
Orlando Jaska dikenal sebagai selebriti ganteng, penyanyi dengan heavenly voice, dan playboy menawan yang bisa membuat tipe MBTI cewek-cewek berubah menjadi MLYT alias mleyot.
Namun di mata Savana Citra, Lando itu nggak lebih dari sekadar selebriti pengidap sindrom sadar pesona, orang iseng kurang kerjaan, dan heartbreaker menyebalkan.
Harusnya Citra menghindari Lando, mimpi buruknya. Tapi keadaan justru membuatnya harus kembali bersinggungan dengan teman sejak kecilnya itu. Ditambah lagi...
PROLOG
"Lando! Aku salah apa sih sama kamu?!"
Suaraku bergetar. Teriakanku tadi terdengar goyah. Aku mengusap air mata yang jatuh ke pipi dengan punggung tangan. Sungguh aku benci dengan bocah laki-laki yang kini cuma cengar-cengir dan bertos ria dengan teman-temannya seolah mereka baru saja menyelesaikan misi menyelamatkan dunia.
Aku memegang ujung rambutku dengan jijik. Sebelumnya aku selalu menyukai rambut tebal, hitam, dan panjangku. Namun, aset indah yang kusayangi tersebut kini tampak mengerikan. Ada permen karet berwarna ungu yang sudah tampak pudar dan memucat. Permen karet tersebut lengket disana dan susah untuk dilepas.
"Dasar cengeng!" dengkus bocah laki-laki itu dengan enteng.
"Aku nggak mau tau! Singkirin ini dari rambutku!" teriakku lagi, kali ini makin kencang. Tanpa ragu aku mendekatinya yang masih duduk di puncak perosotan dan menarik kakinya agar dia terjatuh.
Rupanya bocah itu lebih tangguh dari yang kukira, sekuat apapun aku menariknya, dia tidak bergerak dari puncak perosotan.
"Jangan teriak-teriak,” ucap bocah itu dengan songong. “Tinggal potong rambut aja sana apa susahnya, sih?”
Tangisku makin jadi. Aku kini sudah berjongkok dan menelungkupkan mukaku ke lutut. Aku tidak mau memotong rambut berhargaku. Permen karetnya lengket sampai di bawah telinga. Memotongnya sama saja membuat penampilkanku seperti anak laki-laki dan aku benci terlihat tomboy.
"Huu... Citra cengeng, orang nggak sengaja."
Aku kembali mendongak dan memandang Lando berapi-api. "Kamu sengaja!! Kamu sengaja pegang rambutku pura-pura mau liat jepit yang kupake!" bentakku kesal.
Besok adalah hari pertama aku menginjakkan kelas tiga SD, aku nggak mau penampilanku terlihat aneh. Kalau dipangkas paksa, parahnya mungkin aku akan terlihat seperti sedang memakai helm ke sekolah.
"Itu nggak sengaja namanya, aku emang cuma mau liat jepit bunga kamu," bela Lando.
Bohong! Aku tidak lupa dia tadi cengar-cengir dan bertos dengan teman-temannya seolah mengisengiku memang sudah menjadi rencananya.
"Aku aduin ke Mama!" balasku masih dalam sisa tangisku.
Lando tiba-tiba turun dari perosotan, kemudian dia menggandeng tanganku. "Yuk, aku anterin ke Mama kamu. Aku bisa bilang aku nggak sengaja."
Lando dengan entengnya menarik tanganku dan membuat kami berjalan bersisian. Dia bahkan sempat melambaikan tangan ke rombongan bocah laki-laki yang masih di taman sebagai tanda dia harus pamit duluan.
Aku menyentak tangan Lando, tidak suka dengan sikapnya yang semena-mena ini. "Jangan bohong di depan Mama aku! Kamu tadi jelas sengaja!"
“Aku nggak sengaja, Mama kamu pasti nggak akan marah.”
“Kamu sengaja!”
“Enggak, kok! Emang ada buktinya?”
“Kamu sengaja!” teriakku lagi, kali ini diiringi tangis karena perasaanku sudah kesal setengah mati.
Lando tersenyum miring. "Nggak perlu nangis, rambut panjang kamu juga jelek kok."
Ucapan Lando membuat tangisku makin menjadi-jadi.
***

CHAPTER 1 - How to Revenge
"In case you didn't know, I've been craving for your love since long ago. Even when you are acting cool, even after I see myself as a fool."
Pernah nggak sih kalian merasa seperti mau mati kebosanan karena sebuah lagu? Bukan karena lagunya jelek, tapi karena lagunya sudah terlalu sering diputar. Bukan hanya melalui radio dan televisi, tapi juga di cafe tempat nongkrong, di ruang tunggu rumah sakit, dan bahkan di iklan youtube saat lagi asiknya streaming.
Aku merasakan hal itu sekarang. Andai aku tidak kenal penyanyinya, pasti sudah kumaafkan suara itu, berhubung penyanyi lagu In Case You Didn't Know yang hits banget akhir-akhir ini adalah seorang pria bernama Orlando Jaska, aku makin punya alasan untuk menutup kuping saat lagunya diputar.
Tanganku berhenti men-scroll timeline twitter yang terpampang di layar laptopku sekarang. Kuambil airpods di tas dan memasangnya ke telinga, dengan cepat aku mencari lagu One Direction. 1D never gets old, setidaknya bagiku begitu. Suara Harry Styles dan kawan-kawan lebih menyenangkan untuk didengar daripada lagu Lando yang masih mengudara di speaker cafe tempatku berada sekarang.
Baru saja aku mau kembali menyimak ratusan reply di thread yang aku unggah dua hari lalu, kedatangan Audy membuat fokusku teralih. Cewek berambut ikal itu duduk tepat di depanku dengan caramel macchiato di tangannya.
"Gimana? Udah dapet masalah setelah bikin thread buruk tentang Lando?" tanya Audy tanpa basa-basi.
Aku melepas sepasang airpods dari telingaku dan memilih menghargai lawan bicaraku sekarang. Aku mendesah panjang. "Gila, ya, ternyata power fanbase Lando nggak main-main. Mungkin sekitar dua puluh lima persen isi reply-an thread itu menyetujui ucapan gue dan ngejelekin Lando, dan tujuh puluh lima persennya ngebela cowok itu mati-matian."
"Ck, lo sih, nge-ide banget buat bikin perpecahan. Nggak takut kena ciduk apa? Kalau kena kasus pencemaran nama baik kan gawat."
"Nggak mungkin kena ciduk, orang yang gue omongin semuanya fakta."
Audy menatapku tak setuju. “Walaupun fakta, apa perlu lo spill begitu? Gue udah menduga akan ada kemungkinan lo bakal kena counter dari fans Lando.”
"Ini semua gara-gara Angga dan temen-temen SMA-nya Lando. Kalau mereka nggak sok-sokan speak up, akan ada cukup banyak orang berdiri di kubu gue,” tukasku berapi-api.
Sambil menyandar pada kursi, Audy menjawab enteng. “Tapi yang dibilang Angga bener, sih, Cit. Lando orang yang terlalu ramah makanya suka sok akrab sama orang dan emang suka jahilin. Tindakannya nggak bisa disebut bullying. Itu caranya berteman.”
"Cara berteman apanya? Nggak gitu, Dy, kalau sama gue kelakuan dia bisa kayak setan," sahutku kesal. “Eh, lo di tim Lando, ya?”
"Bukan gitu, gue rasa thread lo memang kurang akurat. Kelakuan Lando kepada lo terdahulu mungkin adalah bentuk caper yang ditunjukan cowok itu. Dia punya rasa kali."
"Rasa apa? Pacar Lando banyak kali, mana sempet dia punya rasa sama gue. Zaman SMA dulu, pacar Lando itu bisa jadi regu latihan baris-berbaris atau bikin tim flashmob saking banyaknya."
Audy terkekeh karena mungkin dia juga menyadari itu. "I see, tapi apa rasa kesal lo sama Lando nggak bisa dijadiin kenangan aja? Lando nggak gangguin lo lagi, yang kemarin itu cuma mulutnya aja yang iseng. Bisa-bisanya lo kepikiran buat bales dendam dengan ngancurin reputasinya.”
Kali ini Audy salah. Lando kembali mengusikku. Tiga minggu lalu aku pulang ke Bogor karena kebetulan ada jatah libur dari kampus memasuki minggu tenang sebelum ujian. Berhubung menghabiskan waktu libur hampir seminggu di kosan hanya akan membuatku mati kebosanan, jadi aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku di Bogor. Rumah orang tuaku berdekatan dengan rumah keluarga Lando, hal yang memang menjadi alasan aku bisa kenal dengan selebriti itu dulu. Kami bertetangga sejak kecil, satu SD, satu SMP dan satu SMA pula. Setelah lulus SMA, kami sama-sama mengadu nasib di Jakarta namun di jalur berbeda. Lando memutuskan untuk mengejar karir bernyanyinya, sedangkan aku memilih berkuliah di ibukota.
Aku tidak pernah melihat muka Lando lagi secara langsung sejak cowok itu mulai berkeliaran di televisi, internet, atau papan iklan. Mungkin sudah tiga setengah tahun lamanya. Dan aku sama sekali tidak berharap bertemu dia lagi. Tapi, tepat ketika kepulanganku ke Bogor, aku melihat dia di depan rumahku, bersama kakaknya yang tak kalah tampan saat aku dan adikku baru saja pulang dari minimarket.
Lando dan kakaknya, Raga, menggobrol santai dengan mama dan papa. Yang membuatku bergidik ngeri, orangtuaku menatap Lando seolah mereka ikut serta dalam membesarkan Lando dan menjadikannya sukses seperti sekarang. Bahkan mama dan papa tidak pernah menatapku dan Gisya -adik perempuanku, dengan tatapan penuh kebanggaan begitu.
Langkahku mendekati pagar rumahku jadi meragu. Walaupun dengan pakaian santai, aura Lando emang terlihat seperti seorang bintang. Wajahnya jadi lebih tampan daripada yang terakhir kali kuingat, tubuhnya juga makin jangkung dan atletis, dilengkapi dengan potongan rambut agak panjangnya.
Yang membuatku bergidik ngeri sekali lagi, serangan insecure menerpaku tanpa permisi karena realita yang tersaji di depan mata sekarang. Lando baru memasuki usia ke 23 tahun, dan dia hampir punya segalanya. Bisa dibilang, dia sekarang berada di puncak piramida tertinggi. Sangat berbanding terbalik denganku yang baru mau menyusun skripsi dan menyiapkan mental dibantai dosen. Dan yang membuatku makin terlihat sial, aku nggak mengalami momen puberty hits you like a truck seperti orang-orang di luar sana. Tidak seperti Lando yang makin menawan setelah tidak melihatnya dalam waktu lama, aku justru masih konstan seperti dulu. Citra si cewek standar. Nggak cantik, nggak begitu menarik dan tentunya nggak membuat cowok-cowok menoleh dua kali jika aku melintas.
Lihatlah diriku sekarang. Kalau tahu aku akan betemu Lando, mungkin aku menggunakan setelan yang lebih pantas. Sekarang pakaianku lusuh bagai pengemis yang baru diusir satpol PP. Hanya kaos, jeans pendek selutut beserta sendal jepit. Untungnya aku pakai masker jadi keburikan di wajahku yang hari ini tanpa polesan make up bisa tersembunyikan. Terlambat untuk kabur dan sedikit berbenah diri, Gisya lebih dulu histeris karena di depannya sekarang ada selebriti yang membuat teman-teman SMA-nya menggila.
"Ini beneran Kak Lando?! Kapan pulang, kak? Astagaaa, temen-temen sekelas aku fansnya Kak Lando. Pokoknya nanti aku harus dapet tanda tangan dan foto bareng biar mereka pada jealous. Eh btw, lagu baru Kak Lando bagus banget, itu jadi anthem galau kami di kelas," Gisya melemparkan pujiannya bertubi-tubi, hal yang membuat kedua orang tuaku dan Kak Raga tertawa. Lando mengulum senyum geli, aku tahu pasti dia makin terbang disanjung begitu.
"Tenang aja, Gis, Kak Lando kamu ini pulangnya lusa nanti. Dateng aja ke rumah kalau mau foto atau tanda tangan," balas Kak Raga dengan ramah.
"Citra juga kali mau foto bareng Lando, biar bisa pamer, Cit, kata kamu pacar kamu nggak percaya kan kamu punya kenalan selebriti."
"Nggak gitu, Ma," sangkalku. Rex kadang mendengar keluhanku yang tidak menyukai Lando setiap kali aku melihatnya di sosial media, Rex pernah bertanya alasannya dan kujawab saja kalau Lando versi asli adalah orang yang menyebalkan. Tapi Rex cuma tertawa seolah menganggap ucapanku hanya candaan. Ya, pasti dia sangsi bagaimana Citra yang bahkan tidak populer di kampus ini bisa kenal bintang top seperti Lando.
"Beneran, Cit? Padahal lo bisa kasih foto-foto kita dulu," ucap Lando dengan nada isengnya yang khas. Nada familier yang kubenci.
"Foto yang mana?" tanyaku bingung.
"Eh, apa kita emang nggak pernah foto bareng, ya?" dia balik bertanya.
Aku memutar bola mata bosan. Dengan alasan kebelet ke kamar kecil, aku langsung meninggalkannya masuk ke dalam rumah. Membiarkan diriku berinteraksi lebih lanjut dengan cowok aneh itu mungkin hanya akan membuat sebal saja. Sama seperti dulu, wajah gantengnya sama sekali tidak membantu.
Besok paginya aku kembali bertemu Lando, dia tampaknya habis jogging dan menghampiriku yang sedang menyiram tanaman.
"How's life?" tanya Lando tiba-tiba. Dia bahkan membuka pagar dan masuk ke dalam teras rumahku tanpa ragu.
"Better karena nggak ada lo di dalamnya, " jawabku sambil mematikan keran air. Lalu aku menatapnya sambil berkacak pinggang. "Lo jogging bebas gini nggak takut dikerubungi massa? Lando yang so damn hot and popular itu kedapatan olahraga pagi di Bogor dan masuk ke teras rumah tetangganya tanpa diundang. Itu bisa masuk berita."
"Masih pagi, massa nggak akan sadar kalau ada cowok yang so damn hot and popular lagi keliaran main ke teras cewek yang lagi nyiram tanaman."
"You're still annoying."
Lando terkekeh. "Lo ternyata cantikan ya, kemarin nggak liat karena pake masker."
Aku tahu kenapa Lando punya track record sebagai playboy, dia memang jago menggombal bahkan sejak masih pakai seragam putih biru dulu. Banyak sekali teman-temanku yang sudah kena tipu daya lelaki berjakun ini.
"Pujian pertama yang gue denger pagi ini, tapi kayaknya abis ini gue bakal mendengar hinaan, ya?"
"Bingo! Rambut lo, kok masih dibikin panjang, sih? Pendekin aja kayak dulu pas kena permen karet. Rambut panjang lo jelek."
Dalam sejarah hidupku, dua kali rambutku terkena permen karet sampai harus dipotong pendek. Yang pertama ketika aku SD, dan yang kedua ketika hari pertamaku di SMA. Pelakunya adalah Lando.
Aku juga tidak mengerti dimana letak jeleknya rambutku. Menurutku, rambut panjang, halus dan hitam mengkilap ini adalah aset berharga karena kuyakin jika aku selebriti, aku pasti sudah di endorse produk shampoo.
"Lo nggak berubah, ya. Masih aja mental pembully."
"Sama lo aja, kok."
"Kenapa harus gue?" cetusku kesal.
Lando pura-pura berpikir. "Nggak tahu juga, ya. Seru aja."
"Lo nggak takut gue sebarin di sosmed kalau gue jadi korban bully lo? Followers lo bakal jatuh kalau mereka tau sikap asli seorang Orlando Jaska yang diagung-agungkan itu. "
"Coba aja, Cit."
"Nantangin?"
"Yes, I dare you, sekalian menguji loyalitas penggemar gue."
Nih cowok memang rada aneh.
Lando tersenyum miring. "Tapi lo pasti nggak berani. Cause you're still my little coward."
Percakapan itulah yang memancingku melakukan tindakan nekat. Aku tidak terima dianggap Lando pengecut. Dia kira aku tidak berani menjawab tantangannya apa? Karena itu aku memilih media yang mudah menggaet impresi dari orang; twitter.
Sebenarnya isi thread-ku tidak terlalu kejam. Aku menulis threadnya menggunakan akun palsu dengan username @na_va_sa yang kalau dibalik sebenarnya adalah nama depanku; Savana. Isi threadnya dimana aku bercerita bahwa aku adalah teman sekolah selebriti berinisial L yang dengan mudah disimpulkan netizen sebagai Lando, sering di-bully cowok itu, pernah jadi korban permen karet di rambut, pernah disetrap di lapangan karena baju olahragaku disembunyiin Lando, jatuh dikubangan becekan ketika pulang sekolah karena bahuku disenggol Lando dengan keras, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada satu keisengan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku, tapi itu terlalu riskan kalau aku tulis juga di thread. Jadi, lebih baik aku menyimpannya sendiri.
"Jadi, rencana lo sekarang apa? Thread lo rame, tapi nggak menimbulkan huru-hara yang bikin penggemar Lando ngibrit ninggalin dia," ucapan Audy menghentikan flashback pertemuan terakhirku dan Lando.
"Yaudah sih, mau gimana lagi, lagian gue nekat bikin thread ini karena dia yang nantangin. Biar dia tahu aja gue bukan lagi Citra bisa dia isengin dengan mudah."
“Hadeh Cit, impulsif banget, yang penting batin lo puas deh." Audy kemudian menyedot caramel macchiato-nya. "Btw, Lando beneran makin ganteng, ya, aslinya?"
"It's hard to admit but yes. Makin tinggi, berotot pula, nggak kurus kayak SMA. Mukanya tambah glowing, keliatan sih perawatannya mahal."
Audy tersenyum penuh ide. "Kapan-kapan kalau lo balik ke Bogor ajak gue dong, kali aja ketemu Lando. Udah lama nggak ngeliat dia."
Aku, Audy dan Lando memang satu sekolah. Tapi kami beda kelas. Aku dan Audy anak kelas IPA dan Lando anak kelas IPS. Tapi Audy hanya menetap sampai kelas dua SMA karena di tahun ketiga, orang tuanya pindah tugas ke Malang, jadi dia harus berpisah denganku. Untungnya kami bertemu lagi di Universitas yang sama. Satu jurusan pula. Sastra Inggris.
"Probabilitas ketemu Lando kecil banget, Dy. Dia kan artis, jadwalnya sibuk, kebetulan aja kemarin dia lagi libur dan nyempetin ke rumah neneknya."
"Atau kita nonton konser dia aja, ya? Ada jadwal konser nggak dalam waktu dekat?"
"Ih, males banget!" tolakku cepat. Sebenarnya saat SMA aku sering melihat Lando tampil, dia bergabung dalam grup band sekolah. Suaranya bagus, tentu saja. Dia juga punya aura bintang karena ketika sudah di atas panggung, dia bisa menjadi sosok yang tidak hanya menjual suaranya, tapi juga stage act-nya. Melihat Lando bernyanyi cukup menghibur, tapi kalau aku harus rela mengeluarkan uang, war ticket, berjubel dengan kerumunan hanya demi melihatnya manggung, sepertinya nggak dulu. Rugi sekali.
"Kenapa sih? Itung-itung support temen," kata Audy diplomatis.
Aku tersenyum masam. "Kalau temennya kayak Lando, gue pikirin dulu deh."
"Huh, dasar! Btw, pacar dia sekarang siapa, ya, Cit?"
"Kezia Thalita kayaknya. Terakhir ada akun gosip yang ciduk mereka lagi dinner bareng."
"What? Kezia yang clingy banget itu?"
"Heh? Emang dia ngapain?"
"Dia setiap sama lawan mainnya di series suka clingy gitu pas di behind the scenes-nya. Nempel mulu. Agresif juga."
"Oh, tipe Lando banget emang. Inget Tiara anak kelas IPS dulu nggak? Dia kan juga modelan begitu, Lando pacarin dia kurang lebih dua bulanan. Seinget gue sih tipe cewek Lando emang yang agresif. Dia nggak suka cewek polos atau yang sok jual mahal."
Audy terdiam, dia menatapku seolah sedang berpikir keras. Aku balas menatapnya bingung.
"Kok lo tau? Lo diem-diem merhatiin Lando atau dia cerita sendiri?"
Aku berdecak. "Lando pernah ngomong waktu SMA dulu hal itu ke gue, nggak penting sih, tapi gue masih inget aja karena keberadaan Lando tuh terlalu berbekas di hidup gue. In negative way of course."
Ponselku di atas meja bergetar. Ada notifikasi WhatsApp yang masuk dari Rex. Pacarku sejak satu tahun lebih.
Rex : Citra, I have something to talk, bisa ketemu kamu siang nanti?
Aku melirik jam tanganku, sekarang pukul sebelas. Sudah siang.
Citra : boleh. Jam berapa? Kalau sekarang sih masih sama Audy.
Rex : Jam 1. Aku jemput. Kasih tau aja kalau udah sama Audy
Citra : oke deh
Rex : See u soon honey
"Rex, ya?" tanya Audy yang cukup mengagetkanku.
Aku nyengir lalu mengangguk. "Kok tau sih?"
"Senyum lo beda, kayak lagi baca chat dari Timothee Chalamet."
Aku terkekeh singkat. Nggak selebay itu juga. "Rex mau jemput nanti, lo bawa mobil sendiri, kan?"
Audy mengangguk.
Karena tugas kuliah yang kukerjakan sudah selesai dan thread di twitter yang kubuat tidak menarik lagi untuk disimak, aku mematikan laptop dan fokus mengobrol dengan Audy.
"Kayaknya pemilik cafe-nya penggemar Lando, yang diputar full album," kataku saat menyadari lagu yang terdengar di kafe ini semuanya dinyanyikan oleh Lando.
"Lagu-lagu Lando bagus," komentar Audy.
"Hmm, kecuali In Case You Didn't Know." Itu lagu full english pertama cowok itu yang rilis dan juga menjadi title track album berjudul Love or Lost.
"Gila, kalo lo ngungkapin opini lo di publik, lo pasti diserang massa. Itu lagu yang paling hit di albumnya, paling banyak di-streaming online, paling enak didenger juga. Suara Lando semanis madu di lagu itu."
Aku mengangkat bahu sekenanya. Entahlah, sejak pertama kali dirilis aku sudah tidak suka dengan lagunya. Awalnya aku menganggap liriknya aneh karena berisi pesan bucin yang bukan Lando banget, tapi hebatnya di lagu itu dia bisa terdengar tulus. Lalu kemudian, lagu itu jadi mega hits seperti yang dikatakan Audy. Hal yang menyebabkan lagu itu diputar dimana-mana. Secara mendadak aku bosan bukan main mendengarnya.
"Pendapat pribadi, kok, gue bebas berpendapat," belaku.
Audy meringis. "Sedendam itu sama Lando sampai lo harus membenci lagu semanis ini?"
"Gue nggak benci, gue cuma kurang suka aja. Lagian, yang menyebalkan di hidup gue itu Lando, gue tetep berusaha menghargai karya-karyanya kok, gue tau bikin lagu nggak gampang."
"Yaudah, kalo gitu yuk nonton konser Lando kapan-kapan. Anggap aja menghargai karyanya," ajak Audy bersemangat.
"Itu bukan menghargai, tapi lebih ke memuja dia. Gue nggak mau teriak-teriak histeris demi Lando. Bisa-bisa makin besar kepala dia."
"Ck. Lo beneran punya dendam kesumat sama Lando."
Aku menghela napas panjang. Bukan dendam sih. Tapi huru-hara yang diciptakan Lando dari masa kecil sampai masa remajaku begitu melekat sehingga di mataku image Lando si penyanyi terkenal yang dipuja segala kalangan itu tidak ada artinya.
***
Thread by Citra:



***
Thanks for reading!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
