Ibu Dan Menantunya #CeritadanRasaIndomie

5
0
Deskripsi

#CeritadanRasaIndomie

Kisah seorang menantu yang tidak disukai Ibu mertuanya. 

            Setiap kali Ibu pulang dari kota, entah itu menengok Mas Har atau Mbak Titik, selalu tak lupa membawa oleh-oleh. Beliau juga membawa cerita manis dan indah selama tinggal di rumah mereka. Ibu akan bercerita pada kami tentang kehidupan Mas Har dan Mbak Titik yang dilimpahi kesuksesan. Rumah mewah dengan segala perabotannya yang serba lux dan modern, kolam renang, mobil. Tak lupa cerita tentang cucu-cucunya yang bersekolah di sekolah favorit. 

            Ratih hanya diam tertunduk, menyembunyikan kecut hatinya. Aku tahu, istriku itu merasa direndahkan oleh Ibu. Pasalnya, Ibu kerap membandingkan menantunya yang lain dengan dirinya. Ibu sering memuji-muji Mbak Sari, istri Mas Har, di depan Ratih. Kakak iparku itu memang sosialita yang cantik, anggun, dan selalu berpenampilan modern. Dia aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Pergaulannya luas, terutama dengan kalangan atas dan kaum selebritis. 

            “Tahu tidak, waktu aku diajak jalan-jalan ke mal kami bertemu dengan rombongan artis. Sari kenal baik dengan mereka. Aku dikenalkan pada seorang artis yang sering muncul di sinetron. Itu, yang kalau tersenyum kelihatan lesung pipitnya. Aduh, siapa namanya… aku kok lupa!” demikian tutur Ibu. 

            Istriku tahu siapa yang dimaksud Ibu, tapi dia tidak mencoba meralat. Saat memamerkan kehebatan dan kelebihan menantunya itu, wajah Ibu seperti memandang sebelah mata pada Ratih. Dia pun tak sungkan meminta Ratih meniru menantu kebanggaannya itu. 

            “Makanya, jadi perempuan itu yang maju, kayak Sari. Kalau dibandingkan dengan perempuan di kampung ini tidak ada apa-apanya. Sudah cantik, pinter, terkenal, orangnya juga supel dan baik hati. Tak segan dia mentraktir aku makan di restoran mewah, mengajak jalan-jalan, nyangoni aku waktu mau pulang, dan membelikan banyak oleh-oleh. Menantuku yang lain mana ada yang seperti itu!” ujarnya dengan nada agak sinis. Ibu tak sadar bila dia hanya punya dua menantu perempuan, yakni Mbak Sari dan istriku. 

            Tentu saja ucapannya terasa menyengat hati istriku. Diam-diam Ratih sering menangis dan mengadu di hadapanku. Hatinya sangat kesal dan kecewa. Bahkan dia pernah berniat pulang ke rumah orang tuanya. 

            “Kalau begini terus aku tidak tahan, Mas. Lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku tak mau dihina dan direndahkan. Aku memang perempuan kampung, bodoh, dan miskin. Tapi begini-begini aku juga punya harga diri dan kehormatan, Mas. Hatiku sakit bila diperlakukan seperti ini!” desis suaranya menahan kekesalan. 

            “Sabar, Tih! Sabar! Kamu jangan emosi begitu. Jangan masukkan dalam hati ucapan Ibu. Beliau kan sudah tua, sikapnya kadang seperti anak kecil,” kataku menenangkan. 

            “Ya, tapi kalau omong itu mesti dijaga, Mas. Di depan orang banyak pun Ibu suka membandingkan aku sama Mbak Sari. Bagaimana aku tidak malu dan sakit hati…?!” 

            “Sabar, Tih. Biar nanti aku bicara sama ibu…” 

            Aku agak pusing juga menghadapi keadaan ini. Aku dihadapkan pada situasi yang cukup pelik dan dilematis. Di satu sisi aku mesti menghormati Ibu sebagai orang tua, tapi di sisi lain aku juga tak bisa mengabaikan perasaan istriku. 

            “Pokoknya, kalau begini terus aku tak tahan, Mas. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku!” ancam Ratih.

            “Jangan begitu, Tih. Kalau kamu pulang ke rumah orang tuamu, apa nanti kata orang? Mereka pasti akan menggunjing kita. Dikira kita ada percekcokan!” ujarku menahannya. 

            “Kalau memang Mas tak mau aku pulang ke rumah orang tuaku, tolong kasih jalan buat aku bisa hidup tenang! Kenapa kita tidak bikin rumah sendiri saja? Kalau Mas belum mampu, kita ngontrak rumah dulu juga tidak apa-apa. Yang penting aku bisa bebas mengurus rumah tanggaku sendiri!” tandas Ratih. 

            Aku termangu kelu. Bagiku bukan soal sulit membuat rumah sendiri. Aku punya tabungan berupa tanah pekarangan seratus meter tak jauh dari kampung ini dan juga sedikit uang di bank. Tapi masalahnya, jika aku harus pindah bagaimana kehidupan Ibu nanti? Tegakah aku meninggalkan Ibu hidup sendirian? Aku tahu, Ibu pasti akan sangat sedih dan kesepian. Aku pernah berjanji akan mengurusnya hingga akhir hayat nanti. Karena dari ketiga anaknya, akulah yang paling dekat dengan Ibu. Hatiku rasanya berat bila harus berpisah dari Ibu. Meskipun nanti tempat tinggalku tak jauh dari rumah Ibu dan kami masih bisa menengoknya setiap saat, tapi rasanya lain. Ada perasaan bersalah menghimpit dadaku! 

            Di saat aku sedang pusing menghadapi persoalan di rumah, tiba-tiba aku mendapat kabar mengejutkan. Mas Har ditangkap KPK di Jakarta. Dia dituduh menggelapkan dana milyaran rupiah di departmennya. Aku menerima kabar ini langsung dari Mbak Sari melalui telepon. Tapi dia berpesan agar Ibu jangan diberitahu tentang hal ini. Mas Har tak mau Ibu shock dan jatuh sakit, mengingat Ibu memiliki riwayat jantung lemah. Dia hanya berpesan agar aku merahasiakan kasus ini. Aku diminta untuk tidak menyetel siaran berita di televisi atau membawa koran ke rumah. Pendeknya, aku diwanti-wanti agar permasalahan ini jangan sampai bocor ke Ibu! 

            Aku lalu memberitahukan kabar buruk ini pada istriku. Ratih ikut sedih dan prihatin. Dia berjanji tidak akan membocorkannya pada Ibu. Aku percaya pada ucapan istriku. Meski saat ini dia sedang bermasalah dengan Ibu, tapi aku tahu di lubuk hatinya yang terdalam dia tak pernah membenci Ibu. Jika dia mau, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membalas balik Ibu yang kerap merendahkannya. Tapi tidak, Ratih tak mau melakukannya. Dia bukan tipe perempuan pendendam. Dia bahkan tak mengungkit-ungkit lagi soal keinginannya untuk pindah. Mungkin Ratih menyadari bahwa waktunya tidak tepat untuk membicarakan soal itu. 

            Sebaliknya, kulihat Ratih banyak memberikan perhatian pada Ibu. Dia melayani Ibu dengan baik. Dia mau melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Ibu. Dia tak peduli bila perbuatannya itu mendapat tanggapan sinis dari Ibu. Ratih tak mengambil hati semua perkataan Ibu yang tak mengenakkan. Ratih berusaha menyingkirkan egonya demi menjaga perasaan Ibu. Karena saat ini ada kepentingan lebih besar yang harus dikedepankan, yakni menjaga agar permasalahan yang menimpa Mas Har tidak sampai diketahui Ibu. Karena jika hal itu terjadi akibatnya bisa fatal. Aku terharu melihat sikap istriku. 

            Untuk beberapa waktu lama kami berhasil menyembunyikan permasalahan Mas Har dari hadapan Ibu. Aku terus memantau kasus Mas Har melalui komunikasi telepon. Tentu saja aku menelepon di saat tidak dekat Ibu. Tapi aku lupa, arus informasi telah merambah ke segenap pelosok tanpa sekat lagi. Para tetangga kami di desa banyak yang memiliki televisi. Mereka juga membaca berita di media online. Kami tak bisa mengerem mulut orang untuk bicara. Entah, dari siapa Ibu mendengarnya, siang itu sepulang dari warung Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang ada di belakang rumah. Wajahnya tampak merah padam. Dengan suara lantang dia berseru memanggilku. 

            “Jokoooo…!”

            “Ya, Bu!” 

            “Kurang ajar kamu! Kenapa kamu tidak bilang-biii…” Belum selesai Ibu menyelesaikan kalimatnya beliau sudah jatuh pingsan. 

***

            Ibu kini terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit swasta. Beliau telah melewati masa kritisnya setelah mengalami serangan jantung dan sempat koma selama dua hari. Tapi syukurlah, berkat kuasa Tuhan dan pertolongan dokter Ibu masih bisa diselamatkan. Untuk sementara beliau harus menjalani perawatan karena kondisinya yang lemah. Begitu membuka matanya, pertama kali yang dicarinya adalah aku. Dengan mata berkaca-kaca dan suara lemah Ibu meminta aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Mas Har. Aku meminta Ibu tidak usah memikirkan Mas Har dulu, tapi wanita tua itu memaksaku untuk mengatakannya. 

            Akhirnya, dengan perasaan berat aku mengungkapkan semuanya. Aku menceritakan dari awal kasus yang menimpa Mas Har. Departemen tempat kerja Mas Har diterpa isu korupsi milyaran rupiah yang berkenaan dengan suatu proyek pembangunan. Kebetulan Mas Har sebagai pejabat yang berwenang mengurusi proyek itu. Setelah diselidiki KPK ternyata ditemukan beberapa penyimpangan. Mas Har lalu ditangkap dan sekarang dalam tahanan polisi. Dia akan menghadapi serangkaian persidangan yang bisa berujung pada vonis penjara. Karena banyak bukti dan saksi yang memberatkan Mas Har. Kasus ini akan berimplikasi pada kehidupan Mas Har di kemudian hari. Dia bisa dipecat dari jabatannya, nama baiknya tercemar, dan jatuh miskin karena semua kekayaannya disita negara. 

            Air mata Ibu bercucuran usai mendengar ceritaku…

            “Kenapa Harsono jadi seperti itu? Padahal sejak kecil aku mendidiknya agar menjadi orang yang jujur dan lurus. Aku tak pernah mengajarinya mencuri, tapi kenapa sekarang dia korupsi? Apakah gajinya sebagai pejabat tinggi tak cukup lagi memberi makan anak istri?” ucap Ibu dengan nada getir. Aku bisa ikut merasakan kepedihan menghunjam ulu hatinya. 

            “Mungkin Mas Har tak kuat menahan godaan, Bu. Sebagai pejabat tinggi dia dituntut menampilkan citra elit. Di negeri ini mana ada pejabat yang ke mana-mana naik bus umum atau angkot. Paling tidak harus punya mobil, tinggal di rumah megah, dan memiliki fasilitas serba mewah. Padahal kalau diukur dari gajinya, tak mungkin dia bisa membeli semua itu kecuali kalau dia nyambi jadi pengusaha. Tapi Mas Har kan bukan pengusaha, Bu. Tuntutan dari keluarganya yang ingin menyesuaikan diri dengan gaya hidup perkotaan juga ikut mempengaruhinya. Banyak faktor yang mempengaruhi Mas Har sehingga jadi berubah, tidak seperti yang ibu harapkan,” kataku menjelaskan.  

            Ibu terdiam. Aku tahu, kata-kataku terasa menyentil tajam. 

            “Oh ya, mana Ratih?” cetus Ibu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, mencari istriku.

            Dalam hati aku surprise, tumben Ibu mencari Ratih. “Dia tadi pulang sebentar untuk menengok anak-anak sekalian mengambilkan baju ganti buat Ibu. Memangnya kenapa mencari dia, Bu?” tanyaku ingin tahu. 

            “Tidak apa-apa. Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini dia yang menjaga dan mengurus aku di sini.” 

            Aku tertegun. Hatiku serasa disiram kesejukan mendengar kata-kata Ibu. Aku heran, bagaimana Ibu tahu kalau selama dirinya dirawat di rumah sakit ini Ratihlah yang menjaga siang malam. Ratih yang mengurus segala keperluannya. Padahal Ibu dalam keadaan koma. Tapi sejurus kemudian aku maklum. Ibu tentu sadar bahwa hanya aku dan istriku keluarga yang paling dekat. Jika terjadi apa-apa pada beliau tentu kami yang lebih dulu mengurusnya. Selain itu Ibu tentu juga tahu bahwa istriku perempuan yang rajin dan telaten. Tangannya ringan untuk membantu kesusahan orang lain. 

            “Oh ya, Ko. Ibu mau pulang,” ucap Ibu tiba-tiba. 

            “Jangan, Bu. Ibu kan belum sehat. Dokter menyarankan dua atau tiga hari lagi baru boleh pulang,” cegahku. 

            “Tapi, Ko. Ibu tak mau membebani kamu. Ibu tahu, biaya perawatan ibu di rumah sakit ini tentu sangat mahal. Ibu sudah merasa baikan kok!” 

            Aku tersenyum kecil. “Ibu tak usah khawatir soal biaya. Aku sudah melunasinya dengan tabunganku,” kataku ringan.

            “Jangan. Itu kan buat keperluan keluargamu. Nanti Ratih marah?”

            “Tidak, Bu. Justru Ratih yang menyuruh. Malah dia menyuruh aku menjual perhiasannya untuk biaya rumah sakit jika masih kurang.”

            Ibu diam tertegun. Sepertinya beliau merasa terharu. Karena merasa dirinya sudah sehat Ibu lalu minta pulang ke rumah. Dia tak mau berlama-lama di rumah sakit. Dokter mengijinkan. Aku lalu menelepon ke rumah, meminta Ratih membereskan kamar Ibu sekalian menyiapkan makanan yang enak untuk Ibu. Ratih mengiyakan. Aku pesan taksi online untuk membawa Ibu pulang.

            Setiba di rumah Ibu disambut hangat Ratih dan anak-anak. Mereka senang Ibu sudah sehat. Tiba-tiba Ibu mencium aroma harum masakan. 

            “Ini bau masakannya enak sekali. Ibu kayak kenal,” kata Ibu.

            “Iya, Bu. Saya masak Indomie kesukaan Ibu. Mari, Bu, kita makan bersama,” ucap Ratih.

            Dengan sumringah Ibu menuju ke ruang makan. Kami mengikutinya. Kami lalu makan bersama. Ibu terlihat sangat lahap menyantap masakan buatan Ratih. Suasana ceria dan kebersamaan menghiasi acara makan siang kami. Hatiku sangat bahagia sekali. Apalagi ketika mendengar ucapan Ibu yang dengan nada tulus memuji Ratih. “Kamu memang menantuku yang paling baik. Terima kasih, Ratih. Maafkan Ibu selama ini berlaku tidak adil kepadamu.”

            Ratih hanya mengangguk dan tersenyum. 

 

Wonogiri, 1 Juli 2022

 

 

  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tasya Yang Peduli #CeritadanRasaIndomie
4
1
Tasya masih berusia 5 tahun. Dia gadis kecil yang manis, periang, lincah, cerdas, dan baik hati. Dia senang sekali bermain dan belajar. Keingintahuannya besar sekali. Setiap kali ada hal baru selalu ditanyakan pada Mama. Tasya juga suka jalan-jalan, makan, dan nonton pertunjukan sulap.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan