
Diam.
Empat dinding kokoh mengurungnya dalam keheningan yang dipilihnya sendiri. Sunyi, pekat, membaur dengan tatapannya yang kosong ke arah tembok luas di depannya. Hampa. Tidak ada yang tersisa. Ia merasa mati rasa. Bahkan sakit dan kesedihan yang seharusnya menemaninya kini tak lebih dari bayangan samar—terlalu jauh untuk dijangkau, terlalu lemah untuk dirasakan.
Orang-orang datang, mengetuk pintu dengan wajah berkabung, mengucapkan kata-kata duka yang terdengar hampa. Mereka menyebut diri sebagai kenalan, bahkan beberapa berani mengatasnamakan pertemanan. Mereka berkata betapa menyesalnya mereka, betapa beratnya ini, lalu melanjutkannya dengan mengirimkan rangkaian bunga yang megah, seakan berkompetisi. Karangan demi karangan berdiri angkuh, huruf-huruf cetaknya bersaing untuk menampilkan siapa yang lebih peduli, siapa yang lebih kaya.
Namun, semua itu tidak berarti apa-apa baginya. Tak ada gunanya. Jadi, untuk apa mereka bersusah payah mengirimkan semua ini?
"Aku sangat menyesal atas berita duka ini, Dear."
Ucapan itu melayang di udara, manis tapi hambar, seperti kata-kata yang telah mereka ulang ratusan kali sebelumnya. Seberapa sedih mereka, sebenarnya? Mereka datang dengan wajah penuh duka, mata berkaca-kaca yang terlalu mudah meneteskan air mata—tapi begitu mereka melangkah keluar, semua itu menguap. Tawa kecil tertahan di sudut bibir, gumaman ringan di luar ruang tunggu, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah sebuah jeda dalam keseharian mereka. Mereka masih cukup tahu diri untuk menahan tawa, setidaknya sampai cukup jauh dari tempat duka.
Apakah mereka sadar betapa menjijikkannya kepalsuan itu?
"Aku akan mengingat dia selamanya. Dia adalah pria yang baik."
Benarkah? Seberapa banyak yang mereka tahu tentang suaminya? Berapa lama mereka benar-benar mengenalnya? Apakah tiga tahun di California cukup untuk membuat mereka berbicara seolah telah tumbuh bersama sejak kecil?
"Dia seperti seorang malaikat. Selalu menolong kami—"
Lalu di mana mereka saat keluarga ini berjuang menghadapi masalah keuangan? Saat mereka membutuhkan uluran tangan, kemana perginya semua orang yang kini berdiri di sini, berbicara tentang kebaikan yang bahkan tak pernah mereka balas?
Pikirannya menolak setiap ucapan belasungkawa yang diterimanya. Kata-kata itu melayang di udara, tapi tak pernah benar-benar menyentuhnya. Dia tenggelam semakin dalam ke dalam pikirannya sendiri, begitu jauh hingga tidak menyadari bahwa seseorang bersembunyi di balik dinding kaca, mengamati tubuh kaku dan matanya yang kosong dari kejauhan.
"Oh, Freen? Kau Freen Sarocha, kan?"
Suara itu, sekilas saja, seperti sebuah tangan tak terlihat yang menariknya kembali dari pusaran pikirannya. Sebuah nama yang begitu akrab, begitu lekat dalam ingatannya. Begitu sederhana, namun cukup kuat untuk meruntuhkan tembok kosong yang mengelilinginya.
Tanpa berpikir, tubuhnya berbalik tergesa-gesa. Kepala yang berat dan letih terangkat, matanya mencari sumber suara itu dengan segenap sisa tenaga yang masih dimilikinya.
Tidak mungkin.
Apakah itu benar-benar kau?
****
"Oh my god! Freen, ini aku, Emily! Wow, waktu berlalu begitu cepat, dan lihatlah kau—semakin cantik sekarang!"
Freen tersenyum canggung. Yah, jika sekadar melengkungkan sedikit ujung bibir bisa disebut senyum, maka itulah yang terjadi saat ini.
"Hi, lama tak bertemu."
Tak perlu banyak kata. Mereka segera saling merengkuh, membiarkan detik-detik berlalu dalam diam sebelum akhirnya melepaskan diri. Begitu banyak yang ingin diceritakan—tentang hari-hari yang telah mereka lalui, tentang tahun-tahun yang memisahkan mereka. Namun, keduanya tahu, ini bukanlah waktu yang tepat untuk berbagi cerita panjang.
"Ayo."
Emily meraih tangan Freen, jemarinya yang hangat menggenggam erat sebelum memberikan tarikan kecil yang lembut. Sejenak, Freen ragu. Tapi, tanpa benar-benar menyadarinya, ia mengikuti langkah Emily, membiarkan dirinya terseret ke dalam ruangan. Langkahnya pelan, penuh kegugupan yang semakin bertambah dengan setiap gerakan.
"Becky, lihatlah siapa yang datang ke sini."
Namun, bahkan sebelum Emily menyelesaikan kalimatnya, mata Freen dan Becky telah bertemu dalam diam. Seolah percakapan tanpa suara terjadi di antara mereka. Tak perlu kata-kata—mata mereka telah menemukan satu sama lain, membaca sesuatu yang tak bisa digantikan oleh siapa pun.
"B-Becky..."
Tubuh Becky seketika menegang, rasa mati rasa menyelimutinya. Ia pikir air matanya telah habis sejak kemarin. Ia pikir tak akan ada lagi yang tersisa untuk ditumpahkan. Tapi lihatlah—kini dirinya berada dalam pelukan Freen, menangis begitu keras, seolah seluruh bendungan perasaannya jebol diterjang sesuatu yang tak bisa dibendung lagi.
"Freen..."
Nama itu meluncur dari bibir Becky, terdengar seperti kaset lama yang terputar berulang-ulang, pecah dan bergetar. Tapi tidak ada yang terganggu oleh itu. Tak ada yang menginginkannya berhenti. Freen memeluk Becky erat-erat, membiarkan air mata yang tertahan akhirnya mengalir, tangannya dengan lembut membelai rambut Becky, menggumamkan kata-kata yang menenangkan.
Betapa ia merindukan ini.
Momen ketika suara Becky memanggil namanya, dengan keakraban yang hanya mereka berdua pahami. Momen ketika pelukan mereka bukan sekadar pelukan, tapi sebuah rumah yang tak pernah berubah, tak pernah tergantikan.
****
Becky melangkah keluar dari kamar tidurnya dengan kaki telanjang, langkahnya ringan meski kepala masih berdenyut dan kantuk belum sepenuhnya hilang. Udara pagi yang sejuk menyapanya saat ia mendorong pintu, lalu matanya langsung tertuju pada sosok Freen yang tengah berbicara pelan di telepon.
Suara bisikan itu nyaris tak terdengar, tapi begitu wanita berambut cokelat itu merasakan kehadiran orang lain di ruangan, ia segera mengakhiri panggilannya. Dengan gerakan yang halus, Freen berbalik, menatap Becky dengan senyum yang menggantung di wajahnya—seolah tak ada yang perlu dijelaskan.
Sejak kemarin, Becky tak pernah melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Freen. Berkali-kali ia bergumam, hampir seperti mantra, bahwa ia tidak akan membiarkan Freen pergi lagi—tidak akan membiarkan wanita itu menghilang dari hidupnya sekali lagi.
Freen selalu penuh kasih, selalu bersikap dewasa di sisinya. Sesuatu yang Becky butuhkan sejak awal mereka memasuki dunia perkuliahan, di masa-masa ketika hidupnya terasa begitu rapuh. Saat itu, ia baru saja kehilangan ibunya. Kehilangan yang begitu besar, hingga membuatnya meninggalkan segalanya dan pindah ke Thailand, berharap menemukan ketenangan.
Namun, mencari kedamaian di negeri gajah putih tidaklah mudah. Bahasa Thailand terasa asing di lidahnya, sulit diucapkan, sulit dipahami. Setiap hari, ia menghadapi tatapan menghakimi, bisik-bisik meremehkan dari teman sekelas dan mahasiswa lain di universitas. Mereka menertawakan cara bicaranya yang terbata-bata, mengejek setiap kata yang salah ucap. Tahun pertamanya nyaris menjadi neraka, dan di ambang keputusasaan, Becky hampir menyerah.
Hingga saat itu, Freen datang.
Dan untuk pertama kalinya, Becky merasa diselamatkan.
Freen, si wanita berambut cokelat, adalah mahasiswi baru dengan kecerdasan luar biasa—nilai A selalu terpampang di atas rata-rata, seolah telah menjadi bagian dari dirinya sejak lahir. Ia berasal dari keluarga yang penuh kasih, memiliki masa depan cerah yang terbentang luas di hadapannya. Namun, semua itu tak pernah menjadikannya sombong atau menutup diri. Freen tetap menjadi sosok yang hangat, rendah hati, dan bercahaya—seindah matahari pagi yang menyentuh bumi dengan lembut.
Itulah yang Becky pikirkan saat pertama kali melihatnya, di tempat persembunyiannya. Saat itu, ia hanya ingin menghindari dunia, tapi justru menemukan seseorang yang akhirnya menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Pertemuan itu, tanpa mereka sadari, menjadi awal dari segalanya. Freen mengaku bahwa ia bersyukur bisa bertemu dengan Becky, dan meskipun hubungan mereka bermula dengan sedikit kecanggungan, waktu perlahan mengubah segalanya.
Persahabatan mereka mungkin bukan sesuatu yang direncanakan, tapi bagi keduanya, itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup mereka.
"Aku pikir kau meninggalkanku."
Suara Becky terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang dipenuhi ketakutan. Ia menarik Freen ke dalam pelukan erat, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar nyata, bukan sekadar bayangan yang selalu menghantuinya dalam mimpi.
Freen hanya tersenyum kecil, jemarinya bergerak lembut membelai rambut Becky, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen ini. Hangat. Nyata. Setelah hampir lima tahun tanpa satu sama lain, akhirnya ia kembali berada di sini—bersama Becky, dalam pelukan yang selama ini hanya bisa dirindukannya.
"Maaf, aku harus menjawab telepon itu. Jika tidak, suaranya akan terus berdering dan membangunkanmu. Aku tidak ingin mengganggumu," ujar Freen pelan, mencoba melonggarkan pelukan mereka.
Namun, bukannya melepaskan, Becky justru semakin mengeratkan genggamannya, menolak membiarkan jarak tercipta di antara mereka.
"Jangan lepaskan..."
Kemeja hitam yang dikenakannya kembali basah, dan Freen hanya bisa menghela napas pelan, perasaan sedih kembali menyelimutinya.
"Bec. Hei, hei... lihat aku sebentar saja."
Dengan lembut, Freen mendorong bahu Becky, menciptakan sedikit jarak di antara mereka. Satu tangannya terangkat, jari-jarinya menyentuh dagu Becky, mengangkat wajah sahabatnya yang tertunduk sendu.
Mata itu bengkak. Jejak air mata membekas di pipinya, menceritakan segalanya tanpa perlu sepatah kata pun.
Tanpa berpikir panjang, Freen menyeka sisa air mata yang hampir jatuh dengan ibu jarinya. Sebuah senyum lembut menghiasi wajahnya, berusaha menenangkan.
"Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan tinggal... untuk selamanya."
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan, seolah menanam janji yang tak akan pernah ia ingkari. Freen kemudian bergerak mendekat, mengecup lembut kening Becky, lalu turun ke ujung hidungnya—gerakan kecil yang begitu akrab, begitu penuh kasih.
Tawa pun pecah di antara mereka.
"Bagus. Karena kau akan menjadi budakku selama dua minggu di rumah ini," Becky berkata dengan nada menggoda, sudut bibirnya melengkung kecil. "Juga, aku ingin tahu apa yang kau lakukan setelah lari dariku."
Freen menatapnya, rasa syukur menyelimuti hatinya. Senyum itu... meskipun belum secerah dulu, masih ada di sana.
Mungkin butuh waktu, tapi Freen akan memastikan senyum itu kembali seperti sedia kala.
****
Akhir pekan itu terasa begitu indah bagi Becky dan Freen—sebuah momen langka di mana keduanya akhirnya bisa benar-benar bersantai.
Saat Freen tiba di California tiga bulan lalu, banyak hal telah berubah, terutama bagi Becky. Perlahan tapi pasti, ia mulai menunjukkan kemajuan besar. Meskipun bayangan duka atas kepergian suaminya masih menggantung di hati mereka, rasa sakit itu tak lagi setajam dulu. Sedikit demi sedikit, kesedihan yang menyesakkan mulai memudar.
Kini, Becky mulai kembali pada rutinitasnya. Ia kembali bangun pagi, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya, dan bahkan kembali melakukan lari-lari kecil di sekitar lingkungan—sesuatu yang dulu terasa begitu berat baginya.
Tentu saja, Becky tidak berlari sendirian. Ia selalu menyeret Freen yang masih setengah mengantuk dan lemas setiap pagi, memaksanya ikut serta dalam rutinitas barunya.
Setiap hari, keluhan yang sama terdengar dari wanita berambut cokelat itu. Freen akan merengek tentang betapa kakinya masih sakit akibat terkilir tiga minggu lalu, disusul dengan keluhan dramatis bahwa dirinya bukanlah seorang atlet, apalagi tentara yang harus bangun pagi untuk berlatih.
Namun, Becky tak pernah menggubrisnya. Alih-alih merasa iba, ia justru sibuk menceramahi Freen, menyuruhnya untuk kembali menjaga tubuhnya agar tetap sehat seperti dulu. Jika tidak, menurut Becky, dengan tubuh sekurus dan sekecil itu, Freen bisa saja terbawa angin kapan saja.
Tentu saja, Becky tidak mungkin mengatakannya secara langsung—tidak mungkin mengakui bahwa Freen masih terlihat luar biasa cantik, bahkan di usianya yang hampir menginjak kepala tiga.
Sialnya, wanita berambut cokelat itu bahkan nyaris tak berubah. Dengan wajah yang tetap awet muda, Freen lebih terlihat seperti gadis berusia sembilan belas tahun daripada seseorang yang hampir memasuki fase baru dalam hidupnya.
Becky sering bertanya-tanya, apakah waktu berhenti untuk Freen? Apakah pertambahan usianya ikut terhenti bersamaan dengan pertumbuhan tulangnya yang sudah tidak berubah sejak masa kuliah dulu?
"Beccccckyyyyyyy..."
Freen berguling-guling di atas sofa luas yang pernah dirancang almarhum suami Becky khusus untuk ruang tamu mereka. Pria itu selalu percaya bahwa sebuah ruang tamu harus memiliki sofa yang nyaman dan multifungsi—mungkin karena pekerjaannya sebagai desainer tata ruang. Dan benar saja, hampir setiap hari Freen betah berlama-lama di atas sofa ini, seolah-olah benda itu adalah miliknya sendiri.
"Bec, Bec, Bec!"
"Hmm?" Becky hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar MacBook yang tergeletak di meja santai di depannya. Dengan celana pendek dan kaus longgar, ia terlihat begitu santai, tetapi fokus sepenuhnya masih terpusat pada pekerjaannya.
"Kau mengabaikanku sejak pagi ini!" dengus Freen, wajahnya dipenuhi ekspresi cemberut.
Tidak ada jawaban. Becky tetap sibuk dengan apa pun yang sedang dikerjakannya.
"Bec—"
Baru saja Freen hendak mengulangi protesnya, Becky langsung mengangkat jari telunjuknya—sebuah isyarat agar Freen menunggu sebentar. Namun, bukannya menurut, wanita brunette itu justru menyingkirkan tangan Becky dengan kesal. Sayangnya, sebelum ia sempat mengintip layar MacBook itu, Becky sudah lebih dulu menempelkan telapak tangannya ke wajah Freen, menghalangi usahanya.
"Dannnn... selesai!"
Becky akhirnya menekan tombol Enter dengan keras, lalu menutup MacBook-nya dan menyingkirkannya ke samping. Ia mendesah lega sebelum akhirnya merebahkan dirinya di samping Freen, yang kini tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Freen," panggilnya, mencoba menarik perhatian.
Namun, Freen justru membalikkan badan, membelakangi Becky dengan sikap pura-pura cuek.
Becky tertawa kecil melihat tingkahnya. Ia bergeser ke sisi lain, menatap Freen dengan lembut hingga akhirnya mata mereka bertemu dalam diam.
"Freen, I'm sorry. Itu hanya laporan yang harus kuselesaikan untuk kasus berikutnya, dan batas pengumpulannya adalah hari ini," jelas Becky.
Sebagai seorang pengacara, ia telah membangun firma hukumnya sendiri selama hampir tiga tahun terakhir. Meskipun masih dalam tahap perkembangan, firma hukum itu mulai menarik perhatian banyak pengacara lain yang tertarik untuk bekerja sama dengannya.
Freen kembali berpura-pura merajuk, ekspresi cemberut masih bertahan di wajahnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kelegaan yang diam-diam ia rasakan—senang melihat Becky perlahan kembali menjadi dirinya yang dulu.
Meski begitu, Freen tahu betul bahwa luka di hati sahabatnya belum sepenuhnya sembuh. Ia masih sering terbangun di tengah malam dan mendapati Becky terduduk di tempat tidur, menatap hampa ke udara sembari terisak pelan. Atau, terkadang, ia menemukan Becky duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan tatapan sendu, menonton ulang video-video kenangan bersama suaminya.
Pria itu adalah cinta dalam hidup Becky. Freen memahami betapa dalamnya kehilangan itu, dan karena itulah ia tidak pernah memaksa Becky untuk segera melupakan. Sebaliknya, ia memberinya ruang untuk mengenang, untuk menangis jika memang perlu.
Becky dikenal sebagai wanita yang kuat, dan Freen percaya bahwa kekuatan itu akan kembali sepenuhnya—terutama dengan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Termasuk dirinya.
Suatu malam, Becky bahkan berkata, "Aku baik-baik saja sekarang. Aku akan tetap menyimpannya di hatiku, tapi hidup harus terus berjalan."
Mendengar itu, Freen hanya tersenyum lebar. Senyum yang tulus, penuh harapan, dan keyakinan bahwa sahabatnya benar-benar akan baik-baik saja.
Becky mencubit bibir cemberut Freen dengan ibu jari dan telunjuknya, mencegah wanita brunette itu berbicara atau mengeluarkan suara aneh yang sengaja dibuat untuk mengesalkan Becky.
Di sisi lain, Freen justru merasa senang mendapat perhatian penuh dari sahabatnya. Dengan main-main, ia mencoba memukul tangan Becky agar menjauh, tapi pada akhirnya, ia tetap membiarkan Becky berbaring di atas perutnya.
Setelah bertahun-tahun berpisah, cara mereka memperlakukan satu sama lain ternyata tidak berubah sedikit pun. Mereka masih memiliki dinamika yang sama—chemistry yang begitu alami dan tak tergantikan.
Itulah mengapa mereka selalu tak terpisahkan. Sampai-sampai, banyak orang di sekitar mereka bercanda bahwa Becky dan Freen seperti saudara kembar yang lahir dari rahim berbeda.
"Freen, bicaralah! Jangan mengabaikanku!" rengek Becky seraya melompat-lompat kecil di atas perut sahabatnya, mencoba memancing reaksi dari wanita yang lebih tua.
"Oh wow, wow! Mataku!"
"Whaaat—Oh, sial! Apa yang sedang kalian lakukan?!"
Tiba-tiba, dua suara wanita lain menggema di ruangan, mengejutkan mereka berdua.
Becky dan Freen sama-sama menoleh ke arah pintu, membeku di tempat. Oke... ini memang posisi yang sangat canggung.
"T-tunggu, ini bukan seperti yang kalian pikirkan!" sergah Freen panik, buru-buru mendorong Becky menjauh dan menarik ujung bajunya ke bawah, menutupi perutnya yang sejak tadi dielus tanpa sadar oleh Becky.
"Oh yeah, dan tikus raksasa di rumah Sunny bisa terbang," sahut Lalita dengan nada mengejek, diikuti tawa geli dari Emily.
"Percayalah, ini tidak seperti yang kalian bayangkan!" Freen mencoba membela diri, tapi justru semakin membuat kedua tamu mereka tertawa lebih keras.
Becky, yang semula terdiam, akhirnya mengangkat suara. "Berhentilah menggoda Freen. Lagi pula, apa yang kalian lakukan di sini?"
Tatapannya yang malas melirik ke arah Lalita dan Emily, berusaha tetap tenang meski pipinya memanas. Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit, berjalan menuju dapur, dan mulai menuangkan jus ke dalam gelas untuk kedua tamunya—dan juga untuk Freen. Sesuatu dalam caranya bergerak begitu anggun, seakan menutupi kegugupan yang sempat muncul akibat situasi barusan.
"Yah, P'Bec, jangan bilang kau melupakan pesta piyama malam ini," ujar Lalita santai, mengambil salah satu bantal berbulu di sofa dan meletakkannya di pangkuannya.
"Dan jangan bilang kalian juga lupa kalau pesta piyama itu diadakan malam hari, bukan di bawah sinar matahari seperti sekarang." Suara Becky yang keras masih terdengar jelas meskipun dia berada di dapur. Well, dia adalah Becky—spesies manusia langka yang kadang bisa berubah menjadi subwoofer sejak tahun 1989.
"Jadi sekarang kau tidak ingin kami datang ke sini?" Emily berpura-pura tersinggung, memasang ekspresi dramatis yang hampir meyakinkan. Sementara itu, Lalita hanya terkikik, dan Freen tersenyum kecil di sampingnya.
Selain Freen, Emily adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Becky. Mereka tumbuh bersama sejak kecil, melewati berbagai tahap kehidupan hingga akhirnya kuliah. Ketika Becky memutuskan pindah ke Thailand, Emily rela melepaskan kesempatan beasiswa di Harvard hanya untuk menemaninya. Dia pikir, di masa sulit seperti itu, Becky membutuhkan seseorang yang selalu ada di sisinya.
Namun, saat akhirnya ia tiba di Thailand setahun kemudian, ia menemukan seorang gadis bernama Freen Sarocha yang merawat Becky lebih baik dari dirinya. Dan anehnya, Emily tidak menyesali keputusannya. Pindah ke Thailand membawanya bertemu dengan teman-teman yang luar biasa—dan salah satunya adalah Freen.
"Bisa dikatakan seperti itu." Becky berkata santai sambil meletakkan minuman di meja sebelum duduk di samping Freen.
"Ouch! Kau membuat aku sakit hati, Armstrong!" seru Emily dramatis. Ia mencubit tulang hidungnya lalu bersandar pada bahu Lalita, keduanya mulai berakting seolah terluka, meletakkan tangan di dada sambil mengeluarkan isakan palsu.
"Apa yang kita lakukan hingga pantas menerima ini? Oh, hatiku yang malang..."
"Hentikan omong kosong kalian," Becky mendengus sambil memutar mata. Sementara itu, Freen tertawa, menikmati kejenakaan teman-temannya.
Setelah bertahun-tahun terpisah, ia senang melihat mereka masih sama seperti dulu—tidak berubah sedikit pun. Dan yang lebih penting, mereka tetap berada di sisi Becky, bahkan setelah pria baik itu pergi.
Di sisi lain, Becky pun bersyukur. Setelah sekian lama, akhirnya Freen kembali. Dan seperti janjinya, sahabatnya itu akan tinggal di sini. Untuk selamanya.
Freen adalah freelance penasihat keuangan. Ia tak pernah tertarik bekerja di bawah naungan perusahaan mana pun, sehingga ia memilih mendirikan kantornya sendiri—meski, secara teknis, kantor itu hanyalah dirinya seorang. Tanpa ruang kerja tetap, tanpa karyawan, hanya seorang Freen Sarocha yang bekerja sesuai ritmenya sendiri. Ia menerima satu proyek dalam satu waktu, menyelesaikannya dengan tuntas sebelum beralih ke hal lain yang menarik perhatiannya.
Sejak kabar tentang kepindahannya ke California menyebar, ponselnya nyaris tak berhenti berbunyi. Panggilan, pesan, dan email terus berdatangan—berisi berbagai tawaran kerja sama dari perusahaan besar yang menginginkan keahliannya. Namun, bekerja di bawah orang lain tak pernah menjadi opsi baginya. Semua yang telah ia bangun adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri, dan ia mencintai pekerjaannya dengan cara yang sulit dijelaskan.
Uang? Itu bukan masalah. Sejak kecil, Freen telah hidup berkecukupan. Ibunya adalah pemilik jaringan restoran terkenal, ayahnya seorang broker ulung, kakaknya menjabat sebagai Chief Executive di salah satu bank milik pemerintah, dan adiknya kini mewujudkan impian sebagai aktris ternama. Dengan latar belakang seperti itu, Freen tak pernah lupa bersyukur.
Namun, di antara keluarganya yang mapan, hanya dia yang memiliki jiwa petualang. Karena itu, orang tuanya sering mengiriminya uang secara acak—kadang dalam jumlah besar, kadang sekadar iseng—seolah mengingatkannya bahwa mereka selalu ada di sisinya. Dan Freen hanya bisa tertawa setiap kali menerimanya, menganggapnya sebagai lelucon ringan antar keluarga. Tentu saja, ia selalu berjanji akan menggunakannya dengan bijak.
Pagi berlanjut menjadi siang, membawa serta gelak tawa dan percakapan seru yang sesekali diselingi pekikan khas Emily. Obrolan mereka mengalir ringan, dipenuhi candaan dan nostalgia, hingga suara dering ponsel Freen tiba-tiba memecah kehangatan. Sejenak, mereka semua terhenti, melirik ke arah wanita brunette yang dengan cepat menolak panggilan itu setelah melihat nama di layar.
Namun, tak butuh waktu lama sebelum nada dering kembali mengusik.
"Siapa yang meneleponmu?" tanya Becky, menatap penasaran ke arah ponsel sahabatnya.
Freen hanya mengangkat bahu, berusaha tampak tak terganggu. "Bukan siapa-siapa, cuma orang marketing yang menyebalkan, terus menerus mencoba menjual produk mereka." Tanpa membiarkan siapa pun menaruh curiga, ia segera menonaktifkan ponselnya dan kembali fokus pada obrolan yang tadi sempat terpotong.
"So... Freen," Lalita bersandar ke sofa, menatap sahabatnya dengan senyum penuh rasa ingin tahu. "Kau belum memberitahu kami ke mana saja dirimu selama bertahun-tahun ini. Kau menghilang begitu saja, seperti menguap dari dunia ini, dan BOOM—tiba-tiba kau berdiri di depan kami! Sekarang giliranmu. Ceritakan perjalanan fantastismu!"
Becky bahkan tak bisa membayangkan betapa fantastisnya kisah Freen, seperti saat wanita brunette itu terbang ke Budapest hanya demi menikmati spa terbaik atau melintasi samudra menuju Inggris sekadar untuk mencicipi secangkir teh khas di sebuah kafe baru. Tiap cerita yang keluar dari bibir Freen terasa bagai bab dalam drama televisi tentang seorang petualang kesepian yang bergelimang harta, dan Becky, seperti anak kecil yang haus akan dongeng sebelum tidur, selalu mendengarkannya dengan penuh semangat.
"Hmm... Aku bepergian ke banyak tempat selama beberapa tahun terakhir dan, yah, cukup banyak hal terjadi," ujar Freen santai, menyudahi kalimatnya dengan senyum kecil yang sungkan.
Tentu saja jawaban singkat itu tidak memuaskan Emily dan Lalita. Mereka terus membombardirnya dengan pertanyaan bertubi-tubi—tempat mana saja yang dikunjungi, bagaimana rasa makanan yang dicicipi, pengalaman paling unik selama perjalanan. Freen tetap menjawab dengan lancar, membagikan detail menarik yang membuat ketiga sahabatnya semakin antusias.
Hingga satu pertanyaan menghentikan aliran ceritanya begitu saja.
"Jadi, katakan padaku, Miss Fantastis, apakah kau memiliki kekasih?"
Freen terdiam sesaat. Bibirnya sedikit terbuka, seolah mencari jawaban yang tepat.
"Err... yah..." gumamnya ragu. "Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik, tapi bisa dibilang aku mungkin memiliki satu. Lebih tepatnya... hanya teman kencan."
Nada terakhirnya terdengar sedikit menggantung, seakan masih ada keraguan dalam pernyataan itu. Namun, setidaknya ia berhasil mengalihkan perhatian mereka—untuk saat ini.
"Kenapa kau tidak bisa mengatakannya lebih rinci, P'Freen? Apa gadis pendiam yang dulu kukenal kini telah berubah menjadi seorang playgirl?" godanya dengan nada menggoda, membuat Emily tertawa kecil sementara Becky hanya mengangkat alis, menunggu reaksi sahabatnya.
Sejak dulu, Lalita memang mengagumi Freen dan Becky. Mereka adalah role model baginya—dua sosok wanita kuat yang telah membentuk pandangannya tentang dunia. Meski dirinya adalah yang termuda di antara mereka, kematangannya dalam menilai karakter orang lain tak bisa dianggap remeh.
Lalita berada satu kelas dengan Becky, dan hanya butuh dua tahun baginya untuk menyelesaikan sekolah menengah. Perbedaan usia tidak pernah menjadi hambatan, meski banyak orang merasa iri atau bahkan membencinya karena kecerdasan serta kepercayaan dirinya yang luar biasa. Namun, Lalita tahu betul di mana posisinya dan bagaimana cara mempertahankannya. Jika seseorang mencoba menjatuhkannya, ia akan membalas dua kali lebih keras—itulah yang membuat tak seorang pun berani mencari masalah dengannya.
Dan ketika Becky serta Freen hadir dalam hidupnya, keduanya merawatnya dengan baik, menjadi kakak sekaligus sahabat yang tak tergantikan. Emily pun, meski awalnya enggan, akhirnya terseret ke dalam lingkaran pertemanan mereka—dan di sanalah kisah mereka dimulai.
Freen tertawa keras, mencoba menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menyelimutinya. "Hahaa, aku sama sekali tidak punya keahlian untuk itu," ujarnya ringan, meski dalam hati ia tahu tak sepenuhnya benar.
Tangannya terulur, berniat meraih gelas di hadapannya, tetapi alisnya sedikit berkerut ketika mendapati isinya telah kosong. Sekilas, matanya melirik gelas lain di meja, menyadari bahwa beberapa dari mereka juga hampir menghabiskan minuman mereka. Dengan cepat, ia bangkit dari sofa. "Aku akan mengambil lebih banyak jus," katanya santai sebelum berjalan menuju dapur.
Selain menuangkan jus, ia juga berencana mengambil beberapa makanan ringan untuk menemani obrolan mereka. Sedangkan untuk makan siang, mereka sepakat untuk memesan take-away agar tak perlu repot memasak.
Begitu Freen menghilang di balik pintu dapur, Lalita segera bersandar lebih dekat ke arah Emily, berbisik dengan nada penuh kemenangan. "Dugaanku benar, P'Em. Rumor yang beredar itu palsu."
Emily mendesah, meski matanya masih menyiratkan rasa penasaran. "Well... Aku juga tidak percaya, tapi gosip itu terdengar cukup meyakinkan untukku, N'Lita."
Becky, yang sejak tadi mendengarkan tanpa benar-benar memahami, akhirnya angkat suara. "Rumor apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya dengan alis berkerut, jelas tidak menyukai kenyataan bahwa ia satu-satunya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Bagaimana bisa dia yang paling dekat dengan Freen justru menjadi orang terakhir yang mengetahui sesuatu tentang kehidupan sahabatnya? Itu sama sekali tidak masuk akal! Becky bukan tipe orang yang terisolasi dari lingkungannya. Sebaliknya, ia seperti kupu-kupu sosial—berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain dengan mudah. Siapa pun yang bertemu dengannya akan segera merasa akrab, bahkan tukang kebun yang tinggal empat blok dari rumahnya mengenalnya lebih baik daripada yang seharusnya.
"Yah! P'Bec... Saat kau tengah menikmati hidup bahagia bersama suamimu beberapa tahun lalu, kami mendengar kabar bahwa P'Freen juga telah menikah." Lalita berbisik pelan, seolah takut jika Freen tiba-tiba mendengar percakapan mereka dan mengira bahwa mereka sedang membicarakannya di belakang.
Becky yang tengah mengangkat gelasnya mendadak membeku. Matanya membelalak, dan dalam hitungan detik, gelas itu kembali mendarat di meja dengan sedikit suara benturan. "She whaaat?!" serunya nyaris berteriak. Seketika, rasa haus yang semula menghantuinya lenyap begitu saja.
Emily buru-buru meraih kedua tangan Becky dan mencoba membungkam mulutnya. "Calm your tits, for god's sake, Bec!!" desisnya penuh peringatan.
Namun, Becky dengan mudah menepis tangan sahabatnya, lalu menatapnya sengit. Emily tak mau kalah, membalas tatapan itu dengan ekspresi frustrasi, hingga akhirnya Lalita kembali berbicara—kali ini dengan suara lebih lirih dari sebelumnya.
"Dan... sebenarnya aku tidak tahu apakah aku seharusnya memberitahumu ini atau tidak, P'Bec," bisiknya, jemarinya saling meremas gelisah. "Tapi ada rumor lain yang mengatakan bahwa... dia pernah mengalami keguguran. Katanya, itu terjadi karena stres akibat perlakuan suaminya."
Becky menegang di tempatnya, tetapi Lalita belum selesai. Dengan nada lebih pelan, hampir seperti bisikan yang tertahan di tenggorokan, ia melanjutkan, "Dan rumor itu terus berkembang... mengatakan bahwa selama ini, P'Freen mengalami kekerasan dalam rumah tangga."
Kata-kata terakhir Lalita bergema di benaknya, membuat jantung Becky berdebar kencang. Rasanya mustahil—seakan-akan seekor unicorn berkaki dua baru saja mengetuk pintu rumahnya, meminta secangkir cappuccino. Ini Freen yang mereka bicarakan. Freen-nya. Sahabatnya yang manis, kuat, dan bebas.
Tatapan Becky perlahan beralih ke dapur. Melalui kaca yang memisahkan ruang tamu dan dapur, ia melihat sosok Freen berdiri di sana, tampak tenang, seolah tak pernah mengalami luka sekecil apa pun. Matanya menangkap senyum yang terukir di wajah wanita itu saat ia menghirup aroma sup yang baru saja selesai dimasaknya—pemandangan yang begitu sederhana, namun tak bisa dipungkiri, sangat menenangkan.
Namun, benarkah semua itu hanya ilusi?
Becky menelan ludah. Jika rumor itu benar... Jika sahabatnya benar-benar pernah melalui neraka tanpa sedikit pun berbagi beban dengannya...
Siapa yang berani menyakitimu, Freen?
To be continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
