Become True ( Bab 33 : Tanda Tanya )

0
0
Deskripsi

" Cukup ya, Ndo. Gue udah nggak tahan dengar lo ngebelain dia mulu'. Apa sih yang udah Medina kasih buat lo, sampe lo sebegitunya ngebela dia? NOTHING!!"

Nando terdiam, kata - kata Nina terdengar seperti sindiran untuknya. Apa yang sudah Medina kasih buat dia? NOTHING. Bahkan sekedar untuk mendapatkan hati gadis itupun ia tak punya kesempatan.

"Kak Adam nyari'in lo."

Mendengar ucapan Nando barusan, mau tak mau Medina menghentikan langkahnya.

" Dia khawatir sama lo, Na. Kenapa lo nggak ke rumah sakit?"

Medina membalikkan badannya kembali menghadap kedua sahabatnya." Gue sibuk. Toh udah ada dokter dan suster jugakan? Buat apa gue repot - repot ke sana?!" ucap Medina semakin memperlihatkan sifat dinginnya.

Nando yang melihat itu semakin tak paham dengan perubahan yang di tunjukkan Medina. Sejak kapan gadis itu melupakan kepeduliannya terhadap kakaknya sendiri? Sejak kapan ia menjadi cewek yang angkuh seperti ini? Apa Medina kesurupan? Atau Nando yang baru mengetahui sifat Medina yang menyebalkan hari ini?

Bukan apa - apa, perubahan Medina begitu tiba - tiba.

" Benar - benar ya ni anak? Lo kesurupan setan di mana sih?" tanya Nina yang semakin emosi. Kemarahannya semakin naik ke ubun - ubun sekarang.

Tapi...Medina tetap cuek, enggan menanggapi.

" Na...lo baik - baik ajakan?"

Berbeda dengan Nina yang menggebu - gebu Nando justru lebih terlihat kalem. Ia tak ingin suasana semakin tegang, jika ia juga marah - marah sekarang.

" Gue baik - baik aja!" ketus Medina.

" Mau bareng kita ke rumah sakit? Kak Adam pengen ketemu lo."

Hening menguasai ketiganya, Medina belum juga menjawab, ia memandangi Nina dan Nando secara bergantian dengan tatapan datar.

Sementara kedua sahabatnya itu juga memberi respon yang berbeda. Nina yang masih di liputi kemarahan dengan tatapan tak suka dan wajah cemberut. Dan Nando, yang tenang sambil terus mempertahankan senyum manisnya. Berharap itu bisa meluluhkan kerasnya hati Medina saat ini.

" Nggak!!" jawab Medina pada akhirnya, dan sukses membuat keduanya tercengang dan mungkin kompak berpikir kalau saat ini Medina sedang kesurupan.

" Kenapa?" tanya Nando cepat, tapi Medina memilih diam.

" Udahlah Ndo, percuma. Ini cewek emang lagi kesurupan. Medina yang gue kenal, nggak kayak gini. Mending kita pulang aja deh," komentar Nina kian panas hati. Baginya Medina sudah keterlaluan. Di baikin, malah nyolot.

" Lo ke mobil duluan. Gue masih perlu bicara sama dia."

" Tapi...Ndo dia-"

" Please...!!"

Nina menghembus nafas kasar, ia tak ingin Nando di perlakukan tak menyenangkan lagi oleh Medina. Tapi ia juga tidak bisa memaksa Nando. Ia tahu Nando tidak akan suka itu.

Nina beranjak pergi meninggalkan keduanya dengan langkah cepat.

" Jujur sama gue, ada apa? Gue tahu ada sesuatu yang lagi lo sembunyikan sekarang, Na," tutur Nando setelah benar - benar yakin Nina sudah tidak ada di sana.

" Ini bukan lo. Gue tahu sebesar apa rasa sayang lo sama kak Adam. Dan sekarang hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, lo berubah jadi nggak peduli sama dia. Gue yakin...ada sesuatu yang sekarang sedang lo sembunyikan. Gue tahu itu yang buat lo berubah, iyakan?"

" Jangan sok tahu! Lo nggak tahu apa - apa soal gue. Kita nggak cukup dekat, hingga lo bisa hafal sama segala hal tentang gue."

Nando tersenyum tipis, " Sikap lo yang kayak gini, justru semakin buat gue yakin, kalau lo sedang berusaha menutupi sesuatu, Na. "

" Jangan sok tahu!! Lebih baik lo pergi sekarang!!"

" Na-,"

" PERGI, NDO!! Gue nggak akan pernah peduli lagi sama dia."

Dengan amarah yang menyelimuti, Medina menutup pintu dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras dan memancing perhatian siapapun yang ada di sana.

Nando lumayan kaget dengan respon yang di tunjukkan Medina. Sebenci itukah dia dengan kakaknya sendiri? Tapi kenapa?

Nando menghela nafas panjang, memandangi pintu rumah Medi a yang kini tertutup rapat, ia kemudian melangkah pergi sambil terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi antara Medina dan Adam?

***

" Medina bilang apa?" tanya Nina kian penasaran, karena selama perjalanan tadi, Nando tak menjawab satupun pertanyaannya. Bahkan hingga mereka kini kembali lagi ke rumah sakit, Nando masih tetap bungkam.

" Dia masih nggak mau ketemu kak Adam?!" sambung Nina bernada desakan.

Nando hanya mengangguk pelan, langkah kakinya terasa berat menyusuri koridor rumah sakit yang terlihat semakin sepi. Ia tidak tahu cerita seperti apa yang harus ia karang untuk menyenangkan hati Adam. Jujur memang lebih baik, tapi Nando rasanya tidak siap untuk itu. Setidaknya untuk kali ini.

" Menurut lo, kenapa Medina bisa berubah?"

" Paling karena dia kegirangan punya bokap orang kaya. Makanya jadi lupa daratan gitu," celetuk Nina asal. Ia sudah kadung emosi karena tingkah Medina yang ia lihat tadi.

" Nggak mungkin, Nin. Gue yakin lo tahu Medina luar dalem, dan lo juga pasti tahu kalau Medina nggak akan begitu."

" Tapi kenyataannya, itu yang udah terjadi, Ndo! Dia tiba - tiba berubah songong dan nggak peduli sama Kak Adam tepat disaat dia ketemu sama orang tua aslinya yang tajir melintir," Nina masih keukeuh mempertahankan argumennya. Bahkan ia juga tidak peduli jika suara tingginya menarik perhatian orang - orang yang berpapasan dengan mereka.

" Nin...bisa gak sih, lo positive thinking sedikit sama Medina? Dia itu sahabat lo," protes Nando tak kalah kesalnya. Ia menghentikan langkahnya. Ia tak terima karena Medina terus di sudutkan. Ia sangat yakin jika opini Nina itu salah besar.

" Ndo, gue ngomong berdasarkan fakta yang gue lihat!!" Nina terlihat semakin emosi, bahkan tatapannya kian tajam mengarah pada Nando.

" Apa yang lo lihat, belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi, Nin. Lo harus tahu itu!!

" Cukup ya, Ndo. Gue udah nggak tahan dengar lo ngebelain dia mulu'. Apa sih yang udah Medina kasih buat lo, sampe lo sebegitunya ngebela dia? NOTHING!!"

Nando terdiam, kata - kata Nina terdengar seperti sindiran untuknya. Apa yang sudah Medina kasih buat dia? NOTHING. Bahkan sekedar untuk mendapatkan hati gadis itupun ia tak punya kesempatan.

" Yang dia kasih ke lo itu, nggak lebih dari sekedar harapan kosong. Dan itu udah ngebuat lo buta. Lo nggak bisa lihat ada harapan lain yang sedang menunggu untuk lo gapai!!"

Puas mengeluarkan uneg - unegnya, Nina beranjak pergi meninggalkan koridor, mengambil arah yang berlawanan dengan tujuannya tadi. Nina ingin pulang. Sikap Nando semakin membuatnya tak ingin berlama - lama di sini.

Nando mematung ditempat, ia sedikit tak mengerti maksud dari perkataan Nina barusan. 
Harapan lain apa?

Nando menghela nafas berat, ia merasa sebentar lagi akan ada masalah baru yang menyambanginya. Tapi...ia tidak mau ambil pusing, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan Adam.

Dan lagi - lagi, langkah Nando terhenti ketika mendapati seseorang yang ia kenal baru saja keluar dari ruangan Adam.

Keduanya sempat bertemu pandang sejenak, tapi kemudian pemuda berambut ikal itu pergi begitu saja, tanpa mau menyapa apalagi ngobrol dengan Nando. Nando juga sama tak pedulinya, ia melangkah masuk ke dalam, tanpa mau bertanya 'kenapa Tirta ada di sini? Ada urusan apa dia menemui Adam'.

Ya...pemuda yang baru saja ia lihat itu...Tirta.

" Tirta ngapain kak ke sini?" tanya Nando saat sudah berada di dalam ruangan, dan mendapati Adam tengah duduk berselonjor kaki di atas ranjang rumah sakit.

" Dia nggak bertingkah aneh - anehkan?" tanya Nando lagi, yang memang selalu bersikap waspada terhadap Tirta.

" Nggak. Dia ke sini cuma mau balikin dompet gue, yang ketinggalan di mobilnya." jawab Adam sambil mengangkat dompet yang ada di tangannya.

" Ketinggalan? Kok bisa? Bukannya lo berdua nggak pernah hang out bareng," ucap Nando semakin bingung.

" Emang nggak pernah."

" Lalu?"

Adam tersenyum tipis," Mulai sekarang, lo harus menjalin hubungan baik sama Tirta."

" Kenapa?"

" Medina ada di sana?" Adam tak tertarik menjawab pertanyaan Nando. Ia lebih tertarik mengetahui cerita Nando soal adiknya.

" Iya. Medina di sana. Tapi...,"

Nando bingung harus mulai darimana menceritakan semuanya. Karena tak ada satupun kabar baik yang ia bawa ke sini. Ia takut Adam akan kecewa dengan adiknya sendiri. Ia takut hubungan kedua kakak adik ini memburuk.

Tapi...sehebat apapun dia berbohong, tentu suatu saat Adam akan tahu kebenarannya. Apa lebih baik ia jujur saja? Tapi...ah Nando benci karena harus terjebak dalam situasi ini.

***

Malam kian larut, bulan tampak utuh menyinari bumi dan seluruh isinya bersama dengan ribuan gemintang yang seakan berkedip - kedip dari kejauhan. Dari arah balkon rumahnya, tampak Medina tengah asyik menikmati keindahan cakrawala malam ini.

Ah...tidak, lebih tepatnya perempuan itu sedang melamun. Sebuah lamunan, yang tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata.

Maafin Medina, kak. Gumamnya pelan, teramat pelan hingga mama yang baru saja datang mendekatinya, tidak mendengar suaranya sama sekali.

" Medina, kamu belum tidur?" tanya Mama sambil merangkul pundak sang anak.

" Medina belum ngantuk, Ma," sahut Medina bergegas mengusap air matanya. Ia tak ingin tangisannya menjadi kekhawatiran sang ibu.

" Kamu kenapa? Kamu habis nangis?" tanya Mama heran.

" Nggak kok. Medina cuma kelilipan doank." Medina tersenyum, walau nyatanya ia tengah berusaha mati - matian menyembunyikan kesedihannya.

" Kamu yakin?"

Medina mengangguk mengiyakan, " Mama kenapa belum tidur?"

Mama menghela nafas panjang, dan melempar tatapan ke langit malam," Mama kepikiran kakak kamu."

Medina terdiam karena ia juga mengalami hal yang sama.

" Kamu serius nggak mau jenguk kakak kamu di rumah sakit?" tanya Mama lagi, kali ini tatapannya terfokus pada Medina.

Medina tak langsung menjawab, ia memandangi wajah sang ibu dengan tatapan tak terbaca.

" Medina yakin, Ma. Kak Adam juga bukan anak kecil lagi. Aku yakin lama kelamaan dia bakal ngerti, kenapa aku begini."

" Tapi sayang, dia pasti khawatir sama kamu."

" Aku tahu. Tapi aku yakin, kak Adam akan baik - baik aja."

" Maafin mama ya, gara - gara mama hubungan kalian jadi seperti ini."

Medina tersenyum sambil memeluk erat sang ibu," Semuanya akan segera membaik, Ma. Ya...semuanya."

●●●



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Misi 27 Hari Yura ( Bab 7 : Bad First Love )
0
0
Ada rasa sakit yang teramat dalam dan untuk pertama kalinya aku rasakan. Apa harus sesakit ini menyukai seseorang? Apa harus sebegitu mengecewakannya cinta pertamaku?Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, ini semua gara-gara kamu Panji. Indy muncul sambil menepis tangan Panji. Payung putih menaunginya saat ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan