CHAPTER XXIII—What’s Done is Done

2
0
Deskripsi

Yang berlalu biarlah berlalu. Tira memutuskan untuk berhenti menyimpan dendam dan memaafkan sesuatu yang berada di luar kendalinya.

halooo, if you guys notice something wrong.
 

please let me know and correct me yaaaa
 


hwappi readingg~

 

CHAPTER XXIII—What’s Done is Done

 

Aku tersenyum kecil, memperhatikan pemandangan di depan mata yang entah kenapa membuat perasaanku sedikit… aneh. Geo, dengan wajah sok seriusnya, sedang berceloteh di depan bayi mungil yang baru beberapa hari lahir. Suaranya dibuat pelan, seolah sedang berusaha berdiplomasi dengan makhluk kecil yang bahkan belum bisa membuka matanya dengan sempurna.

Di gendongan Gara, yang berdiri dengan pose setengah canggung dan setengah protektif, bayi itu menggeliat pelan. Matanya yang baru terbuka setengah, mengedip pelan, seolah sedang menimbang-nimbang apakah dunia ini cukup menarik untuk ditangisi atau cukup nyaman untuk kembali tidur.

“Lo jangan nakut-nakutin anak gue gitu dong, Yo,” ujar Gara, setengah tertawa, setengah waspada. Ia mengayun perlahan tubuh si kecil.

Geo mendengus pelan. “Dari mana ceritanya gue nakut-nakutin? Lo gak liat muka gue udah kayak malaikat gini?”

Aku menggulirkan mataku dengan sebal. Dia adalah buaya yang sudah insaf, mana bisa dibandingkan dengan makhluk surgawi?

Saat aku menyaksikan perdebatan dua orang di depanku ini, pintu depan terbuka pelan, disertai suara langkah tergesa.

Sorry banget, kita telat!” Suara Gema terdengar lebih dulu, diikuti wajahnya yang muncul di ambang pintu. Senyumnya lebar seperti biasa.

Di belakangnya, Liora menyusul masuk dengan senyum lebih tenang, menenteng tas jinjing dan sekotak kado berbalut kertas motif bulan-bintang. “Kita bawa sesuatu buat Selia,” katanya. 

Gema melangkah mendekat ke arah Geo dan Gara, ikut nimbrung dengan ekspresi hebohnya. Sementara Liora menghampiriku, bercipika-cipiki dengan gerakan cepat sebelum akhirnya duduk di sebelahku.

“Gema tuh, lama banget,” gerutunya.

Aku terkekeh kecil. “Kalo tepat waktu, bukan Gema namanya.”

Tepat di sela tawa kecil kami, sebuah suara lain bergabung, terdengar agak pelan namun jelas, seperti baru saja bangkit dari istirahat panjang.

“Eh, udah pada dateng ya?”

Marisela—ibu dari si kecil, akhirnya muncul. Wajahnya sedikit pucat, rambutnya dikuncir seadanya. Ia menatap ke arah kami sekilas, kemudian tersenyum tipis. “Mau minum apa?” tawarnya.

Aku melihat Liora menggeleng kecil ke arah Marisela, sopan. “Gak usah, Mbak, kita juga di sini sebentar kok,” ucapnya, seperti berusaha meringankan beban si ibu baru.

Marisela hanya mengangguk, lalu pandangannya berpindah kepadaku. Sekilas saja. Lalu menjauh.

“Ih, ni anak mukanya ibunya banget ya, untungnya,” celetuk Gema tanpa filter, matanya tertuju pada bayi mungil yang masih nyaman dalam gendongan Gara.

Detik selanjutnya bayi kecil itu mulai menggeliat dan mengeluarkan rengekan tipis. Marisela berjalan ke arah Gara dengan gerakan alami, mengambil bayi kecil itu dari pelukan suaminya. Tangannya terulur perlahan, penuh kehati-hatian, dan saat tubuh mungilitu berpindah ke pelukannya, ia langsung menggoyangkan lembut tubuh si kecil.

“Tuh, anak gue aja gak terima lo ngomong kaya gitu,” seru Gara.

Aku ikut tertawa kecil, tapi tidak sepenuh hati. Ada yang berdenyut pelan di dada. Sesuatu yang samar. 

“Ra,” panggilan Geo membuatku tersentak. 

Aku menoleh cepat. “Hm?”

“Kamu gak papa?” tanyanya.

Aku tersenyum tipis, lalu menggeleng kecil.

Marisela kini mendekat ke arahku, masih menimbang bayi kecilnya. Senyum tipis merekah di wajahnya. Lembut, namun ada jarak. Atau mungkin aku yang menciptakan jarak itu, entah, aku tidak tahu.

“Mau gendong?” tanyanya.

Aku diam beberapa detik. Mataku menatap bayi kecil itu, yang kini sudah berhenti menangis. Mata kecilnya menutup setengah, tangannya mencengkeram udara kosong.

“Boleh?”

Marisela mengangguk pelan, lalu dengan hati-hati menyodorkan tubuh mungil itu padaku.

“Gue gak tau harus minta maaf dan berterima kasih berapa kali sama kalian,” ujar Marisela pelan.

Aku menatap Selia, si bayi yang kini berada dalam gendonganku. Punggung jariku kini bergerak, mengusap pipi merahnya perlahan. Rasa hangat menjalar di dadaku. 

Marisela menunduk sejenak, dia kemudian melanjutkan. “Kalo waktu itu Geo gak datang…”

Aku menggeleng, memotong kalimat yang selanjutnya akan keluar dari mulutnya. Tidak, aku tidak ingin membahas ini. Tidak hari ini. Tidak saat tubuh mungil dalam pelukanku begitu hangat dan tenang. Tidak ketika aku masih berusaha menerima bahwa kehilangan yang kurasakan menjadi alasan hidup bagi yang lain.

Mataku menatap Marisela. Ada yang tidak bisa disembuhkan dengan kata ‘maaf’, dan terlalu dalam untuk disederhanakan dengan kata ‘terima kasih’.

Aku menghela napas pelan, lalu menurunkan pandanganku pada bayi bernama Selia yang kini tertidur pulas. Napasnya pelan dan teratur, jemarinya menggenggam udara kosong seperti tadi. Tidak tahu apa-apa, tidak membawa beban apa-apa. 

What’s done is done, Sela. Let’s just leave it there,” kataku.

 

***

“Aku pengen kerja,” ungkapku tiba-tiba, saat aku dan Geo tengah berada dalam mobil, menuju perjalanan pulang. Lampu jalan berkelebat melewati jendela, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dashboard mobil. 

Geo mengerutkan keningnya, matanya sekilas menatapku lalu kembali ke jalan. “Kok tiba-tiba pengen kerja? Kenapa?”

Aku menarik napas panjang, lalu mengangkat bahu pelan. “Aku bosen di rumah,” ujarku, lalu menyandarkan kepala ke jendela dingin di sebelahku. “Setiap hari cuma ketemu Anya aja.”

Suara mobil mendesis halus di atas aspal. Geo melirikku cepat, lalu kembali fokus menyetir. Ada jeda sebelum dia akhirnya berdeham pelan.

“Tiap hari kamu ketemu Anya?”

Aku mengangguk. “Dia juga yang minta aku buat nemenin kamu ke rumah Gara tadi.”

Geo tidak langsung menjawab. Aku bisa merasakan tangannya menggenggam setir lebih kuat. “Kenapa Anya di rumah tiap hari?” tanyanya, nada suaranya mulai berubah. Terdengar lebih hati-hati.

“Dia nemenin aku sampai kamu pulang kantor. Katanya kasihan aku sering sendirian di rumah,” jawabku jujur.

“Kamu kan gak sendirian terus di rumah, ada Bi Ani yang nemenin,” ucap Geo.

“Ya beda dong, Geo,” balasku pelan, tanpa menatapnya. “Bi Ani bukan teman ngobrol. Obrolan kami juga sering gak nyambung.”

Aku mengusap kaca jendela dengan ujung jari. Embun dari pendingin udara membuat permukaannya buram, dan aku mulai menggambar bentuk asal di sana, sebuah lingkaran yang tak selesai. 

“Aku butuh rutinitas baru. Pagi bangun bukan cuma buat nunggu kamu pulang. Siang bukan cuma buat scroll medsos atau nontonin film sampe bosen.”

“Ya udah, nanti aku coba cari posisi buat kamu di kantor,” putusnya dengan tenang, seolah itu solusi paling masuk akal.

Aku mendesah pelan. “Aku gak mau kerja di kantor kamu,” tolakku.

“Ya udah, gak aku izinin,” ucapnya datar. 

Aku mendelik sebal, tapi memilih untuk tidak menjawab. Rasanya percuma saja berdebat dengannya, dia tidak akan pernah mau mengalah. 

“Lagian, kenapa sih tiba-tiba pengen kerja?” tanyanya lagi, nadanya terdengar lebih penasaran daripada marah. “Uang dari aku kurang?”

Aku memutar tubuhku sedikit, menatapnya tajam. “Geo, ini bukan soal uang.” 

Dia melirikku sekilas. “Ya terus apa?”

“Aku bosen, pengen ada kegiatan. Lagian kalo aku mau melihara anjing atau kucing kamu pasti gak izinin,” ucapku ketus. “Apa sih yang bisa aku putusin sendiri tanpa kamu intervensi?”

Dia terkekeh kecil, bukan jenis tawa lucu, tapi lebih ke sinis. “Sekarang kamu nyindir aku?”

Aku memutar kembali tubuhku, lalu melipat tanganku di dada. “Aku cuma ngomong kenyataan.”

Ada jeda panjang, sebelum akhirnya aku mendengar suara Geo menghela napas.  “Ya udah,” katanya akhirnya. “Kucing atau anjing, pilih salah satu. Jangan maruk.”

Aku langsung menoleh padanya, tatapanku penuh ketidakpercayaan. Demi apapun, aku hanya asal bunyi ketika mengatakan itu, karena aku tahu kalau Geo tidak suka memelihara jenis binatang apapun di rumah.

“Kenapa?” dia melirikku sekali lagi dari sudut matanya. “Berubah pikiran?” sindirnya.

“Aku pengen kerja,” dengusku.

“Ya udah, kucing sama anjingnya batal?” tanyanya pelan, nadanya terdengar mengajakku bercanda.

“Diizinin kerja?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Gak dua-duanya berarti.”

Menyebalkan.

***

tbc

gais, ini ig ku ya (mirna.cle). Who knows, maybe you wanna tag or mention me if you find a quote makes you feel gemes. HAHHAHHAHAHA.

until we meet again in the next chapter.

babai.

love, mirna.

Sabtu, 12 April 2025 18:46.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CHAPTER XXIV—Just a Single Line
2
0
Tira Mizuella selalu berharap hidupnya akan semanis nama yang diberikan Ibunya. Namun, kenyataan berkata lain, pernikahannya berantakan, semua karena Gara, calon suaminya yang tak kunjung menyelesaikan urusan dengan masa lalunya.Pekerjaannya sebagai manajer pribadi seorang Geo Rafi, atlet dan bintang iklan terkenal cukup membuat pikirannya teralih. Tapi ia lupa satu fakta penting; Geo adalah sahabat dekat Gara. dan tak ada jaminan mereka tidak akan bertemu lagi.Saat segalanya terasa terlalu rumit, resign tampak seperti satu-satunya jalan keluar. Tapi, siapa sangka, keputusan itu justru membawanya pada sebuah lamaran konyol, yang datang dari orang yang tak pernah ia bayangkan, Geo Rafi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan