

Bimasakti Anugrah Hartanto yang sejak kuliah hingga berumur 37 tahun tidak pernah sama sekali memiliki kekasih, hingga ia bertemu Anika, salah satu staffnya di kantor yang memintanya berpura - pura menjadi kekasih perempuan itu.
Akankah kisah cinta mereka yang berawal dari kepura - puraan, akan berakhir bahagia? Apakah keluarga mereka akan menerima pernikahan mereka?
- novel romansa dewasa
- contains 21+ things, pembaca diharap lebih bijak 🙏
Jakarta, Indonesia
Jam hampir menunjukkan pukul 17.30 namun hujan masih saja mengguyur pusat kota dengan sangat deras. Membuat siapa saja rasanya enggan beranjak dari tempatnya, apalagi jika harus mengikuti arus pulang kantor yang sangat rumit di tengah hujan.
Dan itulah yang dirasakan Anika saat ini, yang hanya memutuskan menonton video youtube sembarang di komputer kantornya, dibandingkan perempuan itu harus berdesak desakan di bus umum dengan kondisi basah dan lembab. Jika ditanya kenapa tidak dengan taksi yang lebih privasi? Itu juga percuma, karena hari hujan begini para taksi - taksi akan memilih berhenti daripada mengambil penumpang dan menembus kemacetan di tengah hujan, dengan bayaran yang tidak seberapa.
“Hoaammm,” Anika menguap lebar karena kini otaknya mulai kekurangan asupan oksigen, perempuan itu merasa badannya sangat lelah hari ini. Apalagi tadi pagi karena masuk agak siang, Anika memutuskan untuk mengambil kelas kardionya tadi pagi, jadi sore ini tubuhnya benar - benar meminta untuk istirahat.
“Lahhh mbak Anika masih disini?” Tanya perempuan berambut pendek yang tiba - tiba muncul mengagetkannya. “Kok balik ke kantor lagi?” Tanya Anika malah balik bertanya. “Chargeranku ketinggalan, mbak sendiri kenapa belum pulang?” jawab Jenaka, sembari perempuan itu mencari barang di kubikelnya yang berada di samping Anika.
“Masih hujan,” jawab Anika melepas kedua earphone nya.
“Ini mah hujannya gak bakal berhenti sampai malam, mau nginep kah? Nanti diusir mang Yayan loh,” kekeh Jenaka, mengingat bagaimana satpam lantainya yang suka mengusir para staff yang suka nongkrong di kantor, diluar jam kerja.
“Mana berani mang Yayan sama gue,” sahut Anika yakin, karena perempuan itu memang sudah berteman akrab dengan satpam yang sudah menjadi sohibnya sejak dia masih karyawan magang di kantor ini. Dan itu artinya sudah bertahun - tahun yang lalu.
“Yaudah jangan malem - malem mbak disini,” Jenaka berucap lagi, membuat Anika hanya melambaikan tangannya mengabaikan ucapan Jenaka yang terdengar hendak menakutinya. “Udah sohib,” jawab Anika membuat Jenaka tertawa.
“Pulang sama siapa Jen?” Anika kini memutar kursinya menghadap ke arah Jenaka yang kembali merapikan barang - barangnya. “Sama pacarku mbak,” jawab perempuan itu. “Loh balikan? Bukannya kemarin bilang abis putus?” Anika memang masih ingat beberapa hari yang lalu Jenaka dengan semangat bercerita bagaimana kekasihnya mencampakkannya karena berselingkuh, bahkan perempuan itu sampai menangis di kantor karena saking sedih dan sakit hatinya -itu ucapan Jenaka.
“Hehe,” tawa penuh arti Jenaka. Sementara Anika hanya memutar bola matanya malas, seperti perempuan pada umumnya memang, jika sudah disakiti masih saja memaafkan dengan alasan masih cinta. Namun Anika tak begitu ingin ikut campur.
“Gak ada kapoknya,” jawab Anika. “Lah mbak sendiri aja jomblo,” sindir Jenaka membuat Anika tertawa. “Emang lu yee dibilangin,” Anika menjawab dengan nada sedikit kesal meskipun masih bercanda.
“Wes lah aku pamit dulu mbak, see you tomorrow mbakku,” Jenaka-pun melambaikan tangannya ke arah Anika untuk berpamitan kembali pulang. Perempuan itu berlari kecil ke arah lorong lift yang cukup jauh dari kubikel tempat mereka bekerja, mungkin Jenaka sudah ditunggu kekasihnya dibawah maka dia sedikit terburu - buru.
“See you,” jawab Anika kembali mendorong kursinya untuk lebih mendekat ke arah komputer miliknya, dan kembali menggunakan earphone-nya agar suara dari video itu bisa terdengar di telinganya.
Namun perempuan itu kini merasa sedikit bosan, sehingga memutuskan untuk berjalan ke arah jendela besar di yang tidak jauh dari tempatnya, Anika bisa melihat jika langit perlahan semakin gelap berkolaborasi dengan hiruk pikuk jalanan Gatot Subroto di bawahnya yang sangat menyala karena lampu - lampu dari kendaraan yang masih bermacet ria disana, membuat lampu - lampu itu terlihat kontras dengan langit. Apalagi beberapa gedung di sekitarnya juga mulai menyalakan beberapa lampu di lantai - lantai mereka, membuatnya terlihat semakin menyala dengan latar belakang langit mendung.
Sembari mengusap lengannya yang semakin terasa dingin karena cuaca diluar gedung itu berpadu dengan pendingin ruangan sentral yang mungkin belum diatur kembali suhunya benar - benar bisa membuat Anika menggigil. Earphone wireless yang semenjak tadi masih terpasang di lubang telinganya, kini di lepasnya. Karena perempuan itu pun merasa harus mencari sesuatu yang bisa menghangatkan tubuhnya.
Namun saat Anika hendak memutar tubuhnya, tiba - tiba dia mendengar suara benda jatuh. Sontak Anika menolehkan pandangannya ke arah ruangan besar di belakangnya, yang ternyata sudah tidak ada siapapun kecuali dirinya. Suasana sunyi dan hujan diluar tentunya membuat suasana semakin mencekam, apalagi bulu kuduk-nya kini sudah berdiri akibat rasa cemasnya setelah mendengar suara benda terjatuh tadi.
Jangan - jangan apa yang sering digosipkan para karyawan benar, bahwa lantai itu memiliki banyak penunggu.
“Ada siapa?” Kini Anika membuka suaranya, perempuan itu masih mencoba berpikir positif, mungkin saja tadi suara dari mang Yayan yang sedang mengecheck ruangan atau manusia lain yang memang masih berada di lantai itu. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang menjawab ucapan Anika, membuat perempuan itu kembali berpikir ulang.
Karena sepertinya dia memang harus segera turun ke lobby, karena lebih baik Anika menunggu taksi disana sembari berdiri dibanding sendirian di ruangan besar ini di jam yang hampir melewati waktu magrib. Yang menurut orang tua jaman dulu adalah waktu dimana para makhluk astral masuk ke dunianya. Meskipun Anika juga tidak begitu percaya dengan hal seperti itu.
Dengan tergesa Anika mematikan komputernya dan membereskan barang - barangnya asal, yang penting semua masuk ke dalam tempatnya seperti semula, tak peduli bentuknya seperti apa agar esok hari Anika tidak pusing saat memerlukannya. Setelah dirasanya mejanya sudah rapi, dan seluruh barang bawaannya yang perlu ia bawa pulang sudah masuk ke dalam tasnya, perempuan itu pun bergegas untuk berjalan ke arah lift yang berada di ujung ruangan dengan langkah cukup buru - buru, karena memang lorong itu cukup jauh dari kubikelnya, apalagi dengan posisi seperti ini jarak yang cukup jauh kini menjadi jauh karena Anika sedikit parno, namun perempuan itu tetap berdoa agar tidak muncul sesuatu yang menyeramkan di hadapannya.
Tidak bohong jika Anika tidak ingin bertemu dengan makhluk - makhluk astral, apalagi dia tinggal sendirian di apartemen. Tak terbayang jika dia bertemu mereka, mungkin Anika tidak sanggup tidur sendiri malam ini.
Brugh
Sayangnya karena sedikit panik, Anika jadi tidak awas dan tubuhnya kini menabrak tubuh sosok yang lebih besar dan tinggi darinya. Sehingga perempuan itu berteriak cukup histeris, sembari menutup matanya takut yang ia tabrak ternyata memang makhluk astral.
“AAKKKKK,”
“Ya!” Bentak orang itu, membuat Anika menghentikan teriakannya dan membuka matanya. Jantung perempuan itu hampir terjatuh ke bawah saat dia menyadari siapa yang dia tabrak, karena sebelumnya ia mengira dia menabrak makhluk astral yang berbadan besar dan tinggi.
“M-maaf pak Bima,” Anika menundukkan kepalanya dan menangkupkan tangannya, memohon maaf kepada lelaki yang tengah berdiri di hadapannya ini. Karena Anika bisa melihat dengan sangat jelas jika cangkir yang dipegang lelaki itu kini sudah berkurang isinya, dan berpindah ke kemeja putih milik lelaki itu. Yang membuatnya terlihat seperti lubang besar berwarna coklat kemerahan disana.
Dan semua ini karena Anika tidak awas dengan pandangannya dan terburu - buru, sehingga dia menabrak atasannya, dan membuat teh lelaki itu tumpah ke kemeja putihnya.
“Kalau jalan pakai mata,” Bima, atasan Anika yang baru saja menjabat sebagai Kepala departemen marketing selama sebulan itu meninggikan suaranya. Bahkan mungkin wajah laki - laki itu sedikit memerah, karena selain kesal Bima juga tengah menahan perih yang baru saja mengenai kulitnya.
“Maaf pak saya kira bapak jurig,”
Bima yang mendengar jawaban dari bawahannya yang baru saja menabraknya itu, tiba - tiba ingin tertawa tetapi disisi lain dia masih kesal. “Jaman sudah semodern ini kamu masih percaya sama jurig?!” Bentak Bima, lelaki itu kesal namun tetap menahan tawanya karena bisa - bisanya perempuan di hadapannya ini menganggapnya jurig-hantu.
Memang wajahnya seburuk itu?
“Maaf pak, izin siap saya salah,” jawab Anika pelan. Bima hanya menghela nafasnya dan menyodorkan gelas tehnya yang sudah berkurang banyak itu kepada perempuan di depannya.
“Ya tentu kamu salah, gak lihat kemeja saya jadi basah dan ini panas ya, Anika.” Bima menekan suaranya. Bisa dilihatnya perempuan di hadapannya sedikit gemetar, entah karena takut atau perempuan itu kedinginan di ruangan besar itu.
“Ba-baik pak, saya akan bertanggung jawab. Bapak bisa pakai jaket saya dulu, kebetulan saya suka simpan jaket di laci saya. Nanti saya buatkan bapak teh kembali,” perempuan itu memberikan solusi kepada Bima, respon refleksnya yang terbiasa menghadapi atasan - atasan yang suka tantrum.
Anika memang selalu menyimpan hoodie milik mantan kekasihnya, maksudnya untuk dibuang tapi Anika selalu lupa dan beruntungnya kini hoodie itu malah berguna. Dan semoga kondisinya masih bagus, agar lelaki di hadapannya itu tidak semakin emosi kepadanya.
“Memang cukup?” Tanya Bima, ragu dengan tawaran Anika untuk menggunakan hoodie perempuan itu.
“Kebetulan itu hoodie laki - laki jadi saya kira cukup kalau bapak pakai,” Jelas Anika membuat Bima memiringkan kepalanya, karena kini ada seutas pertanyaan di pikirannya.
Sementara Anika menaruh gelas teh di salah satu kubikel paling dekat dengan dirinya saat ini, kemudian perempuan itu berlari kecil ke kubikel miliknya untuk mencari hoodie yang ia maksud. Dilihatnya hoodie berwarna biru dongker dengan tulisan Boston itu masih dalam kondisi yang baik dan tidak apek, padahal sudah Anika simpan sekitar 2 tahun lamanya sejak ia terakhir putus dengan mantan kekasihnya, yang memilih menikah dengan perempuan lain dibanding dirinya. Setidaknya Anika sedikit bernapas lega.
“Ish,” Anika menghela nafasnya karena selalu sebal jika melihat hoodie itu. Karena hingga saat ini ia masih membenci mantan kekasihnya, yang satu itu.
Namun ia masih ingat jika dirinya harus segera memberikan hoodie itu karena atasannya, karena Bima masih menunggunya. Dan Anika tidak bisa berlama - lama mengingat masa lalunya itu.
“Ini pak, bapak bisa pakai dulu,” Ujar Anika menyerahkan hoodie itu, setelah kembali ke tempat Bima berdiri, bahkan laki - laki itu seperti tidak bergeser sedikitpun. Bima yang melihat kedatangan Anika-pun mengulurkan tangannya untuk menerima hoodie pinjaman dari perempuan itu.
“Ini gak papa saya pakai hoodie pacar kamu?” Tanya Bima menatap ke arah hoodie di tangannya kemudian berganti ke perempuan di hadapannya, membuat Anika kini salah tingkah karena bingung harus menjawab apa.
“Bukan punya pacar saya,” Sahut Anika.
“Tapi ini hoodie laki - laki dan lebih besar dari badanmu,” sahut Bima, membuat Anika sontak menatap ke arah tubuhnya karena Bima baru saja membandingkan ukuran hoodie itu dengan badannya.
“Pakai aja sih pak, saya memang suka pakai yang oversize,” elak Anika, malas menjelaskan itu milik siapa karena dia akan kesal ketika mengingat pemilik hoodie itu.
“Oke - oke, saya pinjam dulu,” seperti paham dengan nada bicara Anika yang berubah, Bima-pun mengangguk. Laki - laki itu merasa dirinya tidak perlu terlalu mempermasalahkan milik siapa hoodie biru dongker itu.
Bima kini melepaskan beberapa kancing bajunya dari atas hingga bagian terakhir dengan cepat, membuat badannya yang cukup berbentuk kini terpampang jelas di depan Anika.
Sontak perempuan itu membuang pandangannya karena merasa tidak enak melihat tubuh bagian atas milik Bima sembarangan, tapi memang lelaki itu duluan yang sembarangan membuka baju di hadapannya.
“Pak ada cctv,” tegur Anika tanpa menatap lelaki itu. Sementara Bima hanya mengabaikannya, dan mengganti bajunya di depan Anika, di tengah ruangan departemen marketing yang cukup luas itu. “Yang monitor cctv disini juga laki - laki semua,” jawab Bima santai, melepas kemejanya, kemudian menggantinya dengan hoodie navy milik Anika. “Lah saya perempuan pak,” Anika menambahi. Setidaknya Anika berharap dirinya masih dianggap perempuan oleh atasannya itu.
“Kamu emang nafsu sama saya?” Bima malah menanyakan hal yang membuat Anika salah tingkah. Apalagi dengan kondisi seperti ini, atasannya malah bertanya pertanyaan yang aneh.
“Astagfirullah, enggak pak.” Anika melangkah mundur menghindari tatapan lelaki itu, takut jika Bima ternyata adalah bos yang mata keranjang seperti yang sering ia dengar di berita - berita, bisa saja setelah ini Anika disuruh untuk melayaninya atau apalah. Namun perempuan itu malah mendengar tawa kecil dari bosnya.
“Saya cuman bercanda,” tawanya, membuat Anika melirik lelaki itu kesal.
“Yasudah, hoodie milikmu muat dengan tubuh saya untungnya. Jadi tolong cuciin kemeja saya, dan saya minta noda teh ini harus hilang terserah bagaimana caranya,” sahut Bima menyodorkan kemejanya yang basah ke arah Anika, membuat perempuan itu dengan buru - buru menerimanya.
“Dan juga, buatkan saya teh melati lagi dengan gula pasir satu setengah sendok dan gula batu 3 buah, airnya harus mendidih,” perintah Bima, bahkan merinci permintaannya.
“Tidak sekalian kadar didih airnya berapa.” gumam Anika dalam hati.
Meskipun begitu Anika-pun tetap mengangguk setelah mendengar perintah dari atasannya, dan segera bergegas ke pantry departemen mereka. Meskipun setelah itu perempuan itu lupa berapa jumlah gula pasir dan gula batu yang diinginkan oleh Bima. Yang dia ingat hanya menggunakan air mendidih.
“Buset, mau minum teh aja ribet,” keluh Anika mengambil gula pasir dan menuangkan sesukanya ke dalam gelas itu. Sembari dirinya menunggu air panas yang dia nyalakan di teko listrik segera mendidih.
Tapi perempuan itupun menghentikan aktivitasnya dan berpikir, bukankah seharusnya atasannya itu sudah kembali sejak tadi sore.
Apa jangan - jangan sosok yang dengannya tadi benar adalah hantu?
Seketika bulu kuduk Anika kembali berdiri, perempuan itu merasa merinding. Namun perempuan itu juga yakin yang berbicara panjang lebar dengannya adalah atasannya, tidak mungkin jika setan bisa berbicara sebanyak tadi, bahkan sampai membuka bajunya di hadapannya. Dan Anika bisa yakin laki - laki tadi tidak tembus pandang ataupun melayang dari lantai.
Perempuan itu pun menjulurkan kepalanya dari balik area pantry untuk melihat ke arah ruangan lelaki yang menjadi atasannya itu, dan tiba - tiba dia melihat sosok lelaki berjalan dari arah lift menuju ruang marketing.
“Itu bukannya Juan?” Gumam Anika mengenali sosok lelaki berbadan tegap yang tengah berjalan menuju ruangan Bima. Anika cukup mengenal lelaki itu dengan baik, namun akhir - akhir ini perempuan itu jarang bertemu dengan Juan karena seingatnya pria itu tengah berada di luar negeri karena urusan kantor. Sosok Juan atau Arajuan yang sudah ia kenal bahkan sebelum dirinya masuk SMP, memang salah satu staff legal di perusahaannya.
Dilihatnya laki - laki itu masuk ke dalam ruangan atasannya Bima tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tiba - tiba Anika teringat dengan rumor yang akhir - akhir ini beredar tentang seksualitas Arajuan, ditambah tampang laki - laki itu yang sangat metroseksual yang membuat banyak perempuan bahkan laki - laki tertarik padanya.
“Hah, ngapain mas Juan dan pak Bima berduaan malem - malem kayak gini,” Anika menggigit jarinya gugup, lalu perempuan itu melirik ke arah cangkir berisi teh dan gula yang ada di meja pantry. Anika-pun menuangkan air panas yang sudah mendidih ke dalam cangkir itu
Lalu perempuan itu pun memiliki sedikit ide untuk mencari tahu kebenaran tentang rumor itu, apakah benar Arajuan memang belok atau itu hanya gosip belaka. Karena sebenarnya ada rumor mengenai mereka berdua yang sedikit santer akhir - akhir ini, tentang Bima yang berhasil menaiki jabatan CMO dengan bantuan Arajuan.
Dengan menggunakan nampan, Anika-pun membawa segelas teh milik atasannya dan berjalan perlahan menuju ruangan lelaki itu. Hingga akhirnya perempuan itu sampai di depan pintu ruangan Bima, yang masih tertutup tidak begitu rapat.
Anika-pun menelan ludahnya mencoba membuat dirinya serileks mungkin. Dan perempuan itu pun mendorong pintu ruangan Bima dengan salah satu tangannya, sedang tangan lainnya memegang erat nampan-nya agar tidak terjatuh.
Namun apa yang kini dilihatnya, membuat Anika mengeratkan pegangannya pada gagang pintu itu dengan kencang. Bahkan hingga buku - buku jarinya sedikit memutih.
Juan yang duduk di atas meja Bima, dengan wajah yang berada di depan wajah lelaki itu. Dengan keadaan Bima yang bertelanjang dada, bahkan hoodienya terlempar di atas meja kerjanya sembarangan. Tentu saja Anika bisa menduga apa kini yang tengah mereka lakukan, karena tangan atasannya kini melingkar di pinggang Juan.
Beruntung nampan yang dipegang Anika tidak terjatuh, namun perempuan itu cukup shock. Hingga jantungnya berdebar cukup kencang.
Sementara kedua lelaki di ruangan itu bahkan tidak menyadari kehadirannya, membuat Anika memutuskan untuk kembali menutup pintu itu hati - hati, dan keluar dari ruangan Bima dengan perlahan agar tidak mengganggu keduanya.
“ANJRIT” Anika menjerit dalam hati sembari menutup kedua mulutnya agar tidak berteriak.
Perempuan itu pun langsung menaruh nampan-nya asal, dan berlari menuju lift sebelum kedua lelaki itu menyadari jika Anika memergoki mereka sedang berciuman.
//
“Pedih banget leher gue,” gerutu Bima sembari mengipasi lehernya dengan tangannya. Lelaki itu masih sangat kesal sebenarnya karena kejadian tadi, tapi karena menjaga wibawa dan harga dirinya membuat Bima tidak tega memarahi bawahannya itu berlarut - larut.
“Lagian lo kaga hati - hati sih,” Juan kini duduk di meja kerja milik temannya itu, sembari membuka tutup salep yang dia bawa dari ruangannya. “Coba sini dah gue lihat, luka bakar lo sampai mana,” ucap Juan yang menggeser posisinya untuk lebih dekat dengan tubuh Bima.
Laki - laki itu pun memperhatikan leher temannya yang terlihat sangat merah hingga bagian dadanya, kemudian Juan-pun menggeleng iba. Cukup prihatin dengan kondisi temannya.
“Merah banget anjir, dari sini sampai sini, bahkan pinggir bibir lo juga merah,” Juan menjelaskan kondisi kulit Bima yang ia lihat menggunakan mata telanjangnya. Jemari-nya menunjuk area kulit Bima yang memerah, meskipun Bima juga tidak bisa memastikan langsung.
“Apes banget gue njir, mana gue buat itu teh pake air mendidih-dih,” Bima hanya pasrah dengan rasa perih yang kini ia rasakan di tubuhnya.
Saat baru masuk ke dalam ruang kerjanya, Bima memang baru merasakan sakitnya semakin parah karena tersiram teh mendidihnya. Dengan asal Bima langsung melepas hoodie yang membuatnya semakin panas, beruntungnya temannya ini sigap datang membawa salep luka yang selalu di bawanya kemanapun.
“Untung lo belom balik,” ucap Bima saat Juan membantunya mengoleskan salep itu di beberapa bidang kulitnya yang memerah.
“Makasih dah sama gue yang masih ngelembur gegara sepupu lo itu,” sindir Juan, yang memang masih harus lembur karena menyelesaikan masalah yang dilakukan sepupu Juan. Karena memaki orang di depan umum dengan membawa instansi perusahaan tempatnya bekerja, hingga membuatnya sangat viral dimana - mana.
“Makasih,” kekeh Bima ketika melihat wajah kesal Juan. Lelaki itu paham betul bagaimana sebalnya Juan ketika harus menghadapi para wartawan akibat mulut sepupunya yang meludahi orang, karena menegurnya menyerobot saat membeli nasi padang. Bima saja tak habis pikir dengan tingkah manusia itu, padahal seharusnya tidak perlu sebrutal itu.
“Dah, udah gue salepin semua. Kalo belom mendingan mending check dokter aja, kayaknya ini termasuk luka bakar ringan deh,” Juan menghentikan jarinya memberikan salep ke kulit Bima.
“Gak sih, paling abis ini sembuh,” ujar Bima dibalas anggukan Juan. “Ya terserah lo,”
Kemudian lelaki itu pun menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk. Seperti menyadari sesuatu yang membuat pintu itu seperti baru tertutup.
“Kayaknya tadi ada yang masuk deh?” Bima tiba - tiba teringat dengan karyawannya yang tadi menjadi penyebab dadanya terluka.
“Siapa deh yang numpahin teh lo? Perasaan tadi ruangan depan udah sepi banget gak ada orang lagi,” ujar Juan, yang memang merasa saat dirinya datang ke lantai itu ruangan staff di depan ruangan Bima sudah sangat sepi dan sunyi.
“Ada, si Anika. Kayaknya pas lo dateng dia masih di pantry buatin gue teh lagi, tapi kok lama banget ya,”
Bima kini berdiri dari kursinya dan meraih hoodie biru dongker milik perempuan itu, kemudian memakainya kembali. Karena meskipun dadanya terasa perih, tapi cuaca diluar membuat suhu di ruangannya menjadi sangat dingin.
“Ooh Anika,” ucap Juan, teringat dengan perempuan berambut hitam sebahu itu.
“Lo kenal?” Tanya Bima kepada Juan. Lelaki itu pun mengangguk sembari tersenyum, “Lumayan,” jawab Juan.
Kemudian lelaki itu pun berjalan menuju pintu ruang kantornya dan membukanya untuk mengecheck keberadaan Anika, namun nihil. Lelaki itu malah melihat nampan dengan secangkir teh hangat yang sudah berada di meja kayu tak jauh dari pintu masuk ruangannya.
“Lah dia kenapa ninggalin tehnya disini, bukannya nganterin masuk,” gerutu Bima sedikit kesal karena karyawannya itu tidak melakukan perintahnya dengan baik, apalagi setelah Bima merasakan teh didalamnya yang ternyata bukan teh melati apalagi dengan gula batu, melainkan menggunakan seluruhnya gula pasir.
“Hadeh, gak bertanggung jawab banget,” protes Bima menaruh kembali nampan itu di meja kopi yang berada di ruangannya.
“Kenapa lagi?” Tanya Juan melihat temannya itu mendengus kesal, kemudian laki - laki itu meraih cangkir berisi teh hangat itu dan merasakannya. “Buset manis betul,” sahut Juan setelah merasakan tehnya.
“Gak beres nih Anika,” Bima berkacak pinggang karena kesal.
“Dia gak ngerti selera lu kali, lagian selow sih. Cuman gitu doang,” Juan sedikit membela Anika, membuat Bima menghela nafasnya kasar.
“Dahlah, gue mau balik. Lo balik gak?” Tanya Bima melirik ke arah temannya itu. “Kaga lah, menurut lo aje,” Juan memutar bola matanya malas. Karena laki - laki itu memang masih harus menyunting beberapa artikel yang membuat perusahaanya dibicarakan dimana - mana saat ini.
“Haha semangat sobat, nanti gue tambahin gaji lo,” Bima terkekeh pelan.
“Siap pak direktur utama,” Juan memberikan posisi salute ke arah Bima, membuat lelaki itu tertawa lepas.
“Kalo gue di lantik, lo orang pertama yang langsung gue naikin jabatan,” Bima menepuk pundak Juan, membuat temannya itu tertawa.
“Sangat dengan senang hati akan saya terima,” Juan menundukkan kepalanya, dengan tangan yang diposisikan berada di dadanya. Seakan Juan adalah seorang ksatria yang baru saja didaulat oleh Rajanya untuk mengemban tugas.
“Sip, sana lo balik,” perintah Bima di-iyakan oleh Juan yang kemudian lelaki itupun keluar dari ruangan Bima, untuk kembali ke ruangan legal team yang berada di lantai 10.
Sementara lelaki bernama Bima itupun mengambil barang - barangnya, sebelum ia keluar dari ruangannya. Atensinya kini terfokus ke cangkir yang berisi teh tidak habis itu.
“Gue bakal inget lo, Anika.”
to be continued.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
