
Seekor kucing di jalan Mira pulang, sepertinya membencinya. Dan akhir-akhir ini, Mira merasa kucing oranye itu bukan satu-satunya. Dalam kesehariannya yang memuram, Mira merenungkan hidupnya.
Di antara penderitaan dalam hidup yang terus-menerus, dibenci oleh hal yang kita cintai adalah yang paling menyedihkan. Saat terjadi, kekecewaan akan menyebar bak tinta ditumpahkan dalam air, seiring kasih sayang tanpa pamrih yang kita berikan tak menemui sambutan.
Begitulah yang Mira rasakan sekarang. Kucing itu menjauh. Kucing berwarna oranye itu berjalan menjauhinya. Kucing berwarna oranye yang menggemaskan itu segera berjalan menjauhinya begitu ia mendekatinya.
Mira tersenyum masam. Ia memasukkan kembali makanan kucing yang tadi dikeluarkannya ke dalam tas, dan ganti mengeluarkan gawainya. Ia mengetikkan pesan, lalu menekan tombol kirim.
: Ada kucing lucu di jalan pulang, tapi kayaknya dia benci aku..
Pesan terkirim. Beberapa detik kemudian, tak ada balasan. Sudah sewajarnya, pikir Mira. Lelaki itu pastinya tengah membelah lautan manusia di jam pulang kerja seperti ini. Lagipula, akhir-akhir ini, dia sering terlambat membalas pesan Mira. Atau tak membalas sama sekali.
Begitu tersadar, kucing itu sudah hilang dari pandangannya. Mira baru melihat kucing itu beberapa hari belakangan. Terdengar berlebihan, tapi dia cukup yakin mengenal semua kucing di area sekitar sini. Jalanan ini masih satu kilometer dari tempat kosnya, tapi kucing biasanya menetap dalam teritori tertentu. Kucing oranye dengan corak putih itu sudah pasti pendatang. Dan ia selalu langsung kabur begitu menyadari keberadaan Mira.
Hari ini, Mira cukup beruntung berhasil mendekat dengan iming-iming makanan, tapi ia membuat keputusan yang salah dengan mencoba mengelus kucing tersebut. Kucing itu segera lari begitu mendeteksi jemari Mira mendekatinya bulu-bulunya. Tak ada hubungan baik yang dipaksakan. Sepertinya, terlalu cepat. Begitu pikir Mira.
Menelan kekecewaannya, Mira bangkit dan beranjak. Seekor kucing meninggalkannya di jalan pulang. Dan tak ada kucing lain yang menunggunya di tempat tinggal. Ibu kosnya melarang hewan peliharaan. Kepulangannya tak ditunggu. Satu kekecewaan ditelan, dan kegetiran lain hadir memasamkan mulutnya. Tak ada yang menunggu, tak seekor kucing, atau siapapun.
Setibanya ia, Mira akan melemparkan tasnya, mandi, berganti pakaian yang nyaman, memesan makanan, lalu bergelung di atas kasur; mungkin menelpon, atau menatap terang layar gawai sampai kedua pelupuk matanya redup terlebih dulu. Dengan kata lain, seperti biasanya.
***
“Kau sudah tiba?”
“Ya, baru saja.”
“Aku bertemu dengan kucing yang kemarin tadi. Tapi, dia langsung kabur begitu aku mendekat.”
“Kau sudah bilang lewat pesan tadi.”
“......”
“.....”
“Bagaimana di kantor hari ini?”
“Seperti biasa. Tak ada apa-apa.”
Mira menelan ludah. Rasanya, kering. Baik mulutnya, maupun pembicaraan ini.
“.....”
“Aku mau tidur. Sudah, ya.”
Lelaki itu memutus sambungan. Meninggalkan Mira yang menggigit bibirnya di ujung lain. Telepon malam ini juga berakhir cepat. Tak ada yang perlu dikecewakan, pikir Mira. Itu berarti, ia bisa tidur lebih cepat. Atau andai saja bisa begitu.
***
“Maksudnya, kalau dia memang tak mau membantu, bilang saja dari awal. Tidak perlu mengungkit-ungkit di rapat seperti itu. Kelihatan sekali cari muka.”
“Iya. Terakhir kali juga sama. Kenapa masalah kecil harus dibesar-besarkan? Sampai departemen lain juga tahu.”
“Aku tidak begitu kenal dengan wanita itu. Apa memang separah itu?”
“Coba saja rasakan satu tim dengannya. Benar-benar memuakkan.”
“Hmm.” Mira bergumam dan mengangguk-angguk. Untuk kemudian, kembali menyeruput es teh manisnya.
Mau tak mau, Mira menaruh simpati pada wanita yang duduk tiga meja di hadapannya di kantor. Sudah tiga hari ini, ia menjadi topik pembicaraan setiap sesi makan siang perkumpulan kolega sekantornya. Pun demikian, Mira tak mengatakan apapun selain tanggapan singkat. Membicarakan orang lain, maupun menolak membicarakan orang lain, sama melelahkannya. Mira hanya tak ingin lebih lelah dari kondisinya saat ini.
Gawainya berbunyi. Notifikasi pesan masuk muncul di layar atas.
: Tolong dikerjakan siang ini.
Satu pesan masuk, lalu diikuti pesan lainnya. Sebuah tautan. Mira tahu ia hanya akan merasa tertekan jika membukanya sekarang. Jadi, ia memutuskan untuk menunda tekanan tersebut sampai ia tiba di balik mejanya nanti.
“Bagaimana kelanjutan hubunganmu?”
Mira mendongak. Melihat ketiga koleganya memandanginya, sepertinya pertanyaan itu ditujukan padanya. , Wanita-wanita pertengahan dua puluh tersebut sepertinya telah meninggalkan topik sebelumnya dan memutuskan topik lain, kehidupan pribadi Mira. Kini Mira sedikit menyesal pernah bercerita pada mereka.
“Baik. Kami hanya sedang sama-sama sibuk.”
Mereka mendengungkan oh pendek dan mengangguk-angguk. Mira tersenyum canggung.
“Bukankah kalian berencana lanjut lebih serius?” Satu dari mereka bertanya.
“Ya, tapi seperti yang kubilang, kami masih sama-sama sibuk.”
Jeda sejenak menggantung.
“Berhati-hatilah, biasanya saat seperti ini, hubungan kalian akan mengalami guncangan.” Satu yang lain berkomentar.
Mira hanya menggigit bibir.
***
“Ini masih tidak sesuai, Mira. Saya berharap banyak sama kamu, jadi tolong diperbaiki, ya.”
“Baik, pak.”
“Kamu boleh pergi.”
“Baik, pak.”
Mira keluar dari ruangan yang dingin tersebut. Tubuh manusia menguarkan panas. Emosi manusia meningkatkannya. Tapi, ruangan itu menyerap semuanya. Yang bisa Mira rasakan hanya dingin. Pendingin udara di ruangan tersebut mungkin diatur di angka 16. Tapi Mira yakin, 16 tak cukup rendah untuk apa yang ia rasakan selama berada di sana.
Mira kembali terduduk di balik mejanya. Dia belum menghimpun cukup tenaga untuk kembali menaruh jemari di atas tuts papan ketik. Ataupun mengintip jendela yang bersembunyi dari tampilan layar komputernya yang menunjukkan latar belakang berupa gambar bukit hijau. Ia memutuskan untuk meraih gawainya. Hanya pengalihan sejenak, pikirnya.
: Hari ini pulang jam berapa?
: Apa rencana akhir pekan ini jadi?
Beruntungnya, lawan pesannya sedang daring dan segera membalas.
: Lebih telat. Ada lembur
: Sepertinya belum bisa
: Kapan bisa?
: Belum tahu
Mira menggigit bibir. Ia mematikan layar gawainya. Menaruhnya kembali di dekat tetikus, yang ganti ia genggam. Ia sempat memandang ke depan. Perempuan di tiga meja di depannya tampak berfokus pada pekerjaannya. Mira pun beralih menatap layer komputer. Ia mengarahkan kursornya pada jendela yang tersembunyi. Setelah mengerjapkan mata, pandangnya kembali berfokus pada deretan huruf dan angka.
***
Sore ini, kucing oranye itu tak tampak. Namun, Mira bertemu dengan beberapa kucing lain. Alex, Ryan, Yono, dan Abdul. Yono sebenarnya betina, tapi Mira terlanjur memberinya nama itu. Lagipula, nama tidak harus selalu terikat pada gender. Mira memberi mereka makan. Di tepi trotoar, kucing-kucing itu makan dengan lahap. Mereka dekil dan kotor. Mereka dekil, kotor, dan menggemaskan.
Setiap memberi kucing-kucing jalanan makan, Mira bertanya-tanya apa yang mereka makan sebelumnya, atau sesudah ini. Apa makanan yang ia berikan, adalah yang terenak buat mereka hari ini? Apa makanan yang ia berikan cukup untuk mereka bertahan sampai ia kembali lagi?
Mira mengenyahkan pikirannya dan mencukupkan diri dari mengamati para kucing makan, Mira beranjak. Hanya untuk kemudian bergeming sebelum sempat melangkah. Kucing oranye itu ada di hadapannya. Mereka saling bertukar tatap. Kebijakan Mira adalah tak menamai kucing yang tak akrab dengannya. Jadi, kucing oranye itu adalah kucing oranye untuk sementara. Dia juga bergeming memandangi Mira. Jarak mereka kurang-lebih tiga langkah. Langkah manusia. Jika ia salah bertindak, kucing itu akan kabur dengan segera.
Mira tersenyum pada si kucing. Kucing itu menunjukkan muka tak senang. Bukan berarti Mira bisa membaca perasaan kucing. Hanya saja, ekor kucing itu melengkung ke bawah.
“Kau boleh ikut makan, kalau mau,” ujar Mira ramah.
“.....”
“Apa kau mau aku menaruhnya terpisah? Kau boleh makan sendiri kalau kau enggan bergabung dengan yang lain.”
“.....”
Dengan hati-hati, Mira berjongkok. Ia kembali mengeluarkan bungkus makanan kucing dari tasnya, lalu menuangkan sebagian isinya ke tanah.
“Silakan.” Mira berkata sambil mengangkat kepala. Hanya untuk mendapati kucing itu sudah pergi.
Ia menggigit bibir. Kucing oranye itu sepertinya masih membencinya.
***
Langit-langit kamar adalah rasa muram yang akrab. Beberapa saat lalu, Mira berusaha menghitung domba dalam kepala sambil terpejam. Setelah hitungan ke-65, dia menyerah. Pikirannya kini menjelajah, dan ia menyadari bahwa langit-langit kamarnya punya corak yang memiliki bentuk seperti benua Afrika. Karya seni yang dihasilkan oleh fenomena alam berjulukan rembesan hujan.
Mira mencoba mengingat nama negara-negara di Afrika. Ia mengingat Nigeria, Afrika Selatan, Sudan, dan Uganda. Lalu, dia mencoba mencocokkan lokasi negara-negara tersebut dan menyadari, dia tak punya ide di mana negara-negara itu terletak. Mira menyerah.
Dia kemudian berusaha mengingat-ingat, seperti apa langit-langit kamarnya di rumah orangtuanya. Mira tak bisa mengingatnya. Yang ia ingat hanya kegiatan yang sering dia lakukan di kamar. Membaca. Menggambar. Menulis buku harian. Mira tak lagi menulis buku harian. Ia masih membaca, meski sangat jarang. Ia juga tak lagi menggambar.
Terakhir kali dia menggambar, mungkin enam tahun lalu. Saat Mira masih duduk di kelas 12, sebelum ia memutuskan meninggalkan hobinya itu agar bisa fokus belajar dan masuk ke kampus yang diinginkan oleh orang tuanya. Waktu itu, dia menganggap itulah pilihan yang benar dan terbaik. Sekarang, ia mempertanyakannya. Akan seperti apa kehidupannya sekarang jika ia masih menggambar?
Mira tak begitu ingat apa gambar terakhirnya. Sepertinya, karakter dari salah satu komik Jepang favoritnya. Apa itu Kyo Sohma dari Fruit Basket? Sepertinya, iya. Mira mengingat membaca sampai volume empat dari komik tersebut. Sebelum akhirnya menyimpannya dalam kardus setelah ibunya menyuruhnya untuk menyingkirkan koleksi komiknya. Seperti apa gambarnya waktu itu? Mira mengingat bahwa ia cukup puas dengan hasilnya.
Perasaan yang kuat lebih gampang diingat. Mira bangkit dari rebahnya. Ia menuju meja di samping ranjang, lalu menyalakan lampu belajar. Ia tak punya buku gambar ataupun pensil sekarang. Jadi, ia memutuskan untuk menggunakan satu lembar pada buku catatan tanpa garisnya. Ia hanya menggunakan pulpen. Ia awalnya menyangsikan masih mampu menggambar, tapi otot-ototnya masih mengingat kemampuan yang diasah berkali-kali itu.
Beberapa saat kemudian, tangan Mira berhenti. Ia meletakkan pulpen, lalu mengangkat buku catatannya. Salah satu lembarnya kini diisi oleh sebuah gambar. Gambar siluet seorang wanita. Guratannya kasar dan ekspresi wanita yang digambarnya tak jelas. Tapi, Mira menyukai hasilnya. Meski tak sebaik dulu, ia merasa menumpahkan perasaan murninya pada gambar itu.
Lalu, rasa puasnya dengan cepat memudar. Gejolak perasaan berkecamuk dalam diri Mira. Dan tanpa ia sadari, pelupuk matanya basah. Gambar yang baru saja ia selesaikan, sekarang dihiasi bekas tetesan air mata.
***
Mira bangun dengan mata sembab. Atau bengkak. Dia tak tahu yang mana. Atau apakah penyebabnya memang karena dia menangis untuk waktu yang lama semalam, atau karena dia insomnia dan hanya tidur tiga jam. Yang jelas, hidup tetap berjalan. Mira masih harus bangun pagi, sarapan dengan terburu-buru, dan berdesak-desakan dalam bus kota yang mengantarnya ke sebuah bangunan persegi yang ia labelkan di peta daring sebagai kantor.
Dari halte terdekat, dia masih harus berjalan 300 meter lagi. Perjalanan yang selalu tak menyenangkan. Mira jarang melihat kucing di sepanjang jalan menuju kerja. Mungkin, kucing benci pekerja kantoran. Mira juga benci pekerja kantoran. Cara lain untuk mengatakan bahwa ia benci dirinya sendiri. Entah dirinya yang mengenakan pakaian formal seperti sekarang, ataupun piyama murahan seperti semalam. Mira tak yakin pernah mencintai satupun versi dirinya.
Pikiran-pikiran tersebut terbenam sedikit saat ia melewati pintu masuk. Ia memberikan senyum dan dan sapa untuk satpam dan petugas kebersihan. Sejauh ini, Mira belum berpapasan dengan satupun kolega yang ia kenal. Satu hal yang ia syukuri pagi ini. Meski nanti, ia tak bisa mengelak untuk menjumpai penampakan batang hidung mereka.
Mira memasuki lift. Kosong. Hal lain yang patut disyukuri. Agak aneh mengingat sekarang jam yang seharusnya padat. Mira melongok dan mendapati tak seorangpun yang hendak naik. Ia memutuskan hal ini sebagai keberuntungan dan menekan tombol penutup pintu.
Tangan seseorang terjulur mencegah pintu tertutup. Berlalulah keberuntungannya, pikir Mira. Ia segera menekan tombol pembuka pintu. Seorang perempuan masuk dan mengucap terima kasih. Mira menyunggingkan senyuman dan mengangguk. Nindya, ia mengingat nama perempuan tersebut. Perempuan yang duduk tiga meja di depannya.
Mereka jarang bicara satu sama lain. Mengingat reputasi Nindya di sesi makan siangnya akhir-akhir ini, Mira jadi canggung di sekitarnya. Bukan berarti ia punya penilaian buruk. Mira pada dasarnya tak terlalu mengenal sosok yang satu lift dengannya saat ini.
“Kau tidak apa-apa?” Nindya tiba-tiba berujar.
Mira sedikit tersentak. Pertanyaan itu jelas ditujukan padanya. Lift tengah naik, dan untuk beberapa waktu, mereka hanya diam berdua dalam ruang 3x4 meter. Nindya memandanginya. Kekhawatiran yang tampak tulus terpancar pada matanya. Mira terlalu terkejut untuk merespon.
Nindya tersenyum. “Malam yang buruk?”
Mira menjawab tergagap. “Kurang-lebih.”
Sambil tetap tersenyum, Nindya berkata, “Setiap orang dewasa punya malam yang buruk. Aku pun sama.”
Mira tak tahu harus menjawab apa. Dia bertanya-tanya seperti apa raut wajah yang ia punya sampai seseorang yang tak terlalu ia kenal menanyakan kondisinya. Mira hanya bisa menggigit bibir. Nindya sendiri tampak mencari sesuatu di tas jinjingnya. Setelah menemukan yang ia cari, ia menjulurkan benda itu pada Mira. Sebuah kartu pengenal.
“Kau bisa menghubungi nomor yang tertera. Tak perlu ragu, aku sendiri rutin datang ke sana.”
Mira masih berusaha mencerna, saat bel berbunyi dan pintu lift terbuka.
“Sudah sampai, mari.”
Mira mengikuti perempuan tersebut keluar dari lift. Ia jadi tampak seperti anak baru yang dibimbing oleh seniornya masuk ke kantor di hari pertama. Mira memasukkan kartu yang baru diterimanya ke dalam tas.
***
“Ini ketiga kalinya kamu berbuat kesalahan yang sama, Mira!”
“Maaf, pak.”
“Pekerjaan kamu ini banyak yang menginginkan! Kalau kamu mau bertahan, tunjukkan performa yang baik!”
“Maaf, pak.”
Pria paruh baya dengan tanda-tanda kebotakan itu mendesahkan kekesalannya.
“Ingat, ya. Saya tidak mau ini terulang lagi.”
Mira hanya terdiam.
“Kamu boleh keluar.”
Mira membungkuk, lalu berbalik. Saat langkahnya mendekati pintu, ia menyadari bahwa ia tak merasakan apapun. Tidak dingin pada suhu ruangan, tidak pada hatinya. Mira merasa ia mungkin telah kebas. Kekhawatiran itu membuatnya ingin menangis. Namun, kedua pelupuk matanya kering. Tak ada air mata untuknya, bahkan dari dirinya sendiri.
Mira kembali ke balik meja, kembali menatap layar komputer. Ia melirik sekilas gawainya, dan memutuskan untuk meraih tetikus di sebelahnya. Mira memutuskan saat ini lebih baik tenggelam. Kalaupun tidak pada kedalaman air, pada deretan huruf dan angka dia tercebur.
***
“Kita sudah bicarakan ini berkali-kali. Ini saat-saat yang penting buatku di kantor. Kukira kau sudah mengerti itu.”
“Aku cuma butuh kejelasan.”
“Apa yang kusampaikan belum cukup jelas?”
“.....”
“Sudah, ya. Aku sudah capek karena pekerjaan. Tidak perlu kamu tambahkan lagi.”
Sambungan terputus. Sesuatu yang lain juga terputus. Mira menengadahkan kepala ke langit-langit kamarnya. Sebelumnya, corak berbentuk benua Afrika tampak jelas terpampang di sana, kini ia tak lagi bisa mengenali bentuk itu. Mungkin karena posisinya saat ini, yang tak sedang terlentang di atas ranjang, namun meringkuk di sudut.
Mira masih tak bisa menangis. Ia mungkin sedih. Ia tahu ia seharusnya sedih. Tapi kenyataannya, ia hanya merasakan lelah.
***
Sesi makan siang kali ini sepi. Mira mengunyah potongan makanan pelan. Ia masih mampu mengecap rasa, hal itu setidaknya patut dirayakan. Selain fakta lain bahwa ia tak perlu mendengar pembicaraan yang ia tak ingin ambil bagian. Walaupun mungkin, kini ia sama sekali tak perlu mengambil bagian. Mira menerka-nerka, apakah kini ia adalah salah satu dari topik pembicaraan pada sesi makan siang di tempat lain.
Ketiga wanita koleganya kini menjauhinya. Mira tak tahu pasti apa penyebabnya. Ia tak tertarik untuk mencari tahu. Mungkin mereka akhirnya sadar bahwa Mira hanya berpura-pura hadir di setiap sesi perbincangan mereka. Mungkin mereka tak tahan dengan kepalsuan pada senyum dan nada bicaranya.
Mira mengecek gawainya. Sebuah notifikasi pesan yang sejak pagi ia abaikan, masih terpampang di layar atas. Ia tak berani membukanya. Bukan karena isinya, ia sudah membaca sekilas dan dengan segera menyimpulkan maksud keseluruhannya. Ia hanya menunda-nunda untuk menjawab. Ia merasa tak punya kata-kata untuk menjawab. Mira membaca sekali lagi teks pesan yang terbaca sebagian itu.
: Kita memang sudah cukup jauh, tapi kurasa kita memang bukan..
Apapun kata selanjutnya dari pesan tersebut, Mira tahu itu adalah lembar kesedihan baru untuk ditambahkan. Mira memandang ke sekitar. Kebanyakan meja diisi oleh orang dewasa dalam grup dua hingga lima. Mira melempar pandangannya ke kejauhan dan bergumam, “Makan sendirian mungkin tak seburuk itu.”
Ia menghela nafas.
“Sendirian mungkin tak seburuk itu.”
***
Siang itu, cuaca cerah. Di salah satu lorong kantor, Mira berpapasan dengan Nindya. Mereka bertukar senyuman. Mira memaksakan miliknya.
“Apa kau sudah menghubungi nomor yang kuberikan? Atau kau sudah datang langsung?”
Tanpa basa-basi, Nindya bertanya. Atau mungkin juga ia menanggap pertanyaan itu sebagai basa-basi.
Mira meragu.
“Entahlah, aku tidak yakin aku membutuhkannya.”
Tatapan Nindya sekilas berubah. Mira mengenali tatapan itu. Apa namanya? Keprihatinan? Ia tak tahu bagaimana merespon reaksi seperti itu.
“Kau yang lebih tahu,” ujar Nindya akhirnya.
Mira hanya mengangguk.
Walau ia sebenarnya ingin menggelengkan kepala. Ia tak tahu. Ia benar-benar tak tahu.
“Yang bisa kukatakan hanya, tak semua hal seburuk itu.”
Mira tersenyum. Nindya pun berlalu.
Tak semua hal seburuk itu, ulang Mira dalam hati. Seberapa buruk memangnya semua ini? Ia bertanya-tanya.
***
Perjalanan pulang kali ini lebih berat dari biasanya. Ia tak lembur dan pulang tepat waktu. Tapi saat ini, waktu Mira berjalan lembam dan lambat. Mira menyusuri tritiar dengan gontai dan payah. Ia sampai di satu sudut depan bangunan kosong yang sudah sering dikunjunginya. Ia berjongkok dan mengeluarkan sesuatu dari tas jinjing. Makanan kucing. Ia menuangkan sebagian. Meski tak seekor kucing pun yang tengah nampak.
Ini tempat dan waktu Mira biasa memberi para kucing makan. Sudah setahun ia melakukannya sejak pindah ke kota ini. Saat menegenang hal itu, Mira Kembali tersadar bahwa waktu cepat berlalu. Mira memutuskan tetap berjongkok dan menunggu. Suasana sedang sunyi, tak banyak manusia berlalu lalang, dan tak seekor pun kucing. Ia berharap salah satu dari para kucing itu akan muncul. Yono atau Alex biasanya selalu lebih lapar ketimbang yang lain.
Di luar dugaannya, yang muncul adalah kucing oranye itu. Mira tersenyum.
“Kemarilah. Kau boleh makan sebanyak yang kau mau. Yang lainnya sepertinya tidak datang kali ini.”
Meski tampak ragu, kucing oranye itu mendekat. Ia melirik ke Mira, lalu memutuskan untuk makan.
“Apa kau sudah tidak membenciku?” Sembari memperhatikan kucing oranye itu melahap santapannya, Mira mengajaknya bicara. “Terima kasih. Aku sedang merasa, dunia membenciku sekarang. Jadi, kalau kau tidak lagi membenciku, aku berterima kasih.”
Kucing oranye itu tak bereaksi dan hanya melanjutkan makan.
“Apa kau cukup makan? Apa jika aku tidak ada, kau dan yang lainnya akan tetap cukup makan?”
Entah kenapa, setelah mengatakan itu, kedua pelupuk mata Mira mulai basah. Ia pun tak kuasa menahan tangis. Tak sesenggukan, tapi air matanya mengalir bak rembes hujan di dinding kosannya.
Mira membuka tas jinjingnya, berusaha meraih tisu di dalamnya. Tangannya meraih sesuatu yang lain. Mira mengeluarkannya. Kartu yang diberikan oleh Nindya. Ia memandangi benda itu dari balik air matanya yang masih mengalir. Dalam samar, ia berusaha mengenali nomor sambungan telepon yang tertera.
Apakah ia harus menghubungi nomor tersebut? Apakah kini ia tahu bahwa ia butuh?
Mira merasakan sesuatu menggesek kakinya. Kucing oranye itu tengah menggosokkan kepalanya ke Mira. Ia terkejut. Kehangatan menyebar dalam diri Mira, dan ia tersenyum. Ia balas mengelus kucing oranye itu, ia tak menolak.
“Aku akan datang lagi membawa makanan. Aku akan baik-baik saja.”
Kucing oranye itu mengeong. Mira teringat sesuatu.
“Kau akan kunamai Waluyo.”
Seolah tengah memberkati, Mira menepuk kepala Waluyo.
Kucing itu kembali mengeong.
Masih tersenyum, Mira berkata, “Ya, kita akan berjumpa lagi esok hari.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
