
“Jadi, kami membentuk tubuh kami seperti ini … ya karena kami suka aja, ini sesuatu yang merupakan keinginan dan impian kami.” Selly menyambung pembicaraannya. “Terserah bagaimana kamu mau menyebut kami. Karena … ya kami punya kesenangan ya seperti ini. Kami cowok dan kami crossdresser. Kami senang menjadi wanita—sama seperti kamu—tapi … kami melakukannya dengan sesuatu yang katakan saja … lebih.”
“Lebih nekat! … lebih sensasional! … lebih segala-galanya!” Yolanda langsung menyambung kata-kata Selly dengan tegas dan penuh antusias.
Kembali lagi ke masa sekarang–––Di sebuah rumah yang terletak di sebuah kawasan perumahan di daerah ibu kota–––Di dalam sebuah kamar, nampak dua orang yang sedang asyik bersenda gurau, saling bercanda-canda di depan cermin dengan kata-kata yang genit dan manja. Mereka sedang bersiap-siap untuk berdandan secantik mungkin dan menyiapkan pakaian yang seksi dan anggun untuk dipakai malam ini. Kedua orang tersebut adalah yang kini sudah kita kenal sebagai Lano dan Erik. Mereka berdua baru saja selesai berdandan.
“Lu jadi pakai baju yang mana say?” tanya Erik.
“Hm … malam ini, harus yang … agak seksi dikit lah, beb.” balas Lano. “Seksi tapi elegan, fancy, chic and stylish.”
“Hmm …” Erik mengerlingkan matanya sambil tersenyum.
Lano lantas menyiapkan untuk dirinya; kaus tanktop halter-top, dan bawahan rok mini berbahan jeans. Sementara Erik menyiapkan; kaus atasan model sabrina, rok rample sepaha, dengan lapis dalaman stocking pantyhose. Tidak lupa juga berbagai aksesoris kewanitaan seperti anting, gelang, dan pastinya sepasang sepatu sendal high-heels, sebagai alas kakinya. Keduanya memakai rambut wig yang panjang sepunggung. Erik memakai yang warna coklat kemerahan dan Lano memakai yang warna coklat gelap.
Seperti biasa Erik selalu lengkap dengan breast form dan hips pad-nya untuk menunjang penampilan bentuk bodinya. Sementara, Lano cukup hanya mengenakan pakaian dalam biasa, tampil apa adanya, karena dia sudah cukup percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Mereka berdandan meriah, glamor, dan secantik mungkin. Apalagi sekarang mereka juga sudah rutin melakukan perawatan kulit wajah dan tubuh, supaya kulit lebih bersih dan cerah. Mereka bahkan membeli sebuah produk alat, laser portable untuk perontok bulu, supaya kulit mereka lebih mulus. Semua itu demi memaksimalkan penampilan. Pokoknya mereka benar-benar semakin serius menggeluti hobi unik yang satu ini.
Malam ini mereka punya rencana untuk pergi clubbing alias pesta malam, atau biasa juga disebut dugem. Sebelumnya, mereka check in terlebih dahulu di sebuah hotel yang tidak jauh dari tempat clubbing. Setelah membereskan semuanya, mereka pun lanjut langsung menuju ke lokasi club tempat dugem.
Di club tersebut, mereka ada janji untuk ketemuan dengan tiga orang kenalan baru. Awalnya mereka semua berkenalan lewat dunia maya alias media sosial. Setelah cukup lama saling berchatting-chattingan akhirnya mereka semua pun janjian untuk mengatur ketemuan.
Sebelum-sebelumnya, Erik dan Lano belum pernah bergaul dengan sesama rekan crossdresser lain di luar sana. Mereka bisa dibilang sangat tertutup, tidak pernah terpikir untuk bergabung dengan komunitas tertentu apalagi kopdar dengan crossdresser lain. Selama ini mereka cukup nyaman berdua saja, media sosial online pun hanya sebatas untuk cari sensasi—tidak lebih dari itu. Padahal sudah banyak friend list di akun medsos mereka—yang notabene sesama crossdresser—mengirim chat untuk mengajak berkenalan tapi tidak pernah mereka hiraukan. Baik Erik maupun Lano, keduanya sangat selektif dalam memilih teman.
Namanya juga dunia maya, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Karena pada kenyataannya tidak semua yang mengaku crossdresser itu adalah para penyuka fashion dan beauty enthusiast, banyak juga para lelaki maniak seks penyuka sesama lelaki yang menyusup dan mengatas namakan diri mereka sebagai crossdresser. Tidak semua orang mengartikan crossdresser seperti mereka mengartikannya.
Begitu sampai di club, akhirnya Lano dan Erik pun bertemu dengan tiga orang kenalan mereka. Mereka adalah; Selly, Karin dan Yolanda. Walaupun pastinya itu bukan nama asli, melainkan hanya nama panggilan yang dibuat untuk mewakili identitas feminim masing-masing. Seperti halnya Erik yang memakai nama Erika, dan Lano yang memakai nama Elena.
Mereka semua sudah saling mengetahui satu sama lain dari foto masing-masing di akun medsos. Namun kali ini—saat bertatap muka langsung—baik Elena maupun Erika, keduanya pun sama-sama terdiam dan terpaku memandang. Terpana, kagum, bercampur heran, karena ketiga orang yang ada di hadapan mereka sekarang ini sungguh tiada nampak seperti laki-laki, sedikitpun. Ketiga temannya itu jika dilihat benar-benar layaknya wanita sungguhan.
Bukan hanya karena riasan wajah mereka benar-benar rapih dan flawless bak artis selebriti, akan tetapi raut wajah mereka pun nampak benar-benar raut wajah yang feminim. Sangat nyaris tiada nampak sedikit pun gurat-gurat wajah lelaki. Apalagi kulit tubuh mereka juga benar-benar putih, cerah, mulus, glowing sempurna. Pakaian yang mereka kenakan boleh dibilang cukup bahkan sangat berani. Dress model spaghetti strap tank top, ketat dan ngepress body, panjangnya sepangkal paha, dengan bagian dada yang terbuka rendah disangga oleh tali bahu yang sangat tipis. Baju seksi tersebut memang sangat cocok dengan mereka, karena didukung oleh tubuh yang ramping, kencang dan berisi, pinggul mereka juga sangat jelas membentuk lekuk tubuh yang bohai. Anggun, cantik, seksi dan sangat menggoda.
Ketiga orang itu jauh lebih pantas disebut bidadari ketimbang lelaki berpakaian wanita.
Pandangan Elena pada mereka bertiga kemudian lantas tertuju pada bagian dada, begitu pula dengan Erika. Pakaian yang terbuka rendah pada bagian leher sampai dada itu menampilkan sepasang gumpalan bulat kenyal yang terlihat munjung dan menggemaskan, terdorong ke atas oleh pushbra yang dikenakan, membentuk sebuah cleavage—alias belahan dari sepasang bukit kembar. Dilihat dari sudut mana pun juga, buah dada yang kenyal itu terlihat alami. Sangat jelas sekali kalau itu bukan buah dada palsu atau breast form seperti yang Erika kenakan. Gumpalan daging menggemaskan itu merupakan bagian dari anggota tubuh si pemiliknya. Jelas itu adalah … payudara asli.
‘Suntik hormon? Atau … mungkin juga implan silikon.’
‘Lho, tapi … katanya kan mereka … crossdresser. Apa mereka ini waria … tapi ngakunya, crossdresser?’
‘Bukankah yang namanya waria itu, mereka yang dari awal kejiwaannya memang sudah merasa dirinya ‘wanita’? Buat apa lantas merasa diri mereka sebagai crossdresser? Crossdresser kan jelas lelaki yang sadar sebagai lelaki dan hanya mewanitakan dirinya untuk sementara itu pun secara penampilan dan fashion. Apa iya, sampai ada yang nekat ke tahap mengubah fisik?’
‘Mungkin aja ada waria yang masih menganggap dirinya, crossdresser? Atau, mungkin jaman sekarang akhirnya muncul suatu perbedaan baru? Ada waria sejati, dan ada juga waria jadi-jadian? Atau waria situasional?’
Suara batin Elena dan Erika bersahut-sahutan, berbicara sendiri menyimpan rasa penasaran dari pertanyaan di dalam pikiran masing-masing.
“Eh, koq malah jadi bengong?” sahut Selly. “Yuk kita cari tempat duduk di lounge aja, biar lebih bebas ngobrol-ngobrol.” ajaknya.
Lantas, mereka berlima pun kemudian reserve table di VIP lounge. Di lounge tersebut ada tempat yang disebut round table. Area khusus yang dibatasi dengan sekat-sekat yang terdapat tirai yang bisa ditutup, agar lebih privasi. Mejanya berbentuk lingkaran, kursi sofa melingkari meja yang ada di tengahnya. Kapasitasnya bisa maksimal untuk delapan orang duduk melingkar.
Awalnya, mereka hanya mengobrol-ngobrol santai sembari menikmati minuman dan makanan ringan. Obrolan seputar dunia kecantikan dan fashion. Lama kelamaan, obrolan mulai menyerempet juga sedikit demi sedikit ke arah obrolan-obrolan nakal.
“Eh, kalian … udah pernah nyoba jalan sama cowok belum?” tanya Yolanda kepada Erika dan Elena.
“Jalan sama cowok? Gue bukan homo lah ya.” kata Erika membalas.
“Ya siapa bilang lu harus jadi homo?” timpal Karin. “Kan cuma cari sensasinya aja.”
“Iya, cari sensasinya aja … cari laki-laki girang, laki hidung belang, buat diporot-porotin. Seru tuh.” kata Selly.
“Hwakakaka—” ketiganya lantas tertawa ngakak.
“Jadi lu semua … pernah nge-date sama laki gitu?” tanya Elena.
“Iya.” jawab Yolanda.
“Tunggu … emangnya, kalian ini … suka cowok?” tanya Elena.
“Bukan gitu say, ini tuh cuma buat bersenang-senang aja.” jawab Selly.
“Iyaa … pokoknya syaratnya harus mau belanjain sama ngasi uang jajan. Kalau nggak ya ngapain, kita nggak mau diajak gratisan gitu.” sambung Karin.
“Kalo cowoknya memperlakukan kita dengan royal, nggak pelit, ya boleh lah … nanti kita kasih servis.” kata Selly.
“Servis kayak gimana? Lagian, emang ada cowok normal yang demen sama crossdresser?” tanya Elena yang polos.
“Ah, lu sih belum tau aja, say. Di luar sana, banyak cowok-cowok, lelaki hidung belang yang mau aja melakukan apa aja, yang penting bisa mendapatkan sentuhan crossdresser.” balas Selly.
“Jadi … kalian pernah sampai bercinta juga sama cowok?” tanya Elena.
“Ooh, kalau itu sih, kita sebenarnya nggak memberi servis sampai ke sana.” balas Selly.
“Kecuali … yaa, kalau bayarannya cocok … bisa dibicarakan sih.” timpal Yolanda.
Selly dan Karin mengangguk tanda setuju dengan yang diucapkan Yolanda.
“Mahal?” tanya Elena dengan polos.
“Ya harus mahal doonk, onderdil kita juga kan mahal.” timpal Karin.
“Kalau mo yang murmer, cari cewek ori aja. Paling tiga lembaran merah udah bisa full servis.” kata Yolanda.
“Kalau sama kita sih jangan harap.” sambung Karin.
“Beda kualitas, beda tarif.” sambung Yolanda sambil cekikikan.
“Jadi kalau dari sisi kepuasan seksual, kalian lebih ke mana? Cewek? Cowok?” lagi-lagi Elena bertanya dengan polosnya.
Selly, Karin dan Yolanda saling bertukar pandang di antara mereka. Kemudian mereka cekikikan bertiga.
“Kalau itu sih … sulit dijelaskan.” kata Selly. “Tapi … sebelum gue menjelaskan lebih lanjut mengenai hal itu—”
Sepasang bola mata Selly sedari tadi sudah menangkap ke mana arah pandangan mata Elena yang sesekali terang-terangan mencuri pandang. Tiba-tiba dia pun lantas berpindah duduk persis ke samping Elena. Diraihnya tangan Elena, lalu tanpa tedeng aling-aling ditempelkannya tepat di atas payudaranya.
Elena pun lantas terkejut. Dia refleks menarik tangannya kembali. Tapi, sensasi rasa melalui sentuhan beberapa detik barusan itu, langsung termemori dalam pikirannya. ‘Empuk, kenyal, rasanya benar-benar asli.’ Elena bicara pada dirinya sendiri.
“Hehehehe … daripada cuma dilihatin, kalau penasaran bilang donk.” kata Selly.
“Ii—itu? … sun–tik … hormon?” ucap Elena dengan spontan.
“Iya.” jawab Selly dengan entengnya.
“Jadi maksudnya, kalian tadinya crossdresser, tapi sekarang kalian beralih jadi waria … gitu?” tanya Elena.
“Hahahaha—” ketiga orang itu lagi-lagi tertawa terbahak bersamaan.
“Mm—Maaf, gue bukan bermaksud nggak sopan,” kata Elena.
“Nggak apa-apa, daripada penasaran ya lebih baik tanya langsung kan?” balas Selly. “Oke … biar gue jelaskan.” kedua bola mata Selly nampak menerawang, pikirannya mencoba merangkai kata. “Jadi … ya, sebenarnya sih, kami … bisa dibilang yaa, nggak juga seratus persen waria sih.” ucap Selly sambil menoleh ke Karin dan Yolanda. “Tapi, mungkin kalau pengertian kamu adalah … hmm—, aduh gimana ya enaknya jelasinnya …” Selly belum bisa menemukan rangkaian kata yang tepat.
“Ya, okelah sudah, iya … sebut aja kami waria.” sahut Yolanda yang nampak tidak ingin ambil pusing.
“Tunggu Yo, kita harus jelaskan, biar mereka nggak salah kaprah.” timpal Karin.
“Hm, oke … oke …, jadi begini.” Selly kemudian berusaha kembali menjelaskan. “Mungkin kami bukan seperti yang orang-orang bilang. Waria dalam artian; transgender atau transeksual—kalian tau kan istilah; ‘orang yang merasa lahir di tubuh yang salah’. Tidak … kami bukan yang seperti itu. Kami … berbeda.”
Erika dan Elena terdiam untuk menyimak.
“Jadi, kami membentuk tubuh kami seperti ini … ya karena kami suka aja, ini sesuatu yang merupakan keinginan dan impian kami.” Selly menyambung pembicaraannya. “Terserah bagaimana kamu mau menyebut kami. Karena … ya kami punya kesenangan ya seperti ini. Kami cowok dan kami crossdresser. Kami senang menjadi wanita—sama seperti kamu—tapi … kami melakukannya dengan sesuatu yang katakan saja … lebih.”
“Lebih nekat! … lebih sensasional! … lebih segala-galanya!” Yolanda langsung menyambung kata-kata Selly dengan tegas dan penuh antusias.
“Tunggu … kalian, bukan waria … tapi kalian nekat menyuntik hormon? Kalian sampai nekat melakukan sejauh itu??” tanya Elena yang masih bingung.
“Ya, pokoknya ini keinginan kami.” kata Karin.
“Intinya, kami melakukan ini karena ingin bersenang-senang.” kata Selly.
Baik Elena maupun Erika sama-sama terheran-heran. Tidak pernah terpikirkan, jika di dunia ini ada seseorang yang saking terobsesinya dengan crossdressing sampai nekat berbuat sesuatu terhadap tubuhnya. Tapi sekarang, nyata-nyata ketiga orang itu ada di hadapannya.
“Baiklah, jadi intinya, kalian … suntik hormon hanya untuk bersenang-senang? Dan dengan begini, kalian mendapat kepuasan seperti yang kalian inginkan?” tanya Elena.
“Iya … begitulah.” jawab Karin. “Karena, ya … gimana ya? Pokoknya, sensasinya itu lhoo!”
Selly lantas semakin mendekatkan posisi duduknya dan merapatkan tubuhnya pada Elena, dia merangkul pundak Elena kemudian berkata sambil menatap Erika juga yang duduk persis di sebelah Elena. “Jadi begini … kenikmatan kita itu … ya di sini.” Kali ini Selly meraih tangan Elena dan membawanya hingga menyentuh bagian yang sangat privat.
Elena terkejut bukan main dengan apa yang baru saja tak sengaja teraba oleh telapak tangannya. Selly baru saja menunjukkan dengan jelas apa yang dimaksudkan olehnya adalah sesuatu benda panjang dan besar yang berada di antara kedua kakinya—di balik kain dress yang dikenakannya.
“Selain hasrat dan keinginan untuk bisa punya tubuh dengan sepasang gunung kembar yang gelayutan di dada, kemudian pinggul yang melebar keluar, pantat yang berisi, tapi—” Selly mendekatkan bibirnya hingga menempel di daun telinga Elena. “Kami suka dengan tetap memiliki senjata laras panjang kami yang masih pada posisinya, dan dapat digunakan setiap saat jika dibutuhkan.”
Elena terkejut mendengar apa yang dituturkan Selly tentang ‘senjata laras panjang’.
“Mungkin kalian akan sulit mengerti. Karena, memang kedengarannya tidak lazim.” kata Karin.
“Tunggu … kalian, pakai hormon, tapi … senjata kalian masih bisa perkasa?” tanya Erika.
“Alat vital kami tetap aktif koq, hanya produksi testosteronenya saja yang berkurang, hal itu disebabkan karena pengaruh hormon wanita yang lebih mendominsi.” terang Yolanda. “Tapi itu bukan masalah besar, lagipula siapa yang butuh testosterone? Kita nggak ada keinginan buat hamilin cewek. Kesenangan kita ya seperti ini aja. Yang penting tetep bisa ngaceng, crot dan enak.”
“Yaa … memang sih waktu awal-awal baru mulai pakai hormon sih sempat loyo. Tapi jangan khawatir, itu normal, karena itu memang bagian dari proses.” kata Selly. “Setelah tiga bulan—biasanya begitu payudara mulai tumbuh, dosis hormon anti-androgen mulai bisa dikurangi. Nanti bagian bawah itu kembali aktif dengan sendirinya koq, dan bahkan lebih galak dari sebelumnya.”
“Iya, udahannya langsung nagih tuh. Ya kan ibarat kayak habis baru selesai puasa panjang, si anu malah jadi tambah beringas pas bangun lagi.” kata Karin.
“Iya, benar tuh apa yang dikatakan Karin,” sambung Yolanda. “Justru setelah itu, nafsu seksual kami malah jadi berlipat ganda bahkan bisa dibilang hampir tidak ada batasnya.”
Karin menyambung, “malah dengan tubuh kami yang sekarang, seks jadi sesuatu yang berkali lipat jauh lebih meng-asyikkan. Kami bisa main sama cewek, bisa main sama cowok. Pokoknya, memiliki tubuh cewek itu benar-benar sangat luar biasa lho. Apalagi punya ini nih … payudara.” ucapnya sambil membusungkan dadanya sebagai aset kebanggaannya. “Puting payudara kami, sekarang rasa sensitifnya jadi berlipat ganda semenjak hormon. Disentuh sedikit saja … nikmat tiada tara. Terlebih lagi, sekujur tubuh, jadi lebih banyak spot-spot rangsangan. Banyak kulit-kulit tipis yang memiliki saraf-saraf sensitif sekarang jadi berkali-kali lipat jauh lebih sensitif dari sebelumnya.”
“Orgasme juga terasa lebih nikmat, bisa sampai berkali-kali.” timpal Yolanda.
“Ya, oke … baiklah, gue ngerti. Jadi kesimpulannya sih, ya kalian hanya ingin memiliki sebagian tubuh wanita demi untuk kenikmatan seksual kalian. Gitu kan?” kata Elena.
“Oh iya, nah itu … kalian akhirnya mengerti. Iya, karena kenikmatan utama kami ya ada di sini, senjata laras panjang yang ada di antara kaki kami ini.” ucap Yolanda.
“Kesimpulannya … kami tidak butuh seratus persen jadi wanita seperti para transgender, kami tidak butuh operasi kelamin.” balas Selly. “Kami hanya ingin memiliki bagian-bagian tubuh yang kami inginkan agar mendapatkan kesenangan yang kami butuhkan.
Sejenak mendengar cerita-cerita ketiga waria itu, Elena malah seperti terhipnotis membayangkan banyak hal-hal erotis yang dilakukan oleh mereka bertiga. Elena sendiri sebenarnya juga sudah pernah menonton video-video porno transeksual. Waria-waria dengan tubuh wanita yang sempurna, payudara besar, pinggul lebar, wajah cantik feminim, namun yang ada di bawah sana—senjata laras panjang, tongkat sakti, meriam maut—benda kenikmatan lelaki mereka masih bergelantung pada posisinya.
Sedangkan Erika, entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi apa yang disaksikannya malam ini, merupakan sesuatu yang sangat baru dan mengejutkan baginya sepanjang sejarah dia mengenal dunia crossdressing hingga hari ini.
“Terus … kalian nggak takut ada resiko apa gitu ke depannya, imbasnya terhadap tubuh kalian? Hormon kan zat kimia yang bukan barang mainan.” tanya Erika. Mengkonsumsi hormon tentu saja pasti bukan semudah seperti mengkonsumsi vitamin. Itu adalah zat kimia yang perlu resep dengan dosis yang tepat, dan harus dikonsumsi dibawah bimbingan dan pengawasan ahli medis profesional—dalam hal ini harus ada konsultasi dengan seorang dokter spesialis.
“Ah, ikuti aja rekan-rekan senior yang udah pada berpengalaman. Kalau mereka baik-baik aja, nih buktinya kita juga baik-baik aja.” jawab Yolanda dengan enteng.
“Tunggu, tetap saja ini artinya … kalian, udah bukan cowok normal lagi donk. Jadi ya … secara fisik, sudah sama aja seperti waria kan.” kata Erika lagi.
“Ah, masalah normal atau tidak ya silahkan artikan dan kembalikan pada diri masing-masing.” balas Selly. “Kalian berdua juga sama aja, udah nggak bisa dibilang sepenuhnya cowok normal. Walaupun fisik kalian masih normal.” kata Selly lagi.
“Kalo lu berdua cowok normal, ngapain lu pada berkeliaran keluar dengan wujud rupa layaknya wanita? Iya kan? Cowok pake rok, pake makup, masih ngaku normal? Situ waras?” sahut Karin.
“Ya, pokoknya intinya, sekarang kami punya tubuh yang sempurna, sesuai dengan keinginan kami.” ucap Yolanda.
“Iya, kami telah mendapatkan kenikmatan yang kami inginkan.” sambung Karin.
“Eh, kamu sama Erika … apa nggak tertarik untuk mencoba?” tanya Selly.
“Coba aja yuuk, tiga bulan aja. Kalau merasa nggak cocok ya kamu bisa berhenti koq.” Yolanda juga turut menimpali.
“Asik lho, punya tubuh cewek. Masa ga pengen sih?” Karin ikut menyahut.
Elena dan Erika pun hanya terdiam kikuk dan saling pandang.
“Hahahaha—, ya udah sih santai aja. Itu kan pilihan kalian. Masing-masing orang kan terserah toh nyamannya gimana?” kata Selly. “Mau jadi waria terserah, cuma crossdresser biasa juga terserah. Sesuaikan aja dengan goals dan fantasi masing-masing.”
Elena tak habis pikir, ‘bagaimana mungkin seorang lelaki crossdresser mengkonsumsi hormon dan menjadi waria hanya untuk sekedar bersenang-senang?’ Pembicaraan yang terjadi barusan itu justru menimbulkan semakin banyak pertanyaan di dalam benaknya.
Selly dan kawan-kawan awalnya adalah contoh kasus laki-laki normal yang terjerumus pergaulan menjadi waria, padahal pada dasarnya mereka tidak benar-benar mempunyai kejiwaan wanita dalam diri mereka.
Dari kecil mereka tumbuh sebagaimana anak lelaki yang normal, baru setelah menginjak usia dewasa mereka mengenal yang namanya berlintas busana alias crossdressing. Berawal dari sekedar mencoba-coba berpakaian sebagai wanita, namun kemudian … pengaruh dari pergaulan, hasrat seksualitas, juga banyak faktor lainnya—membawa obsesi mereka akan kecantikan semakin tak terkendali. Dan akhirnya, pil hormon pun mulai mengubah segala-galanya dalam hidup mereka.
“Hahaha, udah yuk ah … ga usah terlalu berlarut-larut dipikirinnya. Udah, ayo kita minum-minum …” suara Selly membuyarkan lamunan Elena.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
