SILENT PART 2 - BECKFREEN

0
1
Deskripsi

***

"Whoaah... Bec, kau mengagetkanku!"

Freen nyaris menjatuhkan buku di tangannya. Matanya membelalak saat menyadari Becky menatapnya lekat, tanpa berkedip sedikit pun. Merasa ada yang tidak beres, ia perlahan menutup bukunya dan menggesernya ke samping, sebelum mendekat dan mengusap lembut rambut sahabatnya.

"Boo, ada apa? Katakan padaku."

Suara Freen begitu lembut, nyaris berbisik saat jari-jarinya kini beralih membelai pipi Becky. Namun, wanita yang lebih muda itu tetap diam. Sepuluh detik berlalu tanpa satu kata pun. Becky menatapnya, seolah mencoba membaca sesuatu di dalam manik mata cokelatnya—mencari jawaban, mencari kebenaran. Tapi nihil. Tak ada petunjuk, tak ada celah yang bisa ia tangkap. Meski hatinya menjerit, takut pada apa yang mungkin akan ia temukan.

"Freen," Becky akhirnya bersuara, suaranya nyaris bergetar. "Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Alis Freen bertaut. "Apa?"

"Apakah ada sesuatu yang tidak kau ceritakan pada kami? Padaku?"

Gerakan tangan Freen terhenti. Sentuhan hangat yang tadi membelai pipi Becky kini perlahan terjatuh, tergeletak di sisi tubuhnya.

"Bec, ini bukan apa-apa. Berhentilah berpikir macam-macam dan menduga yang tidak-tidak. Aku baik-baik saja." Ucapnya, suaranya kini terdengar lebih tegas. Mata cokelatnya menatap Becky tajam, meminta keyakinan—memohon agar wanita itu tidak lagi meragukannya.

"Tapi—"

"Trust me."

Freen membungkuk, mengecup lembut kening Becky sebelum menarik napas kecil dan berbalik, mematikan lampu baca di samping mereka.

"Sekarang, bisakah kita tidur?" lanjutnya, suaranya kembali lebih lembut. "Besok pagi kau dan aku punya urusan penting. Lagipula, kau tak akan mau melewatkan lari pagimu, bukan?"

 

***

 

Kalau beberapa minggu terakhir Becky merasa ada yang mengawasi setiap gerak-geriknya, maka kini perasaan itu semakin kuat. Entah ketika ia berada di sekitar rumah, berbelanja dengan Freen, atau sekadar lari pagi bersama sahabatnya—ia selalu merasa ada mata yang mengintai.

Saat ia menceritakannya pada Emily, sahabatnya itu hanya tertawa kecil dan berkata mungkin itu hanya perasaan paranoidnya saja. "Mungkin hanya kamera keamanan di sekitar apartemen," ujar Emily santai. Tapi tetap saja, ia menyarankan Becky untuk memasang CCTV, sama seperti yang baru saja ia lakukan seminggu lalu—sekadar untuk berjaga-jaga.

"Nah, setelah memasukkan tanggal, Anda hanya perlu menekan enter," ujar mekanis yang datang untuk memasang sistem keamanan baru di rumah Becky. "Selain itu, Anda juga bisa mengakses CCTV ini dari ponsel atau tablet dengan login ke situs web menggunakan username dan password yang telah dibuat. Jika terjadi sesuatu—misalnya ada yang mencoba masuk secara paksa—sistem alarm yang terpasang di pintu dan jendela akan langsung berbunyi, dan notifikasi otomatis akan dikirimkan ke ponsel Anda."

Sambil menjelaskan, mekanis itu memperagakan bagaimana cara membobol pintu cadangan. Seketika, ponsel Becky berdering nyaring. Ia melirik layar dan melihat notifikasi yang baru saja dikirim oleh sistem keamanan. Begitu ia membuka situs yang telah disiapkan sebelumnya, wajah mekanis yang sedang beraksi itu langsung muncul di layar—tertangkap jelas oleh kamera pengawas.

Becky tersenyum puas. Kini ia punya satu tambahan baru dalam koleksi perangkat keamanannya. Pekerjaannya sebagai seorang yang membantu menangani kasus hukum dan menjerat orang ke dalam penjara membuatnya sadar bahwa hidupnya tidaklah sepenuhnya aman. Risiko selalu mengintai. Itulah mengapa ia selalu berhati-hati, bahkan sampai memiliki ponsel anti penyadap sebagai tameng jika sewaktu-waktu ada pihak yang ingin menjebaknya.

Itulah sebabnya, Becky kini menjadi bagian dari salah satu firma hukum paling terpercaya.

"Terima kasih banyak sudah memperagakannya langsung di depanku! That's cool!" serunya gembira, matanya berbinar penuh semangat. "Aku akan menghubungimu jika ada masalah!"

Dan sekarang, ia tak sabar untuk menunjukkan "mainan" barunya ini pada Freen.

"Menyenangkan bisa bekerja sama dengan Anda, Nyonya Suwannarat... Oh, maksud saya—"

Pria itu buru-buru meralat ucapannya, tapi Becky hanya tersenyum penuh pengertian. "Tidak apa-apa, panggil saja aku Becky, Sir."

Raut wajah pria itu tampak lega. "Umm, baiklah. Tapi, saya benar-benar turut berduka atas kehilangan Anda. Saya adalah salah satu klien suami Anda, dan dia sungguh orang yang berbudi luhur."

Becky kembali tersenyum. Ia tahu suaminya memang pria yang baik, dan entah bagaimana, ada rasa hangat menyelinap di dadanya setiap kali seseorang mengenang kebaikan laki-laki itu. Setidaknya, meskipun ia telah pergi, jejaknya tetap hidup dalam ingatan banyak orang.

Dengan gerakan ringan, Becky membuka pintu dan memberi ruang bagi mekanis muda itu untuk keluar. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika matanya menangkap pemandangan di depan sana—Freen tengah berjuang menyeimbangkan diri dengan tangan penuh kantong belanjaan. Wajahnya terlihat sedikit memerah karena menahan beban, sementara langkah kakinya tertatih memasuki rumah.

Melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu, Becky langsung tertawa. Oh, this is so cute!

"Ya ampun! Kau memborong seluruh pasar atau bagaimana?" serunya geli. "Kenapa belanjaannya sebanyak ini?"

Tanpa menunggu jawaban, Becky segera menghampiri Freen dan mengambil setengah dari kantong belanjaan di tangannya. Tidak seperti Freen yang tampak kewalahan, Becky mengangkatnya dengan mudah, seolah kantong-kantong itu hanya berisi kapas.

"Fiuh, terima kasih. Oh, halo!"

Freen akhirnya menyadari kehadiran seseorang di samping Becky. Sejak tadi, pandangannya terhalang oleh kantong-kantong belanjaan yang hampir menutup seluruh wajahnya. Begitu matanya bertemu dengan pria muda itu, ia segera memberikan senyum ramah, yang langsung dibalas dengan anggukan sopan dan senyum hangat.

"Halo, senang bertemu dengan Anda," ucap pria itu sebelum beralih pada Becky. "Dan Becky, terima kasih telah menggunakan layanan kami. Jika ada kendala dengan instalasi atau Anda merasa kurang puas, jangan ragu untuk menghubungi kami. Saya pribadi akan datang langsung untuk memperbaikinya."

Setelah berpamitan, pria itu kembali tersenyum sebelum melangkah menuju mobilnya. Sementara itu, Becky dan Freen bergegas masuk ke dalam rumah, meletakkan kantong-kantong belanjaan di dapur.

"Jadi, siapa pria keren itu? Apakah dia salah satu selingkuhan rahasiamu yang lain?" goda Freen dengan seringai nakal di wajahnya.

Becky mendelik sebelum melayangkan pukulan ke bahu sahabatnya. "Jaga mulutmu, Miss, atau aku akan menuntutmu! Ingat, aku pengacara paling berpengaruh di California."

Freen terkekeh, sementara Becky mulai mengeluarkan isi kantong belanjaan satu per satu dan menyerahkannya pada Freen untuk dimasukkan ke dalam lemari es serta rak penyimpanan.

"Dan untuk informasi saja, dia jauh lebih muda dariku," lanjut Becky dengan nada meremehkan. "Dia ada di sini untuk memasang CCTV dan sistem keamanan, bukan untuk merayuku."

Freen kini tak lagi merasa canggung saat melontarkan lelucon tentang kehidupan kencan Becky. Ia paham bahwa meskipun hidup Becky terus berjalan dan perlahan menjadi lebih baik, Suwannarat tetap memiliki tempat khusus di hati sahabatnya.

"Lalu, kenapa tiba-tiba kau memasang semua ini? Jangan-jangan kau direkrut oleh Avengers atau ada sesuatu yang kau sembunyikan?" Freen berhenti sejenak, matanya membesar seakan baru saja menemukan konspirasi besar. "Atau... mungkin kau sebenarnya agen rahasia? Mata-mata negara?!"

Becky hanya tertawa terbahak-bahak mendengar dugaan konyol sahabatnya, lalu menggelengkan kepala. "Tidak, aku hanya merasa ini perlu dilakukan secepatnya karena aku kebetulan harus merawat seorang Tuan Putri di rumah ini."

Tawa Becky semakin menjadi ketika melihat ekspresi jijik yang ditunjukkan Freen. Dengan cepat, wanita brunette itu meraih kantong kertas bekas dan melemparkannya ke arah Becky, yang langsung menepisnya sebelum kantong itu jatuh ke lantai. Tanpa berpikir dua kali, Becky memungut kantong tersebut dan menyimpannya di dalam lemari yang sudah ia sediakan khusus untuk menyimpan barang-barang semacam itu, tertata rapi bersama kantong plastik lainnya.

Freen pernah berkomentar bahwa kebiasaan Becky sudah mendekati gejala OCD. Namun, Becky dengan cepat menyangkalnya, berargumen bahwa menjaga kebersihan itu jauh lebih baik daripada hidup dalam kekacauan. Baginya, ini bukan soal obsesi berlebihan—ia hanya menyukai segala sesuatu dalam keadaan bersih dan terorganisir. Dengan begitu, ketika membutuhkan sesuatu, ia tahu persis di mana harus mencarinya. Sesederhana itu.

Tiba-tiba, Becky merasakan tubuh Freen melompat ke punggungnya. Ia hampir kehilangan keseimbangan, namun dengan refleks yang cepat, kedua tangannya segera berpegangan pada celana ketat sahabatnya agar tidak jatuh. Suara tawa Freen menggema di telinganya.

"OY!! Cepat turun! Kau berat sekali!" keluh Becky, berusaha menyeimbangkan diri.

"Oh, astaga! Beraninya kau mengatakan bahwa Sang Putri memiliki banyak lemak?!" sergah Freen dramatis, suaranya dibuat menyeramkan meskipun tidak pernah berhasil menakut-nakuti Becky. "Atas penghinaan itu, kau akan dipancung, Letnan!"

Mengetahui permainan ini, Becky hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya masuk ke dalam peran. Ia berdeham kecil, lalu membungkukkan sedikit badannya seolah menunjukkan sikap penuh hormat.

"Maafkan hamba, Tuan Putri. Hamba tidak akan mengucapkan kata-kata tercela seperti itu lagi," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat. "Apa yang hamba katakan tadi hanyalah kekhilafan akibat keterkejutan semata. Tentu saja, Anda ringan bak sehelai bulu."

Freen menyipitkan mata, berpura-pura mempertimbangkan permintaan maaf itu, lalu mendengus angkuh. "Baiklah, permintaan maafmu kuterima. Tapi kau tetap harus menerima hukumanmu."

Becky mengangkat alis, menatap sahabatnya dengan curiga.

"Sekarang, sebagai konsekuensi dari kelancanganmu, kau harus mengurusku dengan baik... selama-lamanya." Freen mempererat cengkeramannya di bahu Becky, menuntut kepatuhan.

Namun, bukannya menjawab, Becky hanya berdiri diam. Kaku. Hening.

Freen memiringkan kepala, menatap wajah sahabatnya dengan penuh selidik. "Apa kau berniat menolak perintah Sang Putri?" tanyanya, menyelipkan nada mengancam yang justru terdengar menggelikan di telinga Becky.

Mendengar kalimat Freen barusan, jantung Becky berdegup aneh—ritmenya sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang tiba-tiba menyerangnya.

"T-Tidak, Tuan Putri!" sahutnya cepat, berusaha menutupi kegugupannya. "Saya akan menjaga Anda selamanya dengan sepenuh hati, dengan menggunakan teknologi keamanan terbaik di dunia. Letnan Armstrong siap melayani Anda!"

Dengan semangat berlebih, Becky berteriak layaknya seorang tentara sejati, lalu setengah berlari membawa mereka berdua keluar dari dapur. Ia tak ingin memikirkan perasaan aneh yang sempat menyelip di dadanya.

"Kerja bagus, Letnan Armstrong!" Freen terkikik, lalu tanpa peringatan, ia menyembunyikan wajahnya di tengkuk Becky, menghirup samar aroma parfum sahabatnya. Sebelum Becky bisa menyadari hal itu, Freen sudah mengangkat kepalanya dan berseru lantang, "Sekarang ke kamar mandi!"

Malam itu pun berlalu dengan penuh tawa, pekikan, dan suara perintah konyol yang dilontarkan Freen. Seakan mereka kembali ke masa lalu—ke masa di mana dunia terasa lebih ringan, tanpa beban, hanya ada mereka dan kebodohan yang mereka bagi bersama.

Di tengah hiruk-pikuk permainan mereka, Becky mencuri waktu sejenak untuk berjanji dalam hati.

Ia akan menjaga Freen. Apapun yang terjadi.

Sebab, selama ini Freen selalu ada untuknya. Kini, giliran Becky yang memastikan sahabatnya baik-baik saja.

 

***

 

Ada sesuatu yang tidak beres.

Freen tidak tahu pasti apa itu, tapi firasatnya mengatakan bahwa Becky benar—seseorang memang sedang mengawasi mereka. Bahkan, akhir-akhir ini ia mulai merasa ada yang membuntutinya, mengikutinya ke mana pun ia pergi, seolah ada bayangan yang tak kasatmata. Yang lebih mengerikan, ia yakin dirinya dan Becky telah dipotret secara diam-diam.

Dan kini, perasaan itu kembali menghantamnya. Seakan ada sepasang mata tersembunyi yang terus meneliti setiap gerak-geriknya, mengikuti setiap langkahnya.

Sensasi dingin menjalar ke tengkuknya, membuat tubuhnya menegang. Ia ingin menepis rasa takut itu, tapi ketidakpastian justru memperburuk keadaan.

"Hei."

Sebuah suara memecah lamunannya.

Freen tersentak, jantungnya seperti melompat ke tenggorokan ketika ia tiba-tiba merasa seseorang meraih bahunya dan menariknya ke belakang. Ia menjerit spontan, cukup keras hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh, menatap dengan keheranan.

"Shit! Bisakah kau tidak berteriak?"

Freen mengerjapkan mata, mencoba mengenali suara yang familiar itu. Sosok di hadapannya berdiri dengan ekspresi sebal, tangan bertolak pinggang seolah menyesali keputusannya sendiri.

Freen mendesah, mengatur napasnya. "Kau yang lebih dulu mengagetkanku, Nalin."

Wanita tinggi itu menghela napas panjang sebelum menggosok pelipisnya, jelas terlihat lelah. "Aku dengar kau ada di California dari Aom, jadi kupikir akan menyenangkan memberi kejutan. Tapi sekarang aku justru menyesalinya," ujarnya seraya merengut.

Ia mencoba tersenyum, tetapi matanya tetap bergerak gelisah, mengamati sekitar dengan kewaspadaan tinggi. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang, ia merasa ada yang tidak beres. Suara Nalin terus mengoceh di sampingnya—tentang betapa rindunya ia, tentang hal-hal yang belum sempat mereka bicarakan—namun Freen nyaris tak mendengarkan.

"Freen, kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau lihat?"

Nada suara Nalin berubah, kini terdengar lebih serius. Matanya memperhatikan bagaimana Freen memindai kerumunan, seolah mencari sesuatu—atau seseorang.

"Freen!"

Seruan itu akhirnya menyadarkannya.

Freen menoleh cepat, menatap Nalin yang kini mengerutkan kening dengan ekspresi penuh tanya. Ia membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu—tapi kemudian ragu.

Gertakan itu membuat Freen tersadar. Ia menggeleng cepat, mencoba mengusir perasaan panik yang sempat menguasainya.

"Ah, tidak. Itu hanya... err, kau tahu... akhir-akhir ini aku merasa seperti sedang diikuti. Tapi entahlah, mungkin hanya pikiranku saja." Suaranya terdengar ragu, jelas ada kegelisahan yang belum sepenuhnya hilang.

"Apa?"

Nalin menatapnya tajam, matanya menyipit saat ia refleks melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang mencurigakan. Namun, yang ia lihat hanya pejalan kaki biasa yang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Ugh, lupakan saja." Freen mengibaskan tangannya, berusaha meredakan ketegangan yang perlahan merayapi dirinya lagi. "Mungkin aku hanya paranoid karena beberapa hari ini kami terus-terusan begadang menonton film thriller."

Ia tertawa kecil, mengingat kembali kejadian tadi malam ketika dirinya hampir melompat dari sofa karena adegan mengejutkan dalam film thriller horor khas Amerika. Sialnya, Becky benar-benar menikmati setiap adegan mengerikan itu, sementara Freen hanya bisa meringkuk dengan bantal di wajah, menyesali keputusannya ikut menonton.

Freen menghela napas, kadang ia bertanya-tanya bagaimana bisa dirinya bersahabat dengan seseorang yang begitu berlawanan. Becky menyukai film bertema kekerasan dan horor, sementara ia lebih menikmati kartun konyol atau melodrama yang mengundang air mata.

Melihat Freen mulai santai, Nalin hanya bisa memutar mata. "Yeah, kedengarannya seperti Becky."

Ia tidak terkejut. Sama seperti Freen, Nalin juga pernah menjadi korban kejahilan mengesalkan Becky—dan ia tahu betul betapa mudahnya wanita itu membuat orang lain merasa terjebak dalam permainan gilanya.

Sepanjang perjalanan, mereka terus bercakap-cakap, membiarkan gelak tawa mengalir tanpa henti hingga akhirnya mereka sepakat untuk makan siang bersama Becky dan teman-temannya yang lain. Tempat yang mereka tuju terletak di sisi kota yang cukup jauh, membuat perjalanan mereka sedikit lebih panjang dari perkiraan.

Saat berjalan menuju tempat Freen memarkir mobilnya—atau lebih tepatnya, mobil milik Becky, meskipun wanita itu bersikeras meminjamkannya demi alasan 'keamanan'.

Sementara itu Nalin masih sibuk menceritakan kisah konyol lainnya. Kali ini, tentang rekan kerja prianya yang tanpa sengaja salah membawa dokumen. Alih-alih proposal proyek penting, yang ia serahkan justru surat permintaan maaf pacarnya karena telah berselingkuh. Lebih buruk lagi, surat itu sudah tersebar di meja CEO kantor mereka—seorang atasan terkenal kejam yang tak mengenal belas kasihan.

Tawa mereka menggema di ruang basement yang sepi. Namun, keceriaan itu sirna dalam sekejap begitu mereka sampai di sudut tempat mobil diparkir.

Freen yang hendak mengeluarkan kunci dari tas selempangnya tiba-tiba membeku, begitu pula Nalin. Keduanya berdiri terpaku, jantungnya berdebar kencang sebelum akhirnya jeritan melengking memenuhi udara.

"O-oh my God..."

Nalin menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya sedikit bergetar saat matanya terpaku ngeri pada pemandangan di hadapan mereka. Freen, di sisi lain, langsung jatuh terduduk di lantai aspal basement yang dingin. Wajahnya seketika pucat, kehilangan ekspresi, seperti mayat hidup yang baru saja melihat neraka terbuka di hadapannya.

Mobil yang seharusnya putih bersih kini berubah menjadi kanvas mengerikan, dilumuri darah merah segar. Namun, bukan hanya itu yang membuat nyali mereka runtuh.

Di atas mobil, seekor anjing tergantung terbalik—matanya kosong, tubuhnya tak lagi utuh, darah masih menetes dari leher yang nyaris putus. Dinding di belakang mobil juga penuh bercak merah, dan di sana, dengan huruf besar yang tercoret kasar, terbaca pesan mengancam:

'AKU MENEMUKANMU.'

Bau anyir langsung menusuk hidung, menyesakkan dada Freen hingga ia merasa mual. Seluruh isi perutnya terasa ingin dimuntahkan, sementara rasa takut yang baru saja ia coba abaikan kini merayap kembali, mencekiknya tanpa ampun.

 

***

 

Suara sirene meraung di segala penjuru, membelah ketegangan yang menyelimuti basement. Garis polisi membentang di setiap sudut, menciptakan batas tak kasatmata yang memisahkan ketertiban dari kekacauan. Tim forensik bergerak cepat, mengambil gambar, mengumpulkan bukti, mencari petunjuk yang bisa menjawab pertanyaan tentang kejadian mengerikan ini.

Dari kejauhan, orang-orang mencoba mengintip, rasa penasaran mereka terbakar oleh bisik-bisik yang menyebar dengan cepat. Namun, langkah mereka terhalang oleh barisan polisi dan petugas keamanan yang menjaga perimeter dengan ketat. Riuh kembali terdengar saat jasad anjing malang yang tergantung itu akhirnya dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Gumaman jijik dan geram mengisi udara—siapa yang tega melakukan hal sekeji ini pada makhluk tak berdosa?

Meski kasus ini langsung ditangani dengan serius, media belum terlihat di tempat kejadian. Selain pembantaian anjing yang sadis, belum ada bukti konkret yang bisa mengarah pada pelaku. Atas permintaan Kolonel dan juga pelapor, akses menuju basement telah sepenuhnya ditutup.

"Serahkan padaku. Kami bisa mengurus semuanya dari sini, Becky."

Kolonel Lee, seorang pria yang selama ini menjadi sekutu Becky dalam berbagai kasus hukum di firmanya, menepuk bahu wanita itu sebelum melangkah pergi. Becky membalasnya dengan anggukan kecil dan desahan lelah.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar suara Nalin yang tengah menjelaskan alibi mereka kepada salah satu petugas yang mencatat setiap detail kesaksian.

Pandangan Becky beralih ke sisi kanan, dan di sanalah Freen, duduk sendirian di kursi yang diberikan polisi setelah mengalami shock berat. Wanita brunette itu terlihat begitu rapuh, matanya kosong, dan tubuhnya tampak sedikit gemetar. Setelah merasa cukup mendapat jawaban, polisi yang mewawancarainya pun pergi, membiarkannya sendirian untuk menenangkan diri sebelum beralih ke Nalin untuk mengajukan pertanyaan serupa.

Becky menghela napas berat saat langkahnya semakin dekat dengan sosok Freen yang duduk membelakanginya. Siang tadi, ia masih terjebak dalam tumpukan aduan klien di kantornya, tenggelam dalam pekerjaan seperti biasa—sampai panggilan tak terduga dari kantor polisi membuatnya terlonjak. Pertanyaan tentang mobilnya yang terlontar dari seberang telepon sontak memicu aliran keringat dingin di pelipisnya. Jantungnya berdegup kencang, pikiran buruk berkelebat liar, menciptakan skenario mengerikan yang tak mampu ia hentikan. Ia tahu pasti siapa yang menggunakan mobil itu—dan itu sudah cukup untuk membuatnya panik.

Dalam perjalanan menuju lokasi, tangannya hampir gemetar di atas kemudi. Ia berusaha tetap fokus, memaksakan dirinya tetap tenang, namun bahkan doa yang ia bisikkan pun tak cukup untuk mengusir kegelisahannya.

Sesampainya di sana, Becky menarik napas dalam sebelum perlahan meletakkan tangan di bahu kiri Freen. Namun, alih-alih meredakan ketegangan, sentuhannya justru membuat wanita brunette itu tersentak kaget dan jatuh dari kursinya dengan suara berdebum keras.

Melihat sorot ketakutan di mata sahabatnya, Becky merasakan sesuatu di dadanya mengencang—rasa nyeri yang tak ia duga.

"Freen... Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian saat ia berjongkok di hadapan wanita itu.

Freen mengangkat wajahnya, ekspresi terkejutnya perlahan melembut saat mengenali Becky. "O-Oh, Bec... syukurlah itu kau." Ia menghela napas lega, meski tangannya masih sedikit gemetar saat menerima uluran tangan Becky yang membantunya berdiri.

Namun sebelum ia bisa benar-benar menenangkan diri, Freen sudah berada dalam dekapan erat Becky.

Tanpa sadar, kepalan tangannya mencengkeram kuat blus wanita itu, seakan berusaha mencari pegangan dalam pusaran emosi yang melandanya. "A-aku minta maaf... untuk mobilmu." Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh perasaannya sendiri.

Becky mengusap rambut Freen dengan lembut, sementara tangan satunya melingkar di pinggangnya, memberikan kehangatan yang lebih dari sekadar pelukan biasa. "Lupakan mobil itu. Aku lebih mengkhawatirkanmu... juga Nalin."

Perlahan, Becky menyandarkan dagunya di atas kepala Freen, membiarkan momen itu bertahan sejenak. Dan dalam keheningan yang nyaman itu, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya—betapa dirinya merasa begitu pas memeluk Freen seperti ini.

Ia bahkan diam-diam bersyukur telah mengenakan heels hari ini.

Bukan karena gaya atau penampilan, melainkan karena dengan cara ini, ia bisa memeluk Freen dalam posisi paling nyaman, paling protektif.

Dan Becky tahu pasti—ini adalah pelukan paling aman yang pernah ia berikan pada seseorang.

Dan orang itu adalah Freen.

"Bec, aku minta maaf—"

Suara Freen terdengar putus-putus, penuh sesak oleh emosi yang tak terbendung.

"Sstt... It's okay, Freen. Everything is—"

Namun sebelum Becky bisa menyelesaikan kalimatnya, ia merasakan kepala Freen menggeleng keras, seolah menolak setiap kata penghiburan yang hendak ia berikan. Dan saat itu juga, Becky tahu—air mata sahabatnya telah jatuh. Ia merasakan bulir hangat itu meresap ke kain blusnya, menyatu dengan kepedihan yang kini memenuhi ruangan di antara mereka.

"Tidak! Kau lihat sendiri mereka membunuh Fluffy! Aku minta maaf! Aku benar-benar menyesal!"

Freen membenamkan wajahnya semakin dalam ke lekukan leher Becky, tangisannya pecah, mengguncang seluruh tubuhnya. Benteng pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh begitu saja, meninggalkan dirinya rapuh dalam dekapan sahabatnya.

Becky memejamkan mata, tangannya semakin erat memeluk Freen. Ia tahu, tak ada kata yang cukup untuk menghapus luka ini.

Fluffy. Nama itu bergema dalam benaknya, membawa kembali kenangan yang kini terasa jauh lebih menyakitkan.

Anjing kecil berbulu hitam yang dulu ia hadiahkan pada Freen di hari ulang tahunnya. Seekor Daschund mungil bertubuh gemuk yang selalu mereka anggap sebagai anak asuh bersama.

Fluffy adalah bagian dari hidup mereka.

Bahkan ketika Becky telah menikah dan Freen sibuk berkelana ke berbagai penjuru dunia, wanita brunette itu tidak pernah membiarkan Fluffy sendirian. Ke mana pun ia pergi, Fluffy selalu ada di sisinya—sang teman setia yang tak tergantikan.

Namun ketika Freen mendengar berita tentang Becky, ia yakin telah menitipkan Fluffy di tangan yang tepat. Ia percaya, anjing kecilnya akan aman, terlindungi.

Tapi sekarang...

Sosok itu telah ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

Dibantai dengan kejam, tubuhnya dianiaya tanpa belas kasihan.

Freen semakin menyesakkan genggamannya di blus Becky, seakan berharap itu bisa menghentikan rasa takut yang kini menguasainya.

Karena ia tahu—ini bukan sekadar kehilangan.

Ini adalah peringatan.

Seseorang telah menemukannya.

Dan ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

 

***

 

Freen perlahan membuka matanya, kelopaknya berkedip beberapa kali, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk dan kebingungan yang masih menggantung. Rasa sakit berdenyut di kepalanya, seperti baru saja dihantam benda tumpul atau dibelah menjadi tiga bagian.

Ia mendesis pelan, jari-jarinya terangkat untuk memijat pelipisnya dengan lembut, mencoba meredakan rasa nyeri yang mengganggu. Saat kesadarannya semakin pulih, ia menyadari betapa kering tenggorokannya—seolah tubuhnya sendiri mengkhianati kebutuhannya.

Seakan mendengar keluhan dalam diam, pintu kamar terbuka.

Sosok Becky muncul dari baliknya, membawa sebuah nampan kecil berisi segelas air dan semangkuk sup yang masih mengepul hangat.

"Syukurlah kau bangun," ucap Becky dengan nada penuh kelegaan. Langkahnya dipercepat, menempatkan nampan itu di atas meja samping ranjang sebelum menyerahkan segelas air kepada Freen.

Tanpa pikir panjang, wanita brunette itu segera menenggaknya, membiarkan kesegaran air mengalir melewati tenggorokannya yang kering. Setelahnya, ia menarik napas panjang dan mengembuskan udara dengan pelan.

"Apa yang terjadi?" bisiknya, berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Ia yakin dirinya baik-baik saja, tapi—

Keningnya berkerut.

Potongan ingatan itu seperti kepingan puzzle yang tak kunjung menyatu.

Lalu—

"Kau pingsan setelah membasahi blusku, dan akibatnya semua polisi bisa melihat dengan jelas bra hitam yang kukenakan."

Becky menyeringai kecil, suaranya setengah bercanda, seolah ingin mencairkan suasana.

Freen menatapnya sekilas, masih berusaha memproses kata-kata itu. Ia mengingat betapa siang tadi dirinya menangis tanpa henti, merendam blus sahabatnya. Tapi lebih dari itu, ia juga ingat betapa dadanya semakin sesak, tubuhnya terasa begitu lelah hingga akhirnya semuanya menjadi gelap.

Becky, di sisi lain, bisa merasakan betapa tegangnya Freen.

Ia masih ingat bagaimana paniknya saat tubuh sahabatnya tiba-tiba ambruk di pelukannya, membuatnya tak berpikir dua kali untuk meminta bantuan petugas terdekat. Bersama Nalin, ia membawa Freen ke rumah sakit secepat yang ia bisa.

Diagnosis dokter?

Kelelahan parah dan depresi.

Tak ada luka fisik, tak ada cedera yang mengkhawatirkan. Namun dokter dengan tegas memperingatkan Becky untuk menjaga agar Freen tidak mengalami stres lebih lanjut. Ia harus beristirahat total, menghindari beban emosional yang terlalu berat, serta mengonsumsi vitamin dalam jumlah besar setidaknya selama dua hari ke depan.

Becky menghela napas, duduk di tepi ranjang, menatap sahabatnya dengan penuh perhatian.

Ia tahu, kata-kata tidak akan cukup untuk menenangkan Freen.

Tapi ia juga tahu satu hal—apapun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Freen melewati semua ini sendirian.

Pada akhirnya, Becky hanya bisa menasihati Freen untuk beristirahat penuh dan tidak memaksakan diri bekerja terlalu keras sendirian. Namun, respons yang ia terima hanya gumaman singkat, sebuah "Oh," yang terdengar datar, tanpa embel-embel tambahan.

Setelah itu, keheningan menyelimuti ruangan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, menciptakan suasana canggung di antara mereka berdua.

Becky menghela napas pelan. Mungkin ini saatnya.

"Freen, apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?"

Nada suaranya lembut, namun penuh kehati-hatian. Jemarinya terulur, menggenggam tangan sahabatnya dengan hangat—sebuah isyarat bahwa ia ada di sini, siap mendengar apa pun yang ingin Freen katakan.

Sudah berbulan-bulan sejak Becky pertama kali mendengar gosip itu—sebuah rumor yang ia dapat dari seorang teman enam bulan lalu. Sejak saat itu, pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepalanya, tapi ia tak pernah memiliki kesempatan untuk menanyakannya langsung pada Freen.

Tidak, bukan karena ia tak peduli.

Tapi karena Freen tak pernah sekalipun menyinggungnya.

Di samping itu, pekerjaan mereka sama-sama menuntut, membuat Becky selalu berpikir mungkin lebih baik membiarkan waktu yang menjawab semuanya. Jika rumor itu memang benar, cepat atau lambat Freen pasti akan menceritakannya.

Namun, setelah semua yang terjadi hari ini... Becky mulai meragukan apakah itu benar hanya sekadar rumor.

Ia melihatnya—bagaimana tubuh Freen menegang seketika setelah mendengar pertanyaannya.

Detik itu juga, Becky tahu.

Ada sesuatu yang salah.

"Freen, aku mohon, bicaralah."

Becky menguatkan suaranya, berusaha menembus dinding pertahanan yang selama ini sahabatnya bangun. "Kau didiagnosis mengalami depresi, kita merasa diawasi selama berminggu-minggu, dan sekarang seseorang menerormu dengan cara yang mengerikan. Bukankah ini cukup untuk mengatakan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi?"

Ia menarik napas, mencoba meredam ketegangan yang mulai menjalar di dadanya.

"Aku tahu kapan dan bagaimana musuhku akan mencoba mengancamku. Tapi saat ini, Freen... yang menjadi target bukan aku. Ini tentangmu."

Becky menatap dalam-dalam ke arah Freen, berharap sahabatnya akan membalas tatapannya, berharap ia bisa melihat apa yang selama ini disembunyikan wanita itu.

"Mereka mungkin tahu kalau kau tinggal bersamaku, tapi bagaimana dengan Fluffy?" Becky menelan ludah, pertanyaan itu terasa berat di lidahnya. "Dari mana mereka tahu?"

Freen menarik tangannya, melepaskan diri dari genggaman Becky, lalu berpaling.

Ia tidak bisa.

Bagaimana caranya menjelaskan semuanya tanpa mengulang luka lama? Tanpa membiarkan kenangan pahit itu kembali merayapi dirinya, merenggut ketenangan yang dengan susah payah ia bangun?

Freen ingin melupakan. Ia ingin mengubur semuanya jauh di dalam, menghapus jejaknya, dan memulai hidup baru. Meskipun ia tahu, tidak ada yang benar-benar bisa dilupakan begitu saja. Namun, setidaknya, ia bisa memilih untuk tidak membicarakannya.

Terutama kepada Becky.

Sahabatnya tidak perlu tahu. Tidak perlu ikut terseret dalam kegelapan yang selalu membayangi hidupnya.

"Jawab aku, Freen. Please."

Becky tidak menyerah. Wanita itu memang keras kepala, dan Freen sudah seharusnya tahu kalau Becky tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.

Tiba-tiba, kedua tangan Becky menangkup wajahnya, memaksanya menatap mata itu—sepasang mata yang penuh dengan permohonan.

Freen terdiam.

Saat itu, ia menyadari satu hal.

Ini bukan lagi tentang dirinya sendiri.

Karena tanpa ia sadari, Becky kini sudah ikut terlibat.

Suara Freen nyaris tak terdengar saat ia akhirnya membuka mulut dan mengakui,

"...Aku melarikan diri."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SILENT PART 3 - BECKFREEN
1
0
***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan