Lengang yang Tak Lekang #rumahdalamdiri

3
0
Deskripsi

Ada kekosongan dalam diri Alina. Hampa dan rasa ganjil yang senantiasa merongrong dirinya. Hingga suatu hari, Alina menerima penawaran renovasi rumah tua dari salah satu koleganya. Rumah tua yang adalah tempat jiwa koleganya pulang. Akankah Alina juga menemukan rumah buatnya pulang?

Mukanya muram, pandangannya lurus ke depan, langkahnya besar-besar, seolah ada raksasa sedang mengejar. Sebab terlambat beberapa detik saja, ia mesti menunggu bermenit-menit biar lift kembali terbuka. Alina menghela napas, tepat begitu ia tidak terlambat masuk dan pintu lift yang ditumpanginya menutup lalu membawanya naik menuju lantai di mana unitnya berada.

Ting!

Alina keluar dari lift dan berjalan lebih santai. Perempuan itu menatap ke depan. Tampak olehnya koriror lurus panjang dengan pintu-pintu tertutup. Unitnya berada di deretan paling ujung. Ia tidak mengenali salah satu pun dari tetangga unitnya. Sebab hampir tidak pernah ia bersosialisasi di sini. Pekerjaannya sebagai seorang desain interior membuatnya sibuk sekali di luar.

Alina berjalan menelusuri koridor yang tiap hari dilewatinya. Namun, kali ini rasanya berbeda. Ada perasaan aneh yang menyeruak dalam hatinya. Pertanyaan-pertanyaan menyerbu pikiran. Apakah tetangga di nomor 501 ini hanya sendiri atau berkeluarga? Bagaimana mukanya? Alina menoleh ke unit nomor 502. Pertanyaan-pertanyaan kembali menyeruak, apakah mereka kerasan tinggal di sana? Apakah desain di dalamnya sama dengan unitnya? Apakah menyenangkan tinggal di dekat lift? 

Klek!

Sebuah pintu terbuka dari unit nomor 506 di depan unitnya. Seorang perempuan muda keluar dari sana, berjalan melewati Alina dengan tergesa-gesa. Tidak ada sapaan, bahkan senyuman. 

Ah, pemilik nomor 506 seorang perempuan muda rupanya. Begitu batin Alina. Seolah sedang diingatkan, Alina mempercepat langkahnya menuju unit miliknya, unit 507. Ia membuka pintu, menutup pintu, melepas sepatu, menaruhnya di rak, berjalan menuju sofa, melempar tas, lalu membanting tubuhnya ke sana. Matanya memejam, seolah kehidupan telah menekuk badan dan jiwanya. Helaan keluar dari bibir Alina.

Sekian detik setelah memejam, Alina kembali membuka mata. Dilihatnya unit miliknya. Ruang apartemennya tampak begitu luas dan berdesain minimalis. Tampak sempurna di mata orang lain, tertata begitu indah, tetapi terasa kosong bagi Alina. 

Perasaan ini datang lagi. Perasaan hampa seperti kekosongan yang memenuhi benak dalam diri. Asing. Ganjil. Padahal ia sedang berada di rumahnya sendiri. Namun, apakah ini benar-benar rumah yang ia cari?

Sebagai seorang desain interior, Alina telah mengerjakan berbagai ruang-ruang untuk rumah-rumah mewah dan menawan yang ia pegang. Rumah yang menggambarkan kesukacitaan, kehangatan, kenyamanan bagi orang-orang asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Dan selepas pekerjaannya selesai, ia akan berpindah ke tempat lain, ke ruangan lain yang membutuhkan sentuhan tangan dan kepiawaiannya. Begitu seterusnya tanpa ada sesuatu yang tertinggal di setiap karyanya. Sebatas bekerja dan melakukan sebisanya, sesempurnanya, dan tidak pernah meninggalkan kesan istimewa.

Alina kembali mengerjap, ia kemudian berjalan menuju balkon apartemennya. Dilihatnya langit yang menggelap dan kerlap cahaya dari gedung-gedung sekelilingnya. Tampak indah sekaligus begitu riuh. Namun, apakah orang-orang yang berada di dalamnya pernah merasakan kekosongan seperti yang ia rasakan kini?

Di antara lamunan yang melanglang buana, suara ponselnya mendentingkan sebuah pesan. Alina menoleh ke arah tas yang berada di sofa. Dengan langkah gontai, Alina mendekat kepada benda itu, lantas mengambil ponselnya. Ada pesan dari salah seorang arsitek kenalannya yang bernama Radit. 

Pria itu memberinya pesan penawaran proyek renovasi rumah tua yang berada di sebuah kaki gunung di daerah Jawa Tengah. Mulanya Alina hendak mengetikkan penolakan di kolom jawaban, tapi ia mengurunkan niat itu ketika satu lagi pesan Radit terpampang. Radit bilang, rumah itu memiliki arti yang dalam buatnya karena merupakan bagian dari jiwanya.

Hati Alina berdesir membaca pesan dari Radit barusan. Ada sesuatu yang aneh dalam benaknya. Bagian dari jiwanya? Bagaimana bisa sebuah rumah tua menjadi bagian dari jiwa? 

Didorong rasa penasaran, Alina mengiyakan proyek kecil itu. Perempuan itu lantas menanyakan kapan ia bisa bertandang ke sana dan mulai mengerjakan proyek rumah tua bersama Radit.

 

***

 

Udara dingin dengan segera menyambut Alina begitu perempuan itu membuka pintu mobil. Perempuan itu memandang ke sekeliling. Jalanan berbatu, rumah-rumah kecil dan tua yang diselimuti tanaman merambat, dan anak-anak yang bermain di jalanan sepi. Tampak berbeda dari kesehariannya yang dihabiskan di kota besar yang terlalu sesak dan sibuk.

“Itu rumahnya.” Radit menunjuk sebuah rumah di hadapan mereka.

Rumah tua dengan halaman luas yang memiliki jarak cukup jauh dari pagar tepi jalan. Setelah membuka gembok pagar, Radit dan Alina kembali menuju mobil dan melaju melalui jalan setapak masuk ke dalam area rumah.

Begitu mobil terparkir tepat di depan rumah, Alina dan Radit keluar. Alina memandang rumah satu tingkat di hadapannya. Rumah tua yang sudah ditumbuhi tanaman liar itu tampak sangat kotor dan tidak terawat. Entah sudah berapa lama ditinggalkan penghuninya. Alina mengernyit, kemudian menoleh kepada Radit.

“Sudah berapa lama rumah ini terbengkalai?” tanyanya.

“Sepuluh tahun.” Radit tersenyum, kemudian mendahului Alina berjalan menuju teras rumah.

Rumah bergaya Belanda ini memiliki beberapa jendela dengan teralis besi. Ketika Radit membuka pintu utama, suara derit membuat bulu kuduk Alina meremang. Sepintas bayangan tentang hantu-hantu peninggalan rumah tua memenuhi pikirannya. 

“Silakan masuk, maaf berantakan dan berdebu sekali di sini,” ucap Radit mempersilakan Alina masuk mengikutinya.

Alina mengedarkan pandangan, tampak olehnya hampir seluruh perabotan seperti tempat duduk dan meja diselubungi kain putih yang penuh debu. Bau apak langsung mampir ke penghidu. Udara pun terasa begitu lembab.

Radit membuka satu per satu jendela, dan seketika cahaya matahari membuat segalanya lebih kentara. Alina mampu memandang tembok dengan cat yang terkelupas dan beberapa sudah ditumbuhi lumut. Merasa aneh dengan proyek ini, Alina kemudian membuka bicara kepada Radit.

“Rumah ini sudah terlalu tua, Dit. Apa kamu serius mau merenovasi rumah ini?” tanyanya.

Radit kembali tersenyum. “Jiwaku tertinggal di sini, Lin. Aku mau membenahi ini dan kemudian tinggal di sini.”

“Tinggal di sini? Sendiri?” Alina tampak tidak percaya.

“Iya.” Radit mengangguk dengan mantap.

“Lalu pekerjaanmu?” tanya Alina seolah di tempat ini Radit tidak bisa hidup.

“Aku akan bekerja dari sini.” Radit mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Aku akan datang ke kota yang membutuhkanku, tapi aku selalu butuh rumah buat pulang, Lin. Selama ini aku selalu bepergian tanpa punya rumah.”

“Bukankah kamu punya apartemen di Jakarta?”

Radit kembali tersenyum, kemudian mengambil sebuah foto dari bufet di belakangnya. “Itu rumah tapi bukan tempatku pulang, Alina... di sinilah aku pulang seharusnya.”

Radit menyerahkan foto yang dipegangnya kepada Alina. “Itu foto kedua orangtuaku. Bapakku meninggal sebelas tahun yang lalu, ibuku menyusul setahun kemudian. Setelah itu aku tidak pernah lagi menengok rumah ini.”

Alina mengembalikan foto yang diberikan Radit kepadanya. “Aku turut berduka cita, Radit.”

Pria tinggi itu mengangguk, kemudian mengembalikan foto yang dipegangnya ke atas bufet. “Terima kasih, Alina.”

“Jadi, dari mana kita akan bekerja sama?’ tanya Alina, mengalihkan pembicaraan.

“Sebelumnya aku akan mengajakmu berkeliling rumah lebih dulu dan menjelaskan segala macamnya,” ucap Radit seraya membuka pintu kamar pertama. “Aku ingin rumah ini tetap seperti ini, tapi juga ada sentuhan perubahan.”

“Bagaimana maksudmu?” tanya Alina.

“Rumah ini memiliki sejarah yang panjang. Intinya, rumah ini adalah warisan turun-temurun dari keluarga kami. Aku lahir, dan besar di sini Alina. Aku ingin membuat rumah ini kembali hidup setelah terkikis kematian demi kematian.”

Alina mengamati kamar pertama yang ditunjukkan Radit. Tampak sebuah tempat tidur besi dengan kelambu yang tampak begitu kuno tapi cantik sekali. Di dalamnya juga terdapat meja rias dari kayu jati yang kosong dengan cermin yang sudah berjamur. Sayang sekali, batin Alina.

Mereka kemudian berjalan menuju ruang tengah. Meja makan berbentuk persegi panjang dengan enam bangku mengitarinya yang masih sangat bagus dan kokoh.

“Waktu kecil sampai SMA, aku selalu makan di sini bersama kakek dan nenek dan orangtuaku,” ucap Radit.

Mereka kembali melanjutkan ke kamar kedua. Kamar utama. Alina masuk ke dalam ruangan besar itu. Terdapat ranjang besar dengan meja rias yang hampir sama dengan kamar pertama. Lemari kayu jati besar berada di ujung ruangan, tampak gagah dan angkuh.

“Jadi rumah ini memiliki berapa kamar?” tanya Alina, seraya berbalik menghadap Radit.

“Ada empat,” jawab Radit. Pria itu berjalan ke ruang tengah. Menunjuk satu ruangan di ujung koridor, kemudian menunjuk ruangan lain di hadapannya. “Di belakang ada dapur dan gudang.”

“Apakah kamu akan mempergunakan semua kamar itu?” tanya Alina. “Maksudku, kamar itu akan berfungsi sebagaimana mestinya tanpa ada perubahan apa-apa?”

“Ah, satu kamar akan aku ubah menjadi ruang bekerja. Bagaimana menurutmu?”

Alina mengangguk. “Baik. Bisa diatur.”

 

***

 

Alina mengerti maksud dan tujuan Radit merenovasi rumah ini. Bagi pria itu, rumah ini bukan hanya sebagai bangunan semata. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang bersifat pribadi dan Radit ingin menjaga itu tetap utuh.

Alina memutuskan untuk tinggal di rumah tua itu bersama Radit sepanjang mereka mulai mengerjakan proyeknya. Perempuan itu menghabiskan beberapa hari pertamanya untuk mengenal dan mempelajari rumah itu.

Terkadang di malam-malam, saat Alina tidak bisa tidur, ia akan duduk di ruang tamu dan memandangi rumah ini seraya mencoba membayangkan bagaimana rumah ini dulunya. Akankah begitu hangat dan menenangkan sampai-sampai Radit ingin mengulang masa-masa penuh kenangan itu?

Sejenak Alina membayangkan rumah keluarganya sendiri. Tidak pernah Alina merasa ingin pulang ke rumah orangtuanya. Sebab di sana lebih kerap terdengar umpat dan teriak. Amarah dan emosi negatif yang menggebu. 

Perempuan itu menghembuskan napas kala teringat ucapan ibunya yang mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bercerai dari bapaknya demi Alina. Namun, toh Alina tidak pernah merasakan kasih sayang dari keduanya selain suara barang yang pecah hampir setiap hari.

“Belum tidur?”

Alina menoleh ketika Radit berdiri di sampingnya. Hampir saja jantung Alina berpindah ke kaki saking kagetnya. Perempuan itu menggeleng. “Belum ngantuk.”

Radit berjalan ke kursi di depan Alina, kemudian duduk di sana.  “Lagi ada yang ganggu pikiran kamu?”

Alina tersenyum simpul. Tentu menerjemahkan keinginan Radit sebuah permasalahan yang mengganggu pikiran, sebab ia sendiri sedang diambang kegundahan oleh kekosongan dalam dirinya. Entah kenapa, Alina merasa proyek kecil ini begitu memberatkan perasaan.

“Dit, apakah rumah ini begitu hangat tadinya?” tanya Alina, membuka percakapan mereka di tengah malam yang dingin.

“Sangat hangat.” Radit menyandarkan punggung ke kursi ruang tamu, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu kemarin, aku besar di rumah ini, Lin. Orangtuaku tinggal bersama kakek dan nenekku. Aku begitu disayang, mungkin karena aku adalah cucu satu-satunya.” Radit terkekeh. 

“Disayang ...,” gumam Alina, seraya menunduk. Itu yang tidak pernah ia rasakan sejak dulu.

“Kamu tahu Alina,” ucap Radit kemudian. “Aku selalu merasa rumah ini adalah bagian dari diriku. Ketika aku jauh, bahkan ketika aku pulang ke apartemenku sendiri, rasanya ada yang berbeda. Aku tidak pernah merasa pulang.”

“Pulang?” Dahi Alina berkerut.

“Pulang maksudku bukan melulu ke sebuah tempat, tapi lebih kepada bagaimana kamu merasa di dalamnya. Bagaimana kehangatan itu nyata dan ada. Bagaimana kamu merasa begitu diterima.”

Alina terdiam seketika. Selama ini merasa selalu terus berjalan dengan tujuan-tujuan yang terpancang. Namun, ia tidak pernah merasa pulang bahkan di apartemen yang ia buat senyaman mungkin buatnya sendiri. Apakah karena tidak ada kehangatan di dalamnya? Apakah karena ia merasa tidak diterima?

“Dit, aku ke kamar dulu, ya. Sudah ngantuk,” ucap Alina setelah bermenit-menit mereka saling berbagi keheningan.

Radit mengangguk, kemudian membiarkan Alina berlalu memasuki kamar tamu.

 

***

 

Pada sore hari setelah berkutat dengan gambar dan desain, Alina memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekeliling rumah tua. Udara sejuk menyambutnya, juga teriakan-teriakan anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan dekat rumah tua. Perempuan itu berjalan menuju ke sana, sesekali ia mengamati rumah-rumah penduduk yang berada di dekat rumah tua. Rumah yang sebagian besar memiliki halaman luas dengan bangunan dari papan atau setengah tembok dengan anyaman bambu.

Monggo mampir, Mbak,” sapa seorang ibu-ibu yang tengah menyapu halaman dengan ramahnya.

Alina tersenyum, kemudian mengangguk. “Terima kasih, Bu.”

Alina kembali melanjutkan perjalanan. Ia berjalan terus melewati rumah demi rumah. Mengangguk sopan melewati sapaan ramah warga desa yang menyunggingkan senyuman kepadanya. Hingga kemudian Alina sampai di lapangan tempat banyak anak-anak sedang bermain bola.

Perempuan itu duduk di tepi lapangan, sedikit jauh dari kerumunan. Diamatinya anak-anak yang tampak riang oleh permainan. 

“Oper, oper!” teriak salah satu dari anak yang sedang berlari mendekati gawang yang dibentuk dari dua sandal.

“Gol!”

Alina ikut tersenyum menyaksikan kemenangan anak yang tadi berteriak, yang kemudian mendapat pelukan dari teman-temannya. Betapa mereka sangat bahagia hanya dengan permainan sederhana. Bola plastik, sandal jepit, dan lapangan.

Permainan itu berlanjut, seraya pikiran Alina berkelana ke masa-masa silam. Masa kanak-kanaknya yang tidak pernah mencecap rasa bahagia seperti anak-anak yang sedang bermain bola.

Kehidupan keluarganya yang jauh dari harmonis, membuat Alina tumbuh menjadi anak yang begitu pendiam dan kikuk. Sejak kecil ia menghabiskan waktu sendiri dan tidak pernah memiliki teman karib baik di sekolah maupun di rumah. 

Menjelang dewasa pun ia masih kesulitan bersosialisasi. Teman-temannya bisa dihitung jari. Alina kerap menyendiri dan berkubang dalam pekerjaan yang tak ada habisnya.

Namun, kini perasaan kosong seperti menyergap dalam diri. Ia berasa ada sesuatu yang mengoyak sanubari, tapi ia tidak tahu apa. Mungkinkah ia merindukan kehangatan seperti yang Radit ucapkan semalam? Merindukan tempat di mana ia bisa begitu diterima sebagaimana adanya ia?

Mulih yo, mulih.” Seruan anak-anak yang tadinya bermain bola membuyarkan lamunan Alina. Anak-anak itu berjalan bersama menuju ke arahnya. Dengan sopan mereka menunduk sembari menyapa Alina ketika melewati perempuan itu.

Alina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam petang. Alina menghela napas, kemudian memandang ke arah langit senja. Matahari sudah tampak jingga dan siap pamit. Maka, Alina pun berdiri kala mendapati lapangan sudah sepi.

Perempuan itu berjalan kembali menuju ke mana ia tinggal sementara ini, melewati rumah-rumah yang tadi ia lewati. Alina sengaja memelankan langkah, mengamati rumah-rumah yang kini terang dengan pencahayaan lampu di dalamnya. Ada yang begitu terang, ada yang remang-remang. Ada yang memakai lampu neon putih ada pula yang masih menggunakan bohlam kuning terang. Entah kenapa rumah-rumah itu tampak begitu hidup dan hangat. 

Alina menelengkan kepala memandang salah satu rumah bertembok kayu dengan lantai tanah dan bercahayakan lampu bohlam kuning yang sedikit meremang. Tampak olehnya seorang ibu dan anak perempuan sedang bercakap-cakap di dalamnya sambil si ibu menyisir rambut anaknya dari belakang.

Alina menghela napas, kemudian melanjutkan perjalanannya. Ia menelan ludah menyaksikan pemandangan barusan. Beragam pertanyaan menyeruak dalam benak. Kenapa ia tidak pernah merasakan kehangatan seperti itu? Kenapa mesti ia yang lahir di keluarganya? Kenapa kekosongan tidak juga beranjak dari hatinya dan malah semakin menebal saja melihat dan merasakan berbagai interaksi warga desa akhir-akhir ini?

Lekas-lekas Alina mengusap air mata yang luruh tanpa aba-aba di pipinya, kemudian bergegas melanjutkan langkah menuju rumah tua. Kemudian, begitu sampai di muka rumah, Alina menatap rumah tua yang temaram itu. 

Ia menengadah memandang langit yang mulai menggelap dan bintang yang mulai menampakkan terangnya. Alina mengernyit ketika menyadari sesuatu kala memandang bulan yang mulai malu-malu menunjukkan eksistensinya. 

Selama ini Alina selalu mencoba mencari-cari sesuatu yang mengisi kekosongan dalam dirinya dari luar saja tanpa pernah menanyakan pada diri tentang apa yang sebenarnya ia ingini. Apakah kehangatan dari orang lain yang benar-benar bisa mengisi? Ataukah ia bisa mengupayakan sendiri kehangatan dan rasa diterima itu sendiri?

Alina menatap rumah tua yang berdiri kokoh meski sudah berusia ratusan tahun di hadapannya. Rumah ini telah menjadi saksi kehidupan demi kehidupan yang membawa kehangatan, tapi juga air mata kehilangan.

Selama ini, ia menaruh harap dan asa juga bahagia dari orang-orang sekelilingnya. Dan yang kemudian ia dapatkan hanya derita dan kecewa yang tak berkesudahan. 

Barangkali ia berbeda dengan Radit yang hidup penuh gelimang kasih sayang. Namun, Radit pun membutuhkan tempat untuknya pulang yang menenangkan jiwa. Tempat di mana ia bisa menaruh dirinya sepenuhnya dan merasakan kehangatan yang nyata. Makanya Radit merenovasi rumah tua peninggalan keluarga.

Demikian dengan Alina yang masih memiliki tanah lapang nan kosong di dalam benaknya. Alina memejam, mencoba meraba kembali diri sendiri. Mulai menyadari bahwasanya rumah bukanlah sebuah bangunan semata. Bukan berada di kota besar atau kecil. Bukan mewah atau sederhana. Bukan gedung tinggi atau lapuk. Kekosongan dalam hatinya ibarat tanah lapang yang tidak berpenghuni. Tidak ada teriakan bahagia dan kehangatan di dalamnya. Alina menyadari, bahwa selama ini ia tidak memiliki rumah buat kepulangannya karena ia membiarkan kekosongan menjalari diri.

Ia membiarkan orang lain mengisi tanah lapang itu dan kemudian ditinggalkan seperti anak-anak bermain bola tadi yang lantas pergi ketika senja berada di ujung mata dan meninggalkan keheningan dan kehampaan.

Alina mulai menyadari, bahwa ia ternyata tidak cukup mengenali diri sendiri. Ia tidak lantas menyadari betapa lahan kosong itu tidak pernah terjamah olehnya sendiri. Sebab terdapat puing-puing luka dan tanah yang menganga. Alina menyadari bahwa ia tidak pernah menggarap sebagaimana orang mengobati lara dan luka batinnya. 

Alina menghirup udara banyak-banyak, kemudian dihembuskannya perlahan. Ia memeluk dirinya. Menyadari ketidaksempurnaan dan luka dan kerapuhan yang ada. Tidak mengapa, batin Alina. Tidak mengapa tidak sempurna dan memiliki luka. Kekosongan itu akan hilang seiring ia membangun rumah buat dirinya, mengusir hampa dan menjadikan tempat pulang untuk Alina.

 

***

 

Alina mulai bekerja dengan cara yang berbeda. Ia merancang rumah Radit dengan mencerminkan rumah bagi dirinya sendiri. Setiap retakan di dinding, cat yang terkelupas, lantai yang berderit, pintu yang lapuk, segalanya mengingatkannya akan dirinya yang rapuh dan tidak sempurna tapi sampai sekarang masih berdiri kokoh dan bernyawa.

 Setiap desain yang dibuat Alina tidak hanya memperhatikan keindahan visual, tetapi juga kehangatan dan perasaan yang dibawa oleh rumah tua itu. Kenangan dan kasih sayang.

Alina dan Radit bekerja bersama berminggu-minggu merenovasi rumah tua milik keluarga Radit hingga perlahan-lahan rumah tua itu berubah menjadi sebuah rumah yang tampak sedikit berbeda. Alina mempertahankan beberapa detail yang ada pada rumah itu agar esensinya tidak hilang. 

Ketika proyek rumah tua itu selesai, tampak kepuasan di mata Radit. Pria itu memuji Alina yang piawai menggunakan talentanya. Namun, sebenarnya lebih dari itu, Alinalah yang merasa sangat diuntungkan dengan merestorasi rumah tua milik Radit itu, sebab ia telah menemukan sesuatu yang berharga selama bekerja.

Pada hari terakhir Alina berada di rumah itu, Radit mengajaknya berjalan mengitari rumah dan memandang pekerjaan mereka.

“Terima kasih, Alina. Rumah ini sekarang terasa lebih hidup dan kembali hangat,” ucap Radit.

Alina mengangguk, kemudian tersenyum. “Rumah ini dan lingkungan ini mengajarkanku banyak hal, Dit. Seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu telah mengajakku bergabung di proyek ini.”

Radit mengerutkan dahi, kemudian bertanya, “Apa yang kamu pelajari dari rumah ini?”

“Bahwa selama ini aku selalu merasakan kekosongan dalam diri, seperti rumah tua ini tadinya. Retak di mana-mana, tidak sempurna. Aku selalu merasa hampa dan ganjil dengan diriku sendiri, sampai aku merasa tergelitik ketika kamu bilang bahwa memiliki rumah untuk pulang.” Alina menoleh kepada Radit. Mereka berhenti di pekarangan belakang. “Aku tidak punya rumah untuk pulang meskipun aku memiliki apartemen.”

Keduanya tersenyum, kemudian Radit mempersilakan Alina duduk di bangku taman belakang untuk melanjutkan pembicaraan. 

“Kemudian aku menyadari bahwa kekosongan dalam hatiku ibarat tanah lapang tanpa bangunan. Sepi, sunyi, dan selama ini aku mengandalkan orang lain masuk ke dalam untuk membangunkan kebahagiaan buatku.” Pandangan Alina menerawang ke depan. “Aku salah, Dit. Seharusnya aku membangun rumah itu tanpa mengandalkan orang lain. Menghapus puing-puing luka, menambal retakan yang pernah ada dan menghiasinya dengan kehangatan yang selama ini aku tidak aku acuhkan.”

“Kehangatan yang kamu tidak kamu acuhkan?” tanya Radit.

“Pencapaian, karier, kesehatan, tubuh yang masih bisa berdiri dan mengobrol denganmu adalah hal-hal yang selama ini aku tidak acuhkan. Aku terlalu terpaku dengan mencari kebahagiaan yang absrak, padahal selama ini aku sudah mendapat begitu banyak berkat.”

Alina menghela napas panjang, kemudian tersenyum menoleh kepada Radit. “Terima kasih sudah mengajakku di proyek ini.”

Radit mengangguk. “Sama-sama Alina.”

Alina mengecek jam yang melingkar di tangannya. “Sudah jam sepuluh. Kita berangkat ke bandara sekarang?”

“Ya.” Radit berdiri, kemudian keduanya berjalan bersama menuju dalam rumah.

Alina meminta Radit memfoto dirinya di depan rumah tua sebagai kenang-kenangan akan pelajaran berharga yang ia punya. Ia meninggalkan desa kecil itu dengan hati yang ringan. Ia telah menemukan rumah baginya untuk pulang. Rumah itu sedang ia bangun dengan kesadaran akan berkat-berkat dari Tuhan yang selama ini luput ia sadari sebab ia mencari dan terus mencari kebahagiaan dari sosok lain di hidupnya.

Dengan senyuman semringah, Alina berpamitan kepada Radit. Dengan langkah ringan, ia meninggalkan kota kecil dengan kenangan. Kini Alina tahu, ke mana pun kakinya melangkah, ia selalu punya rumah untuk “pulang” ... dalam hatinya sendiri yang tidak lagi berisi kekosongan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Fiction
Sebelumnya Extra Part 2
16
0
Sampai besok, sampai lusa, sampai minggu depan, sampai bulan depan, sampai seterusnya ... sampai selamanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan