Memori Pantai Batulayar | 02 | Lesser Sunda Island

2
0
Deskripsi

Pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat dengan selamat di Bandar Udara Internasional - Kota Praya Lombok.

Kalau mendengar kata “Sunda” pasti yang ada di pikiran kalian adalah nama suku yang ada di belahan Pulau Jawa bagian barat. Tapi ternyata yang dimaksud dengan istilah Lesser Sunda Island bukan itu. Lesser Sunda Island adalah julukan untuk deretan kepulauan kecil yang terdapat di jajaran kepulauan Nusa Tenggara. Kepulauan yang membentang dari pulau Bali sampai Nusa Tenggara Barat hingga Nusa Tenggara Timur. Deretan kepulauan kecil tersebut dijuluki sebagai Kepulauan Sunda Kecil dalam kamus Archipelago Indonesia.

Pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat dengan selamat di Bandar Udara Internasional - Kota Praya Lombok.

Suasana, hawa dan atmosfer yang berbeda langsung dapat kurasakan. Udara pulau Lombok yang masih segar, jauh sekali berbeda dari udara di ibukota yang sudah setiap hari polusi menjadi makanan paru-paru sehari-hari.

Terdapat perbedaan waktu antara Lombok - Jakarta, waktu di Lombok satu jam lebih cepat. Jadi kalau di Lombok sudah jam 3 sore, di Jakarta masih jam 2 siang.

Ada banyak calo-calo transport yang bertebaran di bandara, banyak orang-orang lokal yang jadi berlomba jadi guide lalu mencari tamu agar bisa mendapat komisi entah dari hotel atau dari restoran dari turis yang dibawa olehnya. Dan ya namanya juga pulau wisata, siapapun yang mendarat di tempat ini pasti disangka turis. Termasuk diriku yang langsung dikerubutin oleh orang-orang berbadan gelap tersebut.

Tiba-tiba ada yang serta merta menarik tasku untuk mengajakku ikut masuk ke mobilnya (padahal belum nego harga), katanya sih murah, tapi tetap saja aku harus menolaknya secara baik-baik. Karena uangku hanya cukup untuk melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus shuttle bandara. Aku pun membeli tiket bus di loket resmi yang ada di bandara.

`

Singkat cerita—setelah melalui dua jam perjalanan darat—bus yang kutumpangi dari bandara pun akhirnya tiba di sebuah halte di sebuah daerah yang bernama kawasan wisata Senggigi.

Aku langsung menghubungi seorang kenalanku yang bernama pak Made, aku berkenalan dengannya lewat media sosial online. Untungnya sekarang zaman sudah serba sudah maju, bayangkan kalau sekarang kita masih bertelponan menggunakan telepon koin (sepertinya anak kelahiran tahun 2000 tidak akan mengenal yang namanya telepon koin). Pak Made adalah seorang warga lokal Lombok keturunan suku Bali, ia punya kos-kosan di daerah kampung Batulayar yang dekat dengan kawasan wisata Senggigi. Aku sudah memesan untuk menyewa kamar di kosannya.

Lanjut cerita, dari halte bus lantas aku menuju ke alamat yang diberikan pak Made dengan berjalan kaki, karena kulihat di map lokasinya tidak jauh juga dari tempatku turun.

Sepanjang jalan terdapat kios-kios kecil yang menawarkan jasa untuk turis. Lagi-lagi banyak yang mengira kalau aku turis jadi semua orang pada menawarkan hotel dan berbagai akomodasi padaku. Tapi sudah kubilang kalau aku bukan turis. Mereka semua cukup ramah, walaupun mereka kerap tertawa menyindirku, ‘tampang anak Jakarta’ yang nyasar di tanah yang asing. Harusnya orang kemari buat libur, ini bukannya libur, refreshing, malah mau peras keringat.

Bagi orang lokal, anak Jakarta itu dianggapnya semua keturunan sultan. Karena yang ada di bayangan mereka, di Jakarta itu apa-apa serba mahal, kalau bukan orang kaya tidak mungkin bisa tinggal di Jakarta.

`

Share location melalui gadget memang akan sedikit kurang akurat apalagi kalau sudah masuk ke gang-gang kecil. Tapi tidak sulit untuk bertanya kepada penduduk lokal karena mereka ramah dan baik hati. Ini bukan DKI Jakarta yang banyak copet di mana-mana.

Hanya saja kebanyakan dari orang sini bicara dengan bahasa asli daerah, jarang sekali yang berbahasa Indonesia, orang-orang tua bahkan kelihatannya kesusahan bicara dengan bahasa Indonesia. Ini berasa sedang berada di pedalaman Rancaekek tapi bedanya yang ini dengan suasana pantai. Tapi ya lebih baik diajak bicara dengan bahasa daerah walaupun kita saling berbalas dengan senyuman dan bahasa tarzan ketimbang dikira turis padahal aslinya dompet tirus.

Kosan pak Made ternyata ada di sebuah Dusun yang bernama Batududuk. Dusun adalah sub-bagian atau istilahnya lingkungan yang menjadi bagian dari sebuah kampung atau daerah pedesaan.

Di dalam gang dusun yang kumasuki terlihat deretan rumah-rumah bagus yang berisi kamar-kamar yang disewakan menjadi indekos. Nampak jelas perekonomian warga setempat hidup karena imbas sektor pariwisata.

Banyak pendatang sepertiku yang bekerja di kawasan wisata Senggigi ini menyewa indekos di gang tersebut. Indekos yang kusewa di tempat pak Made bisa dibilang adalah yang harganya paling terjangkau. Walaupun begitu Indekos yang disewakan di sekitar tempat wisata memang tidak bisa dibilang murah, kalau mau mencari kosan yang murah adanya di kota Mataram, tapi jaraknya jauh dari tempatku bekerja.

Aku memilih kosan pak Made karena tempatnya yang paling bersih dan sangat nyaman. Ada kamar mandi di dalam, satu buah meja belajar, lemari kecil dan disediakan kasur juga. Ketimbang aku harus memilih bilik petakan mengenaskan yang hanya selisih sedikit saja di bawah dari harga yang ditawarkan pak Made. Karena tetap saja harganya masih tergolong mahal untuk model kamar yang mengenaskan apalagi kosongan tidak ada perabot apa-apa. Jadi buatku tidak apa memang lebih mahal sedikit saja yang penting nyaman.

`

Akhirnya, aku pun bertemu dengan sang tuan rumah, lelaki berkulit gelap berusia 40-an yang punya nama panjang I Made Prama Astika. Tubuhnya terlihat tegap dan gagah. Lelaki tersebut akrab dipanggil bli Made, sesuai panggilan suku Bali kepada laki-laki yang lebih tua. Sebenarnya Bli itu sendiri artinya kakak.

Selain bisnis indekos, bli Made juga punya warung yang biasa menjadi tempat anak-anak indekos pada nongkrong. Istrinya yang bernama Ni Ketut Ayu Kusmini, biasa kami panggil Mbok Mini, umur 34 tahun masih muda dan sangat cantik yang selalu berjaga di warung. Dalam bahasa Bali, mbok juga artinya panggilan kakak untuk perempuan. Dua orang anak mereka semua sekolah di Bali, yang paling sulung baru masuk kuliah.

“Silahkan nak Revi, ini kamarnya.” tunjuk bli Made. Kemudian aku pun diserahkan kunci kamar kos.

“Makasih bli.” ucapku.

Setelah itu aku hendak beristirahat, hari masih sore. Aku belum punya rencana untuk ke mana-mana. Kuperhatikan sekelilingku, kosan ini adalah kosan yang campur antara cowok dan cewek. Banyak gadis-gadis yang berpakaian mini dan serba terbuka, seperti tanktop dan hotpants. Mungkin karena faktor iklim tropis. Udara panas pantai memang beda dengan udara panas di perkotaan.

Cowok-cowok di sini juga bodinya keren-keren, bodi cowok yang tidak besar lebay tapi berbentuk, bodi yang tercetak garis-garis otot yang kencang dan liat, cetakan bodi anak pantai. Karena faktor lingkungan pantai, udara bersih, olah raga pasti hal yang rutin dilakukan setiap hari oleh mereka.

Tidak ada cowok yang bodinya kurus begenk mengenaskan seperti bodiku ini. Aku jadi malu parah kalau telanjang dada di sini.

`

`

“Eh, ayo makan dulu nak Revi.” tiba-tiba mbok Mini datang dan membawakan sepiring makanan untukku, aku terkejut sekali.

“Mbok, aduh … nggak usah repot.” ucapku.

“Ah, nggak apa-apa ini udah tradisi, hari pertama siapapun anak kos pasti kita sambut seperti ini biar mereka betah.” kata mbok Mini. “Nanti ngopinya di warung mbok ya, tenang aja, buat hari pertama kopinya gratis koq. Sekalian nak Revi kenalan sama tetangga-tetangganya biar saling tau. Di sini budayanya gitu, semua harus saling kenal biar jadi kayak keluarga.”

“Mm— makasih … mbok …” ucapku.

Mbok Mini pun kemudian meninggalkanku, ia kembali ke warungnya.

Aku pun langsung terharu, air mataku tiba-tiba bercucuran begitu saja. Baru kali ini aku jadi menangis sampai sesenggukan karena sebuah perasaan terharu.

Semua itu hanya karena sepiring nasi?

Ya! Karena … saudaraku, tanteku, pamanku—semua orang-orang yang katanya kaya raya, punya rumah bagus, pekerjaan hebat tapi tidak ada yang pernah mempedulikan makan mamaku yang notabene saudara kandung mereka apalagi aku yang cuma keponakan. Tapi orang asing yang baru saja kukenal, dia begitu saja membawakan sepiring nasi untukku.

Mana tuh … orang-orang yang kemarin bilang aku gila? Aku bakal terlantar? Nggak ada saudara? Nggak ada sesiapapun? Baru hari pertama udah dapat bu kos rasa sodara.

Sumpah, baru kali ini aku makan sambil bercucuran air mata karena tangisku yang tak kunjung berhenti setiap aku menyendok nasi yang kusuap ke mulutku. Aku juga tak henti-hentinya mendoakan orang yang beda agama denganku itu, dalam setiap sendok nasi yang kutelan dalam tubuhku.

Makanan yang disajikan padaku adalah nasi dengan sayur kangkung yang dibumbui sambel terasi. Kangkung Lombok sangat unik, bentuknya batangnya besar-besar dan warnanya lebih muda, beda dengan kangkung jawa. Aku baru mencicipi cita rasa masakan Lombok yang tak kusangka ternyata pedasnya bukan main.

`

`

Selesai makan aku ke warung mbok Mini untuk memulangkan kembali piringnya. Warung mbok Mini terletak di bagian paling depan pekarangan dekat pintu masuk kos. Tempatnya terbuat dari bambu-bambu, suasananya asik buat duduk-duduk, makan, ngopi, ngemil jajan. Apalagi sambil menikmati udara terbuka angin pantai selalu berhembus sejuk di kawasan Senggigi.

“Eh, nak Revi kenapa? Kepedesan yaa? Owalah, lupa tanya, doyan pedes apa ndak.” kata mbok Mini. Sepertinya mbok Mini juga memperhatikan wajahku yang memerah dan mataku yang sedikit bengkak karena baru saja menangis.

“Oh, nggak koq mbok, enaak … enak bangeeet … sueer.” ucapku.

Hahahahaha—” semua orang di warung pada terawa nyaring begitu melihatku.

“Ini makanan khas sini namanya pelecing kangkung.” kata mbok Mini.

Pelecing adalah bumbu sambal terasi khas Lombok yang pedasnya mampus dan nggak tanggung-tanggung, dijamin mules sampai upside down.

Kemudian lanjut aku disuguhkan dengan secangkir … eh, tidak … lebih tepatnya segelas (bukan pakai cangkir tapi pakai gelas kecil) kopi hitam yang nampaknya sangat teramat kental bukan main bahkan aromanya pun sangat tajam terhirup. Rupanya kopi yang bijinya disangrai dan giling sendiri.

Akhirnya sambil mencicipi kopi yang hitamnya lebih gelap dari nasib dan hidupku di Jakarta. Di warung itu aku juga mulai berkenalan dengan beberapa sesama penghuni kos. Ternyata kebanyakan adalah para pendatang sama sepertiku, mereka juga bekerja di Cafe, Hotel dan restoran yang ada di kawasan wisata Senggigi. Jadilah secangkir (ralat: segelas) kopi tersebut terasa bagaikan kopi dengan hitamnya kehidupan tapi dipermanis dengan kentalnya persahabatan.

Malam hari sebelum tidur, kukabari mamaku, mengatakan kalau aku baik-baik saja agar beliau tidak khawatir. Tentunya aku akan rutin untuk mengabari mamaku mengenai keadaanku.

Kehidupan baru ku pun akan segera dimulai.

Sebuah petualangan dan cerita baru dalam kehidupanku.

Selamat tinggal kota Bekasi, selamat tinggal Jakarta. Selamat tinggal seluruh kehidupan lamaku.

==

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Memori Pantai Batulayar | 03 | Sebuah Pertemuan di Perantauan
1
0
Pertemanan di antara para penghuni indekos ternyata sangatlah kompak, begitu akrab, tidak ada pilih-pilih teman, sama sekali tidak memandang latar belakang, agama, suku, ras bahkan sampai jenis kelamin sekalipun. Apalagi mengingat kami adalah sesama warga pendatang yang bukan warga asli Lombok, yang sama-sama mengais rejeki sebagai pekerja pendatang di tanah Lombok ini. Aku mendapat kenalan dua orang cewek yang kemudian menjadi teman akrab ku di sini.==
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan