Cerpen: Rencana Pembunuhan Tokoh Cerita

2
0
Deskripsi

Berani sekali tokohku itu. Rupanya dia ingin menjadi musuh penulisnya sendiri. Aku tak tahu siapa yang antagonis di sini, tetapi apa yang sudah dilakukan tokohku itu adalah sebuah pemberontakan.

Sebelumnya kuucapkan terima kasih karena kalian telah berkenan membaca cerita ini. Berkat kalian aku bisa hidup kembali, dan berkat kalian juga aku menjadi tahu bahwa hari ini seluruh kota memberitakan kematianku. Koran, televisi, radio, dan semua media-media di kota memberitakan kematianku yang tidak jelas penyebabnya. Banyak yang mengatakan kalau aku tewas bunuh diri, tapi banyak juga yang mengatakan kalau aku tewas dibunuh oleh seseorang. Aku juga tidak tahu pasti penyebab kematianku sendiri; apakah aku tewas karena bunuh diri ataukah ada seseorang yang tega menewaskanku, aku tidak tahu.

Yang aku tahu, kalau saja subuh tadi aku masih hidup, aku akan digiring ke alun-alun kota untuk dieksekusi mati. Tapi belum sempat fajar menjelang, berita kematianku sudah tersebar di seluruh kota, bahkan di seluruh penjuru negeri. Tiang gantung yang seharusnya menjadi tempat aku dieksekusi, hari ini menjadi tempelan berita kematianku.

Aku bersyukur bisa merasakan kehidupan kembali, tetapi entah mengapa hatiku selalu merasa bahwa aku sangat menginginkan kematianku kembali. Aku merasa seperti orang asing yang terus mengembara dari satu cerita ke cerita yang lain hanya untuk mengulangi takdir kematianku. Mengulangi takdir kematian yang masih menjadi misteri. Siapa yang membunuhku? Apakah aku sendiri atau ada orang lain yang membunuhku? 

Sebelum aku mati terbunuh dan hidup kembali, aku adalah seorang penulis ternama yang sudah menerbitkan banyak buku. Tapi setelah negara tahu bahwa aku mengikuti sebuah gerakan yang katanya sangat berbahaya, karya-karyaku langsung menjadi permasalahan negara. Negara menuduh buku-bukuku berisi cerita-cerita yang provokatif dan sangat berlawanan dengan kebijakan negara. Pergerakanku dibatasi dan semua karya tulisku ditarik dari peredaran.

Coba saja kalian datang ke toko-toko buku terdekat, tentu kalian tidak akan menemukan buku-buku yang menurut negara banyak berisi kritikan dan sindiran. Semua buku-buku seperti itu sudah ditarik dari peredaran, dan jika kalian menyadarinya, buku-buku yang dijual di pasaran hanyalah buku-buku yang isinya menjilat-jilat pemerintah. Jijik sekali, bukan? Mungkin negara ingin aku menulis buku yang tidak membahayakan bagi siapa pun, seperti buku resep masakan?

Kalau dipikir-pikir kembali lucu juga apa yang dilakukan oleh negara. Negara menyuruh rakyatnya bekerja, tetapi setelah rakyatnya bekerja dan menghasilkan karya, justru rakyat malah dibatasi gerak-geriknya.

Negara giat sekali menarik buku-buku yang tidak sesuai dengan kebijakannya, tetapi bersikap sebaliknya ketika menghadapi buku-buku bajakan. Buku-buku bajakan bebas berkeliaran di pasaran, termasuk juga buku-bukuku yang tak luput terkena pembajakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab dan hanya mementingkan duit.

Aku jadi teringat ketika dulu masih seorang mahasiswa yang aktif menjadi aktivis literasi di kampus. Aku mengajak teman-temanku sesama penulis dan komunitas-komunitas literasi lainnya untuk mendesak pemerintah membuat undang-undang mengenai hak cipta. Dulu negara sama sekali tidak menghiraukan hak-hak para pekerja seni yang karyanya terus-menerus dibajak. Itulah yang membuatku tergerak untuk segera mendesak pemerintah membuat peraturan terhadap pembajakan karya.

Dan usaha kami tidak sia-sia. Tak berapa lama setelah itu, pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai hak cipta. Meskipun tuntutan kami telah dituruti oleh negara, tetapi rasanya tetap sama saja: negara justru membuat sulit orang-orang yang melaporkan karyanya sendiri.

Mengingat kembali perbuatan negara terhadapku membuatku menjadi merasa tak tenang. Aku menjadi mudah tersulut emosi, bahkan tak segan memukul orang yang membuatku kesal. Seperti beberapa hari lalu ketika aku sedang berjalan terburu-buru dengan secara tiba-tiba ada seorang pengemis yang mencegatku. Pengemis itu mengenakan pakaian yang sangat lusuh dan kotor, entah mungkin karena pengemis itu hanya memiliki satu pakaian saja atau ia berpura-pura mengenakan pakaian yang lusuh agar dikasihani.

Badannya kurus dan kalau berjalan selalu membungkuk. Kepalanya kecil dan lonjong. Di sekitar pipinya ada banyak sekali luka. Setelah pengemis itu berada di dekatku, ia langsung menodongkan tangan kecilnya ke hadapanku. “Tolong, tolong saya, sudah beberapa hari ini saya belum makan. Tolong, tolonglah saya.” katanya memelas. “Saya sudah tidak punya penghasilan lagi, tempat tidur pun hanya beralaskan kardus-kardus bekas. Tolong kasihanilah saya.”

Saat itu bukan aku tidak ingin memberi uang pada pengemis itu, tetapi memang aku sedang tidak memegang uang sama sekali. Lagipula saat itu aku sedang terburu-buru menemui editorku untuk membahas novel yang akan segera diterbitkan. Aku sama sekali tidak menghiraukannya dan terus saja berjalan meninggalkannya.

Pengemis itu terus saja mengikutiku. Ia terus meminta-minta dengan suara memelas. Mungkin jika saat itu kalian berada bersamaku, pasti kalian akan tertawa sekaligus kesal melihat raut mukanya yang dia jelek-jelekkan sendiri.

Karena sudah terlalu kesal dan pengemis itu masih terus saja mengikutiku, aku langsung memberinya pelajaran dengan memukul kepalanya menggunakan ujung ikat pinggangku. Walau hanya sekali aku memukul kepalanya, tetapi setidaknya itu cukup membuat kepalanya memar dan berhenti mengikutiku.

Sedikit cerita, usahaku menjadi seorang penulis seperti sekarang ini banyak sekali kendalanya. Sedari kecil, aku senang sekali menulis­ puisi dan cerita. Tetapi orang tuaku tidak pernah setuju dengan kegemaranku menulis.

Menurut mereka, seorang penulis atau sastrawan tidak pernah mempunyai penghasilan yang tetap. Selain itu–kata orang tuaku–perangai seorang penulis juga sangat buruk di masyarakat. Setiap Ibu melihatku sedang menulis cerita atau puisi, Ibu langsung memarahiku dan merobek-robek kertas hasil tulisanku.

Aku teringat ucapan Ibu dalam kemarahannya, “Penulis itu hidupnya tidak pernah benar. Kerjaannya kalau tidak menulis, pasti mabuk-mabukkan sepanjang malam. Kalau honor baru turun, pasti langsung pergi ke rumah-rumah bordil. Coba kaulihat itu si Chairil Anwar, memangnya kau kira sajak-sajak liarnya itu lahir karena mendapat wangsit dan duduk-duduk di dalam kamar? Ayolah dengarkan Ibumu, belajar saja kau yang benar, agar kelak Ibu melihatmu menjadi pegawai negeri atau setidaknya pekerjaan yang hasilnya meyakinkan!”

Kalau Ibu sudah berkata seperti itu, aku langsung bergegas ke dalam kamar dan mengunci pintu. Menulis cerita tentang Ibu yang berubah menjadi monster menyeramkan yang siap menghalangi dan memakanku jika aku ketahuan ingin mengambil cincin yang dijaganya.

Aku keras kepala. Aku terus saja melanjutkan hobi menulisku hingga akhirnya beberapa karyaku dimuat di berbagai media. Rasa semangat menulisku menjadi meluap-luap, aku menjadi makin produktif menghasilkan karya tulis. Lebih tepatnya setelah Ibu meninggal.

Mengingat sikap negara terhadapku–atau lebih tepatnya terhadap buku-bukuku– mendorong aku untuk menulis sebuah cerita yang bertujuan untuk menyindir segala kebijakan-kebijakan negara. Apa salahnya? Bukankah menulis adalah aktivitas yang berawal dari keresahan? Dan inilah keresahanku.

Walaupun suasana hatiku sedang tidak lagi tenang seperti dulu, tetapi melihat negara yang bersikap seenaknya saja kepadaku tidak akan menyurutkan semangatku untuk menuliskan cerita ini. Mau bagaimana lagi? Hanya menulis yang bisa dilakukan oleh seorang penulis. Kalau aku seorang petinju, mungkin lain lagi apa yang kulakukan terhadap negara.

***

Jujur saja, menjadi seorang tokoh cerita yang menceritakan ceritanya sendiri lebih menyulitkan daripada penulis ceritanya sendiri. Jadi, ya ... mulai dari mana, ya, cerita ini akan saya mulai? Saya kan dilahirkan dengan tiba-tiba oleh penulis saya. Tiba-tiba saja sudah menjadi dewasa dan bisa berbicara. Jadi, mau bagaimana lagi? Karena saya sudah diberikan kelebihan dapat berbicara dan bercerita, mungkin bisa kita mulai cerita ini dari perkenalan tentang diri saya terlebih dahulu.

Salam kenal, saya seorang penulis, atau mungkin bisa disebut juga seorang sastrawan. Entahlah, terserah kalian saja maunya bagaimana, saya kan hanya tokoh cerita. Tetapi di cerita ini saya akan menyebut diri saya sebagai penulis saja, menyandang gelar sastrawan sangat berat bagi saya. Maklum, saya orangnya rendah hati dan sederhana.

Kata penulis saya, semenjak kecil saya itu orangnya senang sekali bercerita dan menulis. Saya adalah orang yang paling ditunggu-tunggu oleh kawan-kawan saya ketika bermain. Biasanya, sehabis bermain kawan-kawan saya selalu menyuruh saya untuk bercerita tentang apa saja sebagai pelipur lara. Bahkan di sekolah pun, saya dijuluki sebagai pembual ulung, karena selalu berhasil mengelabuhi guru dengan berbagai alasan ketika saya telat masuk sekolah. Kata penulis saya sih begitu. Saya menurut saja, wong saya kan tiba-tiba saja langsung dewasa ketika dilahirkan. Jadi, saya tidak ingat dan tidak tahu tentang masa kecil saya.

Ketika sudah menjadi mahasiswa, aktivitas menulis saya semakin menjadi-jadi. Karya-karya tulis saya, seperti cerpen dan puisi sudah banyak dimuat di berbagai media. Beberapa novel saya pun sudah banyak yang dibukukan.

Aduh, kok saya malah jadi pamer. Maaf, ya, bukan maksud saya membanggakan diri, tapi kan saya memang tokoh cerita, kalau saya tidak cerita, lantas bagaimana ceritanya? 

Sebagai penulis yang aktif, saya juga berperan aktif sebagai aktivis literasi. Banyak yang sudah saya lakukan untuk mengembangkan dunia literasi di negara ini; seperti contohnya membangun taman baca di pelosok-pelosok negeri.

Hal lain yang sudah kami lakukan sebagai aktivis literasi adalah menuntut pemerintah untuk mengeluarkan peraturan mengenai hak cipta. Di sini, banyak sekali buku-buku yang dibajak oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Usaha kami pun tidak sia-sia. Tak berapa lama, pemerintah mengumumkan peraturan tentang hak cipta. Walaupun pemerintah telah memberi sanksi yang berat bagi para pelaku pembajakan, tapi tetap saja para pembajak buku masih banyak yang berkeliaran di pasar dan jalanan. Bahkan dari pemerintah sendiri pun terkesan mempersulit para seniman yang melaporkan karya-karyanya sendiri. Termasuk saya yang pernah melaporkan karya-karya saya.

Tahun demi tahun terus berjalan. Buku-buku saya semakin banyak yang diterbitkan dan dicetak ulang. Saya sangat senang sekali, aktivitas menulis saya ternyata membuahkan hasil. Tidak hanya itu, nama saya juga sudah dapat disandingkan dengan nama-nama penulis ternama. Ah, sebagai orang yang sederhana, rasanya tidak pantas saya mendapatkan penghargaan setinggi itu.

Awalnya masih nyaman-nyaman saja. Tapi tak berapa lama setelah itu, negara mencurigai sebuah gerakan baru yang katanya bertujuan untuk melawan pemerintah. Gerakan itu sudah menyebar ke seluruh negeri, pengikutnya pun makin hari makin banyak. Tak terkecuali saya yang juga bergabung dengan gerakan itu, lebih tepatnya bergabung ke dalam bagian seninya. Awalnya saya hanya mengikuti ajakan seorang teman, katanya gerakan itu akan menjadi sebuah gerakan yang sukses. Kalau saya bergabung ke dalam bagian seninya, karya-karya saya akan didukung oleh gerakan, dan pastinya bakal laku. Saya hanya menurut saja, karena tawaran itu sangat menggiurkan bagi seorang penulis muda seperti saya.

Tak membutuhkan waktu lama bagi negara untuk mengetahui bahwa saya termasuk salah seorang seniman yang bergabung dalam gerakan itu. Buku-buku saya kemudian ditarik dari peredaran dan dilarang terbit–dengan tuduhan bahwa buku-buku saya berisi cerita-cerita yang bersifat provokatif dan melawan pemerintah. Tidak hanya itu, rumah saya juga didatangi segerombolan polisi pada suatu malam yang larut. Para polisi itu dengan segera menangkap saya dan membawa saya ke kantor polisi untuk kemudian diinterogasi.

“Anda, kiri atau kanan?” tanya salah seorang polisi yang juga ikut menangkap saya.

“Saya justify, Pak. Kiri-kanan boleh.” jawab saya. “Saya kan hanya seorang tokoh cerita, jadi terserah penulis saya saja mau menaruh saya di mana. Kadang saya di kiri, kadang saya di kanan. Fleksibel.”

“Goblok!” umpat polisi itu sembari menampar saya.

“Goblok!” saya balas menampar.

Kami berdua pun saling goblok-goblokan dan tampar-tamparan.

Setelah sama-sama babak belur dihantam sepi, polisi itu kembali membuka percakapan di antara kami. “Kenapa Anda malah ikut-ikutan menampar saya?”

“Lha, saya kan hanya mengikuti Bapak. Tadi sebelum saya dibawa ke sini, Bapak sendiri yang mengatakan kepada saya, ‘Ayo ikut saya’. Belum sempat saya bertanya hendak ke mana dan mau apa, mulut saya sudah keburu ditutupi lakban. Jadi, siapa yang sebenarnya salah?” Polisi itu tidak menjawab tanggapan saya, tapi ia langsung membawa saya ke dalam sel tahanan. Di dalam penjara, perut saya terus-menerus diberi sisa dan siksa.

Saya lupa berapa tepatnya ditahan di dalam penjara, mungkin sekitar sepuluh tahun. Tapi yang jelas, setelah keluar dari penjara itu, saya tidak memiliki apa-apa lagi, hanya luka dan nyeri yang diberikan polisi sebagai kenang-kenangan. Ya, mau bagaimana lagi? Polisi kan, kerjaannya hanya menangkap saja. Setelah keluar dari penjara, mana ada polisi yang memberi sembako kepada mantan tahanannya.

Saya terlunta-lunta di luar penjara, tidak ada lagi peralatan yang bisa saya gunakan untuk kembali menulis. Buku-buku saya juga tidak kembali lagi ke pasaran, honor saya juga sama sekali tidak ada. Saya menggelandang di jalanan. Mengemis ke sana kemari berharap ada orang yang memberi saya uang untuk makan.

Sebenarnya pada masa-masa sulit itu, saya sempat menerbitkan sebuah buku. Seorang kawan yang juga dulu pernah sama-sama bergabung ke dalam gerakan berkenan meminjamkan mesin tiknya untuk saya gunakan menulis. Saya gunakan kesempatan itu untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama ditahan di dalam penjara. Saya tuliskan kembali apa-apa yang polisi-polisi itu lakukan kepada saya. Saya dipukuli, dipaksa membajak sawah, dan hanya diberi makanan sisa.

Tentu saja demi menjaga jarak aman, saya menuliskan pengalaman saya dalam bentuk fiksi, agar tidak terlalu dianggap nyata. Saya menulis sebuah cerita tentang seorang penulis yang karya-karyanya ditarik dari peredaran dan kemudian ditahan oleh aparat karena bergabung ke dalam sebuah gerakan.

Beruntung ada penerbit yang mau menerbitkan pengalaman saya. Tapi tak berapa lama, buku terbaru saya itu ditarik dari pasaran dengan tuduhan buku itu berisi ajakan-ajakan yang subversif terhadap pemerintah, dan rakyat bisa terprovokasi untuk melawan aparat.

Saya kembali ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini hukumannya lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Saya gagal, saya gagal menjadi penulis. Nama saya sudah di-black list dan dilarang untuk kembali menulis, walaupun itu  hanya sebatas tulisan-tulisan ringan. Semenjak kejadian itu, nama saya dihilangkan dari ingatan. Orang-orang sudah tidak mengingat lagi siapa saya, dan saya sendiri pun dibuat lupa dengan nama saya sendiri. Sekarang saya seperti orang mati yang masih hidup. Saya sudah tidak memiliki identitas lagi, dan semenjak itu saya merasa seperti menjadi orang yang baru.

Saya kembali menggelandang di jalanan, sudah tidak ada lagi uang yang saya pegang. Kerjaan saya hanya mengemis-ngemis di jalanan berharap ada orang yang mau memberi saya uang untuk makan. Tiap malam saya tidur beralaskan kardus-kardus bekas, saya sudah tidak lagi memiliki kasur yang bisa menemani mimpi saya.

Pernah suatu waktu saya berpapasan dengan seseorang yang mirip sekali dengan penulis saya. Dia seorang penulis yang sangat terkenal, buku-bukunya telah saya baca semua. Karya-karyanya berhasil menginspirasi saya untuk menjadi seorang penulis.

Saya berpapasan dengannya di sebuah trotoar. Saat itu dia sedang terburu-buru, entah terburu-buru karena apa. Tapi yang jelas, saya sangat membutuhkan bantuannya. Barangkali dia berkenan memberi saya uang dari sedikit rezekinya. Masa iya, seorang penulis ternama tidak mau membantu seorang pengemis yang kelaparan seperti saya?

Saya hampiri penulis itu dan langsung menodongkan tangan saya ke hadapannya. Ia sama sekali tidak menghiraukan saya, ia terus saja berjalan, dan saya terus saja mengikutinya. Tapi yang kemudian saya dapatkan bukan uang maupun makanan, melainkan sebuah pukulan ke kepala saya. Saya terjatuh dan merintih kesakitan. Tak lama setelah itu, penglihatan saya menjadi buram dan lamat-lamat berubah menjadi hitam.

Saya tersadarkan diri di dalam sebuah ruangan yang saya tahu itu namanya klinik. Saya ditolong seorang pengusaha yang dia tidak mau menyebutkan namanya. Dia memberi tahu saya bahwa dia melihat saya pingsan di pinggir jalan. Kemudian ia menolong saya dan membawa saya ke klinik terdekat. Menurut keterangan dokter, kepala saya tidak ada gejala apa-apa, melainkan hanya memar di bagian dahi. Dokter juga menjelaskan kepada saya bahwa gejala pingsan yang saya alami terjadi akibat kepala saya yang pusing, entah mungkin kerena pukulan itu atau karena saya yang belum makan.

Beruntung pengusaha itu memberikan saya makanan. Akhirnya saya bisa merasakan nikmatnya makan walaupun harus pingsan terlebih dahulu. Pengusaha itu baik sekali, selain memberi saya makan, ia juga menawarkan saya sebuah pekerjaan.

“Bagaimana makanannya, enak?” tanya Sang Pengusaha itu melihat saya makan dengan lahap, “Makan yang banyak, biar cepat sehat. Kalau sudah sehat, saya ingin mengajak Anda untuk bekerja bersama saya. Bagaimana? Apakah Anda bersedia?”

“Terima kasih sebelumnya sudah repot-repot menolong saya.” jawab saya yang masih asyik menikmati sebungkus nasi padang, “Bagi saya semua makanan kalau dimakan ketika lapar rasanya menjadi sangat enak sekali, hehe.

“Oh, iya, kalau soal tawaran bekerja itu, saya sangat bersedia sekali. Kebetulan saya sudah tidak lagi mempunyai penghasilan.” kata saya gembira.

“Anda berlebihan sekali memuji saya, menolong itu kan sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Nah, karena saya masih seorang manusia, sudah barang tentu menjadi kewajiban bagi saya. Saya justru yang senang sekali bisa bertemu orang seperti Anda yang sangat semangat untuk bekerja. Nanti kalau Anda sudah sehat kembali, saya akan segera mengajak Anda untuk mengurusi penjualan buku-buku bajakan yang saya kelola. Bagaimana, Anda bersedia, bukan?”

***

Homunculus. Pernahkah kalian merasa di dalam diri kalian ada semacam penggerak yang mendorong kalian untuk melakukan suatu hal yang tanpa kalian sadari itu berlawanan dengan pikiran dan hati kalian? Entah mengapa setiap aku menulis, apa yang dilakukan tanganku malah menghasilkan sesuatu yang sangat berlawanan dengan apa yang ada di dalam pikiranku. Cerita yang seharusnya begini, malah menjadi begitu. Kalian paham maksudku, kan?

Aku sering kali mengalami hal yang sama setiap menulis. Aku merasa bahwa tokoh ceritaku adalah seorang yang berada di luar diriku, tak bisa kukendalikan. Entah, apakah ini karena aku yang terlalu takut terhadap negara atau tokohku yang dengan sengaja memberontak kepadaku?

Coba, kalian lihat saja tokoh ceritaku itu, dia tidak melakukan perannya sesuai dengan skenarioku. Bukankah premis awalnya tokohku akan berhasil melawan pemerintah dan sukses menjadi penulis ternama? Tetapi mengapa akhirnya ia malah menjadi seorang pembajak buku? Lalu di mana letak kritikannya jika ceritanya seperti itu? Dan apa bedanya dengan buku-buku yang ada di pasaran sana yang isinya menjilat-jilat pemerintah?

Berani sekali tokohku itu. Rupanya dia ingin menjadi musuh penulisnya sendiri. Aku tak tahu siapa yang antagonis di sini, tetapi apa yang sudah dilakukan tokohku itu adalah sebuah pemberontakan.

Sekarang aku merasa ada sesuatu yang asing yang berada di dalam diriku dan mendorongku untuk membunuh tokoh ceritaku sendiri. Aku tidak tahu apa alasannya. Aku menyebutnya homunculus, sesuatu yang kecil yang berada di dalam diriku tapi tidak benar-benar aku, dan sesuatu yang asing itu dapat mengendalikan diriku.

Baiklah, aku akan membunuh tokohku sendiri. Entah bagaimana caranya aku akan membunuh tokoh ceritaku sendiri. Membunuh Sang Pemberontak itu.

Menulis semakin membuatku pusing. Mungkin dengan menghentikan tulisanku sejenak dan jalan-jalan keluar rumah akan membuatku lebih tenang. Aku masih memiliki banyak waktu, tak perlu terburu-buru. Mungkin sesuatu yang asing di dalam diriku akan menuntunku agar aku dapat membunuh tokoh ceritaku dengan lebih tenang.

***

Goblok sekali penulis saya itu. Dia yang membuat cerita, tapi dia juga yang ingin membunuh saya. Gobloknya dua kali, karena dia juga tidak memberi saya nama. Saya dibiarkannya bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Saya dikenal di dalam cerita sebagai orang tanpa nama. Padahal kan, saya seorang penulis yang seharusnya mencantumkan nama pada karyanya sendiri. Aneh.

Saya bingung, sebenarnya saya itu siapa? Apakah saya adalah saya, atau saya adalah aku? Lalu siapa yang akan dibunuh oleh penulis saya itu? Apakah saya, ataukah aku? Sungguh, saya bingung dan tidak tahu.

Terlepas dari itu semua, sekarang usaha saya semakin berkembang. Saya berhasil membuka toko buku bajakan saya sendiri. Semua itu berkat bantuan Sang Pengusaha yang baik hati sekali itu. Saya tidak tahu jika saya tidak bertemu dengan pengusaha itu, mungkin saya tidak akan menjadi pengusaha sukses seperti sekarang ini.

Sudahlah, syukuri saja. Sekarang saya sudah berhasil memiliki rumah sendiri, tepatnya bekas rumah saya yang dulu disita para polisi. Tapi tak apa, toh uang saya juga sudah banyak. Jadi, membeli rumah hanya seperti membeli jajanan bagi saya. Penghasilan yang saya miliki sekarang ini, berbeda sekali dengan penghasilan saya ketika dulu masih menjadi seorang penulis. Memang sih, saya dulu penulis ternama yang karyanya banyak dibaca, tapi tetap saja honornya tidak terlalu seberapa dengan penghasilan saya sekarang ini.

Oh iya, kalau membicarakan soal penulis saya itu, saya pernah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu ketika Satpol PP sedang mengadakan razia. Saya bertemu dengannya setelah saya kabur dari kejaran Satpol PP. Kami berpapasan di sebuah gang kecil yang terpencil di sebuah kompleks perumahan.

Ia memandang saya dengan heran, sambil berkata, “Sepertinya kita pernah bertemu dan saling mengenal?” tanyanya membuka percakapan.

“Memang, saya tokoh cerita yang Anda tulis.” jawab saya sekenanya.

“Oh ... oh ya ... aku baru ingat ...,” kata penulis saya yang bicaranya seketika menjadi gugup. “hendak apa kau ke mari?”

“Saya hendak kabur dan sembunyi dari cerita.”

“Kok sama, aku juga hendak kabur dan sembunyi dari negara.”

“Hahaha, kita memang gila, ya?”

Setelah percakapan kami membisu beberapa lama, kami mulai bisa mengerti satu sama lain. Percakapan kami selanjutnya pun lancar dan mengalir. Sesekali saya mendapati tingkahnya yang begitu aneh, atau memang semua penulis itu memiliki tingkah yang aneh? Entahlah. Tapi yang jelas, saya melihat penulis saya itu seperti ingin membunuh saya. Setiap ingin membunuh saya, penulis itu selalu bertingkah aneh, seperti orang yang ketakutan. Kalau sudah begitu, pandangan matanya seperti orang yang mencari sesuatu dan setelah itu badannya menggigil ketakukan.

Walaupun sesekali tingkahnya aneh dan mengundang kecurigaan, tapi obrolan kami terus saja berjalan sampai kemudian saya pamit undur diri dan pulang. “Titip salam, ya, buat rumahmu. Semoga lain kali kita bisa bertemu.” ujarnya.

***

Rasa takut. Pernahkah kalian merasa takut dan terancam? Ah, mana ada orang yang tidak memiliki rasa takut?

Suara itu. Suara yang mengancamku akhir-akhir ini, tepatnya setelah aku berniat membunuh tokoh ceritaku sendiri. Mungkin bagi sebagian penulis, mudah saja untuk mematikan tokohnya sendiri. Tapi aku? Mengapa aku sulit sekali untuk mengakhiri cerita yang kutulis sendiri?

Mungkin jika hanya sebuah suara biasa, aku tidak akan takut. Tapi kalimat dari suara itu sangat bernada ancaman. Ditambah lagi suara itu tidak jelas dari mana datangnya dan siapa yang menyuarakannya. Suara itu terus berulang-ulang dan membuat kepalaku stres. Stresku semakin parah ketika aku semakin dekat dengan kematian tokohku.

“Angkat tangan! Serahkan segala pena dan tinta! Atau kau memilih untuk kami bunuh!”

Suara itu sangat terdengar jelas dan dekat. Tapi mengapa tak juga kutemukan orang yang mengancamku itu? Gila. Aku bisa gila. Kucoba keluar rumah, tapi suara itu tak juga menghilang. Bahkan, ketika aku sempat berpapasan dengan tokohku di depan rumah, suara itu masih terus terdengar di telingaku dan semakin tegas ketika aku sesekali mencoba untuk membunuh tokoh ceritaku. Lagi-lagi suara itu kembali terdengar.

“Angkat tangan! Serahkan segala pena dan tinta! Atau kau memilih untuk kami bunuh!”

Tidak, ini tidak akan kubiarkan. Aku harus nekat dengan apa pun yang akan terjadi nantinya. Aku harus menyelesaikan ceritaku. Cerita ini tidak boleh digantung begitu saja.

Tidak ada cara lain selain membunuh tokohku. Aku harus membunuhnya walau nyawaku sebagai taruhannya. Dan benar saja, tepat ketika aku telah memvonis mati tokohku, ada sesuatu yang menancap dalam punggungku; seperti sebuah peluru yang berhasil menghentikanku, menghentikan semuanya.

***

Saya tidak pernah berpikir bahwa saya ini nyata, hidup, dan memiliki hasrat. Sebetulnya bagi saya, harta yang melimpah ruah ini tidak berarti bagi saya. Tapi tak saya kira, ternyata dengan harta ini saya bisa mendapatkan kebahagiaan.

Menjadi penjual buku bajakan memang tidak terlalu seberapa keuntungannya, apalagi jika suatu waktu terkena razia dan saya ditangkap kembali oleh polisi. Dan kekhawatiran saya terbukti, saya kembali berhadapan dengan segerombolan polisi di sebuah razia. Tepatnya pada sebuah malam larut, tujuh hari lalu. Saya tertangkap basah oleh para polisi patroli di sebuah rumah bordil. Saya disidang dan divonis mati oleh pengadilan setempat. Namun sayangnya negara tidak mengenali saya sebagai penjual buku bajakan, tetapi saya dikenali negara sebagai seorang bandar narkoba dan seorang pembunuh.

Saya tidak tahu mengapa saya disebut sebagai pembunuh. Tapi jika saya disebut sebagai bandar narkoba, saya memang benar-benar seorang penjual sekaligus bandar narkoba. Menjual buku bajakan memang sebuah pekerjaan yang menjanjikan, tetapi saya membutuhkan sebuah pekerjaan baru yang bisa menghidupi saya ketika sewaktu-waktu toko buku bajakan saya dipaksa tutup. Dan karena itulah, saya memilih untuk menjadi seorang bandar narkoba, lebih tepatnya bandar sabu. Sebuah pekerjaan yang sangat menguntungkan, sehingga saya dapat membeli bekas rumah saya sendiri.

Tetapi untuk soal membunuh, saya berani bersumpah, seumur-umur saya sama sekali tidak pernah membunuh seseorang. Dan dengan alasan apa pengadilan menuduh saya sebagai pembunuh? Apakah karena selama ini saya seorang yang misterius dan tidak memiliki identitas?

Pengadilan menyebut bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian seorang penulis terkenal. Saya benar-benar tidak tahu. Tetapi menurut bukti yang tertera di kamera CCTV milik kediaman korban, tamu terakhir yang mengunjungi rumahnya adalah saya. Saya orang terakhir yang menemui korban sebelum tewas tertembak sore itu.

Saya menyangkal semua yang dituduhkan hakim kepada saya. Tetapi beragam bukti terus saja dilontarkan. Menurut keterangan saksi, yang juga salah seorang tetangga korban, penulis itu bertingkah laku aneh saat sedang mengobrol bersama saya. Dan saya dianggap telah meracuni penulis saya itu. Saya kembali menyangkal, tetapi berbagai tuduhan terus saja menyerang saya. Saya hanya bisa pasrah, saya hanya bisa diam mendengarkan, saya sudah dibungkam.

Tuduhan selanjutnya lagi yang saya dengar adalah bahwa saya memang pantas dianggap sebagai pembunuh. Mengingat rekam jejak saya yang pernah bergabung dalam sebuah gerakan kiri, saya memang orang yang pantas jika disebut sebagai pembunuh.

Kepala saya semakin pusing. Hidup rasanya tidak adil pada saya. Perlahan saya memejamkan mata ketika sayup-sayup terdengar suara ketukan palu hakim menjatuhkan vonis bahwa saya benar-benar pelakunya.

Saya terbangun di sebuah ruang perawatan tahanan. Kepala saya masih terasa sedikit pusing. Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Saya kembali mengingat tuduhan hakim kepada saya, saya dituduh sebagai pembunuh.

Memang beberapa kali keinginan untuk membunuh penulis saya muncul dalam kepala saya. Saya selalu menganggap bahwa ketidakadilan dalam hidup saya, disebabkan karena penulis saya. Hidup saya menderita. Dan terkadang saya menganggap bahwa penulis saya adalah pemerintah yang berlaku tidak adil pada saya. Hidup saya telah direkayasa oleh negara, hidup saya benar-benar telah direkayasa oleh penulis saya sendiri.

Tetapi meskipun saya menganggap penulis saya sebagai musuh saya, saya benar-benar tidak pernah membunuh penulis saya sendiri. Karena saya tahu, jika saya membunuh penulis saya sendiri, itu sama saja saya membunuh diri saya sendiri. Dan kalau benar penulis saya sudah mati, mengapa saya masih hidup sampai saat ini?

Saya yakin pasti ada suatu sesosok orang asing yang menghubungkan antara saya dan penulis saya. Atau apa selama ini sayalah yang menjadi orang asing itu? Saya sebenarnya tidak pernah ada, penulis saya pun tidak pernah ada. Semua ini hanyalah sesosok orang asing yang saya tidak tahu siapa, tapi saya dapat merasakan sendiri.

Sesosok asing yang sewaktu-waktu dapat membunuh saya dan juga dapat menghidupkan penulis saya. Dan saya benar-benar tahu isi kepala orang asing itu. Saya benar-benar mengenalnya, dan juga saya benar-benar tidak mengenalnya. Dan sekarang saya benar-benar ingin membunuh diri saya sendiri.

Saya ingin membunuh diri saya sendiri dan saya benar-benar tidak membunuh diri saya sendiri. Semua tergantung pada orang asing itu. Kepala saya semakin pusing, perut saya terasa mual, dan saya benar-benar ingin membunuh diri saya sendiri.

Saya menaruh prasangka bahwa orang asing itu adalah kalian. Ya, kalian, pembaca cerita ini. Mungkin terdengar sampah melibatkan pembaca di dalam sebuah cerita. Tetapi saya yakin kalianlah tokoh antagonis dalam cerita ini. Meskipun saya tidak benar-benar tahu bagaimana dunia di dalam cerita ini berjalan, tapi saya selalu tahu, antara penulis dan tokoh cerita selalu dihubungkan oleh pembaca. Dan semua pembunuhan yang terjadi dalam cerita ini telah direncanakan oleh kalian saat pertama kali membaca cerita ini. Kalian adalah saya, kalian adalah penulis saya. Dan saya benar-benar tidak ada, penulis saya benar-benar tidak ada. Dan kepala saya semakin pusing, saya semakin ingin membunuh diri saya sendiri.

Saya ingin membunuh diri saya sendiri. Saya tidak ingin mati karena dihukum gantung, saya ingin mati dengan cara terhormat. Saya ingin membunuh diri saya sendiri.

Saya ingin membunuh diri saya sendiri. Saya ingin ... membunuh ... diri saya ... sendiri. Saya ... ingin ... membunuh ... diri ... saya ... sendiri.

Oktober, 2021

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya 1. Sarmin Membeli Kulkas
0
0
Sarmin berhasil membeli kulkas dari uang hasil tabungannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan