
"Jodoh memang gak pernah tertukar. Mungkin, harus ada badai dulu biar keduanya bertemu." --The Rangers.
Pastiin kalian udah berusia 18 ke atas buat baca cerita The Rangers ini ya! Karena ada part di mana kalian harus bijak ketika membacanya.
***
Sebelum baca, follow akun sosmed author, yuk!
IG: @ekanfd
Tiktok: @ekanfd
***
1. Mesin Rusak
Mampus gue, batin seorang gadis yang memiliki tubuh tidak sampai 150 senti.
Gadis itu baru saja membuat permasalahan besar karena ini baru hari kedua dia magang di perusahaan percetakan. Namun, tangannya yang tidak bisa diam ini mengakali bahwa apa yang dirinya lakukan bisa menjadi suatu solusi.
Hasilnya? Zonk. Tidak ada solusi, karena berakhir membuat dirinya pusing tujuh keliling. Ia yakin, pasti setelah ini dirinya dipanggil ke ruangan manajer untuk menjelaskan apa yang telah gadis itu lakukan. Semoga saja semesta berpihak, walau kenyataannya tidak begitu.
"Alika! Lo dipanggil Pak Manajer di ruangannya," seru salah satu karyawan bagian Customer Service yang baru datang dari arah tempat packing.
"Iya, Kak. Makasih," kata gadis yang disapa Alika itu.
Namanya Alika Dania Atmaja, putri bungsu dari keluarga Atmaja yang ingin mandiri tanpa bantuan ketiga kakak laki-lakinya setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Gadis yang dikenal banyak bicara, centil, dan tidak ada yang bisa diubah adalah sikap cerobohnya itu.
Kakinya lemas ketika perlahan berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, di mana ruangan manajer tempatnya magang ini berada. Sumpah, jantungnya sudah mau copot kalau-kalau dirinya tidak berusaha mengatur napas.
Beberapa karyawan bagian finishing sudah tersenyum menyemangati Alika. Gadis itu hanya memberikan senyum takut.
Ketika kakinya sudah sampai tepat di depan pintu ruangan Pak Manajer berada, ia mengangkat tangan untuk mengetuk. Nyalinya benar-benar ciut kala Alika tahu dirinya salah. Printer yang gadis itu rusaki bukan sepenuhnya salahnya juga, tetapi dengan menepuk keras sampai printer itu mati, sudah pasti mengundang banyak pertanyaan dari Pak Manajer yang melihat kelakuannya dari CCTV ruangan. Hingga--
"Silakan masuk!" seru Pak Manajer dari dalam.
--Alika membuka pintu tersebut dan tersenyum manis pada Pak Manajer. "Pagi, Pak," sapanya basa-basi dengan menunduk satu kali berusaha memberi kesan sopan sebagai anak magang.
Kalung dengan ID Card bertuliskan training yang Alika pakai menunjukkan bahwa gadis itu memang anak magang di sini.
Baru dua hari.
Bayangkan! Dua hari sudah harus berhadapan dengan manajer untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya.
"Pagi juga. Duduk, Alika Dania Atmaja," balas Pak Manajer disertai senyum hangatnya, menekan nama belakang Alika seakan gadis itu harusnya tahu siapa dia dan cerminan nama yang seharusnya cocok dengan kepribadian gadis itu.
Keluarga Atmaja sudah dikenal sebagai keluarga kaya raya. Kini, perusahaan utama dari keluarga itu juga sudah dipegang oleh kakak laki-laki pertama Alika, yakni Abim Setha Atmaja. Tampan, dikenal galak, sehingga beberapa segan dengannya. Namun, entah mengapa gadis satu ini memilih magang di perusahaan lain.
"Ada apa ya, Bapak manggil saya? Kalau boleh tau?"
Basa-basi busuk. Alika memilin rok selutut berwarna hitamnya itu dengan perasaan gugup. Terlebih, Pak Manajer menyatukan tangannya dan diletakkan di atas meja. Matanya menatap Alika serius, ditambah wajah tegas itu mampu menenggelamkan nyali Alika.
"Kamu pasti tau kenapa saya panggil kamu ke sini, Alika. Apa ada penjelasan yang bisa saya terima atas tindakan kamu yang dengan sengaja menepuk keras printer kantor? Kenapa kamu tidak meminta bantuan anak IT jika terdapat kendala?"
Alika tersenyum kikuk. "Jujur, saya gak ada niatan buat ngerusak printer-nya kok, Pak. Emang udah rusak aja itu."
Polos sekali.
Apakah tidak ada susunan kata yang lebih baik dari kalimat barusan?
"Jadi, sekalian saja kamu rusaki. Begitu, Alika?"
"Iya. Eh--nggak gitu juga, Pak. Saya--"
Belum selesai Alika melanjutkan penjelasannya, suara ketukan pintu terdengar. Alhasil, tertundalah urusan itu. Pak Manajer justru mempersilakan masuk orang di luar dan ketika pintu terbuka, tubuh tinggi sekitar 180-an terlihat, dengan kemeja ber-name tag Panji Leksana terbaca. Rupanya, yang baru saja masuk adalah pacar Alika.
Walau status mereka tidak diperlihatkan dan tidak diperjelas di kantor, sehingga tidak ada yang tahu kalau gadis berusia 20 tahun ini berpacaran dengan laki-laki berusia 27 tahun.
Melihat Panji yang tidak kunjung bicara padahal sudah dipersilakan masuk, Pak Manajer pun bertanya, "Ada perlu apa ke ruangan saya, Panji?"
"Printer yang Bapak kira rusak, sebenarnya tidak ada masalah. Tadi langsung saya cek dan hanya perlu di-restart saja. Sepertinya Alika terlalu panik karena kertas yang ia print tidak keluar, padahal kendala ada pada jaringan Wi-Fi kantor kita, Pak," jelas laki-laki itu sembari menatap ke arah Alika yang sudah menggigit bibir bawah, dengan tangan gemetarnya.
Kalau saja bukan sedang di ruang Pak Manajer, mungkin Panji sudah akan menenangkan gadis ceroboh itu.
Pak Manajer cukup lama menatap Panji dan Alika bergantian. Lalu, helaan napas kasar terdengar. "Baiklah kalau begitu. Penjelasan kamu saya terima. Tapi untuk Alika, lain kali jangan melakukan hal yang bisa merugikan, ya? Minta tolong sama karyawan yang lebih mengerti terkait kendala apa yang ingin kamu pecahkan solusinya. Paham, Alika?"
Gadis yang berkalung ID Card training itu mengangguk cepat. Setelahnya, meneguk saliva. "Paham, Pak. Saya janji gak akan melakukan hal ceroboh lagi."
"Bilang terima kasih sama Panji," pinta Pak Manajer.
Kepala gadis mungil itu lagi-lagi mengangguk. Kini, kepala itu diputar sekitar 45 derajat untuk dapat menjangkau tatapan Panji.
"Terima kasih, Kak Panji."
"Iya. Sama-sama. Kalau ada apa-apa, kamu bisa minta tolong saya aja, Ka."
***
Sudah 10 menit, tatapan gadis mungil di hadapan Panji ini tidak lepas dari wajahnya. Apakah ada yang salah dengan wajah Panji? Lelaki yang sedang makan itu merasa seakan diintimidasi.
Namun, tatapan Alika bukan merujuk pada hal satu itu. Justru, Alika menatap Panji penuh cinta, dengan kedua tangan menjadi sangga dagunya, disertai senyum merekah dari bibir gadis itu, karena gadis berambut sebahu tersebut merasa ia baru saja ditolong oleh pahlawannya. Maka dari itu, tidak ada alasan lain untuk tidak menatap lekat wajah Panji yang notabene adalah pacar Alika.
Berdeham, Panji akhirnya buka suara karena tidak nyaman tatapan Alika terkunci hanya padanya.
"Kamu kenapa natap aku kayak gitu terus, sih? Aku jadi malu," ucap Panji. Padahal, ia risi, bukan malu.
Alika mengerutkan kening dengan bibir ditekuk. "Emang salah natap pacar sendiri?"
"Ya, nggak salah. Tapi, emangnya kamu gak laper? Makanan kamu udah dingin itu, nanti gak enak. Waktu istirahat kita juga tinggal sebentar lagi, Lika."
Alika memutar bola matanya malas. Berdecak keras, gadis itu menurunkan tangannya untuk mendapatkan sendok dan garpu yang ia telantarkan di piring. Mulai memasukkan makanannya kembali ke mulut, dengan ekspresi khas cemberutnya.
Lelaki yang tengah duduk berhadapan dengan Alika itu pun menghela napas. Sepertinya dia telah salah bicara.
Perempuan memang sulit ditebak, ya?
Kemudian, Panji meraih tangan Alika yang baru selesai memasukkan satu suapnya. Ia menggenggam tangan itu dan meletakkan sendok yang dipegang Alika. Wajah lelaki berparas cukup tegas tersebut menyunggingkan senyum penuh arti.
Lalu bibirnya diubah dengan dikerucutkan. "Lika, maaf."
"Gak mau."
"Maafkanlah," kata Panji lagi. Kini, matanya dibuat begitu memohon. "Kamu boleh kok natap aku selama yang kamu mau. Jangan marah lagi, please?"
Tidak ada repons apa pun dari gadis yang digenggam tangannya oleh Panji. Wajah Alika terlalu datar, sehingga lelaki itu sulit membacanya. Namun, setelah lama bertatapan, Alika meledakkan tawanya begitu saja.
Tautan tangan mereka terlepas, dengan kepala Alika yang didongakkan ke atas. Gadis itu menghentikan tawanya yang diganti dengan kekehan kecil. Setelah puas, barulah ia merespons ucapan sang kekasih.
"Becanda. Lagian masa aku bisa marah ke kamu?"
Panji mengembuskan napas lega, menoleh ke kiri dan kembali menatap Alika dengan senyuman manisnya. Ia membalas, "Syukurlah kalo gitu. Karena kamu ngerjain aku, aku boleh minta sesuatu?"
"Bilang aja."
"Makan siang ini kamu yang bayar, ya? Sama aku mau pesen lagi buat temen kosan, kasihan mereka gak pernah makan enak kayak kita gini, Ka."
Terlihat, wajah Panji begitu melas memohon pada Alika. Hampir sama seperti saat ia meminta maaf pada gadis imut ini.
Awalnya Alika berpikir, karena sudah sering dirinya membayarkan makanan mereka jika dating atau sekadar makan siang begini. Namun, mendengar lanjutan dari ucapan Panji, Alika jadi teringat janjinya.
"Katanya kamu mau nraktir aku sepuasnya karena aku udah bantu kamu di kantor tadi, 'kan? Berarti boleh dong kamu setujuin permintaan aku ini?" Lagi, Panji meraih tangan Alika dan dikecupnya punggung tangan yang mulus itu.
Alika menarik napasnya dalam, lalu diembuskan perlahan. Sepertinya tidak masalah membayar makanan mereka untuk yang kesekian? Toh, Panji adalah pacarnya, 'kan? Dan, Alika juga memiliki kartu yang uangnya masih banyak.
Lebih tepatnya, kartu itu milik kakak laki-laki pertama Alika.
Mengedikkan bahu acuh, Alika menjawab, "Pesan aja sepuasnya. Aku udah janji sama kamu, gak mungkin aku ingkar. Lagian duit Bang Abim, 'kan, gak habis-habis. Jadi masih bisa aku pake."
"Thank you, Sayangku Alika."
***
2. Namanya Ngambil Kesempatan
Sebuah komplek perumahan elit sudah Panji lewati. Justru, lelaki bersetelan ala anak kantor itu berhenti tepat di depan salah satu rumah area komplek tersebut. Lebih tepatnya, ia baru saja mengantarkan sang kekasih karena mereka baru saja pulang kerja.
Alika turun dari kuda besi sang pacar, lalu membenarkan rambutnya yang berantakan itu dan tersenyum manis menatap Panji. Gadis itu berkata, "Thanks buat hari ini, Kak. Apalagi kamu udah bantuin aku. Makasih banget."
"Iya, sama-sama, Sayangku Alika. Kalo gitu aku pulang, ya? Makasih juga traktirannya. Besok-besok traktir lagi, haha."
"Siap. Bisa diatur." Alika memajukan kakinya sebanyak satu langkah. Tanpa aba-aba, gadis tersebut mengecup pipi Panji sehingga meninggalkan sedikit bekas merah muda lip cream yang Alika pakai. "Hati-hati di jalan, My Boy."
Panji hanya mengangguk, lalu membalas kecupan itu dengan menempelkan bibirnya pada kening Alika beberapa detik. Setelahnya, ia menancapkan gas motor pergi dari pekarangan rumah dan Alika pun mulai memasuki gerbang ketika punggung Panji telah berbelok arah.
Semakin dekat langkah Alika menuju pintu, lalu sebelum ia memegang handle besar itu, pintu sudah terbuka dari dalam yang memunculkan tiga wajah di mana sudah tidak asing lagi bagi gadis tersebut. Paling kanan dari hadapannya itu ada kakak ketiganya, si fotografer bernama Ando Januar Atmaja, di tengah ada kakak pertama yang tatapannya sudah galak bernama Abim Setha Atmaja, dan di sisi kiri yang sekarang tengah menatap Alika dingin bernama Areksa Dino Atmaja, yaitu kakak keduanya.
Bukannya takut, gadis yang baru pulang magang itu memutar bola mata malas. Hidup bersama tiga kakak laki-lakinya tidak menjamin gadis itu bisa bebas.
"Baru pulang udah mau diinterogasi aja, nih?" tanya Alika, tatapannya terlihat begitu malas meladeni.
Bahkan, kakinya sama sekali belum melangkah masuk dari garis pintu. Namun, dari tatapan Abim si kakak pertama ini mengisyaratkan bahwa ia disuruh masuk lebih dulu untuk mereka obrolkan di dalam saja. Mengingat bahwa bisa saja ada tetangga komplek yang hobi ngerumpi, tidak mau masalah mereka jadi omongan.
Setelah pintu besar itu ditutup dengan Alika yang sudah duduk di sofa ruang tamu, ketiga abangnya itu ikut duduk. Ando selaku orang yang mau menginterogasi lebih dulu segera saja menyodorkan ponselnya ke meja yang mampu dilihat oleh tiga insan lainnya.
Alika mengerutkan kening, menatap nyalang kakak laki-lakinya satu itu. "Maksud lo apa nunjukin foto itu?"
Ando mengedikkan bahu, mengerucutkan bibir selama sedetik, kemudian bersedekap dada duduk di sisi kiri Alika. Meski begitu, tak mengubah wajah konyol yang biasa Ando tunjukkan.
"Lo masih belum putus sama Panji?"
Akhirnya, Areksa si kakak kedua memulai topik pembahasan utama. Jika menunggu Ando untuk menjelaskan supaya mendapat penjelasan lengkap dari Alika mengenai foto yang ditunjukkannya, bisa seabad baru diberitahu. Gadis yang duduk di antara Ando dan Abim itu berkacak pinggang. Ia menoleh ke kiri dan menatap tidak suka ke arah Ando.
Lalu, Alika menghela napas kasar. "Emang kenapa kalo gue belum putus sama Kak Panji? Lagian dia sayang sama gue dan gue juga sayang sama dia. Ngapain putus?"
"Lo bisa jamin kalo dia punya masa depan?" sahut Abim si kakak pertama, lelaki yang mengatur segala kebutuhan di rumah ini. Dari mulai bayar bulanan listrik, air, untung saja rumah sudah lunas jadi tidak ada cicilan.
Saat Alika masih sekolah pun Abim menjadi donator gadis itu sebab orang tua mereka sudah tidak ada. Sebagai kakak tertua, Abim memang perlu tahu keuangan dalam keluarga ini, terlebih uang yang telah Alika pakai secara asal.
Asal karena menraktir pacarnya menggunakan kartu debit Abim.
"Kak Panji punya pekerjaan tetap, Bang. Dan, gue juga lagi berusaha buat jadi anak yang mandiri biar kalau suatu saat nikah, gue bisa bantu Kak Panji," balas Alika.
"Bantu bayarin makan sampe tiga juta dalam sekali makan maksudnya?"
"Ish, Bang Abim, dengerin gue dulu."
Gerakan pada dagu Abim mengisyaratkan untuk Alika segera menjelaskannya. Melihat Areka yang ikut menatap dingin, membuat nyali Alika menciut seketika. Kalau sudah pada mode serius begini, gadis itu sudah pasti akan habis.
Alika meneguk ludah, kemudian memutar otak untuk mengatur kata-kata sedemikian rupa agar Abim, Areksa, dan Ando mempercayainya seratus persen.
Dehaman sekilas dari Alika menambah kesan tegang di ruangan ini. Gadis itu pun mulai menjelaskannya perlahan.
"Jadi gini, tadi tuh Kak Panji nolongin gue pas gue hampir ngerusakin printer kantor. Gue sampe dipanggil Pak Manajer, makanya dia bantu buat ngomongin soal kecerobohan gue gitu. Alhasil, gue nraktir dia sebagai tanda terima kasih. Itu doang. Intinya begitu," jelas Alika.
Tiga kakaknya saling pandang. Ando pun menoyor pelipis gadis itu hingga si empu cemberut dan hampir mengomel kalau saja perkataan pedas Abim tidak menghentikannya.
"Karena lo nraktir dia, jadi dia bebas milih menu sampe nyedot rekening gue tiga juta?"
Alika menunjukkan cengirannya. "Ya, gimana lagi? Masa gue udah janji malah nggak bolehin. Gue janji deh pas upah magangnya cair bakal gue ganti duit lo, Bang."
"Bukan masalah ganti, Alika. Ini masalah dia modus dan ngambil kesempatan dalam kesempitan."
Untung saja, lelaki berparas tegas dengan napas yang hampir tidak teratur karena emosi itu bisa sedikit tenang untuk tidak menyudutkan adiknya. Walau sepertinya dari raut Alika, ada tatapan tidak suka karena ia pasti merasa terlalu dikekang atau dituntut ini-itu.
Seperti dikatakan di awal, dirinya tidak bebas.
"Lagian lo mau-mau aja sih dimodusin gitu? Timbang dibantuin ngejelasin ke manajer doang sampe nraktir orang," celetuk Ando. Kaki laki-laki itu sudah dinaikkan satu untuk ditumpu pada kaki yang lain.
"Harusnya lo udah pinter milah, Ka," sahut Areksa, si lelaki dingin yang jarang mengatakan sesuatu kecuali penting.
Seperti sekarang ini. Untuk urusan Alika, ketidakpeduliannya akan Areka kesampingkan. Jelas saja, karena dirinya sangat peduli terhadap si bungsu yang ceroboh dan bodoh ini. Bukan bodoh soal pengetahuan, tetapi soal cinta.
Alika sama sekali tidak menyahut nasihat-nasihat dari ketiga abangnya. Kepalanya menunduk dalam, tetapi hatinya tidak berhenti merapal doa supaya Ando diam. Sebab, yang paling banyak bicara adalah Ando.
Hingga, puncaknya menyulut emosi Alika ketika Abim mengatakan, "Gue mau lo tinggalin Panji kalo lo masih mau duit gue. Atau fasilitas lo bakal makin gue batesin."
Mendongak, Alika sangat tidak terima.
"Bang, gak bisa gitu dong. Masa cuma karena tiga juta itu--"
"Ini bukan soal tiga juta doang, Alika," sela Areksa yang membela Abim.
"Trus apa? Gue udah coba buat mandiri, tapi kenapa kalian gak pernah mau ngelepasin gue, sih? Seakan-akan gue emang gak bisa jadi diri sendiri?"
"Lika--"
"Bang Ando, diam ya!" Alika berdiri dengan menunjuk wajah Ando. "Sekarang terserah kalian bertiga aja deh. Gue mau istirahat."
Belum terselesaikan pembahasan mereka, Alika sudah lebih dulu meninggalkan ruang tamu tanpa ada satu pun yang mencegah kepergiannya.
***
3. Ada Apa?
Tiga laki-laki berkepala dua itu tengah duduk di kursi masing-masing dengan meja makan di tengahnya. Tidak ada yang berani memulai obrolan sekalipun makanan pagi ini terlihat enak.
Setidaknya membahas beli sarapan di mana atau siapa yang memasaknya? Jelas saja Ando yang selalu menyiapkan makanan untuk mereka. Jadi, tidak ada basa-basi lain sekadar memecah keheningan ini.
Kalau Abim tidak usah ditanya, karena di tangannya sudah ada tab yang menunjukkan traffic dari penghasilannya bulan ini, sedangkan Areksa memang tidak pernah bicara lebih dulu. Bagi Areksa, kalau tidak ada pertanyaan, kenapa pula dia harus repot-repot bertanya?
Sampai akhirnya, Ando juga yang memulai. "Kalian gak pada mau sarapan apa?" tanyanya ketus.
Terlihat lirikan tajam didapat dari mata elang milik Abim. "Udah fotoin makanannya emang?" jawabnya ikut ketus.
Pasalnya, sarapan ditunda selain karena menunggu Alika yang belum juga keluar dari kamarnya, juga karena Ando yang sibuk memotret hasil masakannya lebih dulu untuk dirinya unggah di sosial media.
Menampilkan cengirannya, Ando membalas, "Udah."
"Kebiasaan."
Kata yang tercetus satu itu bukan berasal dari bibir Abim, melainkan Areksa yang menatap Ando dingin. Jika ditanya bagaimana karakter Abim dan Areksa, keduanya hampir sama. Abim selalu menatap lawannya tajam bak ingin menerkam, sedangkan Areksa menatap dingin sehingga lawannya bisa menciut dalam satu waktu.
Nah, kalau Ando dan Alika sama-sama cerewet, banyak omong, dan tidak bisa kalem.
"Alika mana? Kok gak turun-turun? Gak magang dia?" Di sela memakan sarapannya, Abim bertanya.
Sontak saja, tatapan Ando dan Areksa bertemu. Mereka kompak mengedikkan bahu untuk merespons pertanyaan dari Abim itu.
Namun, Ando tetap membalasnya menggunakan kata-kata, "Mana gue tau. Masih ngambek kali. Kan kemarin kita marahin dia."
"Lo yang mulai," kata Abim.
"Tapi Bang Abim yang bikin dia bete karna perhitungan."
Areksa paling malas kalau sudah mendengar perdebatan antara anak yang terlahir ganjil, yakni anak pertama dan ketiga. Telinganya serasa disodok benda beraluminium saking panasnya. Sarapan yang tadinya ingin tenang, tidak akan bisa jika Ando dan Abim sudah ribut.
Walau setelahnya kedua laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh itu terdiam karena dentingan keras yang dihasilkan oleh Areksa.
"Bisa diem gak?" seru Areksa. Wajahnya memerah menahan amarah. "Mending bangunin anaknya, ajak sarapan," kata Areksa.
"Dih, lo aja sana, lo kan abang kesayangannya," balas Ando dengan raut tidak sukanya.
"Lo juga abangnya."
Meski pertarungan sengit disertai tatap-tatap tajam berganti menjadi Ando dan Areksa, akhirnya ada yang mengalah juga. Abim bangkit dari duduknya dan meletakkan tab asal sedikit menghasilkan gebrakan di meja.
Lalu, perkataan selanjutnya dari si sulung membuat kedua adiknya itu cukup tertegun sesaat.
"Gue aja dah! Nunggu kalian gak bakalan gerak."
Laki-laki berusia 27 tahun itu melangkah meninggalkan ruang makan. Melihat tindakan itu, Ando dan Areksa sontak ikut berdiri dan mengekor di belakang. Gawat kalau tiba-tiba amarah si sulung ini meledak karena mereka tidak peka kode tubuhnya.
Sampai di kamar Alika yang berada di lantai dua, Abim tanpa mengulur waktu segera mengetuk pintu. "Lika! Lo di dalem?"
"Masuk aja, Bang! Pintunya gak dikunci!" Alika menjawab dari dalam.
Abim membuka pintu itu dan ketiga laki-laki yang berdiri di ambang pintu itu kompak membulatkan mata. Melihat apa yang tengah terjadi membuat ketiganya segera berlari menghampiri.
Gadis yang masih memakai baju tidur itu membelakangi mereka dengan posisi tubuh menukik lurus ke bawah dengan kepala beralaskan bantal. Alika memasang wajah kesakitan dengan rintihan kecil, juga terus memegangi perutnya yang begitu nyeri. Hari ini adalah hari pertamanya datang bulan dan ia lupa membeli pembalut.
Hal itu mengundang kepanikan para kakak Alika.
"Ka, sprei lo kok berdarah gini? Lo kenapa? Perut lo ketancep piso?" Ando menjadi orang pertama yang bertanya asal.
Jelas saja karena hal itu mendapat tepukan keras di belakang kepala oleh Areksa. "Sembarangan banget pertanyaan lo."
"Ya habisnya bau amis gini?"
"Jangan diendus, Bang. Itu darah mens gue!" seru Alika di balik bantal. Bibirnya menyentuh bantal, sehingga suaranya teredam.'
"Nggak kedengaran buset. Lo ngomong apa?"
"Jangan diendusin spreinya, itu darah mens gue! Gue lupa stok pembalut, jadinya bocor ke mana-mana," teriak Alika.
Wajahnya tidak lagi mengarah pada bantal, kini lehernya sudah diputar sampai telinga kirinya yang menempel pada bantal dan wajahnya mengarah pada Ando langsung.
Sontak, Ando segera menjauh dan menunjukkan wajah seakan jijik. Namun, setelahnya kerutan dahi ia tunjukkan dan bertanya, "Trus sekarang gimana?"
"Bocah tol*l! Ya beliin dia pembalutlah! Lihat tuh udah bocor-bocor gitu," seru Areksa.
"Siapa yang beli?" Ando menatap tajam dua kakaknya. Jangan bilang dia yang membelikannya? "Kalo Alika gak mungkin, 'kan? Udah bocor begitu."
"Kenapa nggak lo aja?" Abim menaikkan sebelah alisnya menatap adik laki-lakinya bernama Ando itu.
"Kenapa gak Bang Reksa aja?"
"Dih, bentar lagi gue ada meeting sama Bang Abim, ngomongin mitra baru," balas Areksa.
Ando menatap ke arah Abim dan Areksa bergantian. Lalu, tubuhnya dibuat sedikit melengkung untuk menjangkau wajah Alika. Terlihat gadis itu masih menahan sakit perutnya, matanya tertutup rapat. Namun, ia tahu bahwa dirinya tengah dipandang oleh manusia paling menyebalkan.
"Nggak usah natap gue," pinta Alika. Mata itu terbuka beberapa detik sebelum wajahnya kembali ditenggelamkan ke bantal dan tubuhnya langsung digulung oleh selimut.
Ando cukup tersentak. Ia melihat Abim yang sudah bersedekap dada berdiri di sebelah ranjang, dan Areksa setengah duduk bertumpu menggunakan lututnya di tepian sebelah kiri.
Mengacak rambut frustrasi, Ando bertanya lagi, "Kalo gue salah beli gimana? Setahu gue, pembalut tuh banyak jenisnya."
"Ya, nanti video call. Masa iya lo mau ngajak Alika?" Abim berseru. Bagaimanapun caranya, biarkan Ando saja yang ke supermarket untuk membeli keperluan adik perempuan satu-satunya mereka.
Areksa menatap Ando dengan alis yang dinaikkan sebelah. "Lo nggak sayang lagi sama Alika?"
"Sayanglah!" Ando dengan cepat menjawab. "Tapi, seriusan gue yang jalan, nih?"
"Trus gue gitu?" tanya Abim.
Tidak mungkin. Abim sudah banyak mengurus mereka semua, sudah pasti lelaki itu lelah. Belum lagi harus memikirkan biaya lainnya dan banyak waktu untuk bekerja. Abim tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya, karena lelaki itu tidak akan menghabiskan waktu tanpa perkiraan kepentingan.
"Kalo lo nyuruh gue, gue bisa aja--"
"Iya, iya. Gue yang beliin," sela Ando sebelum Areksa menyelesaikan ucapan yang ujung-ujungnya mengancam.
Ando sudah tahu kalau Areksa pasti akan mengancam lelaki itu dengan cita-citanya. Fasilitas Ando mengenai studio, alat-alat fotografinya, dan sebagainya masih ditanggung Areksa sepenuhnya karena Abim tidak mau memenuhi segala kebutuhan masa depan lelaki itu.
Kalau kata Abim, "Cari kerjaan itu yang udah pasti. Bukannya gue nggak mau bantu lo raih cita-cita lo, tapi kebutuhan kita banyak, Ndo. Warisan Papa harus bisa gue kelola dengan baik."
Alhasil, warisan Ando yang tidak bisa lelaki itu kelola akhirnya diambil alih Areksa dengan catatan Ando serius menjalani apa yang sudah ia pilih itu. Catatan lain adalah Ando tidak berhak menyuruh-nyuruh Areksa seenaknya.
Seperti sekarang ini, Ando bangkit dan berkata, "Ntar pas gue udah sampe supermarketnya, lo angkat VC gue! Awas aja sengaja ngerjain gue."
"Iya, udah sono! Keburu makin bocor si Alika," usir Abim.
***
4. Panji Selingkuh
Salahkan rasa tidak enaknya jika menyangkut suruhan dua kakaknya. Salahkan juga dirinya yang selalu kalah jika sudah berdebat dengan Abim dan Areksa.
Sejujurnya, Ando tidak suka ada di posisi ini. Posisi di mana dia diperhatikan beberapa orang yang tengah berbelanja di supermarket ini karena Ando tengah berdiri di rak berisi kepentingan para wanita. Sungguh, rasanya memakai masker saja tidak cukup untuk menutupi rasa malunya.
"Jadi ini yang mana, Lika? Ish! Gue malu tau dilihatin orang gini," seru Ando di depan layar ponsel yang ia arahkan ke jejeran rak pembalut.
Alika sudah terkekeh di sana, tetapi suaranya tertahan supaya Ando tidak marah. Justru, Areksa yang dikenal dingin malah berguling-guling di sebelah Alika saking serunya melihat Ando kepanikan sendiri.
Tidak salah rupanya Areksa menyuruh Ando untuk pergi.
Abim berbisik ke Alika yang diangguki gadis itu. Lalu, anak perempuan satu-satunya dari Keluarga Atmaja itu berkata, "Kayaknya bukan di rak yang itu deh, Bang. Coba yang satunya lagi. Di sebrang ada kayaknya."
"Lo kalo ngerjain gue awas aja lo, ya! Gue kasih pelajaran juga, nih!"
Abim menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan. Meski tidak melihat bagaimana wajah kesal Ando, tetapi Abim yakin dengan bayangannya perihal wajah lelaki itu kali ini.
Berkali-kali mengerjai adiknya tidak apa-apa, 'kan?
Lama Ando berdiri di area itu sampai ada yang bertanya, akhirnya ia menyerah. "Ka, lo yang bener kek ngasih taunya. Gue malu tau dilihatin orang di sini dari tadi."
"Udah, borong aja semua kalo gitu, Ndo. Ribet amat," celetuk Abim dengan mudahnya.
Ingin rasanya Ando membanting ponsel karena kesal melihat wajah datar kakak pertamanya itu.
"Ish! Ntar mubazir, Abang! Abang mau make sisanya?" Alika menyahut dengan menabok lengan Abim.
"Pake lo sisanya, Bang," sahut Areksa. Lelaki itu sudah berhenti tertawa.
"Lagian tiap pembalut tuh beda-beda tipenya. Bang Ando, ambil yang di depan Bang Ando tuh yang warnanya pink. Pilih yang gak ada sayapnya, ya!"
Ando menuruti perintah itu. Kalau tahu bahwa dirinya dikerjai, sudah Ando matikan sejak tadi itu video call. Menyusahkan saja.
"Fiks yang ini, ya?" Ando mengangkat pembalut pilihannya itu yang langsung dicek oleh Alika dan diangguki gadis tersebut.
Setelah memasukkannya ke keranjang belanja, Ando masih mengaktifkan panggilan video itu dengan Alika, sesekali menunjukkan makanan ringan yang gadis itu sukai.
Selain membelikan Alika pembalut, Ando juga mengambil jamu pereda nyeri di kulkas supermarket dan memasukkannya ke keranjang belanjaan.
Abang paling top memang Ando. Walau sesekali lelaki itu kesal bukan main.
Saat hendak membayar barang belanjaannya, Ando izin mematikan panggilan video dengan Alika untuk melanjutkan proses transaksinya. Namun, sebelum kakinya benar-benar berdiri di depan kasir dan barangnya terhitung, lelaki berpenampilan seadanya tanpa memikirkan outfit dengan masker hitam menutupi wajah itu menyipitkan mata ke arah luar supermarket.
Kaca yang merupakan pintu keluar-masuk itu menampilkan punggung yang sangat lelaki itu kenali.
"Itu, kan, Panji. Sama siapa dia?" Ando menatap kasir yang juga menatapnya. Pasalnya, lelaki itu terlihat ragu. "Barang-barang yang saya beli cancel aja, Mbak. Maaf, saya buru-buru."
Tanpa menunggu respons, Ando segera berlari keluar dari supermarket itu dan mengejar Panji yang ia yakini adalah pacar adiknya. Untung saja, lelaki itu memakai motor. Jadi, ia bisa menyalip kendaraan untuk mengejar mobil Panji.
Dalam hati, rasanya lava muaknya sudah mau meledak. Kalau benar ternyata Panji berselingkuh di belakang Alika, Ando akan menjadi orang pertama yang menggebuki lelaki itu.
Tidak ada satu pun laki-laki yang boleh menyakiti hati Alika, karena gadis itu dijaga oleh ketiga kakak laki-lakinya dengan penuh kasih sayang.
Sampai di lampu merah, motor Ando bersebelahan dengan mobil Panji. Benar saja, tidak salah lagi, orang yang Ando lihat memang Panji.
"Dasar lelaki hidung belang," gumamnya di balik helm.
Walau kaca mobil Panji tidak begitu transparan, tetapi bisa dilihat dari samping bahwa lelaki itu mengecup singkat bagian sensitif di wajah gadis di sebelahnya. Area yang sudah Ando pastikan tidak akan mungkin Panji lakukan dengan adiknya, mamanya, atau siapa pun yang masih satu aliran darah dengannya.
Jadi, tidak ada elakan apa pun yang harus dirinya jelaskan.
Saat lampu sudah hijau, Ando masih mengikuti mobil itu karena penasaran hendak pergi ke mana.
Entah mengapa, perasaan Ando mengatakan bahwa Panji akan pergi ke hotel untuk melakukan hal intim. Ando juga laki-laki, dan ia tidak mungkin berpikiran yang salah jika saja tidak melihat Panji berselingkuh.
Panji telah menyelingkuhi adiknya.
"Awas aja lo, kutu kupret! Gue nggak akan tinggal diam kalau sampai lo beneran nyakitin Alika," gumam Ando lagi.
Dan, sesuai dugaan awal, Panji pergi ke hotel yang dikenal dengan fasilitas paling oke. Pantas saja, Alika dengan mudahnya diporoti, ternyata untuk hal-hal sampah seperti ini?
Dari kejauhan, Ando sengaja tidak mendekat untuk membiarkan lelaki itu bersenang-senang lebih dulu sebelum dirinya habis di tangan Ando dan kedua kakak Alika yang lain. Terlihat, Panji sangat mesra berjalan dengan gadis selingkuhannya itu.
Bodohnya, Ando tidak merekam itu dan malah memukuli motornya karena kesal setengah mati.
"Argh! Nggak mau tau, Alika harus tau dan harus percaya sama omongan gue yang sangat fakta ini."
Alhasil, Ando kembali menarik gas motornya dan menyusuri jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak peduli sekitar sudah ikut emosi karena lelaki itu berkendara seenaknya.
Terpenting Ando sampai rumah dan segera memberitahu Alika. Walau ia sendiri kurang yakin bisa mendapat kepercayaan dari adik perempuannya itu, mengingat Alika bucin akut dengan Panji.
"Bisa gak bisa, terima gak terima, pokoknya info ini harus sampe ke Alika."
Lagi, Ando bergumam sendiri hingga motornya tidak terasa sudah sampai di komplek rumah. Hanya melewati beberapa rumah saja hingga dirinya sampai.
Tidak peduli lagi dengan parkirnya yang sembarangan juga helm yang tidak Ando lepas, lelaki itu melangkah cepat menuju lantai dua di mana kamar Alika berada. Entah dua abangnya sudah berangka bekerja atau belum pun Ando tidak peduli.
Sampai di depan pintu kamar Alika, Ando langsung membukanya tanpa izin. "Ka! Ini Gawat banget!"
"Gawat kenapa?"
Alika terlihat penasaran, tetapi cukup dibuat kesal juga karena Ando tidak santai.
Alika paling tidak suka dengan orang yang terburu-buru, napas terengah ketika mau menjelaskan, membuat ia harus menunggu lelaki itu menetralkan jantungnya.
Saat sudah lumayan, Ando menarik napas dalam dan diembuskan kasar. "Gue tadi gak sengaja lihat Panji habis dari supermarket sama cewek. Selingkuhannya. Tadi dia ke hotel juga, Ka. Gue yakin dia selingkuh! Mending lo putusin dia sekarang!"
"Mana pembalut gue?"
Bukannya merespons pemberitahuan dari Ando, Alika malah menanyakan hal lain. "Ka, ini soal Pan--"
"Gue nggak mau dengar! Gue butuh pembalut gue, Ando!" Alika berteriak dengan melemparkan bantal ke arah Ando. Bahkan, tidak ada embel-embel 'Bang' saat menyerukan nama Ando.
***
5. Serba Salah
"Gue nggak mau dengar! Gue butuh pembalut gue, Ando!" Ando menghalangi bantal yang dilempar oleh Alika itu menggunakan tangannya supaya tidak menghantam wajah. "Mana pembalutnya!"
Alika jadi mengamuk, membuat kedua abangnya yang sedari tadi menemani ikut meredakan emosi gadis itu. Abim dan Areksa tahu, Alika marah bukan soal Ando yang batal membawa pembalut untuk gadis itu, tetapi mengenai ucapan Ando yang tidak dapat Alika percaya.
Ando berlindung di balik tubuh kekar abang pertamanya, berbisik kepada lelaki tinggi itu, "Bang Abim, tolongin gue."
"Lo urus Alika dulu. Gue ada jadwal bentar lagi sama Reksa," kata Abim santai setelah merasa amarah Alika agak mereda. Areksa ditatap oleh Abim. "Sa, kantor? 30 menit lagi mulai."
Areksa yang sudah mengerti apa maksud dari perkataan singkat abangnya itu, segera melepaskan tangan dari tubuh Alika. Ia menepuk pelan bahu gadis itu dan berbisik, "Omongin baik-baik sama Ando. Jangan berantem."
"Gue sama Reksa berangkat dulu. Masalah pembalut, lo pesenin online aja deh, Ndo," seru Abim. Ia merasa lelah, padahal masih pagi dan belum memulai aktivitas sesungguhnya.
Ando menegakkan tubuh, meneguk ludahnya sendiri takut, menatap si bungsu yang masih menatap tajam.
Lalu, kedua abangnya yang lain pergi meninggalkan dua adik mereka.
Syukur-syukur, tidak terjadi perang dunia.
"Ka, please lo tenang dulu. Oke?" Ando bergerak mendekat, melangkah perlahan untuk duduk di tepi kasur gadis itu.
Alika hanya diam. Mood yang berantakan semakin berantakan karena Ando.
Informasi yang walaupun memang benar adanya, sudah pasti akan Alika elak bagaimanapun caranya. Gadis ceroboh itu percaya bahwa sang kekasih tidak mungkin selingkuh di belakangnya, sebab mereka sudah saling berkomitmen dan Alika juga tidak merasa ada yang aneh dari Panji.
Setelah duduk, Ando mengembuskan napas. "Lo boleh nggak percaya sama omongan gue, tapi--"
"Beliin pembalut gue dulu," ketus Alika, menatap lurus ke depan tanpa mau melihat ke arah sang kakak ketiga.
Ando berkata, "Oke. Gue pesenin pembalut lo dulu. Tapi habis itu dengerin cerita gue. Ya?"
Gadis bermata tajam yang tidak biasanya itu menoleh. Kalau bisa didefinisikan, Ando mati kutu. Dia meraih ponselnya dari saku saja bergetar, karena melihat tatapan menusuk itu.
Tidak butuh berlama-lama untuk memesan online pembalut Alika sesuai yang biasanya gadis itu beli, akhirnya selesai.
Alika segera menutup tubuhnya kembali dengan selimut. Walau sebenarnya Ando agak prihatin dengan seprai yang cukup terdapat bercak darah, lelaki itu mencoba untuk biasa saja.
Sebentar lagi Alika bisa bersih-bersih.
Kalo tau bisa pesan pake ojek online gini kenapa nyuruh gue yang beli coba? Ini mah ngerjain gue banget, batin Ando menyesal. Kalo tadinya gue gak ke supermarket itu kan gue gak perlu tuh ngelihat pacar Alika si Panci Panci itu.
"Ka ..." panggil Ando lembut. "Lo gak mau ngomong sama gue?"
"Gue lagi sakit perut dan lo bikin perut gue tambah sakit."
Masih dengan nada ketusnya.
"Gue minta maaf," gumam Ando. Semoga saja maafnya itu terdengar, pasalnya ia sendiri tidak berani berseru lebih keras dari itu. "Tapi, Ka, gue jujur. Gue nggak bohong."
"Emang apa aja yang lo lihat? Pacar gue ke hotel sama wanita lain yang bisa aja itu rekan kerjanya atau bahkan bos ceweknya? Kak Panji selalu ngabarin gue kalo pergi sama yang lain, Bang." Alika mencoba memberi pengertian.
"Emang kalo sama rekan kerja boleh kecup pipi? Bukan cuma kecup sih, soalnya durasinya cukup lama."
Ando lebih memperjelas lagi dengan apa yang dia lihat.
"Kalaupun urusan kerjaan, kenapa nggak di kafe aja atau restoran? Kenapa harus ke hotel?"
"Lo pikir sekarang hotel cuma check in kamar doang? Hotel juga punya resto dan bisa reservasi terpisah, Bang."
Sama sekali tidak terpikirkan.
Entah karena pikiran Ando seperti di film-film yang kalau pergi ke hotel adalah untuk berselingkuh, atau karena firasatnya yang mungkin saja bisa salah.
Ando merasa apa yang dia lihat sama seperti apa yang dipikirkan lelaki itu. Setiap melihat wajah sok Panji, Ando sangat tidak suka.
Jangankan Ando, Abim dan Areksa juga satu suara dengan Ando.
"Dia udah hubungin lo?" tanya Ando. "Ya, minimal nanya kenapa lo nggak magang hari ini?"
"Dia udah tau kalo gue lagi red day kali."
"Baru 'kali', 'kan, Ka? Bukan berarti dia 'emang' tau?"
Mendengar Ando yang selalu mencari celah keburukan Panji, membuat Alika membuka selimutnya dan duduk. Perutnya masih sedikit terasa nyeri, ditambah merahnya sedikit-sedikit masih keluar dan dia belum menahannya dengan apa pun.
Tatapan kakak-beradik itu bertemu. "Bang, gue tau lo gak suka gue pacaran. Tapi, please, kali ini aja nggak usah nyari celah buat ngejelekin Kak Panji."
"Celah? Kalo nyatanya dia emang gitu gimana, Ka?"
"Abang Ando, gue lagi gak mau ribut sama lo."
"Ka--"
Alika kembali menenggelamkan diri dalam selimutnya. Meski ditarik oleh Ando, sepertinya energi gadis itu sangat besar sehingga kakaknya tidak bisa membuka selimut tersebut.
Jujur saja, dari awal tahu Alika berpacaran dengan Panji saja ketiga kakaknya itu tidak setuju. Namun, Alika terlalu dibutakan oleh cinta. Apalagi, kini gadis itu tengah antusias magang untuk mendapatkan pekerjaan tetap.
Jika sudah bekerja, Ando yakin Alika akan loyal terhadap Panji. Belum memiliki pekerjaan tetap saja Alika memakai uang Abim. Kalau bukan karena Alika adalah adik kesayangan mereka, sudah dipastikan tidak boleh menginjakkan kaki lagi di rumah besar itu.
Ando menghela napas. Kakinya ia silangkan dengan menopang dagu. Sikunya bertumpu pada pahanya dan bergumam, "Gue cuma gak mau lo salah pilih, Ka. Masa depan lo adalah yang paling penting."
"Daripada ngurusin gue, mending lo ngaca. Lo sendiri aja jomlo dari lahir. Bang Abim sama Bang Reksa juga sama."
"Justru karena kita itu selektif, Ka. Nikah itu sekali seumur hidup. Gue nggak mau pacaran cuma buat main-main tanpa tujuan."
Di dalam selimutnya, Alika memainkan bibir seakan mengejek Ando. Ia sudah menggerutu dalam hati, tidak suka mendengar perkataan-perkataan itu.
Lebih tepatnya, Alika tidak suka jika dirinya terlihat selalu membutuhkan ketiga kakaknya. Sudah dari awal, Alika ingin mandiri. Namun, tetap saja Abim, Areksa, dan Ando tidak mengizinkannya.
Mungkin memang diizinkan lewat perkataan, tetapi pergerakan mereka terhadap perhatiannya tidak salah tebak. Alika selalu diawasi dan tidak dibiarkan untuk bebas tanpa pengawasan.
Lagi, Ando mencoba untuk mengajak adiknya itu berkomunikasi lebih jelas. Masalahnya, dia bukan tipe laki-laki yang cepat mengalah sebelum mendapatkan alasan yang benar-benar masuk dalam pikirannya sendiri. Walau lawan bicaranya sudah lelah dengan komunikasi mereka.
"Alika, ayolah kita buktiin dulu. Kalo misalkan lo yang bener, gue beliin coklat sama pabrik-pabriknya deh."
"Ogah!" Alika kembali membuka selimutnya yang menutupi tubuh mungil itu. Lalu berkata ketus, "Gue bad mood! Gue gak mau lagi temenan sama lo!"
***
6. Kabur
Ando baru saja menerima kantong plastik berisi pesanannya dari kurir yang mengantar. Lalu, ia kembali ke kamar Alika, di mana gadis itu sudah duduk dengan wajah datar.
Alika masih tidak mau bicara lagi dengannya karena Ando yang terlalu keras kepala. Alika pun sama.
"Lo mau gue maafin gak?" tanya Alika, mulai bersuara kepada Ando. Gadis itu menatap dingin ke arah kakaknya,
"Maulah. Lo tahan silent treatment sama gue lama?"
Ando membalas, dibalas kedikan bahu Alika.
"Tahan. Gue yakin lo yang gak tahan." Alika mengambil pembalut itu dan membukanya. Satu buah sudah berada di tangannya. "Lo bikinin gue bubur selagi gue ke kamar mandi. Setelah itu, gue bakal maafin lo dan kita gak diem-dieman lagi."
"Bubur?"
"Iya. Nasi yang dimasak--"
"Bukan itu maksud gue. Lo ... gak biasanya mau bubur."
Alika menunjuk perutnya. "Gue sakit perut, males ngunyah. Jadi, makanan paling gampang buat ditelen ya bubur."
Ando pasrah. Walau ada sedikit kecurigaan menghampirinya, ia tetap beranjak untuk memasakkan gadis itu bubur sesuai keinginannya.
"Kenapa kayak ada yang aneh, ya?" gumam Ando, melangkah keluar dari kamar adiknya itu.
Langkah demi langkah membawanya menuju dapur. Alasan mengapa Ando tidak seperti dua abangnya yang super sibuk, karena laki-laki itu berprofesi sebagai fotografer. Jadi, tidak ada jadwal padat selagi Ando tidak menerima job-nya.
Terlebih, Alika sedang sulit untuk ditinggalkan dalam kondisi seperti ini.
***
Tas ransel berukuran sedang tersampir di bahu kanan Alika. Di dalamnya hanya terdapat beberapa baju dan keperluan sederhana saja. Terpenting, kartu berisi uang kakak pertamanya ada di dalam dompetnya.
Alika melangkah pelan, mengendap ke luar kamar membawa keyakinan bahwa Ando masih sibuk di dapur untuk memenuhi keinginannya.
Perlahan, Alika melewati dapur penuh hati-hati. Matanya mengawasi sekitar, takut-takut kakak laki-lakinya satu itu ada di dekat dia tanpa diketahui. Namun, ketika matanya menatap punggung tegap itu sedang berdiri di depan kompor yang sepertinya sedang mengecek tingkat kematangan, Alika bernapas lega.
"Oke, gue tinggal jalan sampe jalan raya buat berhentiin taksi yang lewat, habis itu langsung ke tempat Kak Panji," gumam Alika.
Dalam hati, gadis itu terus merapal doa supaya kakaknya tidak melihat.
Semoga Bang Ando fokus masak. Begitu katanya dalam hati.
Setelah berhasil keluar dengan aman tanpa suara, Alika bernapas lega untuk yang kesekian. Sedikit membenarkan tasnya supaya tidak terlalu membebani, kini langkahnya lebih ngebut keluar dari pekarangan rumah besar itu.
Ada sedikit rasa sesal, karena Alika tidak akan bisa berleha-leha puas di rumahnya yang besar itu, memanjakan diri dengan fasilitas yang ada, tetapi itulah pilihannya.
Alika tidak mau dikekang, Alika mau mandiri, Alika mau segala hidupnya seimbang antara karir, cinta, dan masa depan yang entah apa ujungnya.
Di sisi lain, Ando baru selesai memasak bubur itu dan mencicipinya.
Tidak buruk. Ini begitu layak dimakan.
Tersenyum bangga dengan hasil masakannya yang sudah beberapa kali dimasak karena ini bukan kali pertama, Ando bergumam, "Lo gak bakalan nolak masakan gue, Ka. Lo selalu lahap. Semoga bubur ini bisa bikin lo lebih baik mood-nya."
Langkahnya membawa Ando ke kamar gadis tujuannya. Dengan semangkuk bubur dan air putih hangat, mungkin akan membantu meredakan sakit perut adik kesayangannya itu.
Tok tok tok!
Ando mengetuk pintu kamar Alika. Walau kadang ia tidak sopan suka masuk sembarangan, tapi kali ini Ando akan berusaha jadi abang yang lebih baik lagi.
"Lika! Bubur lo udah jadi, nih! Lo udahan, 'kan, ganti pembalutnya?" Ando berseru lembut. Nadanya memang keras, tetapi masih tergolong biasa, bukan termasuk bentakan.
Tiga menit, tidak ada jawaban dari dalam. Alhasil, Ando memilih untuk masuk tanpa izin. Buburnya bisa adem kalau tidak buru-buru disantap.
"Ka, lo tidur?"
Melihat selimut membungkus sesuatu yang dalam tebakan Ando adalah Alika, ia melangkah lebih dekat. Laki-laki itu menaruh nampannya di nakas dan segera membuka selimut tersebut.
Jelas, Ando terkejut.
Kepalanya memutar untuk mencari keberadaan sang adik yang ternyata bukan di balik selimut itu. "Lika! Lo nggak usah main petak umpet deh sama gue."
Segera saja, Ando mengecek seluruh isi kamar, ruangan yang ada di rumahnya, bahkan setiap sudut tanpa ada yang terlewat.
Nihil.
Alika tidak ada sama sekali. Ponselnya pun ditemukan di kamar gadis itu yang tandanya tidak dibawa.
"Mampus gue. Alika kabur?"
Ando dengan cepat berlari untuk lebih memastikannya lagi. Ketika dilihat lemari yang baju-bajunya sebagian sudah kosong, perkiraannya hampir seratus persen benar, bahwa Alika melarikan diri.
Laki-laki itu jelas panik bukan main. Ia pun mengambil ponsel Alika untuk menghubungi kedua abangnya yang lain.
Kontak dengan nama "Bang Abim" tertera di layar dengan status berdering. Tidak butuh waktu lama, panggilan terjawab dan suara Abim terdengar ingin marah.
"Kenapa, Ka? Gue lagi si--"
"Ini gue Ando, Bang. Bang Abim, gawat! Alika kabur dari rumah!"
Ando menyela perkataan Abim sebelum benar-benar memarahinya. Kini, deru napas yang terdengar berbeda menyapa telinga Ando.
"Lo serius? Gak usah bercanda, Ndo. Gak lucu," balas Abim dari sebrang.
Ando berdecak, "Nggak ada waktu gue buat bercanda sama lo. Sekarang, lo bantu gue cari dia. Gue juga bakal telpon Bang Reksa."
"Reksa lagi sama gue. Kita langsung cari Lika."
"Oke."
***
Sudah berjam-jam Alika berdiri di sebuah kos yang merupakan kos kekasih gadis itu, menanti Panji pulang dari kantor. Pasalnya, tujuan dari awal Alika kabur dari rumah memang ingin tinggal dengan Panji.
Beberapa kali, beberapa penghuni kos lain menawarkan Alika untuk singgah di tempat mereka lebih dulu. Namun, gadis itu bersikukuh mau menunggu Panji pulang.
Alhasil, ketika terlihat mobil Panji memasuki parkiran khusus penghuni kos itu, Alika segera berlari dan menghadangnya. Panji yang baru selesai mematikan mesin mobil dan turun, merasa tubuhnya hampir terhuyung ketika pacarnya itu memeluk tanpa aba-aba.
Panji memang memiliki satu mobil dan satu motor. Tergantung ia sedang mood membawa kendaraan yang mana ke kantor.
"Sayang. Kok, kamu bisa di sini?" tanya Panji selagi mereka berpelukan.
Di balik tubuh lelaki itu, Alika menjawab, "Aku kabur dari rumah. Aku udah muak diatur-atur sama abang-abangku, Kak."
Sontak, Panji mendorong tubuh Alika dari pelukan itu. Tatapannya jatuh pada barang bawaan pacarnya yang berhasil membuat matanya membulat.
Jadi, maksudnya Alika mau menginap di indekos Panji? Bukankah namanya menyusahkan diri sendiri?
"Kamu serius? Ka, jangan banyak tingkah deh. Nanti aku juga yang repot."
Alika meraih tangan Panji untuk dirinya genggam, menatap sang kekasih dengan tatapan penuh permohonan. Ia berkata, "Kamu tenang aja. Aku bawa uang, kok. Dan, aku gak bawa HP, jadi abang-abangku gak bakal bisa nemuin aku. Mereka juga nggak pernah ke kos kamu, 'kan?"
Gadis itu merogoh sakunya, memberikan dompet yang berisi uang cash dan beberapa kartu yang masih bisa digunakan. Tangan Panji sengaja ditengadahkan untuk menerima dompet itu, supaya dipegang oleh dia saja, jangan Alika.
Dalam hati, jelas sekali bahwa Panji tersenyum puas.
Itu artinya Alika sepenuhnya percaya pada dia, tanpa tahu bagaimana Panji di belakang.
Lagi, Alika memeluk Panji dan dibalas sayang oleh lelaki yang baru pulang bekerja itu. "Kamu ada masalah sama abang-abangmu? Aku sempet khawatir tadi karena sama sekali gak ada kabar kamu di kantor. Aku kira kamu udah gak boleh magang atau diberhentiin karena masalah kemarin."
"Aku sakit perut, Kak. Dan, alasanku kabur dari abang-abangku karena mereka nuduh kamu selingkuh. Aku marah, Kak. Aku gak suka."
"Ya udah, gapapa. Kamu tenangin diri kamu di tempatku dulu."
***
7. Terlalu Percaya
Alika bermanja dengan Panji di kosan laki-laki itu. Tidak henti-hentinya ia memeluk, bahkan tangan sang kekasih sudah sampai di punggung Alika untuk dielus, padahal tadi hanya mengusap kepala.
Gadis tersebut jelas merasa sedikit risi, tetapi ia coba untuk biasa saja. Alika sudah terlanjur ke sini, kabur dari rumah untuk menghindari abang-abangnya, tidak mungkin dirinya pergi lagi. Alhasil, gadis itu kembali meletakkan kepalanya di dada Panji dan mengendus dalam wangi tubuh lelaki itu.
Tidak ada cerita apa pun yang keluar dari bibir keduanya. Alika saja sudah begitu malas untuk menceritakan bagaimana ia dan abangnya sekarang. Terpenting, tubuhnya didekap hangat oleh sang pacar yang mampu sedikit menenangkan pikirannya.
"Makasih ya, Kak. Kak Panji udah mau nampung Lika," ucap Alika setelah lama mereka hening.
Panji memutar bola mata tanpa Alika lihat, ia berucap lembut membalas perkataan Alika barusan. "Anything for you, Sayang. Sebentar lagi aku mau berangkat kerja, kamu bolos lagi?"
"Emm, iya deh. Kalau aku masuk kerja, nanti yang ada Bang Abim, Bang Reksa, sama Bang Ando bisa nemuin aku, 'kan? Aku masih mau sama kamu aja," balas Alika pelan, takut Panji malah menyuruhnya kembali ke ketiga abangnya.
Senyum devil tercetak di bibir lelaki berjas itu. Ia melepaskan tangan Alika yang melingkar di tubuhnya, kini mereka duduk berhadapan di atas kasur kos Panji. Hanya ada tatapan lembut dari Panji untuk Alika yang gadis itu artikan.
Lalu, kedua bahu Alika dipegang lembut juga, diusap-usap pelan. Panji berkata, "Ya udah, kalo gitu Kakak pergi kerja dulu. Kamu di sini aja. Kalo ada apa-apa, kamu telpon pake HP Kakak aja, ada nomor kantor kita di sana. Kalau kamu mau pesan makan juga, pesan aja. Di e-wallet ada saldo, walau gak banyak, tapi cukup buat kamu. Sandinya tanggal jadian kita."
Alika mengulas senyumnya selebar mungkin. Ia merasa dispesialkan jika sandi e-wallet saja menggunakan tanggal jadian mereka. "Makasih, Kak."
"Sama-sama."
Panji beranjak setelah mengusap puncak kepala pacarnya yang masih bocil menurutnya itu. Lalu, bersiap untuk menuju kantor dan meninggalkan Alika di kosannya.
Tanpa gadis itu tahu ada hal busuk yang hendak lelaki itu lakukan.
Tepat ketika Panji memastikan kakinya sudah berada di luar kamar kosnya yang ditutup, di mana artinya Alika di dalam, Panji mengeluarkan ponselnya yang lain untuk menghubungi orang yang sudah ada di pikirannya sejak Alika datang.
Sepertinya, bermain-main sebentar tidak masalah, 'kan? Toh, Panji mendapatkan uang setimpal.
Anda: Bro, cewek gue ada di kosan. Terserah mau lo apain, yang penting transfer sekarang. Ibu kos juga lagi keluar, jadi sepi tuh kosan.
Bro!: Siap. Thanks, Nji. Gue harap rasanya enak, ya.
Anda: Pasti enak. Masih gadis gitu. Belum pernah gue apa-apain.
Setelah memastikan bahwa saldo rekeningnya bertambah, Panji berjalan lebih jauh untuk berangkat ke kantor dengan perasaan puas dan penuh kemenangan.
Setidaknya, dia tidak perlu susah payah merusak Alika dengan dirinya, karena masih banyak orang lain yang dengan sukarela memberikan ia uang untuk bermain-main dengan Alika.
Tugas pacar itu memang harus menguntungkan pacarnya, batin Panji yang kelewat senang.
Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jeritan nikmat itu masuk ke telinganya kala orang yang mengiriminya uang, juga mengiriminya video mereka.
Panji jelas siap menunggu dan menontonnya dengan seksama.
***
Sebuah restoran mewah bernuansa modern menjadi tempat untuk Panji berselingkuh. Ia membawa seorang wanita yang seumuran dengannya itu ke restoran ternama ini, diberikan banyak menu yang katanya akan Panji traktir.
Sudah jelas, Panji bukan memakai uangnya. Lelaki itu memakai uang hasil menjual Alika kepada temannya, juga cash yang pacarnya itu beri.
"Bodoh!" gumam Panji yang memikirkan Alika.
"Siapa yang bodoh, Sayang? Kamu ngatain aku?" tanya selingkuhannya itu yang dirangkul oleh Panji.
Mendengar itu, dengan cepat Panji mengelak, "Nggak, bukan kamu. Pacar aku yang bodoh."
"Memang bodoh," sahut wanita dengan pakaian kurang bahannya itu terkekeh. Selama ini dia juga menikmati uang Alika dari pemberian Panji.
Tas branded yang sekarang dirinya bawa, high heels keluaran terbaru dari merk terkenal sedunia yang dia gunakan, bahkan segala aksesoris itu sudah diketahui bahwa dibeli dari uang Alika--pacar Panji. Sebagai selingkuhan, jelas wanita itu cukup menikmatinya saja.
Toh, katanya rezeki tidak boleh ditolak.
Mereka tertawa terbahak ketika Panji mengeluarkan lawakan receh ala lelaki itu. Di detik berikutnya, entah datang dari mana tiga orang laki-laki sudah mengepung Panji.
Salah satunya menarik kasar kerah belakang Panji, satunya lagi membogem rahang Panji sekuat yang ia bisa karena dirinya juga pernah belajar tinju. Keributan dalam sedetik saja sudah terjadi, di mana Panji kenal ketiga laki-laki di hadapannya ini.
Abim dan Ando yang menahan tubuhnya, sedangkan Areksa sudah menggebu-gebu menerobos tinjuan pada bagian-bagian tertentu yang ia yakini mampu membuat Panji sakit parah. Terbukti ketika sudut bibir Panji mengeluarkan cairan kental berwarna merah itu dan terbatuk-batuk memohon berhenti.
Namanya kalap, Areksa tidak berhenti sampai pertanyaannya dijawab oleh manusia bejat yang sayangnya adalah pacar sang adik.
"Di mana lo sembunyiin adek gue!" ketus Areksa.
"Gak tau, udah gak perawan lagi kali," jawab Panji yang jauh dari konteks pertanyaan. Hal itu jelas menyulut emosi Areksa dan dua abang Alika yang lain.
Ando sampai melepaskan tubuh Panji dan ikut memberikan pukulan-pukulan ke tubuh pacar adiknya itu. "Buru kasih tau kita di mana Alika, Bangs*t!" seru Ando tidak mampu lagi menahan rasa kesalnya.
Memang, ini semua salahnya yang tidak mampu menjaga Alika dengan baik. Jika terjadi sesuatu dengan adik perempuan satu-satunya itu, maka Ando sudah pasti akan merasa paling bersalah di antara ketiganya.
Panji masih bisa menampilkan senyum miringnya, bungkam atas pertanyaan-pertanyaan yang terlayang untuknya. Beberapa yang memang makan di restoran itu benar-benar tidak peduli atas keributan yang terjadi, melihat bahwa ada Abim di antaranya.
Bahkan selingkuhan Panji sudah hilang entah ke mana, meninggalkannya.
Abim termasuk orang berpengaruh, siapa pun yang berani mempermainkannya, siap-siap saja terputus dari koneksi mana pun. Keluarga Atmaja bukanlah keluarga sembarangan.
"Cepat kasih tau kita di mana Alika, Baj*ngan!" seru Ando sekali lagi mempertanyakan hal yang sama.
Ando meludah ke wajah Panji dan bukannya menjawab pertanyaan dari Ando, justru pacar adik Ando itu menjabarkan sesuatu yang baru mereka dengar sekarang dari mulut jahat Panji.
"Adik lo bertiga itu hama! Bodoh! Terlalu percaya sama yang namanya cinta!"
Keadaan semakin memanas kala ucapan-ucapan yang terdengar seperti hinaan itu ditujukan untuk Alika.
"Bangs*t! Kalo bukan karena Lika cinta sama lo, gak bakal kita setujuin lo pacaran sama dia! DI MANA ALIKA! Jawab gue, Si*lan!" Areksa yang biasanya diam dan tidak banyak peduli, kini berseru dengan mata membulat sempurna menatap Panji.
"Gak tau. Udah digilir kali di kosan gue."
Abim segera menarik dua adiknya untuk menjauh dari Panji karena sudah tahu di mana keberadaan Alika dan menangkap apa yang Panji katakan barusan. Sebelum itu, ia berkata, "Atas nama Alika, lo putus sama dia mulai detik ini." Lalu, melemparkan kunci mobil ke arah Ando yang sigap ditangkapnya. "Buru! Kita gak punya waktu!"
Ando mengangguk. Ia termasuk jago dalam hal kebut-kebutan, maka dari itu ketiganya segera melenggang meninggalkan Panji menuju indekos lelaki itu.
Alika, tunggu Abang, batin Abim.
***
8. Terlambat
Air mata sepertinya sudah menjadi pulau di pipi Alika. Perasaan sakit karena merasa dirinya kotor, membayangkan gelapnya masa depan yang sudah tidak bisa diharapkan lagi, juga banyak permohonan maaf yang gadis itu lontarkan dalam hati.
Desahannya penuh lara, tidak menikmati sama sekali permainan dari empat laki-laki yang menggilirnya. Rasa sakit terlalu menguasai hati yang menusuk ke segala penjuru tubuhnya. Aliran butir-butir kesedihan terus menerjam, karena bibirnya sama sekali tidak diizinkan untuk terbuka, padahal napasnya sudah menipis akibat tautan bibir itu tidak juga dilepaskan dari milik salah satunya.
"Woi! Giliran gue, B*go!" seru salah satu laki-laki yang memiliki tubuh lebih gelap.
Mata Alika sudah tidak bisa terbuka sepenuhnya. Ia mengerang, menahan napas, juga terus berusaha melepaskan diri dari jerat empat laki-laki yang entah siapa.
Alika tidak kenal dengan keempatnya.
Cukup, Alika gak kuat, jerit Alika dalam hati. Tubuhnya benar-benar sudah menjadi bahan kenikmatan.
Sayup-sayup ia mendengar suara salah satunya yang berambut kribo mengatakan sesuatu tepat di telinga, "Jangan nangis, Sayang. Kami sudah menyewamu dan uang sewanya sudah diterima Panji. Jadi, nikmati saja."
B*jingan! Bangs*t! Kep*r*t!
Alika tidak berhenti mengumpati Panji. Orang yang selama ini ia anggap menjaganya, bahkan terlihat begitu tulus dalam hal mencintai, ternyata tega menyewakan tubuh Alika pada laki-laki kurang belaian ini.
Alika benar-benar sudah kotor. Ia hanya bisa merapal doa semoga semesta berpihak untuk menolongnya.
Mungkin, setelah ini tidak akan ada lagi sosok Alika yang ceria, Alika yang manja, dan Alika yang penuh senyum. Masa depannya sudah direnggut paksa, ia juga yakin bahwa Tuhan akan menjemputnya sekarang juga. Rasa sakit terus menjalar ketika milik yang satu berpindah masuk ke miliknya, bergilir tanpa ada jeda.
Sempat keempatnya berkelahi beberapa detik untuk mendapatkan giliran, padahal sangat terlihat bahwa Alika sudah lemas bukan main.
Di kos itu, sepertinya tidak ada yang peduli. Suara Alika, dan keempatnya mungkin terdengar sampai keluar, tetapi apakah tidak ada yang sepeduli itu? Membiarkan mereka enak-enakan, tidak ada yang melarang?
Alika kotor, batinnya masih terasa sakit, bahkan sangat sakit.
Rambut Alika dibelai, tangannya dipaksa untuk menyentuh milik lelaki bertato elang di dadanya, di mana lelaki tersebut sudah memberikan sensasi sendiri dan menutup mata. "Tekan terus, Babe," erangnya paksa.
Sungguh, rasa jijik sangat Alika rasa. Jika bukan karena sakit di pergelangan tangan yang sudah memerah hebat, dan tubuhnya yang sudah lemas, mungkin Alika bisa melepaskan diri.
Namun, sejak awal gadis itu sama sekali tidak diberi celah untuk melepaskan diri. Pertahanannya jelas runtuh oleh keempat lelaki yang sudah dipastikan memiliki tenaga lebih besar.
"Woi! Giliran gue, anj*ng! Lo mulu!"
Ketiga lelaki berebut saat salah satunya melepas miliknya dari milik Alika. Cukup bernapas lega, walau tubuh Alika terasa begitu remuk dihantam habis-habisan. Lelaki bertato tadi masih saja meminjam tangan Alika untuk memainkan miliknya.
Sungguh tidak bermoral.
Hingga, si rambut kribo yang hendak memasukkan miliknya ke milik Alika, pintu didobrak keras dari luar.
"Jangan bergerak! Angkat tangan kalian!"
Beberapa polisi berhasil mengepung kosan itu. Keempat lelaki tanpa memakai apa pun itu mengangkat tangan mereka, menggerutu kesal dalam hati karena permainan mereka harus terhenti. Polisi segera meraih kain asal untuk menutup tubuh dari empat lelaki asing yang tidak Alika kenali, lalu memborgol pelaku pelec*han itu dan segera membawa keluar.
Seorang polwan dan ketiga abang Alika langsung mendekat ke arah gadis yang sudah terkapar dengan daya setengah. Jika dikatakan pingsan, Alika masih mampu membuka mata walau tidak sepenuhnya. Tangis itu sangat pilu didengar.
"Sakit, tubuh gue sakit, Bang," gumam Alika yang mana tubuhnya dipenuhi beberapa lebam, sudut bibirnya berdarah, rambut yang acak-acakan, tidak keruan.
Polisi wanita membantu gadis itu untuk mengenakan baju sedapatnya, lalu berkata pada Abim, "Kita perlu membawa adik Anda ke rumah sakit sekarang."
Ando, Areksa, dan Abim lantas mengangguk. Dengan sigap, Abim meraih tubuh Alika untuk ia gendong ala bridal style, keluar dari kosan itu sesuai arahan polwan yang mengawal. Tidak hanya polwan saja, beberapa polisi yang tidak menangkap pelaku, justru bertugas menjaga mereka.
Para penghuni kos itu juga banyak yang keluar saat suara sirene polisi terdengar. Bahkan dari semenjak gaduh pintu kosan yang didobrak, sudah ada beberapa yang keluar untuk merekam itu.
"Maafin Bang Ando, Lika. Semua salah Abang yang gak peduli sama kamu sejak awal, jadi kamu kayak gini," ucap Ando, duduk di sebelah Alika ketika mereka sudah di mobil.
Areksa mengusap lembut rambut sang adik yang berantakan itu. Melihat Alika seperti ini, mampu membuat hatinya terasa seakan tertikam belati berkali-kali. Sungguh, sebagai kakak kedua Areksa sangat gagal menjaga adiknya.
Kesibukan seberpengaruh itu.
"Ka, lo bertahan, ya? Maaf, maaf, maaf," kata Areksa setelahnya.
Abim yang duduk di depan sebelah kemudi hanya mampu menurunkan bulir-bulir yang tertumpuk di pelupuk matanya. Sejak tadi sudah tidak kuasa lelaki itu melihat kondisi Alika.
"Abang, g-gak salah. Al-Alika yang s-seharusnya nurut s-sama B-Bang A-Abim, Bang R-Reksa, d-dan B-Bang Ando," balas Alika terbata. Dadanya sangat sakit, tetapi sebisa mungkin untuk ia tetap bisa sadarkan diri.
Beruntung, Alika memiliki ketiga abang yang sangat menjaganya. Walau terlambat, Alika bersyukur masih ada orang yang mampu menolongnya. Abim, Areksa, dan Ando pasti sangat khawatir ketika mencarinya, begitu pikir Alika.
Napas Alika sedikit tersendat, cukup sulit meraup oksigen gratis dari Tuhan itu. Ia menyandarkan kepala pada bahu Areksa yang siap siaga disandarkan.
"Lo tenang aja, Ka. Gue pastiin si Panji yang b*nci itu dapetin hukuman yang bisa buat dia kapok berurusan sama lo. Kalo bisa dia dapet hukuman mati!" seru Ando menggebu-gebu.
Padahal Ando ingin sekali membogem keempat laki-laki yang menyewa Alika dari Panji itu. Namun, pihak berwajib langsung melakukan tindakan penangkapannya.
Alika mengulas senyum yang ia bisa, sangat tipis. Gadis itu mencoba meraih tangan Ando untuk digenggam. Ia tahu, tidak seharusnya tangan kotornya itu meraih tangan bersih Ando, tetapi gumamannya jelas mampu menusuk hati Ando.
"L-lo Abang terb-baik yang pernah g-gue kenal, B-Bang. M-Makasih ya, udah c-cepat nemuin Lika, B-Bang Ando, Bang R-Reksa, B-Bang Ab-Abim." Masih dengan ungkapan terbata Alika mengatakan itu.
Ando sudah tidak bisa menahan genangan air matanya. Ia mengecup puncak kepala adik perempuan satu-satunya, merasakan sakit seperti yang Alika rasakan, merasakan sesak yang Abim dan Areksa rasakan karena mereka gagal menjaga adik mereka.
Sudah ada tekad bulat bahwa setelah ini, Ando akan memperketat penjagaannya terhadap Alika.
Siapa pun laki-laki jahat yang mau mendekatinya, harus menghadapi Ando, Abim, dan Areksa terlebih dahulu. Tidak ada yang boleh menyakiti Alika lagi.
"Lo--" Ando tidak kuasa untuk membalas ucapan Alika. Ia memilih untuk memeluk adiknya, mendekapnya dalam artian bahwa Ando akan selalu ada bersama gadis itu.
Alika tidak sendirian. Ia masih memiliki tiga malaikat tanpa sayapnya.
***
9. Trauma
"Nggak, Alika masih bersih," gumam Alika dengan nada yang sangat menyayat hati.
Bayang-bayang soal kejadian tiga hari lalu masih memenuhi pikiran Alika, bahkan ia mengusir tiga abangnya yang berusaha supaya adik mereka tidak terlalu memikirkan hal itu. Walau, jelas saja mereka merasa gagal sebagai seorang kakak.
Jika orang tua mereka masih hidup, pasti sudah kecewa sekali. Mungkin, kini di atas sana juga orang tua mereka menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Abim tidak membiarkan media meliput sedikit pun mengenai kejadian Alika, karena tidak mau sang adik semakin trauma. Ia mendekat kala Alika sudah mulai tidak memberi jarak, mendekap tubuh yang sudah tidak lagi menekuk lututnya dengan tangan memeluk.
Dielusnya rambut wangi Alika karena sehabis mandi. "Lo gak perlu takut, Ka. Dunia emang jahat, gak adil ke lo. Tapi, lo masih punya gue, Reksa, sama Ando. Lo masih punya penjaga lo, apa pun yang terjadi. Plis, lawan trauma lo ya, Ka? Jangan sedih lagi."
"Iya, Ka. Lo bersih, kok. Lo masih suci. Lo masih Alika yang kita kenal adalah gadis kecil dan imut. Lo berlian kita, Ka. Kita sebagai abang lo akan selalu jaga lo dan nerima lo apa adanya," sahut Ando. Dadanya sangat sesak melihat kondisi Alika.
Areksa yang jarang bicara pun ikut menyahut, "Ka, you're the best ever. Dunia gak harus ada di pihak lo, tapi gue, Bang Abim, sama Ando selalu ada buat lo."
"Ka, maafin gue yang gagal ngejaga lo, ya?" Ando berusaha meraih lengan Alika yang masih dalam dekapan Abim.
Alika memang mendengar, ia juga paham apa yang diucapkan abang-abangnya. Namun, suaranya tercekat karena masih menangis. Kesanggupan mengenai kejadian kelam itu benar-benar membutuhkan energi positif yang banyak.
Untungnya, gadis itu memiliki tiga abang yang sayang dengannya, peduli akan keselamatannya dibanding cinta dari orang lain semata.
Memang benar untuk keluarga seperti mereka, tidak ada yang menyayangi Alika sepenuh hati kecuali Abim, Areksa, dan Ando. Bahkan jika harus dibandingkan nantinya dengan jodoh di masa depan, Alika tidak yakin cinta itu akan lebih besar atau justru elemen cinta dari Abim, Areksa, dan Andolah yang menyatu untuk adik kesayangan mereka.
"Lo mau istirahat aja gak? Gue bantu ke kasur," tanya Abim lembut. Berbeda, tidak seperti Abim yang biasanya cukup arogan, galak, dan keras kepala.
Alika membalasnya dengan anggukan. Segeralah tubuh kekar itu melepaskan dekapannya dan membawa Alika dengan menuntun gadis itu lembut menuju kasur besar si gadis. Kemudian, Ando membantu menyelimuti kaki Alika hingga sebatas perut.
Dibelai surai Alika penuh kasih. Jemari Ando menari di sana, memainkannya ke sela-sela tiap helainya.
Alika mengulas senyum tipis. Senyum cerianya benar-benar sudah hilang, mengharuskan mereka mengikhlaskan itu semua. Walau masih ada alternatif seperti menyembuhkan Alika dengan psikolog.
"Lika beruntung banget punya tiga abang kayak kalian," kata Alika. Rasa sedihnya sedikit mereda. "Tapi, tolong jangan terlalu fokus sama Lika, ya? Kalian masih harus pentingin diri kalian sendiri. Masa karena Lika trauma gini kalian ninggalin semua aktivitas yang biasa kalian lakuin."
"We're gonna be okay, Sweety. Yang terpenting itu memang kondisi lo untuk saat ini," balas Areksa dengan gaya bahasa barunya. Sepertinya berbicara panjang kali lebar tidak ada salahnya.
Sontak, Ando tidak tahan dengan Areksa itu menoyor kepalanya. Jarak mereka sangat dekat.
"Gak usah sok Inggris gitulah. Mana tumben banget lo ngomong dari a sampe z. Biasanya juga sampe c."
"Yeu, iri aja lo," balas Areksa dengan tatapan tajam ke arah Ando.
Untuk kata 'akur', sepertinya sulit untuk mereka berdua.
"Btw, sekali lagi sorry karena bikin lo gak betah di rumah, Ka. Makanya lo nyari kenyamanan di luar," ucap Ando yang entah sudah keberapa kali.
Mungkin jika dihitung manual, sudah lebih dari ribuan kali ia mengucap kata itu, membuat Alika lagi-lagi menggeleng pelan. Jika nasi sudah menjadi bubur, maka ada dua kemungkinan. Pertama, si pemilik akan menyalahkan diri sendiri karena salah memasak, dan yang kedua si pemilik ikhlas dengan kebodohannya tidak menakar sesuai apa yang ia mau yang justru menikmati bubur itu.
Dalam kondisi mereka, Ando jelas-jelas ada di kemungkinan pertama yang sekarang sudah terjadi.
"Lo nggak salah, Bang. Lo justru selalu jadi abang yang selalu bisa bikin mood gue naik walau cara lo ngeselin dan lo tuh tengil banget. Buat Bang Reksa, lo tetep jadi abang kesayangan terganteng gue, dan Bang Abim definisi abang berduit buat gue. Lo semua bahagia gue mulai sekarang," jelas Alika tulus.
Walau terkadang ia masih saja menginginkan pengulangan pada hari-hari yang sudah dirinya lalui selama tiga hari ini yang selalu saja hanya berupa penyesalan, tetapi Alika tidak pernah menyesal memiliki keluarga seperti tiga abangnya.
Kali ini, yang bisa merengkuh tubuh rapuhnya memang hanya ketiga abangnya.
Kondisi apa pun.
Bagi Alika, love life balance versinya sekarang adalah keluarganya.
"Oh iya. Kalian kok bisa punya feeling yang tepat sih tentang Panji?" Alika bertanya, mendudukkan diri setelah merasa cukup istirahatnya. Hatinya juga sudah membaik, mencoba supaya pikiran negatif tidak lagi singgah dalam otaknya.
Abim menjawab, "Kita semua kan sehati. Kalo ada orang jahat, udah tau. Ya gak?" Abim mengarah pada Areksa dan Ando.
Melihat Abim sangat percaya diri membuat Ando tergelak.
"Kok lo malah ketawa, sih!" Wajah Abim berubah masam, tidak suka respons adiknya itu.
"Lagian lo tuh sok tau, bukan udah tau."
"Emang lo nggak ngerasa gitu?"
"Ngerasa sih. Mungkin memang kita sehati."
"Yeu, somplak!" Areksa menoyor kepala belakang adik laki-lakinya tersebut. Gantian, masa iya hanya Ando yang boleh menoyornya.
"Udah, udah. Gue bangga sama insting kalian bertiga. Makasih, ya?" Alika melerai dengan menyungging senyum lebar.
Walau terkesan dipaksa, tetapi tak apa.
Areksa memijat kaki Alika, reflek. Lalu berkata, "Lagian sebenernya kita juga nggak larang lo buat pacaran."
"Asal cowoknya bener," sela Ando sebelum Areksa menyelesaikan ucapannya.
"Sikap Panji, gaya songongnya, dari awal emang udah kentara kalo dia mau manfaatin lo doang, Ka," imbuh Abim. "Dia cuma mau duit lo, padahal selingkuhannya di mana-mana tuh. Pas ada kesempatan buat dia makin manfaatin lo, gue udah nggak heran dia bisa jahatin lo sebegitunya."
"Betul. Gue sependapat sama Bang Abim." Ando sudah manggut-manggut menyetujui.
"Gue juga," sahut Areksa.
"Jadi, lo mau ya usahain sembuhin trauma lo? Gue bakal jadi sopir pribadi lo buat periksa ke psikiater, jadi ATM berjalan lo kalo lo mau beli sesuatu yang bisa bikin lo happy," seru Abim menatap Alika penuh permohonan.
Alika terkekeh pelan, "Kok jadi kesannya lo yang mohon-mohon sih, Bang." Menepuk pelan lengan kekar Abim.
"Gue juga bakal cariin lo jodoh." Areksa tidak mau kalah.
"Gue bagian fotoin momen-momen berharga kita dengan estetik aja deh. Ciiiiis!" Ando mengangkat kamera yang entah sejak kapan ada di tangan lelaki itu.
Mereka pun berfoto ria untuk menambah memori yang nantinya tidak akan bisa diulang kembali. Alika senang, setidaknya trauma itu tidak terus memenuhi pikirannya.
***
10. Tidak Peduli
Setahun kemudian, Alika sudah benar-benar sembuh dan tidak lagi banyak pikiran mengenai traumanya. Dia memang tidak sempurna, dan Alika tidak peduli itu. Bukan dirinya yang merusak diri sendiri, tetapi saat itu suatu kejadian di luar kendalinya.
Alika hanya ingin ke depannya menjadi manusia lebih berguna lagi daripada sekarang.
Ditatapnya dua abang paling tua yang sedang mengoleskan roti masing-masing, lalu menoleh ke arah Ando yang menyodorkan roti olesan selai coklatnya kepada Alika. Senyum gadis yang berhasil menjalani hari-harinya dari kejadian kelam itu mengembang.
Ando sedang tidak ada selera untuk masak sarapan kepada mereka, jadilah hanya sarapan dengan roti tawar.
"Makasih, Bang," kata Alika yang diangguki Ando.
Mereka sarapan bersama dengan khidmat, salah satu kegiatan paling hangat bagi Alika karena di posisi inilah dirinya bisa menatap lamat-lamat kepada tiga abangnya.
Areksa bertanya setelah menelan potongan rotinya, "Lo jadi mau magang di kantor kita, 'kan?"
"Jadi."
"Kalo masih belum siap ketemu banyak orang gak apa-apa kok, Ka. Lo bisa ngerepotin Ando lagi buat ngurus lo di rumah."
Ucapan Areksa itu berhasil membuat mata Ando melotot tidak suka. Selama setahun ini, Ando menolak banyak job demi mengurus penuh sang adik. Ya, walau sesekali ia menerima job pemotretan dan membawa Alika untuk menyaksikan bagaimana jika dirinya tengah bekerja.
Namun, rasanya tidak adil jika selalu Ando yang menemani adik perempuannya sedangkan Abim dan Areksa leha-leha.
"Jadi, Bang. Kasihan juga Bang Ando harus ngurus adik kecilnya mulu. Dia juga butuh waktu sendiri, barangkali mau cari jodoh," celetuk Alika asal. Mata Ando semakin membulat mendengar itu. Jangankan jodoh, mendekati perempuan saja rasanya sungkan untuk Ando.
Ando bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi dengan lawan jenis, walau ia terkenal cepat akrab, cepat berteman, tetapi baterai sosialnya juga cepat habis.
"Bang Abim dulu noh! Dia aja masih jomlo," sahut Ando.
"Kalo gue mah tinggal pilih, sih. Gue kaya, ganteng, karir oke, pendidikan oke, siapa pun pasti tergila-gila sama gue." Abim menyombongkan diri.
Ando pun melirik ke arah Areksa yang duduk di sebelah Abim. "Apa? Lo mau gue ngelangkahin Bang Abim?"
"Belum juga ditanya, udah sensi aja," balas Ando tidak suka dengan cara bicara dan tatapan Areksa.
Alika terkekeh-kekeh pelan. Ia meneguk susu dan berdiri. Lalu, langkahnya mendekati Areksa yang baru selesai mengelap mulutnya. Alika menggandeng lengan kakak keduanya itu dan berkata, "Ayo, Kak! Gue udah gak sabar mau jadi anak magang sebagai admin di divisi keuangan lo."
Areksa menoleh ke arah Abim yang dibalas sabit tipis dari bibirnya. "Angkut," katanya singkat.
Kini, Areksa dan Alika pun sudah berjalan meninggalkan mereka. Abim kebetulan tidak langsung ke kantor karena ada beberapa keperluan.
Di saat hanya ada Abim dan Ando saja di ruang makan itu, Ando memajukan tubuhnya dan menyipitkan mata. "Lo sama Bang Reksa jadi nyomblangin Lika ke Ael?"
"Kita lihat aja ending-nya, Ndo."
***
Sampai di kantor kebesaran Atmaja itu, Alika tersenyum ramah kepada beberapa karyawan yang kebetulan juga baru datang. Mereka saling sapa, termasuk Areksa yang merupakan co-CEO di perusahaan keluarganya. Tidak lama dari itu, muncul batang hidung yang sudah Areksa nantikan dari arah dapur sembari membawa secangkir kopi. Kepulan asap khas aroma kopi menyeruak dalam indra penciumannya.
"Pagi, Pak Bos!" seru Ael Pramono, Kepala Divisi Keuangan. Ia melirik ke arah Alika dan menyunggingkan senyum.
Mata sipit tetapi cukup tegas itu mampu menyihir pikiran Alika yang bahkan tidak berkedip melihatnya. Sampai Areksa harus menepuk pelan lengan gadis itu untuk tersadar.
"Ka, kenalin, ini Ael, yang bakal jadi guru magang lo di divisi keuangan, karena dia kepalanya. Kalo butuh apa-apa jangan sungkan buat ngerepotin dia," jelas Areksa.
Ael sedikit terkikik geli mendengar Areksa menjelaskan itu. Selama ia mengenal Areksa sejak mereka SMA, sahabat yang sialnya adalah atasannya itu tidak pernah mau menjelaskan apa-apa kecuali penting.
Perkenalan antara Ael dan Alika tidak termasuk penting sekali bagi Areksa. Namun, ia melakukannya.
"Aku Ael Pramono, panggil aja Ael. Gak usah terlalu formal sama aku, santai aja. Pake aku-kamu juga gak masalah," ucap Ael, mengulurkan tangan ke arah Alika yang dibalas gadis itu.
"Alika. Mohon bimbingannya, Kak."
Setelahnya, Areksa menurunkan tangan Alika yang melingkar di lengannya. Ia menepuk bahu Ael dan Alika bergantian, kemudian berkata, "Kalo gitu gue tinggal dulu. Obrolin aja apa yang harus Lika kerjain."
"Btw, obrolin juga soal masa depan lo sama dia," bisik Areksa tepat di telinga Ael dan setelahnya pergi meninggalkan adiknya dengan karyawannya itu.
Sepeninggalan Areksa, tidak ada kecanggungan dari Ael yang masih setia tersenyum manis, sangat berbeda dengan Alika yang memilin rok selututnya menandakan ia sedikit gugup.
Ael mengangkat sekilas cangkirnya. "Mau aku buatin kopi? Biar kita bisa obrolin apa yang mau kita mulai."
"Ah, nggak usah, Kak. Boleh langsung aja ajarin akunya."
Mengangguk mantap, Ael mempersilakan untuk Alika berjalan sejajar dengannya menuju ruangannya. Mungkin, Ael akan mulai memperkenalkan siapa dirinya selain sebagai Kepala Divisi Keuangan di sini.
Memang ada hal yang cukup mampu menggelitik hatinya sedikit, mengingat antara dirinya dan Alika sudah tidak kecil lagi.
Ael meletakkan cangkir kopi itu di meja, lalu berdiri di depan meja kerja dan langsung bertanya tanpa basa-basi, "Kamu inget siapa aku gak?"
Sontak, Alika yang tengah melihat-lihat ruangan itu mengerutkan kening. Ia kira mereka akan langsung melakukan kegiatan magang Alika.
"Bentar, aku agak lupa, sih."
"Pernah gak sengaja kepala kita beradu pas kamu lagi ngumpet di kolong meja karena gak mau mandi karena dingin, sedangkan aku lagi mau ngambil potongan buah yang kebetulan jatuh yang mau aku buang."
"Hah? Bang Kiting?"
Alika membulatkan mata sempurna mengingat momen singkat terlintas di kepalanya setelah penuturan Ael. Ia menatap Ael dari atas ke bawah, penampilannya sungguh berbeda dengan dulu. Pantas saja ia tidak mengenali lelaki itu.
Ael tersenyum simpul. "Lebih ganteng sekarang apa dulu?"
"Sekaranglah!" Segera, Alika menutup mulutnya. "Eh? Ya, Kak Ael emang ganteng sih."
Entah mengapa, serasa ada kupu-kupu terbang secara tiba-tiba di perutnya. Masih dengan senyum khas yang tidak berubah sejak Alika mengenal Ael di usia Ael yang masih 17 tahun kala itu--teman masa SMA Areksa, Ael mengatakan sesuatu yang mampu membuat bulu kuduk Alika merinding.
"Panggil Bang Kiting aja lagi kayak dulu. Atau mau ganti jadi Sayang aja boleh."
Reflek, Alika memukul lengan Ael. "Apa, sih!" Ael tertawa pelan. "Tapi serius, Kak Ael lebih ganteng dan berkharisma."
"Udah tua tapi. Belum nikah lagi."
"Eh?"
Ini sekaligus memberitahu statusnyakah? Kenalan ulang atau Ael sedang masa percobaan pendekatan? Karena, Alika memang pernah mencintai Ael karena rambut ikalnya yang berbeda dari yang lain--yang justru membuat Ael semakin tampan kala itu.
"Kalo kamu gimana? Udah punya pacar?"
Alika menggeleng. "Trauma. Kayaknya Kak Ael udah pasti tau kejadianku setahun lalu. Bang Reksa gak mungkin gak cerita ke Kak Ael, 'kan?"
Ael tahu. Bahkan saat Areksa merasa terpuruk karena gagal menjadi seorang kakak, Aellah yang menguatkan lelaki itu dan memberi banyak saran.
Kini, Ael menarik tubuh Alika dan memeluknya sekilas. Hanya sekilas saja, tidak ada maksud lain. Bahu gadis itu dipegangnya, maniknya juga ditatap lekat oleh Ael.
"Kalo kamu masih punya rasa sama Bang Kiting, Bang Kiting akan bilang kalo Abang juga sebenernya sayang sama Alika. Cuma, dulu kita sama-sama masih di bawah umur. Walau Bang Kiting udah berusia 17 tahun pas kenal kamu, tapi kamu masih kecil banget bagi Abang. Jadi, Bang Kiting setia nunggu kamu sampai sekarang," jelas Ael panjang kali lebar, mengungkapkan hatinya mantap kepada Alika.
Apa yang dikatakannya adalah kejujuran, sama sekali tidak ada yang dilebihkan maupun dikurangi.
Alika membalas tatapan tulus itu. Ada makna penuh harap dalam binaran sorot Ael.
"Bang Kiting ngajak Alika nikah?" Alika mengerti makna dari penjelasan Ael. Namun, ia ingin memastikan.
Ael mengangguk. "Kalo kamu mau. Bang Kiting gak maksa. Justru, Abang bakal senang kalau kamu jadiin orang penting yang ikut membersamai segala prosesmu, termasuk kesembuhan trauma kamu secara total."
"Tapi aku udah gak perawan lagi," balas Alika sendu.
Ketakutannya dekat dengan lelaki lagi hanya karena hal satu itu. Siapa yang akan menikahi gadis yang sudah pernah dipakai orang? Bahkan, digilir. Sungguh kotor, bukan? Begitu pikir Alika.
Namun, Ael menggeleng tegas dan berkata, "Aku nggak pernah peduli seburuk apa pun masa lalu pasanganku, yang penting masa depannya sama aku."
Alika mengerjapkan mata. Sejujurnya, jika berada di posisi ini, gadis itu benar-benar masih merasa jatuh cinta pada Ael. Entah karena kenangan masa lalu itu terputar kembali di otaknya atau memang hatinya tidak pernah untuk yang lain, tetapi untuk Ael seorang.
Kapan lagi disukai balik oleh crush?
"Jadi, kamu mau jadi pendamping hidup Abang? Abang gak bisa janjiin apa pun, tapi selama Lika butuh Abang, Bang Kiting akan selalu ada."
Panggilan Bang Kiting sepertinya akan kembali lagi. Hanya karena rambut Ael dahulu ikal, gadis itu memanggilnya seperti itu. Walau, kini juga rambutnya tidak terlalu lurus, hanya saja lebih rapi dibanding Ael saat SMA.
Jika ada lelaki yang ia cintai melamarnya dan ternyata mencintainya balik, mengapa harus Alika tolak? Toh, traumanya masih bisa sembuh total. Gadis itu memang butuh laki-laki seperti Ael Pramono.
Terlebih, dulu Ael sudah sangat tahu seluk-beluk Alika dan sebaliknya.
"Alika pikir-pikir dulu ya, Bang? Tapi, jawabannya udah pasti iya, kok. Alika mau tanya Bang Abim, Bang--"
"Gak perlu ditanya. Gue, Bang Abim, sama Ando udah pasti setuju lo sama Ael," celetuk Areksa tiba-tiba memotong ucapan Alika.
"Bang Reksa? Sejak kapan lo di situ?" Wajah Alika memerah menahan malu. Baru hari pertama magang, tetapi ia malah tatap-tatapan begini dengan guru magangnya.
Diajak nikah pula.
"Baru masuk, sih. Gue baru mau bilang ke Ael buat nembak lo, Ka. Tahunya langsung bahas nikah?"
Alika menoleh. Ia tersenyum penuh arti. "Karena Bang Reksa bilang tiga abang aku setuju, aku jawab sekarang deh. Aku mau nikah sama Bang Kiting."
"Asyik! Thank you, Ka." Ael segera memeluk erat Alika beberapa detik, lalu menoleh pada Areksa. "Thank you, Sa,"
Areksa cukup mengangkat kepalanya sekali. Dalam hati, ia sangat bersyukur bisa mempertemukan Ael dan Alika kembali.
Jodoh memang gak pernah tertukar. Mungkin, harus ada badai dulu biar keduanya bertemu, batin Areksa.
— TAMAT —
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
