
Deskripsi
Di tengah trotoar terlihat seorang pemulung beserta gerobak yang sama lusuhnya. Duduk seraya menyeka peluh membasahi dahi. Kemudian mengibaskan topi ke arah wajah. Di hadapannya tergeletak gerobak tempat hartanya tersimpan. Kardus-kardus bekas bersesakan. Ragam bentuk botol bekas air kemasan berjejalan berebut tempat.
Dalam sudut gerobak nan sempit itu. Terduduk seorang anak kecil sedang menekuri pekerjaannya—mengupas label merk botol-botol bekas yang dipungut sang bapak. Sepasang pemuda dan pemudi...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Peredam Emosi #CeritadanRasaIndomie
4
4
Dalam ruangan Building Manager, Nara—seorang karyawati perusahaan properti, tengah berusaha menjaga kewarasannya yang kian menipis. Setelah harga dirinya tercabik karena kesalahan sistem perangkat genset oleh salah satu penyewa ruang. Intuisinya mengatakan bahwa sesaat lagi akan menjadi bulan-bulanan Atasannya.“Kamu kenapa gak becus gitu sih! udah berapa lama kamu kerja di sini?” tanya Atasannya.“Sepuluh tahun, Pak,” jawab Nara mencoba duduk dengan tenang di hadapan Atasannya.“Se-puluh tahun! Tapi masih gini ngadepin penyewa!” ujar Atasan seraya menghampiri dan berdiri di belakang Nara.“Ini bukan salah saya, Pak. Genset yang tiba-tiba error dan PLN mati listrik. Saya tidak terima kalau saya dibilang tidak kompeten. Apalagi menghina pendidikan saya,” ungkap Nara seraya menoleh ke belakang.“Loh, kenyataannya kamu hanya lulusan SMA kan, jadi telan saja apa yang mereka katakan. Jang-an, mem-bantah,” sahut Atasan menatap wajah Nara yang menahan marah.“Kalau dari minggu lalu bapak approval penawaran spare part genset yang saya kasih, semuanya tidak akan terjadi seperti ini, Pak!” seru Nara.“Jadi, kamu mau nyalahin saya. Kurang ajar sekali kamu,” ujar Atasan. “Sekali lagi saya mendapat complaint dari penyewa tentang kamu. Saya pastikan kamu keluar dari perusahaan ini. Sekarang, keluar dari ruangan saya, keluar!”Nara diusir hanya karena membela harga dirinya yang tak bersalah. Air matanya luruh disepanjang koridor ruangan para petinggi perusahaan. Dia tidak kembali ke cubicle tempatnya bekerja melainkan menuju kantin. Menghibur dirinya dengan semangkuk indomie rebus dengan irisan cabai rawit.Aroma indomie menguar kala mie, kuah, dan bumbu teraduk diiringi kebulan asap dari atas mangkuk ayam jago. Kala lidahnya tersentuh mie dan mulai mengunyahnya bersama irisan cabai. Tanpa terasa Nara meretas dimensi waktu. Tatkala dirinya berseragam biru dongker bersama kedua sahabatnya.***Tiga murid sekolah menengah pertama, emosi di bangku kantin. Tersulut angka 50 berwarna merah. Tepat di sudut atas sampul jilid kliping[1]—Tugas Kelompok Geografi, disusun oleh; Seto Pangestu, Desi Salsabila, Nara Sahita – Jakarta, 9 Februari 1999. “Ya ampun, masa nilai kita cuma segini,” gerutu Desi—si cewek kalem.“Tugas kelompok kita nilainya 50! Parah,” sungut Nara—si cewek tomboi.“Ah gila! Uang jajan gue abis buat beli koran, tapi nilainya cuma segini. Si mata empat tuh emang pelit banget kalau kasih nilai, edan!” racau Seto—cowo paling cerewet—pecinta pelajaran sejarah.“Kayanya kamu juga salah To. Kita diminta menjelaskan letak geografis negara-negara ASEAN yang mempengaruhi perekonomian setiap negara. Di kliping penjabarannya hanya fokus Negara Indonesia,” koreksi Desi.“Betul tuh kata Desi, lu pikir ini pelajaran sejarah,” protes Nara.“Eh, cunguk! Bisa ya … lu berdua protes ke gue. Kemaren lu berdua bantuin gue ga, hah!” bentak Seto.“Iya, sorry … gue ada urusan soalnya,” kelit Nara.“Urusan comblangin gebetan lu, maksudnya! Pas mereka jadian lu yang sewot sendiri. Ih, gemes gue sama lu. Udah tau suka, bukannya ditembak malah bantuin doi nembak cewek lain,” sindir Seto.“Nara emang bego banget,” sungut Nara membenarkan perkataan Seto.Desi pun merasa bersalah dan berkata, “Desi juga minta maaf ya, kemarin gak banyak bantu Seto.”“Ini lagi nih satu. Ditinggal mati peliharaan tamagochi[2] aja sedihnya gak udah-udah,” keluh Seto.“Desi tuh sayang banget sama Pupu, Seto ngga bakalan ngerti gimana rasanya.”“Desi … kan lu bisa mulai melihara lagi. Okelah, lu sayang sama Pupu, tapi namanya makhluk hidup pasti bakal mati,” tutur Seto.“Pupu kan binatang virtual, bukan makhluk hidup,” cibir Nara.Desi kembali murung mendengar cibiran Nara. Seto mencubit Nara yang tidak peka.“Aw …!” jerit Nara. “Udah, Des … jangan sedih lagi. Gak ada Pupu, tapi kan masih ada gue sama Seto yang bisa lu pelihara, he-he-he,” hibur Nara.Nilai tugas kelompok membuat mereka kesal. Namun, kekesalannya tidak bertahan lama. Tiga mangkuk indomie rebus dengan irisan cabai rawit selalu bisa diandalkan untuk meredam emosi. Persis seperti awal mula pertemuan mereka.***“Senior bego! Matanya juling apa. Udah tau gue yang lebih jago, kenapa Siti yang dipilih ikut pertandingan,” gerutu Nara.“Hiks-hiks, kan bukan Desi yang ngilangin bukunya. Kenapa anak-anak sekelas nyalahin Desi, sih.”“Wawan sialan! gue yang deketin Seli. Kok malah dia yang jadian,” kesal Seto.Mereka bertiga duduk berjarak di bangku panjang kantin. Tidak saling kenal satu sama lain. Menggerutu atas kemalangan nasib yang tengah dialami. Nasib yang berbeda, tetapi memiliki solusi sama.“Bang …! Indomie rebus pake cabe rawit!” seru Nara, Desi, dan Seto kompak.*** “Ha-ha-ha, kalo diinget pertemuan kita tuh aneh banget, ya,” tutur Desi.“Iya, lu dipojokan sono nangis sendirian,” kata Nara.“Ah, Nara juga tuh, ngata-ngatain senior gara-gara gak kepilih tanding silat,” balas Desi.“Yang paling parah sih, ini anak. Ditikung temannya sendiri, ha-ha-ha,” kelakar Nara.“Sialan lu Nar,” sungut Seto. “Eh, tapi kenapa ya, kita kok bisa barengan gitu mesen indomienya,” ujar Seto.“Takdir, To. Buktinya pas kelas tiga, kita bisa sekelas begini, iya, kan,” jelas Nara.“Iya, juga ya,” gumam Seto seraya mengangguk-angguk.Setelah berhasil meminjam gitar dan buku chord[3] milik anak penjaga kantin. Nara membolak balik lembar buku chord, lalu terhenti di lagu milik Audy—Dibalas Dengan Dusta. Kemudian menggenjrang-genjring gitar di tangannya seraya bernyanyi. Setelah masuk bagian reff, Desi dan Seto turut menyanyikannya.“Me … nyakitkan bila cintaku. Dibalas dengan dusta. Namun … mencintaimu tak kan kusesali, karna aku yang memilihmu.”***“Mbak!” seru seorang menepuk bahu Nara.“Eh, iya Mas, ada apa?”“Dari tadi saya tanya, mau minum apa? Mbaknya bengong aja.”“Oh … maaf Mas maaf, saya pesan es teh manis aja.”Berkat tepukan dibahunya, Nara kembali ke tahun 2022. Seketika teringat Desi dan Seto. Dia mulai melakukan panggilan video grup. Memasukkan nomor Desi yang memasang foto profil tengah mengajari dua anak. Lalu nomor Seto yang fotonya tengah berpose di belakang Patung Merlion—ikon Negara Singapura. Panggilan pun tersambung.“Oh my God, girls! Apa kabar kalian?” tanya Seto heboh.“Assalamuallaikum. Ya Allah … Desi kangen banget sama Seto dan Nara,” timpal Desi.“Liat nih, gue lagi ngapain,” ujar Nara memamerkan indomie rebus dengan irisan cabai rawit.“Mau ….” rajuk Desi.“Anjay ... sumpah! Nara bikin gue pengen balik Jakarta,” seru Seto.Obrolan mengalir deras. Terpisah jarak, kota, dan bahkan negara tak menghalangi mereka bercengkrama secara virtual. Namun, kesibukan mendistraksi kebersamaan mereka dan harus pamit menjalani realita. Begitu pun Nara. Dia harus kembali bekerja menjadi kacung koorporate demi bertahan hidup dan melunasi hutang keluarganya. Meskipun berat, setidaknya masih ada semangkuk indomie rebus yang mampu meredam emosi dan mengembalikan kewarasannya.
[1]Guntingan atau potongan bagian tertentu dari surat kabar, majalah, dan sebagainya, kemudian disusun[2]Perangkat mainan sederhana berupa binatang virtual[3]Kumpulan nada/not yang membentuk suatu rangkaian
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan