
"Adakah yang lebih berharga ketimbang waktu? Rasanya hampir tidak ada. Saat jatuh, saat bangkit, saat lari, saat jongkok, atau bahkan, saat memilih tidak melakukan apa-apa, waktu selalu bergerak."
Ava dan Prama menjalani hubungan sejak SMA. Sepuluh tahun. Tentu bukan waktu yang sebentar. Namun, begitu menginjak usia yang tidak lagi remaja, ditimpa berbagai masalah hidup, bertemu dengan beragam manusia, membuat mereka memiliki pemikiran yang tak lagi sama. Hubungan mereka tak lagi mesra seperti dulu....
Adakah yang lebih berharga ketimbang waktu? Rasanya hampir tidak ada. Saat jatuh, saat bangkit, saat lari, saat jongkok, atau bahkan, saat memilih tidak melakukan apa-apa, waktu selalu bergerak. Berdetak.
Sekilas, Ava menatap ke jam dinding putih besar di tembok di atas televisi yang menyala sejak jarum pendeknya di angka enam. “Sudah jam sepuluh,” desisnya.
Ia kembali mengarahkan pandangan ke berkas-berkas yang dikirim oleh adiknya dari Salatiga, setelah beberapa jam sebelumnya berkutat dengan laptop yang mulai memanas karena selain mesti mengikuti knowledge sharing dari kantor tempatnya bekerja, Ava juga harus selalu siaga kalau-kalau ada intervensi dari users soal aplikasi yang ia tangani.
Di sela-sela kesibukannya, ia tak pernah lupa kalau ia mesti mulai mengurusi pernikahannya dengan Prama. Ava menelungkupkan muka di atas meja, sedangkan tangannya membalik-balik kertas yang berserak di sekitarnya. Berkas-berkas dari gereja, berkas-berkas dari catatan sipil yang mesti ia isi, contoh undangan, sampai beberapa bendel contoh buku panduan Sakramen Perkawinan, juga brosur dari beberapa WO.
Mestinya, Ava bisa saja meminta bantuan ayahnya untuk mengurusi hal-hal yang bersifat administratif. Ia juga bisa mempercayakan kepada adiknya soal vendor-vendor untuk pesta pernikahan. Ia tinggal memantau dari Whatsapp, atau video call sesekali. Tidak perlu meminta kepada keluarganya untuk mengirimkan segalanya ke Tangerang. Namun, khusus untuk momen sekali seumur hidup itu, Ava ingin mengurusinya sendiri. Semuanya, dari tangan dan pikirannya.
Meski sebenar-benarnya, di balik alasan mandiri itu, Ava ingin meyakinkan dirinya sendiri. Soal pernikahan, soal pasangan, soal kehidupan, yang merongrong pikirannya sejak ... entah sejak kapan.
Getaran ponsel di atas meja membuat lamunan Ava sirna seketika. Perempuan itu menoleh ke layar yang menyala. Satu pesan dari Prama.
Prama
Aku baru pulang.
Baru beres soal akreditasi.
Capek banget. Mau tidur.
22.16
Ia langsung mengambil benda itu, kemudian mengetuk nama Prama di layarnya. Dengan menggenggam ponsel, sambil menanti nada tunggu berubah jadi suara Prama, ia berjalan menuju ke lemari di sisi kiri ranjangnya. Prama tak langsung mengangkatnya, tapi Ava tak berhenti mencoba menghubungi tunangannya.
[Hai]
Ava meletakkan ponsel di atas nakas usai menekan tanda pengeras suara di layarnya. “Capek?” tanya Ava, sembari melepas kancing kemeja.
[Banget.] Suara helaan napas Prama terdengar keras.
“Yang, berkas-berkasku sudah datang ....” Ava tak melanjutkan kalimatnya. Pun dengan jemari yang melepas kancing terakhir kemejanya. Ia menoleh ke arah ponsel, kemudian duduk di tepi kasur, memandang cincin emas putih yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
“Tapi, kayaknya kita mesti ngobrol lagi soal rencana pernikahan ini ....”
**
Sepuluh tahun, bahkan lebih, tawa dan tangis perempuan yang sedang berkutat di dapur unitnya jadi hal yang begitu melekat bagi Prama. Mulai kalimat-kalimat serius, atau celetukan penuh sindiran. Tatapan memohon, hingga sorot mata dingin. Semua hal tentang perempuan itu sangat ia tahu dan hafal di luar kepala. Perempuan yang bisa ia sebut calon istri itu, yang sudah mengisi hari-harinya sejak mereka duduk di bangku SMA. Bahkan saat mereka mesti menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa tahun lamanya. Klara Avanti Sumarso, seperti punya tempat tersendiri, dan seperti sudah terpatri, hingga Prama tak pernah membayangkan sosok lain yang mungkin mengganti.
“Kamu enggak pakai lombok rawit, kan?” Ava meletakkan semangkuk mi rebus dengan telur di atas meja.
Prama tersenyum sepintas lalu, kemudian pandangannya kembali ke laptop usai menerima makanan yang dibuatkan Ava untuknya. Namun, belum selesai ia berkutat dengan pekerjaannya, Prama melirik Ava lagi, dan matanya mengikuti ke mana pun Ava bergerak.
Perempuan itu kembali ke dapur, membenarkan gelungan rambutnya, mengambil mangkuk mi miliknya, lalu duduk di depannya sambil menyunggingkan senyuman tipis. Cantik. Ava selalu cantik di mata Prama. Di mata bundanya, di mata adiknya, di mata sahabat-sahabatnya ... Ava seperti sudah mengambil alih bukan cuma ruang kecil di hatinya, tapi juga di hati orang-orang sekeliling Prama.
“Udahan, dong, kerjanya,” celetuk Ava.
Prama menurunkan layar laptop miliknya, kemudian melirik mangkuk mi milik Ava. Dahinya berkerut. “Kamu pakai lombok berapa?” Ia bergidik ngeri melihat kuat mi rebus Ava yang tampak merah.
“Cuma tujuh.” Ava menghirup aroma mi buatannya, kemudian ia melirik ke Prama yang menggelengkan kepala. “Enak, kok. Mau ngicipi?”
“Ogah. Daripada nongkrong di toilet berjam-jam.”
Prama menggeser laptopnya, kemudian memilih untuk mulai menikmati mi rebus yang dibuatkan Ava. Sesekali, ia menoleh ke jendela. Hujan deras mengguyur Jakarta Pusat sejak beberapa jam yang lalu. Padahal ini hari Minggu, harusnya mereka pergi sekadar jalan-jalan atau memilih makan di luar, seperti yang diminta Ava. Namun, cuaca sepertinya ingin membuat mereka berdiam diri di rumah saja.
Tak butuh waktu lama bagi Prama dan Ava menandaskan mi rebus mereka. Usai meletakkan mangkuk kotor di kitchen sink, keduanya berjalan menuju sofa yang berhadapan dengan televisi layar datar di sisi dekat pintu geser balkon apartemen Prama.
“Karena hujan, seharian ini aku pingin maraton nonton serial di Netflix sama kamu,” celoteh Ava sembari berdiri menyalakan televisi.
Prama mengambil ponsel yang sedari tadi diletakkan di meja, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Ia mengecek beberapa notifikasi yang tampil di layar utama. Whatsapp dari beberapa grup, dari atasannya di kampus, satu pemberitahuan komentar di Twitter, juga permintaan pembaharuan salah satu aplikasi. Ia mengetuk percakapan dengan atasannya.
“Kamu mau non—“
Prama mendongak sekilas menatap Ava yang terdiam menatapnya dengan remote teve di genggaman tangan. “Ha?” Namun, bukannya mengembalikan pandangan ke Ava, Prama malah sibuk membalas pesan atasannya.
Tidak ada kalimat yang terucap dari Ava, kemudian. Sedetik, dua detik, akhirnya Prama mendongak. Menyadari sikap Ava yang mulai berubah, Prama sigap mendekat. Ia mengembalikan ponselnya ke atas meja
“Sorry, aku enggak dengar, barusan ada Whatsapp dari kampus ....” Maksud hati Prama hendak menenangkan Ava yang mulai menampakkan raut kesalnya, tapi perempuan itu malah menampik uluran tangannya.
“Aku jauh-jauh dari Tangerang ke sini, loh, Pram,” ucap Ava, lirih.
“Iya, aku tahu. Tapi barusan ada pesan dari atasanku—”
“Ini hari Minggu, Prama.” Ava seperti tak kuasa menahan emosi. “Sejak aku datang kamu bahkan enggak lepas dari benda sialan itu.” Suaranya bergetar. Ava menunjuk laptop yang masih menyala di meja yang tadi dipakai mereka makan bersama.
“Kamu sadar enggak, sih, Pram kalau kita sekarang makin jauh. Makin enggak kenal satu sama lain?”
“Va ... dengar.” Prama merendahkan suaranya, ia masih berusaha menyentuh tangan Ava, meski perempuan itu terus mengelak.
“Kamu sadar enggak, kalau setiap waktu bareng itu kayak enggak ada gunanya? Quality time?” Ava mendengus, tersenyum sinis. “Omong kosong, Prama. Kita bahkan enggak pernah punya lagi waktu buat saling cerita. Terlalu sibuk, katamu? Aku bahkan enggak tahu ada masalahkah kamu di kampus, atau ada sesuatu yang terjadi di hidupmu belakangan ini, atau ... masih cintakah kamu sama aku?”
“Kamu ngomong apa, sih, Va? Cuma karena Whatsapp, kamu sampai kayak gini?”
“Cuma, kamu bilang?” Ava menggeleng. “Terlalu lama, Pram. Kita terlalu lama merasa aman dan akhirnya stagnan, atau bahkan mundur?”
“Ava, please ....”
“Kamu selalu menghindar setiap kali aku mau bahas soal hubungan kita.”
“Hubungan? Aku pikir kita baik-baik saja. Toh, kita sudah mau nikah. Sekarang kamu mau apa lagi?”
“Hubungan kita hambar, Prama!” Ava mengusap air mata yang kadung luruh, meski sudah susah payah ditahannya. “Aku bahkan jadi ragu buat melanjutkan ini sampai pernikahan ....”
**
Bisa dibilang, Prama adalah cinta pertama—dan inginnya—yang terakhir buat Ava. Hubungan mereka tak sebentar. Terlalu lama untuk sekadar pacaran. Kerap kali olok-olok mampir di telinganya. Katanya hubungannya dengan Prama tak ubahnya cicilan rumah. Bahkan, saat mereka memutuskan bertunangan setahun yang lalu, banyak orang menyayangkan, kenapa tidak langsung menikah saja. Pertunangan setelah sepuluh tahun berhubungan, buat apa?
Kesiapan. Waktu itu, Ava selalu menjadikan kesiapannya sebagai alasan menunda pernikahan. Siap secara finansial, terutama soal mental. Ava sadar, selama apa pun hubungannya dengan Prama, pernikahan adalah rimba lebat, yang entah seperti apa yang akan dilaluinya.
Waktu yang lama mestinya jadi tempaan buat mereka, dan saat mendekati hari bahagia, hubungan mereka kian kokoh dan tegak berdiri. Namun, apa yang dirasakan Ava justru sebaliknya.
“Setiap kali aku membahas soal kita, kamu selalu menghindar. Katamu sibuk, banyak kerjaan di kampus, ngurus ini-itu. Hampir enggak ada waktu buat kita. Kamu bilang, kita mau menikah, dan pertengkaran-pertengkaran itu sekadar ujian sebelum menikah. Tapi buatku enggak, Prama. Lebih dari itu, aku kehilangan kamu, bahkan pas kamu di sebelahku.”
Prama menyugar rambutnya, kemudian menghembuskan napas keras-keras. “Aku kerja, Va. Kerja keras. Banget. Biar hidup kamu lebih enak setelah kita menikah.”
“Aku juga kerja, kalau-kalau kamu lupa. Aku butuh uang, tapi aku juga butuh kamu sebagai pasanganku. Aku butuh pasanganku bukan cuma duduk, diam di sebelahku, tapi pikiran dan jiwanya pergi entah ke mana. Aku butuh pasangan yang sama-sama berbagi cerita, yang sama-sama ketawa karena hal receh kayak dulu. Kita yang sekarang? Jauh banget dari itu semua, Prama. Mungkin karena sempat terpisah jarak beberapa tahun, terus pas aku sudah dekat lagi sama kamu, aku harus beradaptasi bukan cuma di tempat tinggal dan kerjaan yang baru. Aku juga mesti beradaptasi dengan kamu yang baru? Prama, aku enggak kenal kamu, aku enggak kenal kita.”
Ava menangkup wajahnya dengan kedua tangan. “Apa selama ini kamu bahagia?” Ava menoleh ke Prama yang menyandarkan kepala di tepi sofa. “Pram ... do you still love me?”
**
Setelah mengejutkan keluarga dengan kepulangannya yang tiba-tiba, Prama masih diam di kamarnya sejak sejam yang lalu. Tangannya menggenggam foto-fotonya bersama Ava. Foto-foto saat mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu. Foto yang diambil sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, Prama tak ingat pasti.
Ucapan Ava minggu lalu, soal hubungan mereka yang kian lama kian hambar, mengusik hatinya. Ava benar. Ia terlalu larut oleh rutinitas sebagai Prama Dipta. Seorang dosen, seorang pria yang haus validasi dan seorang pencari harta duniawi. Sepuluh tahun lebih mereka menjalin hubungan, bagi Prama, Ava adalah zona nyamannya, dan ia terlena kemudian.
Kini, hubungan itu di ujung tanduk. Namun, bukan karena orang ketiga ... hampir, tapi akhirnya Prama menyadari sesuatu. Ava terlalu sempurna untuk tersakiti karena sikapnya yang tak setia. Karena itu juga, ia tidak pernah berpikir menggantikan Ava dengan perempuan lainnya. Bukan juga karena beda agama, karena mereka berlutut menghadap altar yang sama. Sialnya, kekacauan ini karena rasanya sudah berbeda. Tanpa ia sadari, ia berbeda. Ava berbeda. Jadi dewasa dan sadar akan dunia? Mungkin. Namun, yang kemudian jadi pertanyaan adalah, masih adakah cinta, atau mereka bertahan hanya karena terbiasa?
Prama meletakkan foto-foto itu di atas meja belajarnya. Ia membuka lemari pakaian, lalu mengambil jaket jeans yang mengusang. Kesayangannya karena hadiah dari Ava. Meski banyak robekan dan meluntur, tapi jaket itu masih layak pakai. Jaket itu memeluk tubuhnya sempurna, meski tak selonggar dulu. Setidaknya dengan begitu, Prama jadi tahu kalau badannya tak berbeda jauh dengan beberapa tahun yang lalu.
Ia keluar dari kamar, kemudian mengecek gantungan kunci di atas meja buffet panjang yang penuh dengan foto keluarga berjajar cantik. Fotonya, ibunya, dan Harsa, adiknya.
“Nggolek opo (Cari apa), Pram?” tanya ibunya.
“Kunci Satriaku mana, Bun?”
“Di kamar Harsa. Kenapa?”
“Mau keluar sama Ava.”
“Loh, kenapa kok enggak pakai mobil saja? Satrianya lama enggak dipakai. Kalau mogok, piye (bagaimana)?
“Ya, ke bengkel, to, Bun.” Prama membuka pintu kamar adiknya, kemudian mengambil kunci motor miliknya di meja.
Begitu ia keluar dari kamar Harsa, Prama menunjukkan kunci motor yang kerap ia bawa ke sekolah dulu kepada ibunya, lalu mencium pipi wanita itu. “Harsa masih tidur, itu, Bun. Bilangin kalau motornya aku bawa.”
Prama bergegas menuju garasi rumah orangtuanya. Satria Fu tahun 2009 berwarna hitam itu masih kokoh di sisi mobil keluarga. Ia memindai kendaraan yang pernah jadi idola di masa SMA-nya. Segalanya masih sama, masih mulus, dan—untungnya—menyala.
Ia dan Ava sama-sama memanfaatkan libur di hari Jumat untuk pulang ke kota kelahiran mereka. Lumayan, bisa pulang barang tiga hari, pikir mereka.
Tiga hari buat sekadar sejenak melupakan Jakarta dan segenap hiruk pikuk yang menyertainya. Tiga hari buat Ia dan Ava meraba lagi soal cinta yang pernah mereka temukan dan bangun bersama dari tempat awal mereka bermula. Dari masa SMA.
**
Ava berdiri kala Prama dan motornya berhenti tepat di muka pagar rumah. Ia berjalan mendekat. “Wah, motornya masih nyala? Katanya dulu mau dijual?” katanya, sembari memandangi motor kesayangan Prama.
Prama melepas helm full face yang penuh dengan stiker, kemudian tersenyum melihat Ava yang terheran-heran dengan motor kenangan mereka. Motor yang menemani mereka sejak SMA hingga pertengahan masa kuliah.
“Dulu mau dijual karena awalnya Harsa enggak mau pakai, tapi akhirnya enggak jadi. Walaupun sekarang mangkrak, kayaknya sayang kalau dijual. Kenangannya banyak.” Sudut bibir Prama terangkat. “Ambil helm, kita jalan pakai ini, biar benar-benar kayak jaman SMA.”
Ava mengangguk, kemudian berbalik ke dalam rumah. Rencana mereka soal mudik tiga hari buat merenungkan soal hubungan dan masa depan, nyatanya lebih dari sekadar diam di kamar masing-masing, lalu bertemu kemudian memutuskan soal pernikahan. Mereka memilih untuk meraba lagi, mencoba menghidupkan mesin waktu mereka sendiri, untuk kembali ke masa-masa mereka pernah dimabuk cinta. Masa-masa di mana dunia tak sekejam yang mereka kira.
“Harusnya kita pakai seragam SMA juga, enggak, sih?” celetuk Prama, begitu Ava berdiri kembali di sebelahnya sambil mengenakan helm.
“Kamu itu lagi sok-sokan ngide atau mau ngingetin kalau sekarang aku gendutan?” Ava mencubit lengan atas Prama.
“Aw, sakit, Va.” Prama mengusap lengannya, lalu menggeleng geli kala Ava mulai cemberut, duduk di boncengan di sisi belakang.
“Siap nostalgia?” tanya Prama begitu ia sudah menyalakan mesin motornya.
“Siap,” jawab Ava.
“Peluk, dong. Kan, ceritanya kita balik ke masa SMA,” protes Prama.
Namun, bukannya melingkarkan tangan ke perut Prama, Ava malah meletakkan kedua tangannya di pinggang Prama. “Dulu waktu SMA, aku seringnya pegangan begini. Enggak ada peluk-peluk.”
Prama tak lagi protes. Ia menurunkan kaca helm, kemudian melajukan motornya ke sekolah di mana mereka berjumpa.
Salatiga bukan kota besar. Kota yang terkenal karena peringkat toleransi yang tinggi itu juga tidak semacet Jakarta. Prama tak mengendarai motornya kencang-kencang. Sesekali ia menunjuk tempat-tempat kenangannya bersama Ava.
“Va, mi ayam kesukaan kamu, tuh.” Prama menunjuk ke arah Jalan Stadion saat melewati persimpangan Jalan Adi Sucipto.
“Iya. Nanti sore ke situ, yuk?”
Dengan tangan kirinya, Prama menarik tangan Ava hingga bisa memeluk perutnya. “Siap, Ndoro,” celetuknya.
“Kok lama, ya, lampu merahnya?” gerutu Prama saat motornya berhenti di belakang marka di persimpangan antara Jalan Brigjen Sudiarto dengan Jalan Osamaliki.
“Sabar. Kan, enggak lagi di Jakarta, jadi enggak perlu buru-buru. Disuruh menikmati momen,” tanggap Ava.
Akhirnya, setelah menyempatkan berkeliling kota sebentar, Ava dan Prama sampai juga di depan gerbang SMA mereka.
“Banyak berubah, ya.” Ava menoleh ke sekitar bagian depan SMA. “Jaman kita dulu, gedung itu belum ada, kan?” Ava menunjuk sebuah gedung di belakang gedung serbaguna di area depan SMA mereka.
“Kayaknya iya. Aku lupa. Yuk, mumpung sepi.” Prama menggandeng Ava menuju tangga di sisi gedung bercat putih tulang menuju ke area dalam sekolah mereka.
Benar saja. Sekolah mereka hampir sepi, lantaran kegiatan belajar mengajar luring sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Ava memandang ke sekeliling. Kenangan demi kenangan mulai membanjiri ingatannya.
Ava menarik tangan Prama kala mereka mau menaiki anak tangga. “Pram, kamu ingat Nina pernah jatuh di tangga ini?”
Prama meneleng, ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang disebutkan Ava. “Yang mana?”
“Yang bikin kita batal ke KFC pulang sekolah, terus kamu ngambek karena aku lupa ngasih kabar kalau aku anter Nina pulang, padahal kamu sudah tunggu sejam di depan. Ingat enggak?”
“Oh, yang kamu bilang tangga terkutuk itu?” Sontak, keduanya tergelak. Sejak di perjalanan tadi satu per satu memori mulai ditangkap keduanya. Dan mereka percaya, masih ada memori lainnya yang mungkin saja membantu mereka mendapat apa yang mereka cari bersama.
“Va, lihat.” Prama menunjuk lapangan basket di tengah-tengah sekolah.
“Lapangan basket?” Ava mengerutkan dahi.
Prama menoleh ke perempuan di sebelahnya itu. “Kamu enggak ingat? Pertama kali aku nembak kamu di situ.” Ia menghela napas, lalu kembali menatap dua ring yang saling berhadapan. “Tapi kamu nolak aku, katamu dulu, kamu takut nilai kamu turun kalau pacaran sama aku.” Prama mencebik. “Risiko naksir anak cerdas, langganan juara kelas.”
Ava tersenyum malu-malu. “Padahal sebenarnya karena Nina suka sama kamu.”
“Ha?” Prama terkejut dengan ucapan Ava.
“Iya. Nina suka sama kamu, makanya aku nolak kamu waktu itu. Kamu tahu, kan, kalau temanku enggak banyak. Makanya aku takut banget dimusuhi sama Nina kalau aku pacaran sama kamu.”
Ava dan Prama masih bergandengan tangan, berjalan menyusuri koridor menuju ke area kelas di sisi atas, sembari membicarakan soal teman-teman mereka.
“Terus beberapa bulan kemudian, pas kamu nembak aku di kelas, aku baru mau terima karena aku tahu Nina sudah jadian sama anak SMK 2. Begitu, ceritanya.” Ava meringis, mengingat masa-masa yang pernah membuatnya galau setengah mati saat dibangku kelas sebelas.
“Siang, Bu,” sapa Prama saat bersahut pandang dengan wanita separuh baya berseragam dinas warna khaki.
Wanita berkerudung itu tersenyum ramah. “Selamat siang. Maaf, ada perlu apa, ya?” tanyanya.
“Maaf, Bu Endang, ya?” tanya Ava ragu, lantaran wanita yang ia sapa memakai masker. “Saya Ava, Bu. Ini Prama.” Ava membuka maskernya sebentar, sekadar mencoba mengingatkan kepada guru yang sekaligus mantan tetangganya itu, kalau mereka pernah jadi siswa di sekolah ini.
“Masya Allah. Ava? Avanti IPA 3? Anaknya Pak Bene yang rumahnya Salatiga Permai?”
“Iya, Bu. Bu Endang apa kabar?” Ava kembali memakai maskernya.
“Alhamdulillah, baik. Kamu sekarang kerja di mana?” Bu Endang melirik Prama yang sejak tadi diam saja. “Ini suami kamu?” tanya Bu Endang.
“Bukan, Bu. Emm ... kami belum menikah, kok. Ini Prama, yang dulu di IPS 5,” terang Ava.
“Prama? Astaga, Prama Dipta?” Bu Endang terkejut melihat Prama, kemudian menepuk lengan Prama sedikit keras, membuat Ava dan Prama terkekeh geli. “Kamu kok ya diem saja dari tadi. Dulu bandelnya bukan main. Sekarang kerja di mana kamu?”
“Dulu bandel banget, ya, Bu? Sekarang dia jadi dosen di Jakarta,” ujar Ava.
“Oh, ya? Kamu jadi dosen, Pram? Hebat. Kalau begitu jangan bandel lagi, lho.” Bu Endang mengacungkan jempol kepada Prama.
“Va, aku dulu pernah kejar-kejaran sama Bu Endang di dalam kelas, gara-gara ketahuan bolos.” Prama menggaruk kepala belakangnya seraya menceritakan kenakalannya yang luar biasa saat SMA.
“Nah, itu. Pas ibu jadi wali kelasmu, tensi ibu tinggi terus. Sama teman kamu satu lagi, siapa namanya?”
“Coki, Bu?”
“Iya, Coki. Duet maut, itu, Va. Coki sama Prama. Guru-guru geleng-geleng kalau mereka sudah berulah.”
“Tapi sekarang sudah tobat, kok, Bu. Beneran, deh. Sudah enggak bandel lagi.”
Ketiganya kompak tertawa di sela-sela mengenang masa lalu sebagai murid dan guru. “Jadi, ada perlu apa ke sekolah?” tanya Bu Endang.
“Jadi mumpung kami lagi libur, mudik sebentar nengok orangtua, Bu. Terus kangen jaman-jaman SMA, makanya kami ke sini,” terang Ava.
Dan, obrolan pun terhenti kala Bu Endang mendapat telepon dari suaminya. Kemudian, beliau pulang lebih dahulu, sedangkan Ava dan Prama melanjutkan niat mereka. Keduanya menaiki anak tangga yang menghubungkan laboratorium Kimia dengan ruang guru dan area kelas di sisi atas. Ava menuntun Prama menuju ke deretan kantin, lalu berjalan menyusuri laboratorium Biologi, laboratorium Fisika, kemudian menengok area lapangan sepak bola.
“Ingat nggak, dulu pas pelajaran olahraga, kamu sempat-sempatnya lari ke sini, terus mengintip di jendela sisi belakang situ pas aku lagi praktikum?” Ava menoleh ke Prama yang mengedarkan pandangan ke penjuru lapangan luas dengan parkiran siswa di sisi kirinya.
Prama mengelus ujung kepala Ava, kemudian menariknya pelan hingga tubuh Ava menempel di tubuhnya. “Ingat. Aku gangguin kamu praktikum Fisika, terus aku dimarahin sama Bu ... siapa namanya?”
“Bu Rahma.”
“Ah, iya.”
Tak lama, Prama dan Ava melanjutkan nostalgia mereka, membicarakan kejadian-kejadian menyenangkan saat mereka SMA, hingga Ava menuntun Prama menuju kelasnya saat duduk di bangku kelas XII.
Dari jendela, Ava mengintip kelas tempatnya menimba ilmu. Sepertinya tatanannya tak banyak berubah. Bangku-bangkunya masih sama, meja kayu dengan laci di dalamnya, kursi, juga white board. Selarik senyuman terbit kembali, seiring dengan ingatan akan masa-masa SMA yang baginya masa terindah sepanjang ia masih bernapas hingga saat ini.
“Dulu, kamu sering banget mondar-mandir di sekitar kelas sini. Pas jam pelajaran, malah,” kata Ava sembari melihat-lihat sekitar kelasnya.
“Dulu, pas aku ulang tahun, kamu ngasih surprise ke aku, ngendap-ngendap di sebelah IPA 2 situ pas pulang sekolah.” Ava menujuk kelas di seberang kelasnya, lalu menoleh ke Prama. “Jadi begitu Pak Titus, guru Matematikaku keluar, kamu sama teman-teman kamu main gitar, sambil nyanyi kayak paduan suara. Bawa bunga sama hadiah. Terus, gara-gara itu, Pak Titus jadi balik ke kelas dan anak-anak ketakutan semua karena beliau galak.”
Ava tertawa kecil saat mengingat momen itu. Namun, tawanya tak berlangsung lama. Ia kembali menatap Prama karena pria itu tiba-tiba berdeham kemudian tersenyum sangat-sangat tipis.
“Va, aku lapar.” Prama melirik ke penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Kita makan di Yege, yuk?
**
Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju ke kafe di Jalan Diponegoro, Prama tak banyak bicara, begitu juga dengan Ava. Bahkan hingga mereka duduk di salah satu resto, dan tinggal menunggu pesanan mereka tiba. Barangkali keduanya masih tenggelam dalam lautan nostalgia.
Prama menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, memandang perempuan yang telah mengisi hari-harinya sepuluh tahun belakangan. Ucapan-ucapan Ava di sekolah tadi mengingatkannya, betapa ia dulu sangat menyayangi Ava, bahkan melakukan segala upaya biar Ava mau menerimanya.
Hubungan mereka tak mudah begitu mereka menginjak masa kuliah. Namun, ia tahu benar apa yang dimau hatinya. Ia menyayangi Ava sebegitu besarnya. Sampai-sampai perbedaan kampus pun tak menghalangi hubungan mereka.
Memang Prama pernah kecewa lantaran Ava memilih untuk tidak jadi berkuliah di kampus yang sama dengannya. “Salatiga-Semarang, kan, dekat. Cuma sejam. Aku di sini saja, menemani Bapak, soalnya Renita tahun depan mau kuliah di ITB. Kalau dia keterima, sedangkan aku tetap masuk Undip, Bapakku bagaimana?” Begitu, kata Ava dulu. Lagi-lagi, Prama mengerti. Dan ia benar-benar pulang ke Salatiga setiap Jumat malam. Setiap minggu, selama hampir lima tahun. Kalaupun ia tak pulang ke Salatiga, berarti Ava yang memilih berangkat ke Semarang menemuinya. Tak jauh memang, tapi masa kuliah itu, kesetiaannya diuji. Meski tetap saja, Prama bisa melewati ujian itu dengan sempurna.
“Bunda kabarnya bagaimana?” tanya Ava, memecah kesunyian yang tiba-tiba merasuk di antara mereka.
“Bunda baik. Kata Harsa, sebulan yang lalu sempat kena Omicorn, tapi sudah enggak apa-apa,” jawab Prama.
Ava memelotot mendengar cerita Prama. “Kok kamu enggak cerita kalau Bunda kena?”
“Aku saja baru tahu kemarin. Harsa bilang kalau dia diancam Bunda biar enggak cerita, takut kita kepikiran.”
Ava ber-oh panjang, kemudian mulai mengedarkan pandangan ke sekitar resto tempat ia pilih untuk makan siang bersama Prama. “Lama, ya, kita enggak makan di sini,” gumamnya.
Prama yang mengawasi laku Ava sejak tadi hanya berdeham. Pikirannya berkecamuk. Otaknya dijejali memori-memori yang hampir sirna termakan biasa. Ava dan hubungan mereka. Prama membandingkan masa, dulu dan kini.
“Kalau enggak salah, kita terakhir makan di sini, pas kamu ulang tahun ke-20. Berarti ini sudah delapan tahun yang lalu, ya.” Ava mengetuk meja kayu dengan telunjuknya.
“Ingatan kamu bagus. Pantes, kalau kamu juara kelas terus dari dulu,” tanggap Prama.
“Bukan begitu. Memangnya kita bisa lupa sama kenangan-kenangan indah?”
Prama menatap Ava lurus-lurus. Ucapan perempuan itu, lagi-lagi begitu menusuk hatinya. Mungkin saja karena Prama adalah pria dengan kantung memori lebih kecil dari kebanyakan, jadi ia tak punya banyak kenangan yang bisa ia bagi, seperti Ava menceritakan detail hubungan mereka. Dalam ingatan Prama, sebelum rencana nostalgia ini terlaksana, ia hanya ingat kalau ia dan Ava resmi pacaran sejak di bangku SMA. Itu saja.
Di mata Prama, Ava sangat-sangat menikmati kepulangan mereka kali ini. Pulang dengan mengendarai mobil bersama dari Jakarta dengan niat memperbaiki hubungan yang keropos tanpa ia duga.
Dan, kini Prama hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Seketika, ia berharap hal mustahil sekalipun demi bisa menatap senyuman perempuan di depannya. Andai mesin waktu bisa mengembalikan semuanya, terutama cinta sebesar yang pernah ia rasa.
**
Seragam SMA-nya masih mulus tanpa coretan. Tergantung rapi di sisi kiri lemari. Ava mengambil benda itu, kemudian meletakkannya di kasur.
“Dulu aku kurus banget,” gumamnya, saat melihat ukuran di tepi kerah kemeja.
Ava kembali ke muka almari. Tangannya bergerilya mencari benda-benda yang ia simpan di kardus air mineral di bawa baju-baju yang menggantung. Tak sabar, Ava mengambil kardus itu dari lemari, lalu mengeluarkan semua isinya.
Ada tabung serupa jam pasir yang berisi penuh dengan lipatan-lipatan kertas warna-warni kecil berbentuk bintang, ada boneka anak monyet berbaju kuning, ada album foto yang ia beri judul IPA 3, dan yang ia cari sejak tadi ... diary. Hatinya menghangat memandang sebuah buku serupa agenda berwarna tosca.
Di lembar pertama buku harian yang ia punya, Ava tak menemukan tulisan apa-apa. Hanya kelopak bunga yang mengering. Pikirannya bergerilya, mencoba mengingat apa makna bunga dalam buku hariannya.
Ava membalik halaman bukunya, kemudian ia membaca tulisan pendek di kertasnya.
9 April 2011
Hari ini aku resmi pacaran sama Prama. Laki-laki yang aku suka sejak kami satu kelas. Dia ngajak aku ke Cosmo pulang sekolah. Katanya tadi, dia mau merayakan jadian. Aku seneng banget.
Bangga ternyata, bisa pacaran sama anak yang disukai banyak anak perempuan di sekolah. Prama baik, walaupun nakal. Aku pernah tahu dia merokok habis pulang sekolah. Tapi aku suka banget sama dia. Dia sebenarnya pinter, cuma suka bikin onar saja.
Ava terkekeh membaca tulisannya sendiri. Ia mengambil kelopak bunga kering yang tadi di halaman pertama. Ia ingat sekarang. Ini adalah bunga yang diberikan Prama saat mereka merayakan jadian di Cosmo dulu. Tak lama, Ava kembali membalik buku hariannya. Membacanya dengan hati-hati, seraya mengembalikan memori yang mungkin saja terlewat ingatan.
Di satu halaman, napas Ava tercekat kala membaca apa yang ia tulis di sana.
25 Desember 2011
Aku ketemu Prama dengan bundanya dan Harsa di gereja. Kata bundanya Prama, aku cantik. Bundanya Prama juga bilang suaraku merdu pas tugas lektor* tadi. Tapi, Prama langsung diam pas aku tanya di mana ayahnya.
Seharian ini, aku coba telepon Prama tapi dia enggak mau angkat, padahal ini hari Natal. Dia marah karena aku tanya ayahnya?
Tulisan itu menariknya kembali ke masa di mana ia dan Prama bertengkar untuk pertama kali sejak mereka jadian dulu. Ava tak tahu kalau Prama ditinggalkan oleh ayahnya sejak ia berusia lima. Dan dengan polosnya, Ava malah menanyakan soal orang yang menyematkan luka bagi pria yang disayanginya.
Ava menutup buku hariannya, kendati ia belum selesai membaca halaman demi halamannya. Perempuan itu bersandar di tepi ranjang, kepalanya mendongak menatap langit-langit kamar. Ia tak menyangka kalau menggali memori tidak hanya meraup kenangan indah semata, tapi juga menggali luka yang yang pernah ada. Ava hanya tak pernah tahu, apa Prama juga merasakan hal yang sama dengannya?
***
Prama terdiam kala memandang Ava sudah menyiapkan makan malam buat mereka di unit apartemennya. Ia memandang hidangan yang tersaji rapi di atas meja. Mestinya ia tak heran, karena Ava punya akses untuk masuk meski tanpa dirinya.
“Aku sudah Whatsapp kamu sejak pagi, tapi enggak ada jawaban. Aku pikir kamu lagi sibuk banget di kampus,” kata Ava tanpa mengalihkan perhatian dari penggorengan dan kompor yang menyala.
Prama mengambil ponsel di saku celana. Sial. Pesan dari Ava tenggelam di antara pesan-pesan penting lainnya.
“Sorry ... tadi aku—“
“Iya, aku tahu. Kamu sibuk banget. Ngurus KKN, ngajar, bimbingan, kan?” sela Ava.
Prama menggulung lengan kemejanya, sembari berjalan mendekat ke Ava. Aroma ayam goreng mentega yang baru dipindahkan Ava ke mangkuk porselen putih menggelitik hidungnya, begitu juga dengan capcay seafood di piring oval. Matanya menemukan puding coklat dengan fla vanila, dan kue tart kecil dengan satu lilin di tengah. Dahinya berkerut, mencoba mencerna apa maksud dari ini semua.
“Va?” Prama memegang kedua lengan Ava yang masih membelakanginya.
Perempuan itu meletakkan wajan anti lengket di kitchen sink, kemudian berbalik menghadap Prama. “Hmm?”
Prama menoleh ke meja, kemudian kembali menatap Ava. Jelas terlihat tanda tanya besar di sorot matanya. Ava mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Kamu lupa?” tanyanya setelah beberapa saat diam.
“Apa?”
“9 April.” Ava menghela napas. “Ini tahun ke sebelas kita bareng-bareng, Prama.”
Prama melongo. Kemudian mengusap kasar wajahnya. Bisa-bisanya ia lupa tanggal jadiannya dengan Ava, padahal baru sebulan yang lalu mereka pulang ke Salatiga dengan tujuan mengembalikan memori yang mungkin saja bisa memperbaiki hubungan yang merenggang.
Prama menggeret kursi, lalu duduk. Menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Diikuti Ava yang mengambil posisi duduk di depannya. Perempuan itu menumpangkan tangan di atas meja. Pandangan mereka bertemu. Prama yakin sekali, Ava kecewa. Mata perempuan itu memerah.
“Tadi pagi aku bilang lewat Whatsapp kalau aku mau datang ke sini, biar kita bisa merayakan 11 tahun. Pas aku telepon, kamu bilang lagi sibuk ngurus KKN, jadi aku inisiatif tunggu kamu di sini, entah mau sampai jam berapa pun. Bahkan, aku enggak sempat bilang tujuanku datang, karena kamu buru-buru tutup teleponnya,” tutur Ava, pelan.
“Ava, sorry. Aku kelewatan lagi kali ini.” Prama menghela napas panjang. Ia tahu dan sadar, entah berapa kali kata maaf terlontar dari bibirnya sepanjang mereka bersama.
“Pertanyaanku sejak dua tahun belakangan masih sama, Prama ....” Ava menyeka air mata yang lebih dulu mengalir di pipi sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. “Do you still love me?”
Prama terdiam sesaat. Ia teringat saat mereka pulang ke Salatiga. Memori yang mereka raba, membawa tawa dan kehangatan yang sama seperti saat mereka memulainya. Namun, ia tak menampik kalau dampaknya tak lama.
“Aku sayang sama kamu, Va. Sayang banget—“ Kedua tangan Prama mengepal di pangkuan. Ada sesuatu yang mengganjalnya meneruskan bicara.
“Aku terlalu terbiasa. Ada kamu di sampingku sejak sepuluh—“
“Sebelas,” ralat Ava.
“Ya. Sebelas tahun yang lalu. Oh, Tuhan ... aku bahkan enggak pernah sadar kalau kita sudah selama itu.” Prama menatap Ava lurus-lurus, lalu ia berdiri, mendekat, lalu berlutut di depan perempuan itu.
“Aku ingat banget waktu kamu tanya, apa rencana selanjutnya pas awal-awal aku pindah ke Tangerang, lebih dekat sedikit sama kamu. Ya, walaupun menurutku Tangerang ke Jakarta Pusat tetap jauh banget, sih.” Ava tertawa kecil sembari menyeka air mata yang baru sampai di tepi kelopaknya. “Pas itu aku bilang, aku mau kita menikah, tapi kamu bilang kamu belum siap materi dan segalanya, jadi kamu menawarkan pertunangan.” Ava menunduk, mengeratkan genggaman tangan Prama di tangan basahnya.
“Tadinya aku kecewa. Sempat kepikiran sama pertanyaan orang-orang di luar sana soal pacaran kita yang terlalu lama. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, waktu itu ternyata aku pun belum siap meninggalkan Bapak, mengutamakan kamu dan keluarga kecil kita nanti. Dan hubungan kita berlanjut terus menerus—kayak—seperti seharusnya. Aku dan kamu, dengan segala kesibukan kita masing-masing. Hubungan kita cuma jadi sekadar ada.”
Ava melepaskan genggaman tangan Prama, kemudian mengelus pipi Prama lembut. “Kita sama-sama tumbuh dewasa, dengan segala pencapaian kita sampai sekarang. Aku bangga bisa menemani kamu sampai jadi seperti ini, Pram. Sungguh. Prama yang dulu bandelnya minta ampun, bisa kuliah sampai S2, sampai jadi dosen, bahkan jadi Kaprodi.” Senyuman Ava terbit, seiring terbitnya kembali bulir-bulir air mata yang mungkin saja tak lagi mampu ditampung di kelopaknya.
“Tapi semakin ke sini, makin aku enggak lihat ada kita di sini.” Ava menyentuh mata Prama yang tertutup dengan ibu jarinya. “Cuma ada Prama sama Ava saja. Dengan egonya masing-masing, dengan impian yang mungkin jadi berbeda. Hubungan kita terhenti sejak beberapa tahun yang lalu. Aku merasa, aku di sini pun bukan lagi karena cinta yang sama, tapi karena kita sekadar terbiasa. Dan ini bisa jadi bom waktu suatu hari nanti, Pram.”
Ava mendongakkan kepala Prama, mengelusnya dengan lembut. “Kebersamaan mestinya bukan beban. Kalau kita menikah, artinya kita mau merasakan jatuh cinta dengan orang yang sama. Jatuh cinta setiap hari, berkali-kali, sampai kita mati.”
“Ava, aku sayang sama kamu. Tapi aku—“
“It’s OK, kalau kita enggak jadi menikah pada akhirnya. Kita pernah berusaha sekuat tenaga. Sampai sebulan yang lalu pun, kita masih mencoba, kok.”
Hening. Tidak ada suara isak meski air mata Ava luruh kian deras. Prama bisa mengusap air mata dari wajah Ava, tapi ia tak bisa mengusap kenyataan kalau ia yang membuat perempuan yang teramat disayanginya itu terluka.
“Aku enggak pernah membayangkan kalau suatu hari bukan kamu yang di sebelahku, Va. Tapi aku sadar, ternyata aku enggak bisa bikin kamu bahagia. Aku sayang sama kamu, Ava. Banget. Soal pernikahan ....” Prama menghentikan kalimatnya, kemudian ia berdiri. Tangannya menarik Ava sampai perempuan itu berdiri berjarak sejengkal saja. Ia memeluk Ava kemudian, mencium ujung kepala Ava sedikit lama, seperti menumpahkan segala emosi yang memuncak di benaknya.
“Aku takut menyakiti kamu, terutama kalau kita menikah nanti. Aku minta maaf, Ava. Berjuta-juta maaf. Ke kamu, ke ayah, ke semuanya. Maaf ....”
**
Kata orang, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Bahkan uang sebanyak apa pun tak akan bisa mengembalikan waktu yang terbuang sia-sia. Namun, sebelas tahun bersama Prama sama sekali bukan sia-sia bagi Ava.
Perempuan itu menggenggam foto terakhirnya bersama Prama. Perihnya terasa, tapi katanya tidak apa-apa. Perlahan, ia meletakkan foto berbingkai itu ke dalam kotak warna hitam berukuran cukup besar menampung beragam barang. Ia melongok ke kotak itu, memastikan tak ada barang yang luput ia masukkan.
Berkas-berkas persyaratan nikah sipil, berkas pendaftaran kursus persiapan perkawinan Gereja, boneka kelinci warna putih yang didapat Prama saat pelatihan di Bali, contoh-contoh panduan Sakramen Perkawinan, foto-foto mereka, bahkan ponsel yang dipakai Ava, sebelum perpisahannya dengan Prama. Ponsel yang menyimpan begitu banyak kenangan bagi mereka. Ava menutup itu, seperti ia menutup kisah sebelas tahunnya dengan Prama.
Tidak apa-apa. Begitu katanya menenangkan jiwa yang terluka.
Ava menghirup udara banyak-banyak, lalu menghembuskannya perlahan. Momen indahnya dengan Prama masih kerap berseliweran kendati sudah tiga bulan sejak perpisahan. Namun, mereka sudah memutuskan. Kebersamaan mestinya bukan beban. Yang Ava yakini, pernikahan mestinya jatuh cinta dengan orang yang sama, setiap kali, setiap hari. Dan sayangnya, mereka tak lagi merasakan itu kendati pernah sama-sama berusaha.
“Tidak apa-apa,” desisnya, sembari menutup kotak hitam, lalu meletakkannya di ujung atas lemari pakaian.
*Lektor : Petugas yang membaca Alkitab di Gereja Katolik
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
