
Ada satu pertanyaan yang berkali-kali Adam tanyakan ketika Acel memilih memutuskan hubungan mereka.
"Kamu nggak pernah cinta aku, ya, Cel?"
Begitu katanya, dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar di antara jarak yang mendadak terasa begitu jauh.
Acel hanya diam kala itu. Tidak menjawab. Tidak menatap. Hanya menarik napas panjang, menahan segala yang ingin ia ucapkan, lalu berbalik dan menghilang. Meninggalkan Adam dengan isakan rintih yang menggema di malam yang sepi—menyayat kepingan hatinya hingga...
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Too Many Scars, Too Little Time
1
0
Langsung ke apartemen, Pak, ucap Dewa kepada sopirnya, suaranya tegas, tapi matanya sekilas melirik ke arah Prisa yang masih memasang sabuk pengaman.“Gue mau langsung balik ke kosan aja.”Dewa menoleh cepat. “Sa—”Please… Prisa memotong, suaranya nyaris berbisik, tetapi penuh permohonan. Tatapan matanya lelah, seakan meminta Dewa untuk mengerti tanpa harus menjelaskan.Dewa mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menyerah. “Rayuna D'Kost, Pak.”Baik, Mas, jawab sopir, lalu menekan pedal gas, membawa mereka menuju kosan Prisa.Keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Dewa mencuri pandang ke arah Prisa yang duduk di sebelahnya, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya lampu jalanan yang berpendar di wajahnya memperjelas jejak kelelahan dan kesedihan yang coba ia sembunyikan.Sesampainya di depan kosan, Prisa buru-buru membuka pagar. Makasih. Gue masuk dulu, katanya singkat.Dewa ikut turun. Gue ikut. Luka lo harus diobatin. Tatapannya tertuju pada bekas cakaran di lengan Prisa, hatinya mencengkeram rasa bersalah.“Gue gak pa-pa. Lo balik aja.”“Sa—”Dewa, suara Prisa melemah, nyaris putus asa. “Gue mau sendiri dulu. Please, jangan ganggu gue dulu, bisa 'kan?”Dewa menatapnya, rahangnya mengeras menahan gejolak dalam dirinya. “Gue gak bisa ninggalin lo sendirian, apalagi di saat kayak gini.”Prisa menunduk, menarik napas panjang sebelum berkata, “Wa—”“Kita harus nikah, Sa.”Jantung Prisa seolah berhenti berdetak. Perlahan, ia mendongak, menatap Dewa dengan wajah muak yang sulit ia sembunyikan. “Dewa, please…”Gue janji bakal jagain lo dari semua orang yang nyakitin lo. Suara Dewa bergetar oleh emosi. “Orang yang bikin luka di lengan lo, yang ngejambak lo, yang bikin lo ketakutan gini— semua orang, Sa! Gue bakal pastiin mereka mohon-mohon minta maaf sama lo. Gue bakal lindungin lo sampai gue mati. Gue—”“Dewa.”Prisa menyela, matanya kini memandang Dewa dingin. “Lo gak perlu janji apa-apa. Gue gak butuh apa-apa dan gue gak butuh permintaan maaf dari siapa-siapa. Gue cuma pengen sendiri. Jadi, tolong, gue minta lo pergi dari sini.”Dewa menggeleng pelan. Gue janji bakal lupain Emily, Sa. Suaranya nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. “Gue janji bakal beresin semua perasaan gue buat Emily dan belajar buat cinta sama lo.”Prisa tersenyum pahit, tatapannya penuh geram. “Dewa, cukup!”“Lo bilang lo mau nikah sama gue kalau cinta gue ke lo lebih besar dari cinta gue buat Emily dulu, 'kan?”Prisa terdiam. Kata-kata itu menghantam dadanya seperti ombak besar.Jawab, Sa. Dewa menggenggam pundak Prisa, jemarinya bergetar menahan emosi. “Kalau cinta gue lebih besar buat lo, lo mau nikah sama gue 'kan?”Prisa menggeleng, putus asa. “Itu gak mungkin, Wa… You’ll never love me more than you loved her.”“But I swear I’ll try.” Dewa berbisik, hampir seperti doa. “I’ll give you everything. My whole heart. My whole life. Just… just give me a chance.”“Wa—”Tolong nikah sama gue, Sa… Dewa memohon, suaranya bergetar hampir menangis, “Gue mohon nikah sama gue, Prisa…” Keheningan menggantung di antara mereka. Prisa menatap Dewa, merasakan ketulusan yang hampir membuatnya goyah. Tapi sebelum ia bisa menjawab, ia merasakan kehadiran seseorang diantara mereka. “Enggak!itu bukan suara Prisa.Dewa dan Prisa sama-sama menoleh, menemukan Farel berdiri di belakang Prisa. Tatapannya tajam menusuk ke arah Dewa. “Prisa gak akan nikah sama lo.”Farel? Prisa tercengang. “Kenapa kamu bisa di sini? Bukannya kamu lagi karantina?”Farel tak menjawab. Ia malah menatap Prisa lekat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kamu gak apa-apa, Sa? Aku lihat berita dan langsung ke sini buat mastiin kamu baik-baik aja. Aku takut kamu kenapa-napa dan—”Ada gue. Prisa aman sama gue. Jadi jangan lebay sampai harus ke sini segala hanya karena alasan gak masuk akal lo itu, potong Dewa, suaranya penuh ketidaksukaan.Farel menatap Dewa lurus dengan rahang mengeras sebelum akhirnya pukulan keras mendarat di wajah Dewa. Tubuhnya terhuyung ke belakang.Farel! Stop!! Kamu ngapain!? Prisa berteriak panik.Mengabaikan Prisa, Farel mengepalkan tinjunya lagi, dadanya naik turun menahan amarah. “Kalau bukan gara-gara lo, Prisa gak akan sampai setakut ini! bentak Farel, matanya menyala.Dewa menyeka darah di sudut bibirnya, lalu menatap Farel tajam. “Brengsek!Farel tak peduli. “Lo yang brengsek! Asal lo tau selama gue kenal Prisa, gue gak pernah lihat muka Prisa ketakutan kayak gini! Dan liat muka dia sekarang! Farel menarik kerah Dewa kasar menghadap Prisa, “Liat, brengse—”“Farel udah!” Prisa menengahi, “Stop! Jangan bikin ribut!”Nafas Farel memburu, lalu membuang ludahnya sebelum kembali menatap Dewa, “Tadi lo bilang apa? Lo mau jagain Prisa dari semua orang yang nyakitin dia?” Farel tertawa remeh, “Lo bisa ngaca gak sih? Manusia yang paling nyakitin Prisa itu justru lo, bajingan! umpatnya. Prisa mendorong bahu Farel saat laki-laki itu kembali ingin menjangkau Dewa, “Farel aku bilang cukup!Farel menatapnya. “Aku gak bisa diam, Sa. Aku gak bisa terima kalau kamu dipaksa buat nikah sama orang yang bahkan udah bikin kamu ketakutan kayak gini! Gue gak maksa Prisa! Dewa membalas dengan suara keras. “Gue cuma mau Prisa tahu kalau dia gak sendirian. Gue mau Prisa tahu kalau ada seseorang yang bakal selalu ada buat dia.”Farel tertawa sinis. “Seseorang? Lo pikir gue bego? Lo yang dulu lebih milih Emily, sekarang tiba-tiba bilang cinta sama Prisa? Lo pikir Prisa mainan, hah?”Dewa mengepalkan tangannya. “Gue udah bilang gue bakal lupain Emily!”“Cuma bakal 'kan? Dan itu artinya belum! Terus lo pikir Prisa mau jadi pelarian lo sampe lo bisa lupain mantan terindah lo itu? Iya!?Kata-kata Farel seolah menampar Dewa keras. Napas Dewa memburu, tapi ia tak bisa menyangkal kenyataan yang baru saja Farel ucapkan.Prisa akhirnya angkat bicara. Berhenti! Kalian berdua, cukup! Suaranya bergetar, penuh emosi. “Gue bakal lapor polisi kalo kalian masih mau ribut disini!” Dewa dan Farel terdiam dengan melempar tatapan penuh dendamPrisa mengalihkan pandangannya ke Dewa. “Dewa ini terakhir kalinya gue bilang sama lo. Lo gak bisa maksa gue buat nikah sama lo hanya karena lo merasa bersalah atau karena lo lagi butuh pelarian buat ngelupain seseorang. “Sa gue gak—”Lalu Prisa menoleh ke Farel. “Dan kamu juga, Rel. Aku tau kamu peduli sama aku, tapi kamu juga gak bisa tiba-tiba dateng dan ngatur apa yang harus aku lakuin. Kita ini cuma mantan dan gak akan pernah lebih dari itu, tolong hargai batasan itu.Farel menatapnya, ekspresinya melembut. “Sa, aku cuma—”Gue cuma mau sendiri, Prisa menyela, suaranya lelah. “Gue gak butuh janji, gue gak butuh perlindungan, gue gak butuh seseorang buat temenin gue. Gue cuma mau tenang.”Dewa menunduk. Farel menghela napas panjang.Prisa melangkah mundur. “Gue masuk dulu. Kalian juga… pulanglah.”Tanpa menunggu jawaban, Prisa berbalik dan melangkah masuk ke dalam kosannya, meninggalkan dua laki-laki itu dalam diam.Dewa dan Farel hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, membawa serta luka dan kisah yang masih belum terselesaikan. @eldin
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan