
Cerpen ini saya tulis setahun yang lalu dalam rangka mengikuti lomba menulis cerpen spesial Hari Kemerdekaan.
Catatan 1
5 Agustus 2021
Hari masih siang ketika kompleks perumahanku dikejutkan oleh suara sirene ambulan yang meraung-raung di jalanan. Suara sirene itu makin mendekat dan tak berapa lama telah terparkir rapi di depan rumahku. Aku tahu siapa yang akan dijemput oleh ambulan itu.
Para dokter yang ada di dalam ambulan itu semuanya mengenakan pakaian APD lengkap. Salah satu dari mereka menghampiriku dan langsung mengajakku untuk segera masuk ke dalam ambulan. Setelah semua perlengkapanku siap, aku pun langsung masuk ke dalam ambulan dan dibawa ke Wisma Atlet, tempat penanganan pasien Covid-19.
Ini sebuah pengalaman yang menyedihkan bagiku. Aku yang di hari-hari kemarin masih merasa sehat dan bugar, hari ini napasku terasa bagai irama detakan jantung; cepat dan sesak sekali. Tubuhku pun terasa sangat lemah, bergerak sedikit saja rasanya sudah seperti orang yang sedang berlari berkilo-kilo meter.
Anggota keluargaku menyarankan aku untuk segera dites PCR. Memang sangat mahal harganya. Aku tak tahu bagaimana keluargaku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Awalnya aku menyarankan untuk dites antigen saja yang biayanya lebih murah, tetapi keluargaku tetap menyarankan aku untuk dites PCR. Ya, sudah, mau bagaimana lagi, aku menurut saja. Demi kesehatan, katanya.
Aku sudah mengira bagaimana hasilnya. Pagi tadi, setelah menunggu waktu selama tiga hari, aku dikabari bahwa hasil tesku dinyatakan positif. Kemudian siang harinya pihak rumah sakit langsung menjemputku untuk segera dibawa ke Wisma Atlet yang ada di Senayan untuk segera mendapatkan perawatan secara intensif.
Rumahku tidak terlalu jauh dari Wisma Atlet, karena itu perjalanan kami pun tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah sampai di Wisma Atlet, aku tidak segera dibawa ke dalam kamar pasien. Semua kamar sudah terisi penuh. Aku sangat berharap cemas, napasku sudah tidak bisa terkontrol lagi. Bagaimana jika nanti aku mati konyol hanya karena tidak mendapati kamar kosong?
Setelah memakan waktu hampir tiga jam lamanya menunggu di halaman luar, aku pun akhirnya mendapatkan kamar kosong yang letaknya di lantai paling atas. Sebenarnya tidak terlalu kosong-kosong juga, karena di dalamnya ada seorang pasien yang umurnya sudah sangat tua. Hal itu tidak mengherankan bagiku, karena di sepanjang lorong menuju kamarku tadi, kulihat banyak sekali pasien-pasien yang sudah renta umurnya, walaupun tidak sedikit juga pasien-pasien yang masih muda.
Kata dokter, aku harus dikarantina selama paling cepat dua minggu. Itu berarti, pada hari kemerdekaan nanti aku masih berada di Wisma Atlet ini. Sungguh, empat belas hari itu waktu yang cukup lama bagiku, setidaknya bagi yang sudah berkeluarga.
Walaupun hanya aku yang positif, tetapi keluargaku juga harus tetap menjalani isolasi mandiri di rumah. Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka setelah meninggalkan rumah. Semoga kalian tetap baik-baik saja, ya. Kita saling berdoa dan terus menyemangati.
Di sini segalanya terasa berjalan lambat. Detik-detik jam terasa sangat lama. Hanya satu yang berjalan cepat, yang tidak lain dan tidak bukan yaitu adalah napasku. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Napas saja harus dilakukan secara manual, lupa bernapas sedetik saja, dada langsung terasa sakit sekali. Beruntung napasku masih bisa dibantu dengan tabung oksigen.
Ketika sakit, semua terasa sangat berharga. Tak salah bila ada adagium yang mengatakan bahwa sehat itu mahal. Kita tidak bisa membeli sehat, tapi kita hanya cukup bersyukur dengan segala yang ada. Dan rasa syukur itu akan terasa sekali ketika Allah memberi kita rasa sakit. Dan bukankah begitu sifat seorang manusia?
***
Catatan 2
10 Agustus 2021
Sudah lima hari aku dikarantina di Wisma Atlet ini. Kalau dikatakan bosan, tentu saja aku sangat bosan. Tidak ada keluarga yang bisa diajak bercanda, tidak ada teman yang bisa diajak bermain, dan tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain berbaring. Ah, aku rindu itu semua.
Beruntungnya, di sini setiap pagi selalu diadakan olahraga senam pagi bagi para pasien, dan itulah satu-satunya acara yang paling kutunggu. Karena setelah senam, acara akan dilanjutkan dengan hiburan bagi para pasien. Hiburannya pun bermacam-macam; kadang ada artis yang sengaja didatangkan untuk sekadar bernyanyi, dan kadang ada dari pasien yang dengan sukarela menyumbangkan nyanyiannya. Dalam keadaan seperti ini, hiburan sekecil apa pun akan sangat berpengaruh bagi kesehatan, tak terkecuali bagi para tenaga kesehatan.
Berbicara mengenai tenaga kesehatan, bagiku tidak ada kata yang tepat untuk mengucapkan rasa terima kasihku kepada mereka. Tak terbayang olehku bagaimana perjuangan mereka dalam merawat pasien-pasiennya. Rasa rinduku terhadap keluarga di rumah masih belum seberapa dibandingkan para nakes yang sudah berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Para nakes itu sudah kuanggap sebagai pahlawan abad ini.
Awalnya aku cukup naif menghadapi pandemi ini. Aku mengira bahwa tubuhku akan aman-aman saja dari virus corona, karena toh selama ini aku sehat-sehat saja. Aku terus saja beraktivitas seperti biasanya, protokol kesehatan pun hanya sebatas formalitas belaka. Tak kupikir bagaimana perasaan para keluarga yang menjadi korban dari pandemi ini. Hingga akhirnya aku disadarkan dengan cara yang tak diduga-duga. Aku menjadi bagian dari korban positif Covid-19. Baru kurasakan sekarang, bagaimana perasaan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarganya, para nakes yang terus berjuang sepanjang siang dan malam hanya untuk menjaga para pasien yang bahkan belum dikenal sebelumnya.
Hidup ini memang selalu menyimpan berbagai rahasia dan kejutan. Yang semula berada di atas tiba-tiba menjadi berada di bawah. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalaninya dengan terus berdoa dan bersabar. Pandemi ini telah menyadarkanku, bahwa manusia akan terus diuji dengan berbagai kejutan guna meningkatkan kualitasnya sebagai seorang manusia. Manusia yang menang dari ujian bukanlah mereka yang kaya hartanya, tapi mereka yang memiliki kekayaan dan kejernihan hati dengan beribu-ribu kesabaran. Dan aku berharap, aku termasuk dalam bagian yang kedua itu. Semoga saja.
Jujur, aku tidak bisa melakukan aktivitas apa pun selama dikarantina di Wisma Atlet ini. Berjalan saja napasku sudah ngos-ngosan, bergerak sedikit saja dadaku rasanya seperti ditusuk pisau, sakit sekali. Jadi, selama lima hari ini aku hanya berbaring, tengkurap, menulis, berbaring, tengkurap, dan menulis. Itu saja. Menulis catatan sudah cukup menghibur bagiku. Sedari kecil aku sudah terbiasa untuk selalu menulis diari. Ya, walaupun tidak selalu setiap hari, tapi itu cukup untuk membuatku menjadi siswa yang berprestasi dalam bidang bahasa.
Sesekali aku mengobrol dengan pasien tua di sebelahku itu, beliau seorang kakek-kakek yang sudah berumur 89 tahun. Kakek itu memperkenalkan dirinya bernama Sabarudin, berasal dari Bukittinggi dan sekarang menetap di Jakarta. Beliau senang sekali ketika aku datang ke kamar ini. Akhirnya ada teman mengobrol, katanya ketika waktu pertama kali kami berkenalan.
Mungkin karena tahu aku senang menulis, tanpa kuminta dan kutanya, Pak Sabarudin (begitu kupanggil beliau) langsung bercerita penuh semangat tentang kenangannya di masa lampau ketika bergerilya mempertahankan negara.
Pak Sabarudin adalah seorang veteran perang pada masa setelah kemerdekaan. Beliau menceritakan pengalamannya ketika dulu mengikuti ayahnya dan para tentara yang berada di bawah komando Mr. Syafruddin Prawiranegara.
***
Pada akhir tahun 1948, Kota Yogyakarta—yang saat itu menjadi ibu kota negara Indonesia—berhasil dilumpuhkan lewat Agresi Militer Belanda II. Sontak, itu membuat para petinggi negara seperti Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi cemas setengah mati. Apa lagi ketika mendengar Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta ditahan oleh pasukan Belanda.
Tak membutuhkan waktu lama, Mr. Syafruddin langsung membuat Pemerintahan Darurat Indonesia dan segera melakukan gerilya guna menghindari serangan-serangan yang diluncurkan oleh pasukan Belanda. Mendengar hal itu, ayah Sabarudin tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam perjuangan.
Umur Sabarudin masih berusia 16 tahun ketika mengikuti ayahnya bergerilya di dalam hutan. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi dengan negaranya saat itu, yang ia tahu hanyalah mengikuti ayahnya karena di rumah sudah tidak ada apa-apa lagi; rumahnya habis terbakar, sedang ibunya sudah lama pergi ke alam kubur.
Berhari-hari, berbulan-bulan, Sabarudin terus membantu ayahnya dan para pasukan membawakan senjata, kadang sesekali ia ditugaskan sebagai kurir pembawa surat dan rantang. Sudah banyak kota dilaluinya, mulai dari Bukittinggi, Halaban, Padangpanjang, Solok, Bukittinggi lagi, dan terus berkeliling ke seluruh wilayah di Sumatera Barat.
Hari-hari Sabaruddin tidaklah selalu selamanya buruk. Setiap gerombolan pasukan beristirahat, ia selalu bertemu dengan bunga yang sangat indah. Bunga yang dilihatnya itu lain daripada yang lain. Bunga itu bisa berbicara, cantik pula rupanya. Namanya Zuriati, bunga cantik yang menjadi perawat para pasukan gerilya.
Setiap melihat Zuriati, Sabarudin bagai burung yang terbang melayang di alam bebas. Namun sayang, bunga itu belum mekar sempurna. Bunga itu masih membutuhkan beberapa waktu lagi untuk bisa dipetik dari tangkainya, dan Sabarudin sangat tahu hal itu. Ia hanya bisa memetiknya di alam mimpi.
Perjuangan yang sangat berat membuat Sabarudin menjadi remaja yang lebih cepat dewasa. Setelah berbulan-bulan bersembunyi dari hutan satu ke hutan yang lain, hari yang tak diinginkannya tibalah juga. Ayah Sabarudin mati tertembak tepat di ulu hatinya. Sebenarnya, ayahnya masih sempat ditolong dan dirawat oleh Zuriati. Namun sayang, maut tak kenal kompromi, ayah Sabarudin mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan Zuriati dan meninggalkan Sabarudin yang sebatang kara.
Itulah yang menjadi alasan bagi Sabarudin untuk tetap bertahan dalam perjuangan. Ia ingin membalaskan dendam ayahnya sekaligus berjuang mempertahankan negara yang dicintainya. Sabarudin menjadi orang yang tak kenal takut, dan itulah yang selalu dibanggakannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah melewati berbagai proses yang panjang, lewat perundingan Roem-Rojen, Indonesia berhasil dikembalikan ke suasana semula; bebas dari segala serangan.
Meskipun cukup pahit, akhirnya Mr. Syafruddin Prawiranegara mengembalikkan mandat negara ke Presiden Soekarno. Itulah hari-hari yang selalu diingat oleh Sabarudin karena tidak hanya Indonesia yang gembira, hari itu Sabarudin pun memberanikan diri untuk melamar Zuriati.
Singkat cerita, mereka merantau ke Jakarta, sebuah kota metropolitan, berharap dapat hidup yang lebih layak. Namun malang bagi Sabarudin, tak lama setelah itu, tepatnya setahun setelah reformasi, Zuriati meninggal dunia. Sabarudin sangat merasa kehilangan, ia harus merawat anak-anaknya seorang diri di kota yang baru dikenalnya ini. Namun, bukan Sabarudin namanya, kalau tidak sabar menghadapi segala ujian. Ia ingat perjuangan-perjuangan yang telah dilakukannya demi mempertahankan negara ini. Sabarudin selalu sabar melewati segala badai yang dilaluinya, termasuk kini, ketika terbaring lemah di ruang perawatan pasien covid.
***
Aku terharu sekaligus bangga mendengar cerita Pak Sabarudin yang sangat ikhlas dalam berjuang. Aku menjadi merasa malu di hadapannya. Apa yang sudah kulakukan selama ini? Hari ini kondisiku pun sangat lemah di ranjang pasien. Hari-hariku selalu kuisi dengan menulis segala yang ada di kepala. Apakah menulis bisa dianggap sebagai bagian dari kontribusi terhadap negara? Aku tak tahu. Tapi yang kutahu, segala apa yang sudah kulakukan pasti tidak akan sia-sia, sekalipun itu hanya menulis.
Pernah aku membaca sebuah artikel di internet, ada seorang pemuda yang merekam suaranya ketika sedang membaca buku. Ia jadikan rekaman itu sebagai audiobook dan membagikannya kepada anak-anak tunanetra agar terus belajar. Dan yang mengagetkanku, ternyata pemuda itu kondisinya sedang sakit ketika membuat audiobook itu. Aku terharu, ternyata masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk membantu negeri ini, meskipun dalam keadaan lemah.
***
Catatan 3
17 Agustus 2021
Hari ini hari kemerdekaan negaraku, dan aku masih dikarantina di Wisma Atlet ini. Ingin sekali rasanya aku mengakhiri segala penderitaan ini. Bebas beraktivitas ke sana kemari tanpa takut akan tertular. Pandemi ini memang melumpuhkan semuanya, tapi kita masih punya harapan yang tak akan pernah lumpuh. Dan, harapan itu masih akan terus ada, bukan?
Aku teringat cerita Ayahku tentang perjuangan dr. Cipto Mangunkusumo menghadapi wabah pes yang saat itu melanda Hindia Belanda. Ayah bercerita bahwa dulu pada tahun 1910 sedang terjadi wabah yang sangat mengerikan di Eropa sana, Black Death namanya. Wabah Black Death yang ada di Eropa sana terus menyebar ke berbagai negara, tak terkecuali wilayah Asia dan Hindia Belanda khususnya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu masih menjajah Indonesia, sangat pilih kasih dalam menangani rakyatnya yang terkena wabah. Rakyat pribumi dibebani dengan biaya pengobatan yang mahal harganya, bahkan pemerintah kolonial tak segan-segan membakar rumah-rumah warga pribumi yang terkena wabah. Sedangkan, bagi warga asli Belanda yang terjangkit virus diberi fasilitas pengobatan dengan harga gratis. Melihat semua itu, membuat dr. Cipto Mangunkusumo geram dengan pemerintah Hindia Belanda.
Cipto Mangunkusumo langsung bertindak cepat menangani wabah pes itu. Ia pergi ke Malang, yang saat itu menjadi tempat awal penyebaran virus. Ia seakan masuk ke kandang macan dengan tanpa menggunakan sedikit pun pelindung diri. Ia sudah pasrah. Niatnya hanya satu, membantu sesama saudara sebangsa untuk segera bebas dari segala penderitaan.
Keberhasilan dr. Cipto dalam menanggulangi wabah pes membuat Ratu Wilhelmina menganugerahi sebuah bintang penghargaan Ridder in de Orde van Oranje Nassau bagi orang-orang yang berjuang di bidang kemanusiaan. Namun penghargaan itu tidak membuat dr. Cipto Mangunkusumo bangga dan tinggi hati. Ia taruh penghargaan itu di pantatnya agar semua orang Belanda menghormati pantatnya.
Aku selalu mengingat cerita tentang dr. Cipto itu. Keberaniannya dalam menghadapi kekejaman pemerintah kolonial dan kesabarannya dalam berjuang membantu sesama saudara sebangsa. Dan cerita itu sangat terasa sekali ketika aku merasakannya kini.
Hari ini tepat hari kemerdekaan negaraku. Hari ini juga, kondisi Pak Sabarudin semakin lemah. Beliau dibawa ke ruang ICU untuk segera dirawat dengan lebih intensif. Tapi, sebelum Pak Sabarudin meninggalkan kamar kami, beliau meninggalkan pesan yang amat mendalam bagiku. “Tolong jaga negara ini. Saya sudah lelah, sekarang tinggal orang-orang seperti kamu yang akan meneruskannya. Saya tidak tahu apakah saya masih diberi kesempatan untuk hidup, tapi saya sangat berharap dengan orang-orang seperti kamu.”
Mendengar itu, tanpa sengaja air mataku menetes. Entah mengapa, hatiku kali ini sangat ingin menangis. Indonesia memang sudah merdeka, tapi kemerdekaan itu masih berada di depan pintu gerbang. Kita masih belum sepenuhnya merdeka.
Pesan Pak Sabarudin kepadaku sangat membekas di hati dan pikiran. Pesan itu membuatku terdorong untuk terus bergerak dan memberikan kontribusi bagi negara ini, meskipun hanya sebatas menulis. Terima kasih, Pak. Kesabaranmu mengajarkan segalanya bagiku.
***
17 Agustus 2024
Pagi-pagi sekali teleponku sudah berdering dengan riang menyuruhku untuk segera mengangkatnya.
“Halo Kakek, ayo cepat kemari, Kek. Kalau kesiangan sedikit saja, jalanan akan segera penuh.” ujar seseorang yang ada di telepon itu.
“Iya, ini Kakek sedang mengenakan pakaian. Sebentar lagi Kakek berangkat. Kamu sudah sarapan belum?” kataku sambil mengenakan pakaian.
“Sudah, Kek, alhamdulillah makanannya enak.”
“Hahaha ... kamu tuh kalau sudah bicara soal makanan, pasti langsung semangat. Sudah ya, Kakek mau siap-siap dulu, kamu juga!”
“Siap, Kakekku tercinta!” aku terkekeh mendengarnya, “Oh iya, Kakek jangan lupa ya ....”
“Jangan lupa apa?” aku bertanya kebingungan.
“Tuh kan, Kakek lupa. Pokoknya Kakek jangan ngomong sendiri kalau sudah di sini. Imajinasi Kakek kan kuat. Jadi, Kakek jangan malu-maluin Pak Presiden!”
“Hahaha, kamu tuh bisa saja bikin Kakek tertawa. Tenang, selagi Kakek tidak merasa kesepian, Kakek tidak akan bicara sendiri seperti dulu lagi.”
“Sip, deh. Sampai nanti, Kek!
Klik, telepon ditutup dan percakapan berakhir.
Aku sudah sangat bersiap untuk hari ini, karena hari ini adalah hari yang sangat spesial bagiku. Cicitku, yang tadi berada di telepon itu, terpilih menjadi pasukan Paskibraka di Istana Merdeka. Namanya Zuriati, bunga cantik yang sengaja kupilih sesuai dengan nama nenek buyutnya.
Hari ini juga aku dan kawan-kawan veteran lainnya diundang oleh presiden untuk menghadiri upacara kemerdekaan. Inilah hari yang sangat kutunggu-tunggu. Aku sudah sangat siap dengan upacara hari ini. Di bagian depan pakaian veteranku sudah terpasang sebuah lencana, lencana itu bertuliskan sebuah nama. Dan itu adalah namaku: Sabarudin. Aku siap untuk hari ini.
Tangerang, Agustus 2021
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
