Bagian 3

1
1
Deskripsi

Yang patah hatinya belum selsai, wajib banget baca kisah Jewa Maharani dan Juni di sini 😊😊

Biar patah hati kalian cepat selesai 😉😉

Gerimis berhamburan membarengi langkahku menuju Kampoeng Roti—bangunan menjulang berbentuk persegi panjang yang bangunan depannya berwarna hitam yang menjadi ciri khasnya. Bangunan tersebut meyisahkan satu lantai bawah yang menarik mata karena desain lampu bolam kuning yang menyala menghadirkan suasana nyaman dan kalem. Di samping itu, letakknya berada di Andalusia Square—salah satu tempat terkenal di kota pudak. Jadi siapa pun pasti mengenal tempat itu.

Sampai di sana, aku langsung mendorong pintu kaca. Aroma wangi roti panggang bisa dipastikan membuat siapa pun lapar perut. Karena memang di sanalah surganya pecinta roti dan pecinta gula.

Interior yang didominasi rak bambu pun semakin menarik perhatian. Berbagai jenis roti penggoda mata menghuni di setiap rak display yang terbuat dari bambu. Begitu juga dengan nampan untuk meletakkan roti. Tersedia juga kafe untuk pengunjung yang ingin berlama-lama menikmati suasana. Membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada tempat itu.

Salah seorang pegawai perempuan berseragam hitam dengan celmek merah yang diikat pinggang menyambutku ramah. “Ada yang--”

“Lara?” potongku menanyakan keberadaan Lara. Maklum, aku sedang terburu-buru.

“Chef!” panggil pegawai tersebut ke arah dapur di belakangnya.

“Hai!” Lara menyambutuku dengan mata lebar. “Aku udah ngingetin sebelumnya buat nggak lupa beli payung ‘kan?” omelnya.

“Ya … tapi aku lupa lagi.” Aku hanya bisa menyeringai seraya menghampirinya yang berdiri di meja panjang pembatas antara ruangan rahasia dapur dan ruangan istemewah pelanggan.

“Musim hujan kali ini itu diprediksikan akan turun setiap hari, Je.” Lara menyodorkan sebuah payung biru mudah—warna kalem yang menjadi kesukaanku.

“Sorry … aku harus ngerepotin kamu lagi,” ucapku penuh sesalku, mengingat sifat pelupaku untuk membeli payung.

“Hm … hm.” Lara nggeleng-geleng, menolak perasaan tidak enakku. “Anggap aja ini hadiah dari aku buat buku baru kamu,” ucapnya.

“Kamu itu selalu aja baik kayak begini.” Aku tersenyum, merasa tidak enak dengan perlakuannya yang kerap baik kepadaku. “Terima kasih teman baikku. Aku terima hadiahnya,” ucapku kemudian.

“Dan satu lagi.” Lara berbalik ke dapur dan membawakanku satu cup white coffe full krimer nabati dan satu bungkus croissant—roti asal Prancis yang dibuat dari adonan puff pastry sehingga memiliki tekstur renyah dan empuk—menu favoritku untuk sarapan pagi di sini.

“Makasih banyak ya, Chef,” ucapku

“Dengan senang hati.” Lara tersenyum.

Chef adalah nama yang selalu Lara impi-impikan. Membuatku bangga bisa melihat impiaannya menjadi pembuat roti terwujud. Baginya, tempatnya bekerja seperti taman bermain—mnyenangkan dan selalu menyenangkan karena hanya dengan mengulat tepung dan ragi.

Sejak dulu Lara tidak berubah dalam menekuni duniannya. Bisa dikatakan, dia tidak pernah mengalami perubahan jati diri. Hingga sampai hari ini aku masih mengenalnya, dia masih sangat mencintai pekerjaannya itu.

“Aku pergi dulu kalau begitu. Aku akan berkunjung lagi sore nanti,” ucapku pamitku seraya menunjukkan jarum jam tanganku padanya, tanda aku sedang buru-buru.

“Oke. Hati-hati di jalan,” pesannya.

Ini adalah yang pertama kali Lara menghadiahiku payung. Dia memang sahabatku yang sesuatu. Dibandingkan dengan barang mewah, dia sangat tahu apa yang sangat aku butuhkan saat ini—payung ini terutama.

Ya, musim hujan adalah musim di mana aku sangat membutuhkan payung dan musim yang menyenangkan untuk aku berjalan kaki.

“Jeje!” panggil Lara, tatkala aku mencoba membuka pintu.

Aku tentu saja berbalik menoleh.

Iya, Jeje adalah namaku. Orang-orang yang mengenalku pasti memanggilku Jeje. Sementara nama panjangku adalah Jewa Maharani. Ini adalah cerita dan perjalananku.

“Rak kedua baris ketiga! Aku habis membuat menu baru!” serunya memintaku untuk mencicipi.

Sebuah biskuit cokelat tua dengan potongan kecil cokelat di atasnya menarik tanganku untuk meraihnya. “Ini bukan hasil karena gosong dipanggang ‘kan Ra?” ledekku.

Lara langsung melotot. “Rasakan dulu baru kometar.”

Aku tertawa dan mulai mencicipi. Rasa cokelat panggang berpadu dengan keju pangang yang meleleh di dalam mulut memang cukup menarik. Sangat direkomendasikan untuk camilan sehari-hari bagi pecinta cokelat. “Sembilan!” seruku.

Lara tersenyum senang mendengar itu.

“Eh ….” Aku urung membuka pintu, “lebih cocok sepuluh, deh.”

Lara tertawa puas. “Hati-hati di jalan!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bagian 4
1
1
Selamat sore pembacaku.. Semalmat menikmati bacaan bagian 4 😊😊Jangan lupa ngasih dukungan ya 😉😉
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan