, dia hanya duduk di samping meja sembari memandangi adik perempuannya yang menggeliat ingin turun. Ia menggunakan tali baja khusus yang jelas takkan mampu dilepaskan oleh saudara-saudaranya. Kemanapun dia pergi, benda itu selalu ada di dalam kantong baju. Sebagai seorang kakak pertama, adalah kewajibannya untuk mengurus para adik.
"Apa-apaan ini?" Hannah melihat Nikki hampir menangis. "Ada apa? kenapa kamu mengikat adikmu?"
Nila berdiri, lalu menunjukkan benda mirip termos di atas meja. "Lama sekali? Benda ini hanya boleh disentuh olehmu."
Klaus dan Nikko sampai bersamaan. Mereka memandang kakaknya dengan tatapan datar seperti ingin berkata, sialan. Bukannya langsung membawa kabur benda-benda ini, gadis itu malah duduk santai dan mengikat adik mereka di pohon.
Hannah mendongak. Ia terkejut melihat ada sebuah batu besar yang siap jatuh kapan saja. Batu itu terikat tali di antara pepohonan, dan ada semacam jam hitung mundur lengkap dengan gunting. Waktu yang tertera kurang dari lima belas menit.
Ia mengambil ponselnya. "Kita harus kembali."
Nila menyambar lengan Hannah. "Sebentar. Lakukan perintah ayah."
Nikko sontak menepis tangan Nila. Dia masih trauma melihat kekasihnya itu diinjak dahulu. Hingga sekarang pun dendamnya masih membara. Dari semua orang, dia takkan mau Hannah disentuh oleh Nila.
Hannah memahami ketegangan di antara mereka. Untuk meredakannya, dia mendorong Nikko agar jauh-jauh sedikit. "Baiklah, baik, akan kusentuh tombolnya walaupun aku tahu pasti ada sesuatu yang buruk."
Ia meraba permukaan atas termos tersebut, lalu menekan tombol berwarna hitam tanpa ragu. Sekalipun ada serbuan banyak tank atau robot, dia bersama empat pemburu bersaudara, jadi takkan kalah.
Setelah ditekan, tidak terjadi apapun.
"Ah, ternyata cuma prank," Hannah tertawa untuk meredakan debaran jantungnya. "Aku tidak menyangka ayah kalian lucu ya?"
Keempat saudara ini kompak mengendus udara yang samar-samar tercium aneh.
Hannah mengerutkan dahi. "Apa?" Namun, dua detik kemudian, dia ambruk di atas tanah dalam kondisi lemas serta ngantuk berat.
Dia masih sadar, tapi kelopak matanya tak mau diangkat. Aroma tanah yang dia cium ini sudah seperti bau lavender pada bantalnya.
Nikko meghampirinya. "Hannah!" Ia menepuk pipi gadis itu, lalu membelalakkan matanya. "Hannah? Kenapa kamu?"
"Sepertinya seperti bau—apa ya, obat tidur?" Nikki mengira-ngira bau samar yang menebar di udara selepas tombol tadi ditekan. Dia juga tidak yakin aroma manis yang dia hirup tersebut.
Di waktu yang bersamaan, Reno datang dari arah hutan. Dia dikejutkan dengan Hannah tak sadarkan diri di tangan Nikko. Sebodoh-bodohnya sang adik, dia takkan tidur sembarangan.
"Kalian apakan adikku!" bentaknya lantas merebut Hannah. "Jangan sentuh! Jangan sentuh, Sialan!" Dia mendorong Nikko sampai terjungkal ke belakang. Kemudian, dengan sentuhan kasar, dia mengacak-acak rambut adiknya itu. "Hannah? Hannah? Bangun, Han!"
Hannah masih tak dapat membuka mata. Rasa kantuk sudah hampir melenyapkan kesadarannya. "Kak Reno? Aku cuma mengantuk, jadi jangan coba-coba mendekatkan ketiakmu di hidungku."
"Hannah, jangan tinggalkan kakak!" Reno mencubit pipi dan hidung Hannah tanpa ampun. Dia melakukan itu dengan sengaja, bahkan sampai berteriak di telinga gadis itu, "Hannah!"
Hannah berusaha keras untuk membalas teriakan itu, "aku bukannya mau mati, cuma ngantuk! Mulutmu bau, berhentilah~" Belum sempat melanjutkan, ia pun tertidur pulas.
Nikko menjadi panik. Dia melirik termos tadi dengan murka. "Ini salahnya."
Nikki menyarankan, "Kak Nikko, cium dia, katanya kalau dicium dia pasti bangun. Mencium akan membuat jantung orang itu berdebar-debar."
"Oke." Nikko mendekati Hannah lagi.
Reno mendekap wajah Hannah, lalu menoyor kepala Nikko. "Jauhkan ingusmu, Kadal! Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku tidak mau kesucian adikku diambil orang tolol sepertimu."
Klaus menahan tawa, sedangkan Nila tak bereaksi apapun.
Karena marah, Nikko menghancurkan benda mirip termos tersebut hingga membuat meja juga ikut hancur berkeping-keping. Kebiasaan menghancurkan meja memang cocok ia sandang.
Akan tetapi akibat perbuatan itu, aroma manis kembali menebar di udara. Kali ini lebih menyengat sampai membuat mata mereka berkunang-kunang, lalu ambruk satu per satu.
"Tidak mungkin, aku kebal—" Klaus keheranan dengan efek bius semacam ini. Dia dan ketiga saudaranya seharusnya kebal dengan obat-obatan semacam ini, tapi entah mengapa efek bius satu ini berbeda. Sebelum terpejam di atas tanah, dia mengumpat, "Ayah sialan."
Dalam waktu satu menit saja mereka sudah terlelap semua.
Dan ketiga ayah sudah berdiri di antara mereka.
"Kurang satu—" kata Ayah Avis menengok ke arah hutan. "Kraz, cari satunya."
***
Aksa meringkuk di bawah pohon, menengadah ke rembulan bak seekor pungguk. Dia ingin menangis sejak kehilangan jejak Reno. Selain buaya, dia juga buta arah, sama seperti Reno.
"Mamaaaa!" teriaknya. Sosok berandalan yang melekat padanya seperti musnah terhempas akibat rasa takut.
Dan di balik wajah ketakutan itu, ada papa tiri yang tertawa di kejauhan.
***
BAB 08
DUA TAMU ANEH
Aksa berjalan keluar kamar dengan hanya mengenakan kemeja bertema pantai dan celana dalam khusus renang saja. Dari awal, dia tidak memiliki urat rasa malu. Bahkan telanjang di depan publik malah membuatnya bangga. Dia memang percaya diri dengan tubuh bagusnya.
Saat dia mulai menuruni anak tangga, Reno dan Klaus berjalan di belakangnya. Mereka berdua memakai kaos oblong dan celama pendek.
“Tadi malam aku mimpi adikku mau dicium orang tolol, mengerikan sekali—” ucap Reno memijat kepalanya. “Untung cuma mimpi. Bisa trauma aku melihat teletabis ciuman.”
Klaus mengerutkan dahi, ingin menggali ingatannya. “Aku malah mimpi dikejar hantu.”
“Aku mimpi jadi orang kaya,” dusta Aksa tersenyum lebar. Dia hanya ingat kalau semalam seperti mimpi buang air di hutan.
“Itu bukan mimpi, tapi ngimpi.”
Tak ada yang mengingat kejadian semalam. Seluruh ketakutan yang menghinggapi mereka sirna. Obat tidur khusus buatan Ayah Aranggah membuat mereka takkan pernah ingat pernah melakukan perjalanan malam penuh bahaya.
"Ngomong-ngomong, Aksa, kalau sudah pakai baju, pakai celana dong!" sindir Reno tidak sanggup melihat paha belakang sepupunya itu.
Aksa malah membusungkan dada. "Kenapa? Nafsu ya?"
Reno menjejak pantatnya hingga terjungkal hingga ke lantai.
"Nantang?" kebiasaan Aksa dalam bertingkah kasar pun muncul.
"Apa? aku ini lebih tua darimu, jangan berani-berani berkata nantang." Reno memperlihatkan kepalan tangan. Dengan kekuatan yang kini ia miliki, dia pasti bisa melemparkan Aksa ke arah tepi pantai.
Nyali Aksa menyusut. Sisi bandelnya kalah sadis jika dibandingkan dengan kakak Hannah tersebut. Ia pun mulai memikirkan cara licik untuk mengerjainya di pantai nanti.
Tiba-tiba Hannah dan Nikko berjalan keluar dari ruang makan bersama. Mereka kompak membawa ember plastik berisi peralatan membangun istana pasir.
Reno, Klaus maupun Aksa dibuat melongo oleh kehadiran mereka.
Hannah memakai atasan ketat berjenis crop tee, lengkap dengan rok bikini berenda sepanjang setengah paha. Pakaian seksi itu berwarna biru terang. Warna yang senada dengan celana pendek Nikko.
Mereka benar-benar seperti pasangan.
Rambut Hannah digelung ke belakang sehingga memperlihatkan sisi dewasanya. Dia berjalan dengan bangga, apalagi ada kekasih yang luar biasa idaman di sebelahnya.
Nikko berulang kali menahan napas. Untuk pertama kali, dia melihat pakaian Hannah terlalu minim. Ia ingin sekali membelitnya dengan selimut, tapi ia juga ingin melihatnya terbuka.
"Ha—Hannah, Hannah," panggilnya ingin sekali memberikan pujian, tapi lidahnya seperti tergulung ketika menatap pusar Hannah. Ia tidak paham mengapa hari ini terasa panas sekali udara di sekitarnya?
Hannah menoleh padanya. Sejak tadi dia harus mendengar Nikko bertingkah gagap seperti kurang oksigen. Karena sebal, dia pun berjalan lebih cepat keluar rumah. "Sudah ayo kita bangun istana pasir."
Nikko mengekor di belakang. Dia tak tenang melihat rok gadis itu berkibar.
Reno melotot tak percaya. Sambil memegangi kepalanya, ia bergumam, "sejak kapan adikku—terlihat seperti pemain film dewasa?"
Klaus hanya merespon, "wow."
"Dia selalu terlihat seperti pantat kuda," ucap Reno mengenang penampilan Hannah yang memang selalu menguncir rambutnya ke belakang bak ekor kuda. Dia mengalihkan pandangan pada Nikko. Selama ini dia sudah tahu bentuk tubuhnya sangat atletis, hanya saja—ketika memakai celana renang, malah terlihat seperti model remaja. "Dan mengapa hanya karena kolor, si tolol itu berubah jadi bintang iklan susu pembentuk tubuh?"
Tanpa suara, Aksa berjalan mengikuti Hannah. Tidak ada Rini, Hannah pun jadi.
***
Di halaman mansion tua ini sudah ada keempat ayah Nikko Mereka berdua tengah menunggu para tamu dadakan.
Hannah ingin membuat kesan calon keluarga yang baik, jadi dia menyapa, "selamat pagi, Ayah-ayah sekalian!" Tidak ada rasa malu ataupun canggung saat memanggil mereka dengan sebutan begitu.
"Oh, pagi—kamu kelihatan cantik seperti burung bangkai kelaparan yang akhirnya menemukan santapan mayat," puji Ayah Aranggah tersenyum.
Berbeda dengan ketiga saudaranya, orang ini memakai jaket tebal berlapis-lapis hingga membuat tubuhnya menggelembung. Kondisi tubuhnya kelewat lemah, terkena udara dingin pagi hari saja sudah membuatnya nyaris pingsan. Sekalipun sudah mengenakan pakaian tebal, bibirnya masih bergemeretak kedinginan.
Hannah mengerutkan dahi, burung bangkai?
Ayah Alas tertawa palsu seraya menerjemahkan arti perkataan itu, "maksudnya kamu bersemangat sekali, Hannah."
"Oh."
Nikko mendekat. "Hannah, jangan jauh-jauh dariku!"
"Nikko, Ayah ingin memberimu sesuatu," kata Ayah Aranggah mengeluarkan sebuah action figure seukuran barbie dari balik jaket bertumpuknya. Benda itu berbentuk sama persis dengan figur Hannah berseragam sekolah.
Nikko langsung merebut boneka itu, kemudian langsung memujinya, "Hannah, kamu cantik sekali~"
"Aku di sini," sahut Hannah datar. Dia sebal mendengar pujian Nikko yang malah ditujukan pada boneka. Padahal dari tadi dia menunggu pujian itu.
Ayah Aranggah mengangguk puas. "Anak laki-laki selalu menyukai benda tidak berguna semacam ini, bukan? Ayah membuatkannya untukmu, Nik. Boneka itu bisa bicara kalau kamu elus wajahnya, dan tidak akan rusak sekalipun kamu tindih ataupun kena air."
Nikko mengelus wajah boneka Hannah itu.
Suara Hannah pun keluar berbunyi, "aku mencintaimu, Nikko."
"What the fuck—" Hannah kaget. Kepalanya dipenuhi tanya, bagaimana bisa suaranya ada di situ? Sejak kapan para ilmuan gila ini merekam suaranya?
"Aku—aku juga mencintaimu, Hannah!" balas Nikko seraya memeluk boneka itu.
Reno, Aksa dan Klaus datang. Mereka dikejutkan dengan ulah Nikko yang berbicara dengan boneka. Kedengkian akan sisi maskulin Nikko tadi pun lenyap seketika.
"Ternyata memang bukan model susu, dia cuma kadal," komentar Reno bergidik melihat adiknya dijadikan action figure.
Klaus tidak tahu lagi harus malu, pura-pura tidak melihat, atau tertawa. "Ayah, kenapa kalian malah memberikan Nikko boneka, mentalnya makin rusak nanti."
"Apa maksudmu?" Ayah Aranggah menunjukan mata penuh binar ingin tahu. Seperti biasa, dia juga seorang ilmuan, bereksperimen dengan perilaku keempat anaknya adalah wajib. Dia hanya ingin tahu berkembangan Nikko setelah mendapatkan boneka Hannah, apakah akan bisa melupakan yang asli?
Pria itu menuding ke arah salah satu pepohonan dimana Nikki berlarian dengan membawa action figure yang mirip dengannya. "Lihat, adikmu senang sekali saat mendapatkan boneka Nana."
"Ayah menyamakan Nikko dengan Nikki?"
"Jangan iri begitu, Nak, ayah juga membuatkan action figure karakter favoritmu—" Ayah Aranggah mengeluarkan boneka lainnya dari dalam jaket, sekilas mirip sekali dengan penampakan bunny girl. "Gadis bertelinga—"
Klaus spontan merebut itu, lalu menginjaknya sampai hancur dalam satu kedipan mata. Dia tidak ingin segala macam rahasia tentang dirinya diketahui. "Huh—aman."
Aksa, Hannah tidak melihat kejadian itu.
Akan tetapi Reno yang telah meminum obat khusus mampu melihat bentuk boneka barusan. Dia mengejek, "ahaha, gadis berte—"
Tinju Klaus langsung melayang ke wajah Reno, membuatnya terlempar hingga beberapa meter. Setelah itu dia menghela napas kembali.
Hannah berlari mengejar kakaknya. "Kak Reno!"
Aksa kagum dengan kekuatan itu. "Keren, lakukan lagi!"
Reno bangkit dari atas rumput sembari mengelus hidungnya yang kemerahan. Dengan mata melotot nyaris keluar, dia mengepalkan tangan. "Sialan."
Hannah menyenggol lengan kakaknya itu. "Tolonglah, jangan bertengkar kalau ada ayah-ayah mereka. Pikirkan nasib adikmu, mereka calon keluargaku."
"Han—" Reno memegang kedua lengan Hannah, lalu memandangnya serius, "pikirkan sekali lagi, lihatlah kadal itu." Dia melirik Nikko yang masih memandangi action figure tadi. "Katakan padaku, selain tampang, apa yang harus dibanggakan dari si tolol itu?"
"Jangan memanggilnya tolol, dia jenius—" Hannah tetap bangga meskipun kecewa kekasihnya malah menciumi bonekanya. "Dan yang paling penting aku sangat mencintainya, cinta tidak butuh alasan."
Reno berbisik, "dia menciumi boneka."
"Itu bentuknya mirip aku, tidak masalah."
"Aku yakin anak kalian nanti, merangkak dengan kaki di atas seperti beruang sirkus, kalau tidak begitu pasti menggunakan moncongnya untuk menyundul bola."
"Memangnya kamu pikir anak kami itu lumba-lumba?"
"Kalau benihnya tolol—" Reno menuding Nikko, "hasilnya zonk."
Hannah bersedekap dengan mimik muka merajuk. "Pokoknya besok saat mama kemari, aku akan mengadukanmu tentang masalah ngintipin tetangga."
Reno mengomel, "ketimbang kamu ngurusin kegiatanku, mending urus itu pusarmu, sejak kapan kamu punya baju beginian? Biasanya kamu renang pakai celana training, sekarang sok-sok'an pakai bikini rok ala Idol? Walaupun kamu punya pacar otak anak TK, tetap saja, Han, jangan vulgar!"
Sebelum Hannah menjawabnya, mendadak Nila datang dengan membawa dua tamu. Pemuda tampan dengan pakaian ala pekerja kantoran dan gadis remaja manis. Kecantikan gadis itulah yang langsung memanah hati Aksa dan Reno.
"Ayah, aku sudah bersikap seperti gadis yang baik, aku menunjukkan jalan, ini Berlian 03," kata Nila sembari menarik tali yang mengekang leher sang pemuda. Dia menoleh dengan wajah yang senantiasa datar. "Hei, kalau jalan yang cepat."
Pemuda itu tampak bahagia diperlakukan seperti budak. Ketampanannya luntur karena mimik wajah mesum yang dia tunjukkan pada Nila. "Nila, kita sudah sama-sama dewasa, menikahlah denganku. Aku tidak masalah setiap hari berada dalam rantai cintamu."
"Diam." Nila memutuskan rantai yang mengalung di leher tamunya itu.
Situasi menjadi sangat sunyi mendengar hal itu.
"Berlian 03, Billy C, selera humormu menjadi tinggi ya? Apa kalian stress karena belum berhasil menumpas Alpha Nachash di kota kalian?" tanya pria itu yang terdengar penuh sindiran.
Billy C acuh pada pria itu. Dia malah mendekap Nila dari belakang. Sebagai anggota pemburu Nachash, sudah dipastikan kekuatan fisiknya juga kuat. Caranya memeluk begitu gemas seperti ingin mematahkan tulang punggung. "Ayolah menikah denganku, aku rela menjadi budakmu seumur hidup—ya ampun, Nila, kenapa kamu cantik sekali? Apa kamu ini dewi?"
Nila menonjok mukanya sampai mimisan. "Diamlah, Amplas."
"Ahaha, kecantikanmu membuatku mimisan!" Billy C menjadi girang. Dia mengusap darah di bawah hidungnya dengan ekspresi bahagia. Seluruh pemburu yang memiliki nama Berlian seolah tidak memiliki syarat rasa sakit sekalipun berdarah-darah.
Hening.
Hannah dan Reno melongo tak percaya. Nikko masih memandangi bonekanya. Ketiga ayah kloningnya geram melihat ulah pemburu dari luar kota itu. Klaus tiba-tiba pergi karena tidak tahan. Sementara itu, Aksa seperti menyatu dengan alam, dia terlalu terpana dengan keindahan duniawi yang disebut Nicola dan gadis tamu yang dibawanya.
Ya, gadis itu, si tamu yang berdiri di sebelah Billy C memecah kesunyian dengan memperkenalkan diri, "selamat pagi, nama saya Berlian 02, panggil saya Billie B."
Aksa langsung menanggapi, "aku Aksa, calon eksekutif muda."
"Selamat datang, seperti isi surat dari ayah kalian, kita akan membahasnya nanti siang. Untuk sementara nikmati saja hidangan dari J-23 di dalam mansion," kata Ayah Avis dengan sopan.
Aksa terus mengoceh, tapi tatapan Billie B malah mengarah pada Nikko.
"Itu baru cewek~" Reno mengikuti insting playboy untuk mendekat. Matanya sudah tidak bisa menahan godaan gadis cantik manapun, kecuali Hannah. Ya, dia masih jijik melihat adiknya berpakaian minim.
Hannah menarik lengan sang kakak lalu mengingatkan, "Kak Reno, belajarlah setia! Aku yakin di masa depan, kamu akan mati ditikam istrimu kalau begini terus."
"Han, kita ini hidup sekali, biarkan aku bahagia."
"Ngomong apa sih, Bangkotan?"
Reno menghempaskan tangan Hannah secara dramatis. "Selera orang itu beda-beda, Han, kakakmu ini normal—ada cewek cantik, ya ajak kenalan. Sudah, kamu bangun istana pasir saja dengan pacar kadal gurunmu."
"Hah~" Hannah lelah. Dia berjalan mendekati mereka kembali dengan wajah cemberut. Dia buru-buru menarik lengan Nikko seraya berbisik, "Nik, ayo renang sajalah, ketimbang menonton Om-om masokis godain kakakmu."
Tiba-tiba Billy C belari cepat ke belakang Hannah. Dari sudut pandang mata normal, itu seperti teleportasi. Pemuda ini menampakkan kebencian saat mendengar ada yang memanggilnya "Om". Sebagaimana para pemburu Nachash, dia juga memiliki penderangan super.
"Siapa yang kamu sebut Om? Aku masih dua puluh tahun, panggil aku kakak tampan," ucapnya mengintimidasi Hannah.
Hannah terloncat kaget. "Jangan ngagetin dong!"
"Kamu pikir bisa merayuku dengan pusarmu yang selebar lubang sumur itu?" Billy sempat melirik pinggang dan perut Hannah yang terbuka. "Di mataku hanya ada Nicola. Pusarnya pasti berkelipan seperti galian emas."
"Ngeri sekali, itu pusar apa tambang?" Hannah jijik mendengarnya, "mentalmu rusak ya, Om?"
"Sudah kubilang, aku masih dua puluh tahun!"
"Jangan mendekati Hannah!" sentak Nikko menghajar wajah Billy C sampai dia terlempar ke teras mansion. Dengan wajah masam, dia menarik Hannah pergi ke arah pantai, meninggalkan semua orang yang hanya bisa diam melihat ini.
Reno sudah bisa merasakan energi negatif dari orang-orang baru ini. Dia curiga kalau keluarganya memang dikutuk akan selalu bertemu dengan—orang bodoh. Meskipun begitu, dia tetap bahagia bertemu Billie B.
Akan tetapi pandangan Billie B masih tertuju pada Nikko. Tanpa diduga, dia menyambar lengan lelaki itu seraya bertanya blak-blakan, "Nicholas, aku selalu ingin bertemu denganmu." Matanya diselimuti binar-binar asmara. Dia sudah menantikan hari dimana akan bertemu dengan Nikko. "Aku mendengar semua tentangmu, aku melihat rekaman video tentangmu. Kita sama-sama pemburu. Kata ibuku, ajaklah menikah laki-laki yang berasal dari pemburu. Jadi, menikahlah denganku!"
Keempat Ayah Nikko kaget.
Aksa dan Reno berubah jadi batu.
"Maaf, aku harus membangun istana pasir dengan Hannah," sahut Nikko dengan suara datar. Dia menepis tangan Billie, lalu kembali berjalan bersama sang kekasih dan action figure-nya. Dia mengira semua pemburu Nachash itu terlahir aneh, jadi tidak pernah dianggapnya serius.
Keadaan hati Hannah mendadak tidak karuhan.
***
BAB 09
GALAU
Tepi pantai pulau ini sangat indah. Udaranya segar, pasir putihnya lembut, kulit kerang berbagai jenis berserahkan. Pantulan sinar matahari pagi di atas laut biru terlihat seperti kilau berlian.
Hannah tersenyum memandangi semua ini. Sudah lama dia tidak mendengar suara ombak. Terakhir liburan adalah ketika mereka selesai melakukan pertempuran dengan Alpha Nachash. Setelah sekian lama, dia bisa menghirup udara segar kembali.
Dia memang tak terlalu suka berlibur karena hanya akan membuatnya lelah. Namun, bersama Nikko itu lain cerita.
Dia menatap Nikko yang mulai duduk dan mengisi pasir ke dalam ember. Sejujurnya dia lebih ingin berenang ketimbang bermain pasir.
“Hannah, besok kita harus ke tempat atraksi lumba-lumba,” kata Nikko mulai membangun istana pasir, “kita bisa menontonnya berdua saja.”
“Tentu.” Hannah mendekati tepi pantai sembari meregangkan otot bahu. Dia menghela napas panjang, merasakan terpaan angin yang lembut di kulit wajahnya.
Helai demi helai rambutnya berkibar cantik. Dia sengaja berpose layaknya model, tapi sayangnya perhatian Nikko sedang fokus pada mainan pasir.
Kebiasaan Nikko saat fokus adalah lupa sekitar. Baginya, asalkan bau Hannah tidak terlalu jauh, perhatiannya takkan teralihkan. Tak heran Reno menyebutnya otak TK. Anak akan diam kalau sang ibu masih ada di dekat mereka.
Hannah melirik action figure-nya diletakkan di atas pasir belakang punggung Nikko. Di mendekat perlahan dengan niat jahat. Ia curiga boneka itu akan jadi sumber masalah di kemudian hari.
Saat sudah berhasil mengambilnya, dia melemparkannya ke laut— sekencang mungkin. “Mampus.”
Nikko menoleh cepat. Mimik wajahnya berubah kecewa. “Hannah! Kenapa kamu membuang Hannah?”
“Karena aku tidak suka diduakan, sekalipun itu hanya boneka,” jawab Hannah asal saja. Dia tersenyum manis hingga membuat Nikko tersipu. Triknya ini berhasil menurunkan rasa kecewa dalam hati lelaki itu.
Nikko menggenggam tangan Hannah. Simulasi yang disarankan Reno pun mulai ia lakukan. Pegangan tangan di pantai.
Udara sejuk nan menyegarkan mengembus ke arah mereka. Mata mereka saling bertemu. Jantung dua-duanya juga berdebar sama keras.
“Hannah, kamu cantik,” puji Nikko pada akhirnya. Itu adalah kalimat yang telah ditunggu Hannah sejak tadi.
“Kamu memang selalu cantik,” tambahnya dengan senyuman manis. Bola matanya berputar ke samping. Saat melihat wanita telanjang, ia tidak terpengaruh. Akan tetapi melihat Hannah dengan rok renang yang terlalu pendek membuat kepalanya pusing.
Sejak awal, dia memang hanya tertarik kepada gadis itu. Dugaan Reno pun benar adanya. Hanya adiknya itu yang bisa menggoyahkan sisi laki-laki Nikko.
Hannah meremas erat telapak tangan Nikko. Hanya kata, “terima kasih,” yang bisa menunjukkan rasa senangnya.
“Kamu nggak mau komentar tentangku?” tanya Nikko menunggu kalimat lain keluar dari Hannah.
“Komentar?”
Nikko melepaskan genggamannya, lalu menuding dirinya sendiri. Dia berpose dengan gagah bak binaraga pamer tubuh, padahal dalam dia hanya ingin celana pendeknya diperhatikan.
“Oh—” Hannah bisa menebak apa maunya Nikko. Dia langsung menunduk ke celana yang dipakainya. “Celanamu bagus, warnanya mirip dengan baju renangku.”
“Aku memilih yang mirip denganmu.”
“Ah~” Hannah mengangkat kepalanya lagi sebelum malu sendiri. Sebagai gadis waras dan berhormon normal, dia jelas lebih ingin memuji bentuk paha Nikko yang makin kencang sejak terakhir melihatnya— memandikannya.
Memandikannya.
Memandikannya.
Mendadak ingatan Hannah kembali ke jaman prasejarah. Memandikan kekasihnya sendiri. Walau tahun-tahun berlalu, ingatan semacam itu takkan bisa hilang, malah mengerak di kepala.
“Ada apa?” tanya Nikko heran.
“Bukan apa-apa,” jawab Hannah cepat sambil menepuk pelan keningnya agar sadar. Sudah sering sekali dia memikirkan hal itu. Demi mengalihkan pembicaraan, dia membahas, “tentang gadis tadi— Billie, dia menyukaimu, Nik.”
“Oh, pemburu dari kota sebelah. Aku yakin semua gadis di sana memang aneh.”
“Kurasa dia mengenalmu sangat baik.”
“Aku tak mengenalnya.”
“Mungkin saja kamu lupa.”
“Hannah, kamu gadis pertama yang kutemui, dan setelah itu— kita bersama selama ini, kapan aku mengenal gadis dari kota lain? Aku mengobrol dengan Carissa saja, kamu cemberut—”
“Hei, jangan berkata seolah aku ini posesif ya, aku melarangmu khusus jauhi gadis sialan itu— dia lebih berbahaya ketimbang Nachash, dia itu gadis reptil asli, mulutnya berbisa, kamu bisa celaka kalau kena racunnya,” omel Hannah mengingat betul kelakuan genit Carissa setiap kali Nikko masuk kelas. Padahal sudah tahu mereka berpacaran, tapi gadis itu tetap mengincar Nikko.
Kalau saja Nikko adalah laki-laki biasa, dia pasti sudah terkena jelas rayuan maut Carissa sejak dahulu. Namun, otak Nikko seperti program komputer. Tidak akan berubah sampai kapanpun. Hannah artinya cinta. Cinta artinya Hannah.
Nikko tersenyum memandang cintanya itu. “Kamu cemburu pada Billie?”
“Cemburu? Mana mungkin. Aku hanya penasaran kenapa dia tiba-tiba seperti itu?” Hannah keberatan saat dihadapkan dengan kata cemburu. Selama ini dia adalah pihak yang selalu kelihatan cemburu. Bagaimana tidak, semua gadis selalu kelihatan menyukai Nikko.
“Semua keluarga Berlian itu aneh. Kamu lihat kakaknya tadi, dia sangat aneh, bukan?”
“Tapi kamu nggak suka'kan?” Hannah tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia tertunduk lemas, menatap deburan paisr putih mengotori kulit telapak kakinya. “Dia sama sepertimu, pemburu— yang pasti kuat secara fisik, sedangkan aku— aku beda dari duniamu, kalau ada bahaya, bisanya cuma lari.”
“Han, lari itu bentuk pertahanan diri.”
“Pernyataan itu sama sekali tidak mengurangi galauku tahu.”
“Aku hanya menyukaimu. Dia hanya bercanda, mungkin, tapi kalaupun suka— biarkan saja, karena aku hanya menyukaimu.”
“Dan lagi, aku masih merasa ayah-ayahmu tak suka padaku. Mereka membuatkan boneka penggantiku untukmu.”
Tiba-tiba Nikko meraih tangan Hannah, lalu memeluknya dengan hangat. Dia tidak pandai berkata-kata, dan jelas tak tahu harus mengatakan apa untuk menunjukkan rasa cintanya.
Hannah membisu.
“Kamu yang menemukanku di rumah itu, kamu yang membawaku keluar ke dunia ini, jadi aku hanya akan membelamu,” kata Nikko bersuara lirih nan lembut. Dia mengelus gelungan rambut Hannah. “Mau ada berapapun boneka Hannah dibuat, tapi aku hanya menyukai Hannah yang asli.”
“Nikko—” Hannah terharu mendengarnya.
Nikko melepaskan dekapan sayang itu seraya menambahkan, “jadi nanti tolong jangan dibuang lagi ya, boneka Hannah-ku.”
Raut wajah Hannah mendadak masam. Ia suka mendengarkan ungkapan tulus Nikko, tapi terkadang kalimat tambahannya selalu menyebalkan. Kalau ada Hannah asli, mengapa masih butuh boneka Hannah?
“Aku akan membuangnya lagi~” ucapnya sambil bersedekap, lalu berpaling wajah, “pacarku nggak boleh main sama boneka.”
Nikko agak kecewa. “Tapi dia imut sekali—”
Hannah malah tersipu, sekaligus kecewa. Kenapa yang dipuji pertama adalah bonekanya?
Dari kedalamam hutan, di balik salah satu pohon, mata gadis ini menangkap sesuatu yang berkilau. Sesuatu itu bergerak dari di balik semak belukar seperti makhluk hidup. Dia tersentak kaget sampai tak mendengar ucapan Nikko.
Dia berjalan maju, tapi kilau putih itu hilang ditelan gelapnya rerimbunan hutan.
“Apa itu barusan?” tidak mungkin pantulan cahaya matahari, lanjutnya dalam hati.
Nikko menoleh ke arah Hannah memusatkan pandangan. “Ada apa, Han?”
“Barusan ada yang bergerak, mengintip kita— entah, tapi aku serius, itu berkilatan seperti— sisik?”
Nikko mengerutkan kening. Dia tidak melihat apapun, tidak mendengar gerakan asing serta tidak mencium makhluk apapun. “Kita sendirian sekarang."
“Bagaimana kalau orang jahat? Pembunuh bayaran— dia mengintai keluargamu mungkin, atau—” Om Edwin karena kebanyakan hutang?, pikir Hannah melotot panik. Dia sudah menduga hari dimana para penagih hutang akan menyergap keluarganya bak serbuan lintah.
“Tak mungkin ada orang lain selain keluarga di sini, ini pulau liburan pribadi milik pemerintah.” Nikko menoleh ke belakang, Aksa dan Reno datang bersamaan.
Aksa kini hanya memakai celana dalam renang. Sedangkan Reno memakai celana pendek dan kemeja longgar khas pantai. Wajah keduanya kelihatan kusut seperti kalah taruhan. Mereka tidak bisa menerima keadaan bahwa Billie B malah jatuh hati pada Nikko.
“Han, pacarmu selingkuh, putus saja,” kata Reno melirik Nikko dengan mata penuh luapan kedengkian.
Hannah menyahut keras, “yang tukang selingkuh itu kamu!”
Reno galau. Dia merosot ke atas tanah dekat bangunan istana Nikko yang belum jadi. “Ah~ mendadak kangen Nayla.”
“Gampang banget pikiranmu berubah ya—” Hannah kesal setiap kali nama gadis disebut sang kakak. Setelah membahas gadis satu, beberapa detik kemudian, ke gadis lainnya.
Aksa membusungkan dada pada Nikko. “Aku menantangmu, ayo kita berenang, yang paling kuat di lautan, dia yang boleh mendekati Billie.”
“Dekati saja, aku akan menjauh,” kata Nikko datar, sama sekali tak peduli.
Aksa mengejeknya, “jangan mengira kau lebih tinggi satu sentimeter dariku, kau merasa ganteng, Cebol.”
“Kau yang cebol.”
“Apa katamu?”
Nikko sungguh tak ingin berdebat. Dia jadi bingung, padahal tadi sudah romantis bersama Hannah, mengapa harus ada penganggu
Aksa masih mengomel dengan seribu jenis umpatan. Nikko melamun dan berpikir, makan siang nanti sama Hannah, enaknya makan apa ya?
“Dengar nggak woi!” sentak Aksa muak sampai mengayunkan tangan ke depan mata Nikko. “kebiasaan nih kacang polong, kalau diajak ngomong, fokus, Bro, fokus—”
Hannah melompat di depan Nikko, lalu membalas dengan sindiran, “Aksa, kamu ini keterlaluan, tiap ada cewek, selalu saja begitu. Kalau kamu mau pendekatan ke Billie silakan, jangan menganggu Nikko-ku.”
“Ayo bertanding,” ajak Nikko kemudian. Dia yakin saudaranya itu takkan berhenti mengomel sebelum dituruti. Tingkah rewel Nikki dan Aksa ada di tingkatan yang sama.
Aksa berjalan mendahului. “Ayo.”
“Nikko?” Hannah keberatan.
“Han, dia nggak bakal berhenti menganggu kita kalau belum dituruti.”
Hannah mengangguk. “Oke.”
Nikko pun berjalan mengikuti langkah Aksa. Dia kelihatan tidak suka dengan celana yang dipakai saudara tirinya itu. “Aksa—”
“Apa?” sergah Aksa seraya meliriknta tajam, “takut kalah?”
“Kalau aku menang, tolong pakai celana ya.”
“Ini celana renang, bukan celana dalam, jangan norak.”
“Berarti nggak pakai celana dalam?”
“Ini juga celana, kenapa aku pakai celana dalam?”
Nikko syok. Ia jadi teringat masa-masa suramnya saat telanjang karena tidak tahu apa itu pakaian. "Serius, nggak pakai celana dalam?”
“Bicara denganmu seperti bicara dengan guru BK, menjengkelkan,” gerutu Aksa sembari berjalan lebih cepat.
Obrolan barusan membuat bulu tengkuk Hannah berdiri. Dia pun duduk di samping Reno, memandangi Aksa dan Nikko melompat ke air. Suasana hatinya makin gundah.
Memori akan Billie B kembali hadir.
"Galau ya?" tebak Reno menyeringai.
Hannah bergumam pelan, “aku takut, mereka cocok, sama-sama super. Aku lemah seperti ranting, Kak Reno.”
"Kamu nggak kayak ranting kok, Han, kamu kuat, sekuat lidi."
"Aku nggak pengen debat."
"Cowok itu banyak, kalau nanti Nikko meninggalkamu, cari lagi."
"Gampang banget ngomongnya?"
Reno menjitak pelan kepala Hannah. Dia selalu melakukan itu sejak mereka masih kanak-kanak. "Makanya, kalau masih sekolah, nggak usah bucin."
“Mending minggat aja, malah bikin emosi!” sentak Hannah mendorongnya menjauh.
"Han, cowok normal itu kalau ditarik malah kabur, tapi Oscar itu kan beda, nggak usah takut dia kabur, nggak perlu kamu tarik, dia udah nempel sama kamu."
"Tapi~"
"Dengar, ayo kita membahas teori percintaan. Kakakmu ini spesialis ilmu cinta." Reno mendehem, kelihatan serius, padahal hanya ingin menggoda adiknya saja. "Menurutmu, apa hal yang paling penting bagi pasangan?"
"Cinta?"
"Uang."
"Mulai ngaco."
"Sekarang aku tanya, agar tetap hidup, kita butuh apa?"
"Oksigen."
"Makan. Untuk makan itu butuh apa?"
"Sendok."
"Uang. Nah, dari situ sudah terbukti, seseorang akan tetap hidup selama ada uang. Sekarang, pertanyaan selanjutnya, kenapa cinta bisa terjadi?"
"Karena tertarik."
"Benar, karena tertarik pada dompet, dan kamu pasti paham isinya dompet, bukan?"
"Kartu tanda pengenal."
"Uang. Kesimpulannya, hal yang paling penting bagi pasangan yang saling jatuh cinta adalah uang."
"Konyol."
"Bukan konyol, pikiranku itu realistis, pikiranmu itu fairies."
"Kamu itu memang budak uang, Kak."
“Han, setampan apapun Oscar, nggak usah bucin sama dia kalau dia belum jadi bos, udahlah~ pasrah. Seperti kakakmu ini, putus ya cari lagi, kalau sudah pacaran ya selingkuh, baru setelah menikah, kita harus berkomitmen. Cintai pasanganmu, cari uang tiap hari.”
Hannah mengambil kerang di depannya, lalu diberikan pada sang kakak. “Nih, ngobrol aja sama kerang.”
"Aku bicara begini demi kebaikanmu, terlalu bucin itu nggak sehat untuk keadaan hati. Makhluk berbatang ada jutaan di bumi ini. Dari semua orang bego, kenapa kamu malah jatuh cinta pada dia?"
“Kenapa kamu masih benci Nikko? Aku heran, nanti kalau dapat bad boy, pasti dimarahi, ini aku pacaran sama good boy, masih saja diomeli. Apa sih mau kalian?”
“Kata mereka, orang yang sudah meminum obat-obatan dari apel biru punya resiko kemandulan tinggi. Kamu mau nggak punya anak?”
"Aku bukannya nggak mau mengobrol denganmu, Kak Reno, tapi lebih baik kita jangan mengobrol bahasan cinta, kita beda server." Hannah malas melanjutkan percakapan. Ia mengalihkan pandangan kembali ke laut dimana ombak mendadak terlihat ganas dan tinggi.
Ya, Aksa sampai merangkak keluar dari dalam air dengan ekspresi ketakutan.
Hannah merinding, “Kak, ini perasaanku atau ombaknya jadi meliuk-liuk begitu ya? Ada pengendali air di sini?”
Berkat obat kuat, mata Reno bisa melihat jelas keadaan di laut itu. “Bukan, itu pacarmu sedang dibanting-banting makhluk bersisik mirip ikan atau ular—” Ia tertegun, tersadar kalau makhluk barusan mirip sekali bentuk bentuk Nachash.
Setelah berdiri, Hannah berlari ke tepi pantai. Dia panik luar biasa. “Nikko!”
“Han!” Reno mengejarnya. “Oscarmu pasti nggak apa-apa, jangan bunuh diri!”
Aksa tampak merangkak mundur sambil berseru takut, “ada makhluk aneh di sana! Aquaman mungkin—” Ia lalu berdiri dan lari terbirit-birit. “Mamaaa!”
Tap.
Tap.
Tiba-tiba seseorang berlari melewati Hannah. Dia menceburkan diri ke laut itu, lalu meluncur cepat ke arah Nikko. Billie B. Tanpa mengatakan apapun, dia bergabung untuk melenyapkan makhluk yang masih tersembunyi di bawah air itu.
Pertarungan di bawah laut sulit di lihat oleh Hannah. Dia hanya diam di pinggir pantai. Niat menolong menjadi pupus. Biasanya dia akan maju sekalipun tahu takkan membantu, tapi sekarang kakinya tidak mau bergerak.
Inilah yang dia takutkan sejak jatuh cinta kepada Nikko. Pasti ada gadis lain yang sama-sama pemburu Nachash, dan sudah pasti memiliki ketahanan fisik sama dengannya.
Cocok.
Nikko, panggil Hannah dalam hati.
Reno berjalan mendekat. Dia menepuk pundak adiknya yang cemberut itu. “Han, santai, palingan cuma belut laut.” Ia sadar itu kemungkinan Nachash.
Hannah galau maksimal.
“Aku paham—” Reno memperhatikan wajah murung itu. “Dengar, walaupun Billie lebih cantik, lebih seksi, lebih kuat, lebih tinggi, lebih feminin kelihatannya, dan selera berpakaiannya lebih baik darimu, percayalah— menurut pandangan kakakmu yang laki-laki ini, kamu itu lebih—”
Dia tertegun, mengingat gambaran adiknya:
Wajah standar.
Tidak bisa berhias, memakai eyeliner saja pasti berubah jadi syetan.
Kelakuan buruk.
Kebiasaan mengumpat tinggi.
Masak selalu gagal.
Kalau tidur, posisinya memalukan.
Tolol di pelajaran apapun, kecuali olah raga.
Tubuh pendek.
Setelah membisu lama, Reno menemukan kata yang pantas, “kamu sangat imut seperti kancing kemeja.”
Hannah menatapnya datar. Ia paham betul jalan pikiran sang kakak. “Jadi aku benar-benar tak ada kelebihan di matamu'kan?”
“Jangan kecewa begitu, hari ini kamu kelihatan cantik kok— seperti model JAV, aku yakin Oscar akan setia padamu,” tambah Reno asal. Dia tidak pernah menjaga ucapan kalau bersama Hannah. Sudah bertahun-tahun seperti itu.
Hannah ingin menangis saja. Dia berbalik badan, lalu kembali ke Manor, “aku akan melaporkanmu ke Mama.”
Deburan ombak yang makin dashyat. Nikko dan Billie B kelihatan menghajar sesuatu.
Reno lantas berbalik, berjalan mendekati Hannah yang tertunduk lemas. “Han, jangan galau, nanti imutmu luntur.” Ia melingkarkan lengan di atas bahu gadis itu. “Kakak ada stok cowok ganteng, dia banyak uang, uang jajanmu pasti—”
“Jangan menjualku, Sialan,” sela Hannah meliriknya tajam. “Kalau kamu bertingkah seperti germo, akan kuadukan pada Papa.”
Reno tergelak keras. Dia sangat suka menggoda Hannah dalam kondisi apapun. Niatnya memang baik, agar gadis itu tidak cemberut kembali. Akan tetapi selera humornya selalu membuat orang menjadi jengkel.
“Sudah, pokoknya jangan galau, biasa aja, itu Oscar bukan kakak, jadi nggak mungkin selingkuh,” tambahnya yakin.
Hannah sedikit tenang. Ia tahu, perkataan barusan— sangat benar.
***
BAB 10
CEMBURU
Reno dan Hannah duduk berdua di ruang makan mansion tua tempat mereka menginap. Sejak mengetahui keberadaan makhluk aneh di tepi pantai, ketiga ayah dan para anaknya bergegas menolong.
Sedangkan Ayah Aranggah malah ikut ke dapur, lalu menyedu kopi. Dia membuka lemari pendingin, lalu mencari-cari kota susu. "Salah satu dari kalian pasti mencuri minuman favoritku."
"Aku," kata Reno menunjuk ke tong sampah bawah meja bundar, "aku minum semuanya." Tidak ada penyesalan sedikitpun tergambar dari wajahnya.
Hannah berdiri dari kursinya seraya berkata, "apa yang kulakukan? harusnya aku menunggunya di tepi pantai."
Ayah Aranggah menyahut, "jangan, orang hebat itu sadar kelemahannya. Kalau tubuh lemah, jangan pernah sok berani mendekati bahaya. Hidup nyata tidak semudah kartun dimana karakternya bisa berhasil hanya dengan semangat membara."
"Om, walaupun kau jelek, kau ternyata pintar," puji Reno tersenyum.
"Aku ilmuan," kata Ayah Aranggah meliriknya tajam, "bicaralah yang sopan dengan orangtua."
"Oke, oke, boleh kutanya sesuatu, Om?"
"Apa?"
"Apa iya kalian ini kloningan? Sampai sekarang aku belum percaya ada makhluk hidup yang bisa di kloning."
"Memang begitu."
"Bahan baku pembuatan manusia kloningan itu apa?"
"Pikir saja sendiri."
"Tepung?"
Ayah Aranggah menghela napas panjang. "Khusus keluargamu ini, apa kalian ini bodoh sampai ke DNA?" Dia memandangi Hannah yang masih resah. "Tapi gara-gara ini juga, aku ingin membuat penelitian lagi, bagaimana kalau DNA kepintaran standar kelakuan barbar bersatu dengan DNA anakku yang lugu tapi jenius. Mana yang lebih dominan nantinya."
"Kenapa kau melirik adikku, Tua Bangka?"
Hannah sama sekali tak peduli dengan obrolan mereka. Dia kembali duduk, lalu menyembunyikan wajah di atas meja. "Nikko—kalau aku kesana, aku pasti hanya menambah masalah, kalau aku di sini, tidak ada gunanya. Tadi itu makhluk apa, Kak Reno?"
"Itu karena mereka bisa disebut pemburu," jawab Ayah Aranggah mendahului.
Hannah langsung bangkit dari atas meja. "Hah?"
Reno pun tak kalah kaget. "Aku jelas melihat sisik."
Walaupun tak keluar dari dalam mansion, tapi kemampuan Ayah Aranggah tidak perlu diragukan dalam memperkirakan apa yang terjadi, apa yang sedang menyerang, dan hasil dari segala sesuatu yang terjadi. Dia mengatakan, "kalian ingat Berlian 00? Billy yang pernah menyelamatkan kalian? Di keluarga Berlian, pemburu kota sebelah, ada satu anak yang DNA-nya tercampur Nachash, ya dia. Dia istimewa karena tidak akan dikenali sebagai Nachash oleh pemburu, di satu sisi, dia bisa membaur dengan Nachash tanpa ketahuan."
"Lalu?"
"Keluarga pemburu lain sangat sadis saat bereksperimen, tidak sepertiku yang hanya membongkar tubuh anak-anakku."
"Itu sadis!" Hannah masih tidak mau membayangkan tubuh kekasihnya diacak-acak oleh orang gila itu. "Pokoknya ya, Ayah, jangan pernah menyentuh Nikko lagi—hanya boleh suntikan tahunan."
"Kamu takut sekali aku akan mengoperasinya, aku memang berencana membedah isi kepalanya—aku heran kenapa dia lebih menurut padamu ketimbang pada kami, aku yakin pernah memberikan bahan kimiawi yang membuat otaknya hanya merespon pada orang yang sedarah baginya."
"Kalau saja aku bisa mengambil hak asuh Nikko," gerutu Hannah yang kesal sendiri mendengar ucapannya. Makin hari, ilmuan ini makin menunjukkan jati dirinya. Padahal dulu ia mengira pria ini yang paling baik.
Reno menyela, "lanjutannya bagaimana ini?"
"Jadi—keluarga Berlian itu memang lebih lemah dari kami, tapi mereka punya kemampuan bersembunyi lebih baik. Menurut perhitunganku, makhluk bersisik yang kau lihat tadi adalah salah satu ekperimen yang gagal, kita sebut saja dia Corchas."
"Corchas? Jelek sekali namanya."
"Corvus-Nachash, setengah pemburu, setengah ular."
"Lalu kenapa dia malah menyerang tadi? Aku bisa melihat jelas, dia menyerang anak Om." Kening Reno mengerut, pertanda mulai berpikir serius. "Billy yang menolong kami masih sadar."
"Billy 00 itu produk berhasil, sementara yang menyerang kita ini kemungkinan produk gagal. Di sini alasan mengapa mereka disebut gagal karena sifat Nachash mereka lebih dominan, maksudku—haus darah. Itu insting alami Nachash yaitu memakan daging manusia. Billy yang menyelamatkan kalian itu tidak memiliki insting itu, jadi itulah kenapa dia disebut berhasil."
"Kenapa sampai berbuat sekeji itu, membuat makhluk campuran."
"Bukan begitu, terkadang anak-anak terlahir dari ibu yang telah tergigit Nachash. Kalian tahu bukan proses pembusukan sebelum menjadi Nachash itu beberapa bulan? Nah, anak-anak ini lahir sebelum ibu mereka jadi Nachash, tapi mereka otomatis telah tertular. Para ilmuan mengumpulan mereka untuk diselamatkan. Sejauh yang kutahu hanya Billy yang berhasil."
"Mengerikan."
"Aku sudah menduga mereka muncul saat dua tamu dari keluarga Berlian tadi kemari. Mereka mengikuti mereka kemari—karena di sini sedang ada satu keluarga pemburu, mereka ingin memakan keluargaku."
"Jadi intinya mereka musuh?"
"Tentu saja, tapi bedanya Corchash hanya akan haus darah—pemburu."
"Aku tidak mengerti."
"Kalian pasti sudah tahu tubuh pemburu berbeda dengan tubuh manusia biasa, sepertimu sekarang—kau hanya meminum obat palsu yang sengaja dibuat untuk percobaan, dan kelihatannya berhasil, efeknya—kau sudah pasti tahu, seminggu lagi, kau akan tidur seharian."
"Mirip obat yang diminum anak Om saat meningkatkan indera tubuh itu?"
"Iya, tapi kadar untuk obat yang kau minum itu setengahnya. Di dalam tubuh pemburu sudah tercampur oleh senyawa dari apel biru, selama bertahun-tahun, itu membuat mereka punya kualitas daging terbaik."
Reno membayangkan daging sapi di pasar, lalu daging sapi di supermarket.
Ayah Aranggah memberikan tatapan datar. Orang ini sudah tidak tahan mengobrol dengan orang seperti Reno. Ia memberikan penjelasan semudah mungkin, "intinya Corchash itu lebih tertarik pada mereka yang telah memakan apel biru selama bertahun-tahun. Pemburu itu bak seekor kijang, manusia biasa itu tikus. Seekor harimau lebih tetarik memakan kijang."
"Walaupun adikku berdarah manis?" tanya Reno menuding adiknya, "Nachash ngiler melihatnya, bahkan Alpha yang disebut Hades waktu itu."
"Insting binatang seperti Nachash harus dibedakan dengan insting Corchash. Nachash itu mayat hidup, Corchash itu masih hidup. Tentu saja mereka lebih memilih memakan daging yang bermanfaat ketimbang daging penyakitan manusia biasa." Ayah Aranggah pusing dengan kemampuan Reno menerima pembelajaran baru. "Kau sebut dirimu mahasiswa? Jurusan apa kau?
"Kampung Rambutan."
"Berapa nilai matematikamu?"
"Enam."
"Kalau kau anakku, akan akan mengganti otakmu dengan kera."
"Enam, terakhir belajar tiga tahun yang lalu."
"Enam itu tidak bisa disebut nilai."
"Jangan mengejek, Om, Enam itu standar kelulusanku dulu, aku lulus SMA dengan nilai enam. Enam itu membanggakan, bayangkan banyak siswa lainnya yang dapat lima atau empat."
"Kalau kau membandingkan dirimu dengan orang-orang yang ada di bawahmu, kau takkan bisa maju. Membandingkan itu dengan orang yang di atasmu, dengan begitu—kau punya ambisi untuk maju."
"Om, aku ini orangnya sederhana, semua orang itu diciptakan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, buktinya aku? Aku ganteng, jadi nggak perlu terlalu jenius? Nanti nggak adil buat cecunguk-cecunguk, Om."
"Nikko ganteng, jenius juga," sela Hannah tak suka dengan prinsip hidup Reno.
Reno meliriknya cepat. "Tolong jangan bandingkan kakakmu dengan pacar tololmu."
"Dia jenius!"
"Dia nggak tahu caranya kuda-kudaan, Han!"
Ayah Aranggah keberatan. "Hei, jangan mengira anakku tidak bisa bereproduksi ya? Klaus dan Nikko mewarisi ketampanan dan kejantananku."
"Ya ampun, Ayah!" Hannah merinding. "Jangan membahas hal pribadi."
"Memangnya berapa usiamu? Ini pelajaran sekolah dasar."
Hannah teringat betul sifat pria ini sama persis denagn Nikki. Dia pun mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "oh iya, Ayah, tadi aku sempat melihat ada kilau mirip sisik juga, tapi anehnya Nikko tidak merasakan apapun, jangan-jangan—mereka ada banyak?"
"Informasi dari keluarga Berlian, mereka ada lima."
"Nikko, aku khawatir~"
"Jangan khawatirkan anakku, dia kuat, syukurlah kamu sadar diri dan kembali ke sini tepat waktu. Musuh takkan berani mendekati mansion ini."
"Apa di sini ada bom?"
"Ada aku—Nachash sekalipun akan takut padaku, orang jenius itu mengalahkan lawan dengan kepalanya. Aku sudah menyiapkan pasukan robot~" Ayah Aranggah kembali teringat pada penelitiannya pada malam itu. Dia sengaja menggunakan anak-anaknya untuk mencoba teknologi buatan. Dia mulai memikirkan percobaan selanjutnya. "Aku juga sedang mengembangkan monster buatan dari sel Alpha Nachash Hades yang dikalahkan Avis tahun lalu."
Ia memandang langit-langit dengan senyuman lebar. Tidak ada yang bisa menebak isi kepalanya saat sedang berada dalam mode ilmuan seperti itu.
Reno dan Hannah saling memandang, tidak paham sekaligus sebal. Mereka berdua sama-sama ingin menonjok wajah pria sombong itu, tapi sadar pepatah 'yang muda harus sopan pada yang tua'. Lagipula Ayah Nikko itu kadar menyebalkannya tidak separah paman mereka.
"Ayah! Ayah!"
Mendadak dari arah depan, suara Nikko terdengar memanggil Ayah Aranggah terus menerus. Cukup keras sekaligus panik.
Ayah Aranggah berlari keluar.
Reno dan adiknya menyusul.
Mereka dikejutkan dengan pemandangan Nikko basah kuyup sedang menggendong Billie yang sebagian kulitnya berubah kehijauan. Ya, tubuh gadis itu seperti tengah keracunan. Akan tetapi dia terlihat baik-baik saja, malahan tersenyum karena diperlakukan dengan baik oleh Nikko.
"Sebenarnya nggak apa-apa, tadi cuma racun biasa, kami tak sepertimu yang kebal, tapi aku yakin tubuhku akan menyembuhkan diri— agak lama memang," kata Billie seraya membelai bekas gigitan di tangannya.
Nikko merebahkan gadis itu di atas sofa. Ia kelihatan sangat cemas, hampir membuat orang-orang heran. "Tidurlah, ayah akan mengobatimu."
Billie tak bisa menyembunyikan rasa sukanya. Sorot matanya tak henti-hentinya merekam wajah tampan Nikko, mengagumi rambutnya yang basah, lalu turun ke dada bidangnya, hingga menurun sampai lutut.
Hannah membatu. Dia tidak ingin marah, tapi sangat marah. Tatapan Nikko yang khawatir, berbanding terbalik dengan tatapan nafsu Billie. Namun, kalau dia marah, pasti akan terkesan pencemburu. Apalagi mereka berdua baru saja melawan monster. Sedangkan dirinya? Hanya bisa duduk di dapur— menonton kakaknya minum susu.
Ayah Aranggah memakai sarung tangan putuh, lalu memeriksa bekas gigitan di tangan Billie. "Gigitan makhluk itu? Corchash? Aneh sekali—harusnya tidak memiliki racun."
"Iya, Ayah, aku juga gigit— tapi aku tidak terpengaruh," kata Nikko membungkuk di depan sofa Billie, mengamati luka gadis itu lebih dekat. "Dia takkan terluka'kan? Dia menyelamatkanku tadi."
Billie menerangkan, "itu CN-X1, aku ingat wajahnya, dia si gagal pertama, yang kami ceritakan sekilas. Dia bisa dibilang Alpha dari lima orang yang kabur dari laboratorium Ayah kami."
Ayah Aranggah memeriksa kondisi denyut nadi dan jaringan kulit Billie.
Hannah memberanikan diri mendekat. "Apa yang bisa kubantu? Kuambilkan sesuatu?"
"Hannah, kamu minggir dulu," pinta Nikko dengan cepat sembari mendorongnya jauh-jauh, "jangan mendekat."
Hannah mundur beberapa langkah. Kecemburuannya makin menjadi-jadi. Dia tidak tahan melihat Nikko terlalu mengkhawatirkan gadis yang tampak baik-baik saja. Dadanya bertambah sesak, rasanya ada jarum yang menusuk. Tanpa sengaja dia membandingkan ekspresi itu dengan saat ia terkena demam. Mengapa hampir sama?
Tidak ada seorang pun yang merenggut perhatian Nikko sampai seperti itu sebelumnya.
Reno memahami kegundahan hati adiknya. Dia agak sebal melihat mimik wajah Billie yang blak-blakan menyukai Nikko. Untuk mengerjainya, dia mendekat seraya bergurau, "Billie, biar abang cium aja, pasti sembuh~"
Tiba-tiba Nikko mengepalkan tangan, lalu memukul perutnya sampai dia terhempas ke tembok samping.
Kejadian barusan hanya berlangsung satu detik. Reno tak merasakan apapun, kecuali tahu-tahu punggungnya perlahan terasa nyeri. "Ah!"
Hannah merasa pukulan itu kelewatan. Dibandingkan dengan pukulan "persahabatan" dari Klaus tadi pagi, tinju Nikko sangatlah kejam. Dia buru-buru menghampiri kakaknya, lalu membantunya bangun, "Kak Reno—" Dia melototi Nikko. "Apa-apaan kamu ini? Itu kelewatan! Sekalipun kakakku sudah menjadi sedikit kuat, bukan berarti kalian seenaknya memukulnya!"
"Aduh, punggungku patah, sial—" Reno berdiri dengan kepayahan. Dia melirik ke tembok belakangnya yang hancur, wajar kerusakan tulang sum-sumnya juga parah.
Nikko mendadak menyesal. Dia seolah baru sadar melakukan itu. Dadanya berdebar-debar karena takut. Itu kesalahan, dan Hannah tak menyukainya. Ia sendiri heran, mengapa bertindak agresif, apakah karena gigitan tadi?
Ia melangkah maju. "Maaf—"
Ayah Aranggah meraih tangan Nikko. "Kamu di sini, kamu hisap racun dari tangan Billie, lima menit setelah Ayah injeksikan obat ini—" Tangannya yang lain sudah memegang suntikan. "Biarkan mereka, dia sudah minum obat itu, takkan jadi masalah."
Hannah pun membawa pergi kakaknya tanpa menoleh kembali.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
