Stone [Ch5-10] FREE

13
4
Deskripsi

Daftar isi:

6. Belati Dalam Hamparan Salju

7. Curiosity Killed The Cat

8. Secercah Cahaya Dalam Kegelapan

9. Stabilitas dan Ketenangan, Atau?

10. Bantuan Dengan Konsekuensi 

6. Belati Dalam Hamparan Salju

May mengedipkan matanya beberapa kali ketika akhirnya siuman. Ia melihat sebuah ruangan kecil tanpa jendela dengan lampu yang menyala terang di atas kepala. Sambil mengernyit, ia menoleh ke samping dan melihat sebuah kamar mandi kecil di dekat ranjang yang sedang ditidurinya dan sebuah lemari di dinding.

Butuh beberapa detik sebelum May ingat apa yang barusan terjadi padanya.

Bruce!

Begitu sadar, ia langsung tersentak duduk dan semakin panik ketika sadar bahwa ia masih tidak mengenakan selehai pakaianpun di balik selimutnya.

Gerakannya yang mendadak membangunkan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya yang kemudian membuatnya mengerang.

"Ia masih hidup rupanya," sebuah suara feminin yang rendah terdengar dari sudut ruangan. "Selamat datang kembali, May."

May langsung menarik selimut yang menutupi sebagian kakinya dan mendekapnya erat di dada sebelum menoleh ke arah datangnya suara.

Di dekat pintu ada seorang wanita yang sedang duduk di atas kursi, menatapnya dengan senyuman lebar.

"S-siapa kau?" May bertanya dengan suara serak.

"Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas tempat ini. Kau bisa memanggilku Madame Jade," wanita itu membalas dengan suaranya yang menggoda.

"A-apa?"

"Kau tahu, Darling," wanita itu melanjutkan ketika May hanya mengedip layaknya orang linglung. "Aku yakin kau akan membawa banyak uang ke tempat ini. Kau memiliki wajah polos yang tidak bisa ditolak oleh semua pria. Mata lebar, bibir merah, kulit putih, dan badan mungil yang gemetaran bagaikan daun kering ketika ketakutan. Ditambah namamu sebagai artis, kau akan menjadi primadona di tempat ini."

"Aku tidak paham. Tempat apa ini? D-di mana Sean?"

"Sean?" Tawa wanita itu terdengar. "Maksudmu suamimu itu? Oh... ia pulang setelah menandatangani surat yang menyatakan bahwa kau sekarang adalah milik kami. Tentang di mana kau sekarang berada. Selamat datang di rumah barumu. Omong-omong, berapa umurmu sekarang?"

"Dua puluh dua."

"Hm...." Wanita bernama Madame Jade itu mengetukkan jarinya ke bibirnya yang merah. "Sedikit lebih tua dari yang kukira. Ah... tidak masalah. Aku akan mengatakan kepada mereka yang bertanya bahwa kau masih 17 tahun. Pria-pria itu gemar wanita muda dan dengan wajahmu yang terlihat seperti anak SMA, tidak akan ada yang tahu."

May menekan dadanya dan memaksakan dirinya untuk menarik napas ketika ia sadar maksud dari apa yang dikatakan oleh Madame Jade. Wanita berbibir merah ini akan menjajakannya kepada pria hidung belang.

"Kau tidak bisa melakukan hal ini padaku," May memprotes dengan bibir gemetaran. "Aku tidak ingin berada di sini. Aku bukan pelacur."

"Suamimu menjualmu sebagai pelacur."

"Tidak mungkin." May menggelengkan kepalanya keras-keras. "Ini pasti sebuah kesalahan. Tidak mungkin Sean dengan sengaja melakukan hal ini kepadaku. Biarkan aku bicara padanya, ia akan meluruskan hal ini dan membawaku pulang."

Wanita itu memiringkan kepalanya dan menatap May layaknya orang paling bodoh yang pernah dilihatnya.

"Tidak ada kesalahan dari semua ini, Darling. Suamimu tahu dengan pasti apa yang dilakukannya. Hell, bukankah ia sendiri yang mengantarmu ke tangan Bruce? Apakah kau kira ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh Bruce kepadamu di dalam kamar hitam itu?"

Napas May kembali tersenggal. Bayangan badan Bruce yang menindihnya kembali berputar dan membuatnya mual.

"J-jadi— Jadi... Bruce kah yang memiliki tempat ini?"

"Oh tidak, Darling." Madame Jade tertawa rendah. "Bruce Kettler hanyalah salah satu...uhm... katakan saja suplier di sini. Ia kadang membawa wanita baru untuk ditunjukkan kepada bosku dan jika bosku berminat, ia akan memberi penawaran."

"Kapan Bruce menunjukkanku pada bosmu?" May bertanya dengan kepala berdenyut. "Aku tidak melihat siapa-siapa di ruangan hitam itu kemarin."

"Ada cctv di semua kamar yang ada di sini, termasuk kamar hitam yang kau pakai semalam," Madame Jade menjawab dengan suara datar. "Kuakui, aku cukup kaget mendengar penawaran yang diajukan oleh bosku untuk membelimu. Kau pasti memberi pertunjukan yang cukup berkesan."

"Pertunjukan apa? Yang kulakukan hanyalah berbaring dan menangis."

Madame Jade menaikkan alisnya. "Kau akan kaget mengetahui bahwa ada banyak pria yang menyukai hal itu."

"T-tidak," May menggeleng sambil menahan air mata. "Aku tidak mau berada di sini. Kumohon, lepaskan aku. A-aku akan mencari cara untuk mengembalikan uang yang sudah dibayarkan oleh bosmu. Kumohon lepaskan aku."

Madame Jade mengangkat kepalanya ke atas dan tertawa. Suara wanita itu yang menggelegar terdengar bagaikan sebuah tamparan ke wajah May.

"Darimana kau bisa mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta dollar, May?" wanita itu bertanya sambil masih tergelak. "Oh tidak, tidak. Kau akan bekerja di sini hingga kau tidak sanggup lagi bekerja. Ketiak kau pingsan, aku sudah memerintahkan dokterku untuk memberimu suntikan KB agar kau tidak hamil. Kebanyakan pria di sini suka melakukannya tanpa kondom jadi dokter itu juga sekalian mencukur bulu bagian bawahmu hingga bersih agar kau terlihat lebih muda dari umurmu."

Perut May bergolak mendengar gamblangnya ucapan Madame Jade.

"Kau adalah wanita. Bagaimana mungkin kau sanggup begitu kejam kepadaku?" May bertanya dengan air mata menggenangi kelopak matanya. "Aku tidak ingin berada di sini. Kau tidak bisa menahanku di tempat ini tanpa persetujuan. I-ini adalah penculikan."

Senyuman di wajah Madame Jade langsung menghilang. Wanita itu berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan mendekati ranjang.

"Bagaimana bisa ada wanita senaif dirimu, May?" Madame Jade bertanya ketika ia sampai di depan May "Kau mengatakan aku kejam? Aku hanya melakukan apa yang perlu kulakukan untuk bertahan hidup. Aku belajar banyak hal dalam waktu singkat, tapi aku belajar. Aku mencakar jalanku ke atas dan aku melakukan apapun yang kuperlukan hingga berada di posisi ini. Kau juga akan belajar untuk mengetahui tempatmu. Mengerti?"

Madame Jade meraih pipi May dengan tangannya dan meremas hingga wanita itu meringis.

"Lepaskan!" May menampik tangan Madame Jade dengan satu tangan yang membuat wajah Madame Jade mengeras.

Wanita itu mengangkat tangannya dan menampar pipi May sekuat tenaga.

"Jangan menganggap dirimu spesial, May," Madame Jade menggeram rendah. Kelembutan yang menggoda dalam suara wanita itu seketika menghilang. "Kau hanyalah salah satu keset yang ada di tempat ini. Kau berharga selama kau menghasilkan uang. Dan sebelum kau mengira bahwa kau bisa kabur dari sini, biar kuberitahu bahwa percuma mencoba melakukannya. Kamarmu akan selalu terkunci dan ada penjaga di setiap lorong dan pintu masuk. Ada cctv dimana-mana dan pria yang datang kemari tidak akan ada peduli padamu karena mereka memiliki reputasi untuk dijaga. Percuma mencoba."

May meremas selimut di dadanya lebih keras dan menggigit bibirnya ketika air matanya mulai menetes. Belum pernah ia merasa ketakutan seperti itu seumur hidup karena ia tahu bahwa wanita itu benar. Tidak mungkin ia bisa kabur dari tempat itu dan orang yang datang ke tempat itu adalah orang-orang tanpa moral seperti Bruce.

Madame Jade berdecak ketika May mulai menangis sesenggukan.

"Oh, jangan terlihat seperti ini adalah kiamat, Darling," wanita itu berkata suara rendahnya yang kembali menggoda. "Aku tahu kau mengira bahwa kau berada di neraka sekarang, tapi percayalah, masih ada lebih banyak tempat yang lebih buruk dari tempat ini. Setidaknya orang-orang yang datang kemari adalah orang berstatus. Jadi kebersihan dan kerahasiaan adalah yang paling utama di sini. Aku selalu memastikan bahwa semua wanitaku diperiksa secara berkala dan dalam keadaan bebas dari penyakit."

"A-a-apakah kau ingin aku berterima kasih k-k-karena tidak hamil dan tidak terkena penyakit setelah diperkosa oleh tamu-tamumu?" May bertanya dengan suara tergagap oleh isakan tangisnya.

"Tentu saja," Madame Jade menjawab datar. "Aku tidak memberimu obat bius atau perangsang seperti tempat lain. Aku juga akan memberimu makanan yang layak dan bergizi. Kau tidak tahu betapa beruntungnya dirimu."

May mengeratkan rahangnya sementara Madame Jade mengamati selama beberapa saat. Setelah beberapa detik berlalu wanita itu kemudian menepukkan kedua tangannya dengan keras.

"Baiklah," ia berkata. "Kau tidak membawa apa-apa jadi kutinggalkan beberapa baju untukmu di dalam lemari. Dan jangan khawatir. Tidak akan ada yang mendatangimu hari ini. Jadi kau bisa beristirahat."

Wanita itu membalik dan berjalan keluar.

Begitu May mendengar pintu terkunci, ia langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya ke kloset. Gumpalan potongan wortel dan jagung yang keluar mengingatkan May akan makan malam yang disantapnya dari pesta ulang tahunnya.

Betapa hidupnya terasa terjungkir balik sekarang. Sebelum hari ini ia adalah seorang istri realtor ternama di kotanya. Aktris dan model yang cukup dikenal. Sekarang ia tidak ada bedanya dengan hewan ternak yang diperas hingga tidak bisa berdiri.

May rela melakukan apapun untuk bisa keluar dari tempat ini dan kembali ke kehidupan lamanya.

***

***

"Apa?" Suara Jackie yang tinggi terdengar di telinga Sean. "Kau menjual May ke Nikolai Belosokov Apakah kau sudah gila? Pria itu dijuluki Setan dari Selatan karena suatu alasan, Sean. May tidak akan bertahan lama di tangan pria itu."

Sean berdiri dari kursinya dan berjalan mengelilingi ruangan.

"Apa bedanya dengan menyerahkannya kepada Stone?" pria itu bertanya dengan nada yang sama tingginya dengan Jackie. "Mereka berdua sebelas dua belas. Usulmu juga untuk menyerahkannya kepada Stone, bukan? Nikolai bersedia membayar lebih banyak, jadi mengapa aku harus menolak."

Jackie menarik napas dan memalingkan wajahnya. Benar idenya untuk menyerahkan May kepada Stone Black. Ia pernah bertemu dengan Stone Black beberapa kali dalam sebuah acara, dan meski pria itu memiliki reputasi yang mengerikan, tapi Jackie melihat sesuatu yang menyerupai empati di mata gelap pria itu. Di tangan Stone, May mungkin memiliki kesempatan dibanding di tangan Nikolai.

Sean berjalan mendekat dan meraih bahu Jackie. Ia memutar badan wanita itu ke arahnya.

"Jangan khawatir, Sayang," Sean berkata sambil menunduk menatap mata wanita itu. "Dengan sisa uang dari Nikolai, kita akan bisa melakukan apapun yang kita mau. Kita bisa memulai usaha baru dan membeli rumah baru. Hell, kita bisa pindah dari kota ini jika perlu. Untuk apa memikirkan tentang May? Bukankah kau yang mengatakan betapa kau membenci May karena selalu merebut apa yang kau inginkan? Masa bodoh dengan May, Jackie."

Jackie mendongak menatap wajah Sean. Pria itu benar. Ia lah yang sebenarnya ingin menjadi model selama ini. Ia lah yang selama bertahun-tahun mendatangi audisi dan agen-agen untuk menjadi terkenal. Dan apa yang dilakukan May? Wanita itu hanya ikut menemaninya sekali dan mendapatkan tawaran sementara ia selalu ditolak.

Perlahan Jackie mengangguk.

"Ya," ia menjawab pelan. "Masa bodoh dengan May."

"Baiklah kalau begitu." Sean mengusap pipi Jackie dan menarik kepala wanita itu ke atas. "Mari kita nikmati hidup baru kita. Apakah kau mencintaiku?"

Jackie mengangguk sekali lagi. "Sangat."

Dan dengan penuh gairah, Sean meraup bibir Jackie ke dalam miliknya.

***

***

 

7. Curiosity Killed The Cat

Stone diundang Nikolai untuk makan siang di sebuah restoran yang ada di tengah-tengah daerah kekuasaan Belosokov

Stone diundang Nikolai untuk makan siang di sebuah restoran yang ada di tengah-tengah daerah kekuasaan Belosokov. Sebagai tanda kepercayaan dan untuk menghormati perjanjian damai mereka, Stone setuju dan datang sendirian. 
 

Sekitar pukul 12, Stone menyerahkan kunci mobil Porche hitamnya ke tukang valet yang bekerja di depan restoran dan masuk ke dalam. 
 

Sambil mengancingkan jasnya, Stone memberitahu penerima tamu siapa yang ingin ditemuinya dan mengikuti wanita itu ke salah satu meja yang ada di sudut restoran.

"Stone," Nikolai berkata sambil berdiri dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. "Senang berjumpa lagi denganmu."

Stone meraih tangan Nikolai dan duduk. Ia memesan segelas air putih dan kopi ketika pelayan datang mengambil pesanan.

"Bagaimana kabarmu, Nikolai?" Stone bertanya sambil mengamati pria itu. Nikolai terlihat sama seperti ketika ia terakhir melihatnya. Sekitar 40 an, pria itu terlihat fit dan bugar, dengan sedikit garis keras di sekitar matanya yang berwarna cokelat.

"Kabarku baik-baik saja," pria itu menjawab. "Bagaimana denganmu? Kudengar kau baru saja membeli rumah baru di tepian pantai?"

Stone tertawa dan menganggukkan terima kasih ketika pelayan dalam menghantarkan minumannya.

"Sejauh ini aku menyukainya. Pemandangannya luar biasa dan laut selalu membuatku tenang."

Nikolai tersenyum, tapi sebelum pria itu bisa merespon, pelayan yang melayani meja mereka kembali sambil menyerahkan dua buah menu.

Stone dan Nikolai memesan, dan setelah pelayan itu pergi, Nikolai melanjutkan, "Jadi, apa rencanamu sekarang?"

Stone memberikan jawaban samar tentang strip club yang hendak dibukanya dan beberapa kasino di tengah kota. Nikolai mendengarkan sambill meneguk whisky yang ada di tangan.

"Kuakui strip club dan kasino adalah bisnis yang menguntungkan," Nikolai membalas ketika Stone selesai. "Aku sendiri baru saja membuka dua strip club di selatan kota dan uang yang masuk cukup menarik, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan Hotel Starlightku."

"Hotel Starlight?" Stone bertanya dengan alis terangkat. "Tempat apa itu?"

Nikolai mendekatkan badannya ke arah Stone, meski meja lain terlalu jauh untuk mendengar. Stone tahu Nikolai adalah pria yang hati-hati, tapi mungkin karena terlalu bersemangat, pria itu memberi tahu.

"Hotel Starlight adalah permataku. Ini adalah rumah pelacuran di pinggiran kota, tapi hanya beberapa orang yang tahu akan hal itu. Kebanyakan orang mengira tempat itu hanyalah hotel biasa yang bahkan tidak terlihat ramai. Tapi di lantai paling atas...." Nikolai berhenti sejenak untuk melebarkan senyumannya. "Di sanalah semua permainan berada."

Mereka menghentikan percakapan ketika makanan mereka datang. Pasta yang dipesan oleh Stone terlihat menggiurkan dan pria itu langsung menyuapkan makanannya ke mulut sementara Nikolai melanjutkan.

"Tempat itu sangat eksklusif, jika namamu tidak ada dalam daftar, kau tidak bisa masuk." Nikolai memasukkan suapannya ke dalam mulut dan mengunyah sebelum menaikkan alisnya ke arah Stone. "Aku bisa memasukkan namamu ke dalam daftar jika kau mau. Hell, aku bahkan akan memberimu satu kali free pass mengingat pertemanan kita selama ini."

"Tidak, terima kasih," Stone menggeleng.

Stone bukan hipokrit. Ia tidak keberatan akan one night stand ketika kebutuhan jasmaninya terlalu kuat untuk diabaikan, tapi membayar seseorang untuk seks sama sekali tidak ada dalam daftar hal yang ingin dilakukannya. Sesuatu tentang hal itu terasa salah bagi Stone. Mungkin karena banyaknya kasus perdagangan wanita yang dilihatnya selama ini atau karena putus asanya wajah-wajah wanita itu di balik make up mereka yang tebal. Semua itu hanya membuatnya marah dan ia tidak ingin menjadi bagian dari dunia itu.

Nikolai mengedikkan bahunya dan kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Jika kau berubah pikiran," pria itu berkata sambil mengunyah. "Katakan saja padaku. Wanita-wanitaku cantik dan masih muda. Beberapa bahkan memiliki nama-nama yang terkenal. Artis dan semacamnya. Jika tidak memiliki istri aku pasti sudah berada di tempat itu setiap harinya."

"Bagaimana keadaan keluargamu?" Stone bertanya.

Nikolai tertawa dan tanpa terlihat bersalah setelah membicarakan rumah pelacuran, dengan entengnya pria itu menjawab pertanyaan Stone tentang  istri dan tiga anaknya.

"Oh, mereka baik sekali. Putra bungsuku, Lucas, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-6. Valarie tidak sabar agar tahun ajaran sekolah dimulai, jadi ia bisa mendapatkan me-time nya ketika anak-anak berada di sekolah. Anak keduaku, Harry, sekarang sedang belajar berselancar dan Lilli— oh kau tidak akan percaya apa yang gadis itu berani lakukan— Seminggu yang lalu, ia berani-beraninya membawa pulang seorang pecundang yang dikenalkannya kepadaku sebagai pacarnya. Bisakah kau mempercayainya? Gadis tiga belas tahun jaman sekarang, sudah mulai berpacaran."

Stone tertawa melihat horor di wajah Nikolai.

"Pantas saja kau terlihat sibuk akhir-akhir ini."

Nikolai melanjutkan ceritanya tentang keluarganya dan bisa dikatakan seperti itulah akhir dari sisa makan siang mereka berjalan. Dan meski Stone tahu bahwa hubungan mereka saja berubah jika salah satu dari mereka melewati batas, Stone yakin hal itu tidak mungkin terjadi. Ia paham pria seperti Nikolai. Pria itu adalah orang yang hanya memikirkan tentang profit dan, sama sepertinya, stabilitas. Nikolai tidak tertarik untuk memperluas wilayahnya dan selama wilayahnya tidak diusik, pria itu tidak akan mengusik.

Perjanjian mereka adalah perjanjian yang sempurna. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengganggu yang lain.

Ketika tiba waktunya untuk berpisah, Nikolai menepuk punggung Stone dan mengatakan bahwa mungkin ia akan mengirimkan foto-foto wanita dari Hotel Starlightnya.

"Siapa tahu kau akan berubah pikiran setelah melihat mereka," pria itu berkata sambil tertawa lebar.

Stone membalas tawaran Nikolao dengan basa-basi yang mengatakan bahwa ia akan menunggu sebelum berjalan kembali ke mobil.

Sebelum kembali, Stone memutuskan untuk menghabiskan beberapa menit berkeliling di wilayah Nikolai dan mengamati suasana.

Jalanan di pusat kota cukup ramai, dengan toko-toko dan pusat perbelanjaan yang dilewati banyak orang. Tapi semakin ke selatan, bangunan terlihat semakin jarang dan orang yang lewat juga berkurang. Hanya satu gedung bertingkat yang terlihat sebelum ia melintasi perbatasan. Sebuah hotel tua yang terlihat sepi. Dengan sebuah papan terpasang di depannya dengan tulisan 'Hotel Starlight'.

Stone menurunkan kecepatan mobilnya. Ia melihat seorang pria berjas rapi berjalan keluar dari tempat itu ketika ia lewat. Jika tidak mengingat apa yang diceritakan oleh Nikolai, tidak mungkin ia bisa menebak bahwa pria yang terlihat perlente dan berdandan necis itu baru saja membayar pelacur untuk melayaninya di jam makan siang.

Nikolai tidak main-main tentang kerahasiaan tempat itu. Yang kemudian membuat Stone bertanya-tanya apa lagi yang disembunyikan pria itu di dalamnya. Mungkin ada gunanya ia meminta Nikolai untuk memasukkan namanya dalam daftar tamu agar ia bisa memeriksa.

Namun, bukankah orang juga mengatakan bahwa curiosity killed the cat?

Ikut campur masalah yang bukan urusannya hanya akan membawa bencana. Seperti yang pernah dikatakan oleh ayahnya, jangan memasukkan tanganmu ke sarang lebah jika tidak siap untuk disengat. Dan untuk saat ini, ia tidak ingin tangannya tersengat.

Mendorong kembali rasa penasaran dan keingintahuannya, Stone memacu mobilnya keluar dari wilayah Nikolai dan kembali ke kotanya.

***

***

Entah berapa lama May menangis di atas ranjang

Entah berapa lama May menangis di atas ranjang. Memeluk badannya sendiri yang tidak bisa berhenti gemetaran, May menggulung badannya menjadi bola dan meringkuk di bawah selimut. Hingga sebuah ketukan di pintu terdengar dan May melompat terduduk.

Terlalu takut untuk bergerak, May membeku di atas ranjang dan menatap dengan penuh teror ke arah pintu. Ia menantikan wajah Madame Jade, tapi ketika pintu terbuka, seorang wanita muda masuk membawa senampan makanan.

"Halo," wanita itu berkata sambil melemparkan senyuman tipis. "Aku membawakan makanan untukmu."

Sadar bahwa wanita itu bukan Madame Jade, May langsung melompat turun dari tempat tidurnya dan meraih lengan wanita itu.

"Bisakah kau membantuku?" May bertanya dengan suara erat oleh rasa panik.  "Mereka menyekapku tanpa persetujuan. Aku tidak ingin berada di sini."

Wanita muda itu memberi May sebuah senyuman yang terlihat sedih sebelum meletakkan nampan yang di bawanya ke atas meja dan menggeleng.

"Maafkan aku, May," wanita itu menjawab dengan suara lirih. "Tapi aku tidak bisa membantu."

May melepaskan tangan wanita itu dan melangkah mundur. Mendengar wanita itu memanggil namanya kemungkinan besar wanita itu bekerja pada Madame Jade. Rasa takut kembali ke dalam mata May.

"Oh... tidak. Tidak," wanita itu menambahkan. "Jangan takut padaku, aku tidak akan menyakitimu. Sama sepertimu aku juga tidak ingin berada di tempat ini. Dan jujur, sepertinya tidak ada satupun dari wanita yang ada di tempat ini ingin berada di sini. Kebanyakan dipaksa bekerja di sini karena hutang yang melilit keluarga mereka atau dijual oleh orang yang mereka percayai."

May menatap wanita muda itu selama beberapa saat tanpa bersuara.

Ia sepertinya terlalu memikirkan tentang dirinya sendiri hingga lupa bahwa ia pastilah bukan satu-satunya wanita yang ada di sana.

"Berapa banyak wanita yang ada di sini sepertiku?"

"Sekitar tiga puluh."

"Jadi Madame Jade juga memaksamu untuk menjajakan dirimu pada pria hidung belang itu?"

Wanita muda itu menggeleng. "Tidak. Tidak. Aku gemuk dan pendek. Madame Jade mengatakan tidak akan ada pria yang tertarik kepadaku, jadi ia hanya memerintahkanku untuk mengurusi makanan. Setidaknya untuk saat ini."

May menamati wanita muda itu. Entah apa yang dilihat Madame Jade, dengan rambutnya yang pirang dan mata birunya yang lebar, wanita muda itu terlihat sangat cantik. Badannya yang padat berisi di tempat yang tepat dan wanita itu juga memiliki senyuman yang manis dan terlihat tulus.

"Kau tidak jelek," May berkata setelah beberapa saat. "Tapi ada baiknya Madame Jade tidak melihatmu sebagai wanita cantik. Jadi kau tidak perlu di paksa untuk bekerja melayani pria hidung belang itu. Siapa namamu?"

"Kamila."

"Nama yang indah," May menyahut. "Cocok untuk wanita secantik dirimu."

Mata wanita muda itu bersinar sejenak sebelum kemudian menunduk dan melangkah mundur.

"Maafkan aku tidak bisa membantumu, May," wanita itu berkata. "Aku tidak bisa tinggal di sini lama-lama atau Madame Jade akan memarahiku. Please, makanlah sesuatu."

Begitu pintu kembali tertutup dan Kamila menghilang, May menolehkan kepalanya mengamati makanan yang ada di dalam nampan. Segelas susu, jus, ayam panggang dan sayuran rebus. Madame Jade tidak berbohong tentang makanan bergizi.

Meski makanan itu terlihat seratus persen sempurna, perut May seketika kembali mual.

Apakah ini adalah kehidupannya sekarang? Dikurung di dalam kamar menunggu pria seperti Bruce datang dan menggunakannya sebagai pelampiasan lagi dan lagi?

May merangkak kembali ke atas ranjang dan membenamkan dirinya ke dalam selimut. Memejamkan mata dan berharap bahwa ketika ia membukanya lagi, semua ini hanyalah mimpi buruk dan ia kembali berada dalam pelukan hangat suaminya.

***

***

 

 

8. Secercah Cahaya Dalam Kegelapan

Sama seperti kemarin, May masih mogok makan. Bujukan Kamila hanya berhasil membuat May meminum jus dan susunya, hingga Madame Jade datang menjelang malam dengan wajah marah.

"Jadi kau menolak makan?" wanita itu berkata dengan suara lebih tinggi dari biasa. "Baiklah, tidak usah makan kalau begitu!"

Wanita itu meraih nampan makan malam yang ada di atas meja dan melemparkannya melintasi ruangan.

Suara pecahan mangkuk dan piring yang hancur menggema di dalam kamar dan membuat May makin menggigil. Ia beringsut menjauh sambil mendekap selimut di depan dada layaknya sebuah tameng yang akan melindunginya dari kemarahan Madame Jade. Tapi Madame Jade dengan kasar menarik selimut itu dari May dan melemparkannya ke lantai.

"Sekarang, bangun!" wanita itu membentak. "Makan tidak makan, kau akan mulai bekerja malam ini."

Sementara May berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, Madame Jade berjalan menuju ke lemari baju yang ada di kamar dan mengaduk-aduk isinya. Ia meraih salah satu lingerie yang kemudian dilemparkannya ke wajah May.

"Kenakan itu dan benahi rambutmu. Pakai make up untuk menutupi wajahmu yang bengkak dan pakai sepatu itu." Wanita itu menunjuk ke arah sepasang sepatu hitam yang ada di bagian bawah lemari. "Lekas kerjakan. Ia sudah menunggu."

"Aku tidak mau." Meski ketakutan, May masih bersikeras melawan. "Kau memaksaku berdandan agar aku terlihat cantik di depan pria yang hendak memperkosaku, apakah kau pikir aku akan menurut begitu saja?"

"Oh yang benar saja, May." Madame Jade berdecak sambil berkacak pinggang. "Dengar." Wanita itu kemudian membungkuk ke depan dan memenuhi ruangan May. "Berhenti bersikap seperti anak kecil karena aku tidak peduli akan rengekanmu. Kau bisa melakukan apa yang kuperintahkan atau aku bisa memanggil salah satu penjaga ditempat ini untuk menyeretmu keluar tanpa busana. Pilih yang mana karena yang jelas aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Kuberi kau waktu sepuluh menit untuk bersiap."

Tanpa menunggu balasan, Madame Jade menegakkan punggungnya dan berjalan keluar.

Apa yang dikatakan wanita itu mengakhiri perlawanan May. Memikirkan akan ada seorang pria bersenjata melucuti pakaiannya dan menyeretnya keluar cukup untuk membuat tenggorokan May kering oleh rasa takut.
 

Ketika Madame Jade kembali sepuluh menit kemudian, May sudah mengenakan pakaian yang diperintahkan untuk dikenakan dan menyisir rambutnya yang kusut. Ia juga memoleskan make up yang disediakan untuk menutupi wajahnya yang bengkak oleh air mata.

"Bagus," Madame Jade berkata dengan wajah yang terlihat puas. "Ikuti aku."

Wanita itu berbalik dan berjalan keluar.

May gemetaran dengan sangat hebat hampir saja ia tidak sanggup mengikuti Madame Jade. Dengan tangan berpegangan pada pinggiran tembok, May melangkah di atas high hell-nya menyusuri lorong gelap berliku yang ada di depannya.

"Bosku akan senang melihat betapa takutnya dirimu, Darling," Madame Jade berkata sambil melangkah lebar di depan May. "Puaskan ia dan kau mungkin akan mendapatkan hadiah."

Itukah yang akan ditemuinya sekarang? Pemilik tempat ini? May tidak berani bertanya. Ia terlalu takut untuk bersuara.

Madame Jade membawanya melewati sebuah pintu di mana seorang pria berbadan besar berjaga. Madame Jade mengangguk dan pria itu membukakan pintu untuk mereka.

May melirik ke arah pria itu ketika lewat dan menemukan bahwa pria itu juga sedang mengamatinya sambil nyengir dan meremas selangkangannya sendiri.

Ketakutan, May buru-buru mengalihkan pandangannya ke depan dan mempercepat langkahnya.

Lorong yang dilewatinya sama dengan yang dilewatinya ketika hari pertama ia menginjakkan tempat ini. Suara lenguhan dan geraman yang dari deretan pintu mengingatkan May akan para wanita yang disebutkan oleh Kamila. Tiga puluhan wanita yang berada di posisi sepertinya. Tiga puluh wanita di dalam kamar-kamar berwarna hitam itu.

Madame Jade mendadak berhenti dan hampir saja May terjatuh karena tersandung. Mereka sudah sampai di ujung lorong. Madame Jade mendorong pintu ganda yang ada di depannya sebelum menyingkir ke samping.

"Masuk!" wanita itu memerintah.

May menurut dan dengan kaki gemetaran melangkah masuk.

Kamar itu masih di dominasi oleh warna hitam seperti yang digunakan oleh Bruce. Lantai hitam, dinding hitam, sprei hitam. Tapi kamar itu lebih luas dan lebih mewah dari yang dimasukinya dua hari yang lalu. Dan lebih delap. Tidak ada lampu yang menyala di ruangan itu. Satu-satunya cahaya yang masuk berasal dari pintu yang terbuka di belakangnya dan jendela kaca kecil yang ada di bagian atas dinding. Langit malam yang berbintang terlihat dari baliknya.

"Tunggu di sini. Ia akan segera datang," Madame Jade berkata sebelum menutup pintu.

May menelan ludahnya dan mengedip dalam kegelapan. Dengan pintu ditutup, ia tidak bisa melihat apapun kecuali secercah langit malam dari jendela yang terlalu tinggi untuk dijangkau.

Ketika pintu kembali membuka, badan May gemetaran dengan hebatnya hingga rambutnya bergerak.

Tidak peduli seberapa banyak ia menjerit pada dirinya sendiri untuk kabur, ia tidak mampu menggerakkan kakinya. Ia hanya bisa membeku di tempat dan menunggu sementara langkah kaki yang berat itu mendekatinya.

Sebuah rintihan terlepas dari bibir May ketika ia merasakan tangan seseorang menyibak rambutnya dari belakang dan mencium lehernya.

"K-k-kumohon, Tuan," May membisik gemetaran. "M-mereka menyekapku di sini. B-b-bisakah kau me-menolongku?"

Pria itu tertawa dan melilitkan jemarinya ke rambut May.

"Apakah menurutmu aku peduli?" Pria itu menarik rambut May sebelum menambahkan, "Bitch."

May menjerit tertahan ketika pria itu tiba-tiba mencium bibirnya. May mencoba untuk mendorong. Tapi percuma. Badan keras yang kini meremasnya terasa layaknya sebuah tembok yang tidak bisa digerakkan.

Pria itu tertawa sebelum mendorong May ke atas kasur.

"Mulutmu sangat manis untuk ukuran anjing pelacur," pria itu menggeram sambil mulai melepaskan sabuknya. "Sekarang mari kita lihat apakah pussy-mu sesuai dengan harga yang sudah kubayarkan."

Jantung May terasa ingin melarikan diri dari dadanya. Pria yang kini berdiri di depannya terlihat tinggi dan mengerikan. May tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas karena pria itu membelakangi jendela, tapi May bisa melihat merasakan tatapan mata pria itu yang dingin.

"H-h-hentikan," May berkata dengan suaranya yang kecil. "J-jangan mendekat."

"Apakah kau memberiku perintah, Bitch?" pria itu bertanya sambil melilitkan sabuknya ke dalam kepalan tangan dan melangkah maju.

Setelah itu, May tidak mampu melakukan apa-apa selain menjerit dan menangis.

Pria itu jauh lebih brutal daripada Bruce. Lebih kejam dan lebih kasar. May merasa seakan pria itu sengaja menyakitinya hanya untuk melihat seberapa keras ia bisa menjerit. Sekali waktu, pria itu bahkan menamparnya dengan sangat keras hingga bibirnya berdarah.

"Menangislah, anjing murahan," pria itu menggeram sambil menumbukkan dirinya ke dalam tubuh May keras-keras. "Menangislah dan memohonlah kepadaku."

Pria itu mengikatnya kaki dan tangannya ke tiang ranjang dan melecutinya dengan sabuk hingga merah. Pria itu kemudian mencekiknya dengan sabuk sambil menungganginya dari belakang.

"Bagus!" pria itu menggeram sambil tertawa. "Sekarang memohonlah agar aku mengasihanimu, anjing pelacur."

May menjerit dan meronta tapi menolak untuk memohon. Perlahan, ia bisa merasakan benaknya melayang keluar dari tubuhnya sementara pria itu terus menyiksa.

Ketika pria itu akhirnya selesai dan melepaskannya, May tergeletak tidak berdaya di atas ranjang hingga Madame Jade datang.

Wanita itu berdecak ketika May masih juga tidak bergerak.

"Apa yang kau tunggu," wanita itu berkomentar dengan suara dingin. "Apakah kau ingin tidur di situ semalaman? Lekas bangun dan kembali ke kamar."

May bahkan tidak punya kekuatan untuk marah akan ketidak pedulian Madame Jade. Ia hanya memaksakan dirinya bangun dan memasang kembali gaunnya sebelum berjalan terseok kembali ke kamar.

Ketika Kamila datang membawa sarapannya keesokan harinya, wanita itu menemukan May berbaring menggumpal di atas ranjang dengan mata terpejam.

Kamila meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja sebelum mendudukkan dirinya di pinggir kasur dan meraih pundak May.

"May," wanita muda itu memanggil. "Apakah kau tidak apa-apa?"

Kelembutan dalam suara Kamila seketika membuat May terisak dan menangis. Baru beberapa hari berada di tempat itu, sentuhan hangat Kamila adalah satu-satunya yang mengingatkannya bahwa ia adalah seorang manusia yang memiliki harga diri dan martabat. Bukan seorang pelacur murahan yang bisa diperlakukan sesuka hati.

"Aku tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan, Kamila," May berkata ketika ia akhirnya bisa bersuara. "Apakah ada orang yang berhasil keluar dari tempat ini?"

Kamila terlihat ragu dan jantung May mengerat bahkan sebelum Kamila menggeleng.

"A-aku ti-tidak bisa hidup seperti ini," May berkata dengan suara penuh air mata. "A-a-a-ku lebih baik mati daripada harus tinggal di—di sini lebih lama lagi."

"Shhh...shhhh," Kamila mendesus menenangkan. "Hanya karena aku tidak pernah melihat ada yang keluar dari sini bukan berarti tidak pernah terjadi. Aku sendiri juga sedang berusaha untuk keluar dari tempat ini sama sepertimu. Jadi jangan putus harapan."

May mendongak menatap wajah Kamila.

"Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?"

"Aku kabur dari rumah dan mengambil lowongan pekerjaan dari koran sebagai pelayan. Ketika aku tahu apa yang terjadi di tempat ini, sudah terlambat bagiku untuk mundur. Madame Jade mungkin hanya memerintahkanku untuk bekerja sebagai pelayan saat ini, tapi bukan berarti kedepannya ia tidak akan memerintahkanku untuk melakukan yang lain. Ia selalu berkata bahwa jika ada pria yang mencari wanita gemuk berambut pirang, ia akan langsung melemparkanku ke mulut singa."

"Siapa sebenarnya pemilik tempat ini, Kamila?" May bertanya.

Kamila tidak langsung menjawab. Ia melirik ke arah pintu selama beberapa detik sebelum menoleh balik ke arah May.

"Ia adalah seorang mafia," Kamila membisik. "Namanya Nikolai. Nikolai Besolokov."

"Ma-mafia?" May bertanya dengan mata melebar. "Aku mendengar bahwa mafia menguasai beberapa wilayah di Amerika, tapi aku tidak pernah benar-benar melihat mereka. Aku tidak yakin apakah yang kudengar hanya gosip atau benar terjadi."

"Oh tentu saja itu bukan gosip. Mafia menguasai kota-kota besar di Amerika sejak lama. Mereka membaur dengan pengusaha dan politisi hingga hampir tidak terdeteksi. Tapi percayalah ketika kukatakan bahwa mereka ada dan berkembang dengan subur."

Kamila meraih napan yang ada di atas meja dan meletakkannya ke atas ranjang.

"Cobalah makan sesuatu," wanita itu berkata sambil tersenyum. "Kau perlu menjaga kekuatanmu jika kau masih ingin kabur. Jangan biarkan tempat ini menghancurkanmu, May."

May membalas senyuman Kamila sebelum meraih roti sandwich yang ada di atas piring.

"Kau juga sebaiknya keluar sebelum Madame Jade curiga," May berkata sambil memberi roti di tangannya satu gigitan kecil melewati bibirnya yang perih.

Kamila memutar matanya dan mengerang. "Ugh... Madame Jade is such a bitch."

May spontan tergelak ketika mendengar umpatan Kamila yang tiba-tiba.

"Yeah... Kau benar," May menimpali sambil masih tertawa. "Madame Jade is a bitch. An ugly old bitch."

Mereka berdua cekikikan pelan sambil saling melirik.

"Baiklah," Kamila akhirnya menghela napas. "Aku sebaiknya keluar."

Kamila mengejutkan May dengan memberinya sebuah pelukan singkat sebelum berlari keluar.

Sambil mengigit lagi sandwich ditangannya, May berjanji pada dirinya sendiri bahwa jika ia berhasil keluar dari lubang neraka ini, ia akan memastikan Kamila ikut dengannya.

***

***

 

9. Stabilitas dan Ketenangan, Atau?

Stone sedang menyantap makan malamnya di meja makan ketika ponselnya berdenting

Stone sedang menyantap makan malamnya di meja makan ketika ponselnya berdenting.

Pria itu menarik ponselnya keluar dari saku sementara Molly yang berdiri di sebelah Angelo sedang asik berceloteh tentang diskon yang ditemukannya ketika berbelanja di supermarket hari ini.

Dengan satu tangan Stone membuka layar ponsel sementara tangannya yang lain menyuapkan potongan daging ke dalam mulut dengan garpu.

Tanda email yang baru masuk terlihat dalam notifikasi. Dari Nikolai dengan subject email bertuliskan, 'siapa tahu kau berubah pikiran'.

Mengingat percakapan mereka seminggu yang lalu saat makan siang, Stone bisa menebak apa isi email itu bahkan sebelum membukanya. Pria itu pasti mengirimkan foto-foto wanita yang ada di rumah pelacurannya.

Sambil menggeser-geser layar, Stone mengamati foto-foto wanita muda yang ada di dalamnya. Semua dengan berbagai jenis dan latar belakang yang berbeda-beda, diikuti dengan biodata dan informasi tidak penting lain seperti ukuran dada dan tinggi badan.

Stone menggelengkan kepala dan sudah hendak mematikan kembali ponselnya ketika mendadak sesuatu membuatnya berhenti.

Di layar berukuran tidak lebih besar dari telapak tangannya, terpampang foto seorang wanita dengan mata lebar dan bibir merah yang familiar.

Stone menggerakkan layar ke bawah dan membaca biodata yang tertulis.

May, 17 tahun, artis, 32 A, 157cm, 45kg, bukan perawan, sangat submissive.

Stone bisa merasakan jantungnya berdetak lebih pelan dari biasa dan suara di sekelilingnya memudar. Sesuatu yang sering dirasakannya ketika ia mulai kehilangan kontrol emosinya.

Bagaimana bisa wanita itu ada dalam daftar wanita yang ada di Hotel Starlight, Stone tidak tahu. Tebakannya, Nikolai memberi tawaran lebih kepada Sean dan cacing keparat itu mengambil. Satu-satunya penjelasan bagaimana Sean sanggup melunasi hutangnya dalam waktu singkat dan membatalkan perjanjian.

Stone meremas benda di tangannya dengan erat sambil memikirkan apa yang harus ia pilih.
 

Stabilitas dan ketenangan. Atau wanita berkulit seputih salju yang mengancam keduanya.

***

***

Seminggu berlalu bagaikan sebuah bayangan yang kabur dalam mata May

Seminggu berlalu bagaikan sebuah bayangan yang kabur dalam mata May. Setiap hari, Madame Jade membawanya ke kamar hitam untuk melayani pria lain. Bukan kamar paling ujung dengan jendela kecil di bagian atasnya, tapi kamar-kamar yang berderet di sekitar lorong panjang berliku yang ada di sebelahnya.

Dari Kamila, May tahu bahwa satu-satunnya orang yang menggunakan kamar itu adalah pemilik tempat itu dan bos dari Madame Jade, Nikolai Belosokov.

Meski bukan Nikolai yang dilayaninya, bukan berarti pria yang datang ke tempat itu lebih baik.

Tidak ada satupun dari pria itu bersedia membantunya. Tidak ada satupun yang peduli. Ia bisa memohon dan merengek hingga ia kehilangan suaranya, mereka hanya akan menanggapi tangisannya dengan tawa dan caci makian.

Suatu hari Madame Jade datang membawa berkas-berkas surat yang kemudian dilemparkannya ke atas ranjang.

"Lekas tanda tangani!" wanita itu memerintah singkat.

Tangan May gemetaran dengan sangat hebat ketika ia meraih tumpukan kertas itu dan membaca isinya. Butuh dua kali baca sebelum ia sadar bahwa itu adalah surat cerai yang diajukan oleh Sean dan menyatakan bahwa kini pria itu berhak atas semua barang yang ada dalam namanya. May tidak memiliki banyak memang, hanya tabungan di bank yang jumlahnya sebenarnya tidak seberapa, sebuah mobil dan apartemen kecil yang dibelinya sebelum ia menikah dengan Sean, tapi tetap saja.

"Apa yang kau tunggu?" Madame Jade mengetukkan sepatu heelnya ke lantai dengan tidak sabar. "Lekas tanda tangani, aku tidak punya waktu untuk menunggu di sini seharian."

Tidak punya pilihan May menurut. Begitu May selesai membubuhkan tanda tangannya ke dalam kertas, ia merasa bukan hanya menyerahkan harta bendanya tapi juga jati dirinya yang tersisa. Ia kini bukan lagi seorang artis atau model. Ia bahkan bukan lagi seorang istri dan wanita terhormat. Ini kini hanyalah May, pelacur murahan yang bekerja di hotel itu untuk melayani para pria hidung belang.

"Bagus," Madame Jade membalas sebelum menarik kertas dan pulpen dari tangannya dan berjalan keluar.

Menatap pintu yang kembali tertutup, May tidak habis pikir bagaimana Sean bisa dengan teganya melakukan semua ini hanya demi uang. Yang kemudian membuatnya bertanya-tanya. Pernahkah pria itu benar-benar mencintainya? Mungkin tidak.

Setiap malam May tertidur dalam genangan air mata dan terbangun oleh mimpi buruk lilitan ular hitam yang membuatnya tidak bisa bernapas.

Setiap hari May berpikir bahwa ia tidak mungkin bisa melewati hari itu dengan apa yang harus dilakukannya, tapi tetap saja, hari berlalu dan ia masih bertahan. Tidak peduli seberapa banyak penderitaan yang ia rasakan, ia masih bernapas dan jantungnya masih berdetak meski ia tidak lagi yakin bahwa ia menginginkannya.

Nikolai kembali lagi beberapa hari kemudian. Kali ini pria itu merantainya ke pancang yang ada di dinding kamar dan memberinya tamparan keras di pipi sebelum menggeram, "Anjing jalang," ke telinganya.

Luka di bibir May kembali membuka dan darah mengucur ke atas gaun putih yang dikenakannya. May mengecilkan dirinya dan seperti biasa menangis hingga pria itu selesai.

Ketika Madame Jade menjemput, wanita itu terlihat marah melihat banyaknya noda darah yang berceceran gaunnya.

"Tidakkah kau tahu bahwa noda darah sangat susah dihilangkan?" wanita itu menggeram sambil melepaskan ikatan tangan May. "Begitu kau kembali ke kamar, cuci gaunmu sebelum nodanya mengering."

Tidak ada lagi kekuatan yang tersisa dari diri May untuk membela diri dan mengatakan bahwa bukan salahnya ia berdarah di mana-mana. Ia hanya menaikkan tali gaunnya agar menutupi dadanya sebelum berjalan terseok mengikuti Madame Jade kembali ke kamar.

Diakui May, Madame Jade tidak keliru. Butuh tenaga ekstra untuk bisa menghilangkan noda darah dari gaun sutranya. Ia harus menggosok dan mengucek hingga tangannya pedih sebelum berhasil menghilangkan nodanya hingga tidak terlihat.

May melayani seorang pria dengan aksen eropa tengah keesokan harinya.

Masih terlalu sakit dari siksaan Nikolai, May bahkan tidak memiliki tenaga untuk menjerit atau memohon. Ia hanya mengeratkan rahangnya dan menerima apapun yang dilakukan pria itu hingga pria itu mengerang dan selesai.

Begitu pria itu keluar, ia mengenakan gaunnya sendiri dan menunggu hingga Madame Jade datang.

May tidak lagi bisa merasakan apa-apa sekarang. Ia hanya bergerak berdasarkan insting layaknya mayat hidup dan berjalan mengikuti Madame Jade tanpa memperhatikan arah kakinya. Ia hanya menunduk hingga sebuah suara langkah kaki yang berat membuatnya mendongak.

Kaki May langsung membeku ketika ia melihat seorang pria berdiri di depan Madame Jade dengan wajah kesal. Badan pria itu yang besar membuat lorong sempit yang mereka lewati terasa semakin sempit.

May langsung merapat ke dinding dan berusaha membuat dirinya menyatu dalam kegelapan lorong sementara Madame Jade memposisikan dirinya di depan May.

"Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di bawah, Tuan Black?" Madame Jade berkata sambil menyilangkan lengannya ke depan dada.

"Dan bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mau menunggu, Madame?"

Suara pria itu yang rendah dan dingin membuat perut May mengerat membayangkan bahwa pria itu bisa saja datang untuknya. Tubuhnya tidak lagi bisa menerima lebih banyak. Ia akan pingsan jika dipaksa untuk melayani pria itu malam ini. Penuh rasa takut, sebuah isakan tangis terdengar dari mulut May bahkan sebelum ia sempat menghentikan.

May menaikkan tangannya membekap mulutnya sendiri ketika ia melihat Madame Jade melirik ke belakang dengan pandangan penuh peringatan di matanya yang menyipit.

"Tempat apa ini sebenarnya?" pria itu menggeram.

Madame Jade mengalihkan kembali perhatiannya pada pria yang ada di depannya dan menggeram balik, "Tempat apa ini bukan urusanmu. Namamu tidak ada dalam daftar dan kau tidak berhak untuk berada di sini."

Mata May berkedip dari Madame Jade ke mata biru pria itu.

Pria itu juga sedang mengamatinya dengan seksama. Dari atas hingga ke bawah.

May menunggu rasa jijik atau birahi atau kemarahan di mata pria itu. Semua hal yang dilihatnya dari pria lain yang ditemuinya beberapa hari belakangan, tapi yang ditemukannya justru membuatnya hampir menangis. Ia melihat rasa kasihan dan kekhawatiran di mata pria itu.

Seakan melihat cahaya setelah sekian lama berada di dalam kegelapan, May tanpa sadar melangkah maju menuju pria itu. Ketika itulah ia kehilangan kekuatan kakinya dan terjatuh.

Pria itu mendorong Madame Jade untuk menangkap badan May sebelum menghantam ke lantai.

Secara insting, May mengalungkan lengannya ke leher pria itu untuk berpegangan. Kemudian dengan menggunakan sisa keberanian dan harapan yang dimilikinya, May pun membisik, "Tolong aku, Tuan. Kumohon."

***

***

 

 

10. Bantuan Dengan Konsekuensi 

"Tolong aku, Tuan. Kumohon," May membisik ke telinga pria itu.

Mengabaikan Madame Jade yang kini berteriak-teriak memanggil penjaga, pria itu mengamati May dengan matanya yang biru selama beberapa saat sebelum bertanya, "Apakah kau ingin aku membawamu keluar dari sini?"

Tato yang memenuhi leher dan tangan pria itu seharusnya membuat May takut, tapi kebaikan dan rasa khawatir di mata pria itu adalah jangkar yang membuatnya bertahan.

"Ya," May menjawab. Dari sudut mata, ia bisa melihat dua penjaga yang dipanggil Madame Jade kini sedang berjalan dengan langkah marah ke arah mereka.

"Kumohon, Tuan," May menambahkan dengan rasa panik yang kembali meremas. "Bawa aku bersamamu."

"Kau tidak akan suka apa yang akan kulakukan," pria itu membalas.

"Aku tidak peduli," May menjawab. "Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan. Selama kau tidak meninggalkanku di sini."

May mungkin tidak mengenal pria itu, tapi ia lebih baik mati daripada harus berada di tempat itu.

Pria itu berpikir sejenak sebelum kemudian menghela napas panjang seakan sebenarnya enggan untuk melakukan apa yang harus dilakukannya. Tapi May bisa melihat bahwa pria itu sudah membuat keputusan, dan untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, May merasa lega.

"Baiklah," pria itu berkata sebelum meraih lengan May dan membalik untuk menghadapi Madame Jade yang marah dan dua pengawal berbadan kekarnya.

"Wanita ini akan ikut denganku," pria itu berkata kepada Madame Jade dan sama sekali tidak terlihat takut akan tembok dua pengawal yang menghadang jalan mereka.

Madame Jade memberi dengkusan mengejek sebelum membalas, "Apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu, Tuan Black? Wanita ini adalah milik Belosokov. Kami memiliki perjanjian dengan Sean Kettler."

"Perjanjian itu berakhir. Wanita ini milikku dan aku akan membawanya pulang."

May tidak tahu siapa pria itu, atau apa yang akan dilakukan pria itu begitu mereka keluar dari tempat itu, ia hanya merasa lega bahwa ia akan keluar.

"Milikmu?" Madame Jade bertanya dengan tawa mengejek. "Kau tidak bisa seenaknya datang ke sini dan mengklaim wanita yang ada di sini sebagai milikmu. Ini bukan daerah teritorimu, Tuan Black. Kau tidak memiliki kekuasaan di tempat ini."

"Tentu saja aku memiliki kekuasaan," pria itu berkata sambil meremas lengan May dengan lembut. "Aku memiliki kekuasaan karena Sean Kettler juga membuat perjanjian denganku. Ia menjanjikan wanita ini sebagai calon istriku, bahkan sebelum ia membuat perjanjian dengan Nikolai."

Mata Madame Jade melebar kaget. Begitu juga dengan May yang kini mengamati pria itu dengan bibir membuka.

"Tidak mungkin ia adalah calon istrimu," Madame Jade membalas dengan suara tidak percaya.

"Sean sudah menceraikannya bukan?" Stone menebak.

"Ya, tapi...tapi...." Madame Jade menatap dari arah May dan pria itu bergantian sebelum menoleh ke arah dia penjaga yang ada di sebelahnya.

"Pikirkan dengan panjang dan lama sebelum kau melakukannya, Madame," pria itu berkata dengan suara rendah yang mengancam. "Aku tidak ragu untuk membunuh jika kau mencoba menghalangiku membawa pulang apa yang menjadi milikku."

"Apakah kau mengira bahwa kau bisa mengalahkan orang-orangku?" Madame Jade membalas. "Ada sepuluh pria yang berjaga di tempat ini. Mereka akan membunuhmu sebelum kau sanggup keluar dari sini."

"Mungkin," Stone membalas. "Tapi kupastikan kau juga tidak akan hidup melihat hari esok."

Wajah Madame Jade merah oleh amarah, tapi semua orang bisa melihat rasa takut di mata wanita itu. Sama halnya dengan dua penjaga yang ada di sana. Ketika itulah May sadar bahwa siapapun pria bernama Tuan Black itu, ia bukanlah orang biasa. Rasa takut seketika melesat berkali lipat dalam benak May. Apakah ia sudah membuat kesalahan? Jangan-jangan ia berhasil keluar dari lubang buaya hanya untuk terperosok ke dalam mulut singa.

"Tuan Belosokov membeli mahal untuk wanita itu," Madame Jade berkata sambil berusaha untuk terlihat tenang meski mulai goyah. "Sangat mahal."

"Bukan urusanku," pria itu berkata sebelum menunduk ke arah May. "Apakah kau punya barang-barang yang perlu di ambil?"

May menggeleng.

"Kau tidak bisa seenaknya melakukan hal ini, Tuan Black. Tuan Belosokov tidak akan tinggal diam."

"Hati-hati dalam mengancamku, Madame," pria itu membalas. "Aku akan menikahi wanita ini malam ini dan jika kau atau Nikolai berani menyentuhnya lagi, aku akan melihatnya sebagai ancaman langsung kepadaku. Katakan pada Nikolai untuk berhati-hati dalam melakukan langkah selanjutnya karena aku tidak punya masalah untuk memulai lagi peperangan jika ia berani mengusik ketenangan keluargaku."

Pria itu menarik tangan May dan dengan berhati-hati membawa wanita itu melewati Madame Jade dan penjaga yang menatap keduanya dengan wajah penuh amarah.

Jantung May berdetak dengan sangat kencang sekarang. Ia tidak lagi mampu berkata apa-apa kecuali mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan melangkah secepat mungkin dalam tuntunan pria yang ada di sampingnya menuju lift.

Begitu mereka tiba di lantai satu, barulah May melepaskan napas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi. Ketika itulah ia mendadak teringat akan sesuatu.

"Tunggu," May berseru sambil menarik lengan Stone dan menghentikan langkah pria itu. "Bisakah aku membawa seseorang?"

Pria itu menunduk menatap May dengan alis mengerut membentuk pertanyaan.

"Apa?"

"Na-namanya Kamila," May menjawab dengan tergesa-gesa. "Ia adalah pelayan di sini, tapi aku yakin Madame Jade akan memerintahkannya untuk melakukan lebih jika ada yang menawar. Ia baru tujuh belas tahun dan ia adalah temanku. Aku sudah berjanji untuk membawanya keluar ketika aku bebas."

"Maafkan aku," pria itu menggeleng dan kembali melangkah, memaksa May untuk ikut melangkah. "Aku sudah melakukan lebih dari yang seharusnya kulakukan di sini. Aku tidak bisa menolong temanmu."

May menoleh kembali ke belakang dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin meninggalkan Kamila, tapi ia juga tidak ingin pria itu berubah pikiran dan meninggalkannya.

Tidak punya pilihan, May berjanji dalam hati akan kembali.

Bertahanlah, Kamila.

Pria itu menggiring May melewati loby hotel dimana seorang wanita yang berjaga menatap mereka dengan mata tajam.

May sudah menunggu teriakan atau penjaga datang dengan senapan menghadang. Ia sudah menunggu dirinya diseret kembali ke atas dan dimasukkan kembali ke kamarnya yang tanpa jendela, tapi tidak ada dari satupun dari hal itu yang terjadi hingga akhirnya mereka berada di luar.

May terkesiap ketika merasakan betapa dinginnya angin yang menabrak wajahnya. Sudah seminggu lebih ia berada di tempat itu, hampir yakin bahwa ia tidak akan bisa keluar. Seminggu lebih tanpa udara segar dan langit dan bulan dan bintang, May bisa merasakan air matanya mengaburkan pandangan.

Pria itu menunduk menatap May.

"Berapa lama kau berada di sana?"

"Sekitar seminggu," May menjawab dengan suara serak. Seminggu yang terasa bak selamanya.

May berjalan mengikuti tuntunan tangan pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari langit dan buntang yang ada di atasnya, tidak peduli bahwa ia tidak mengenakan sendal dan gaunnya robek. Tidak peduli bahwa wajahnya bengkak dan berdarah dan penuh dengan jejak mascara dari airmatanya yang mengalir.

"Kita perlu pergi dari tempat ini," pria itu berkata dengan suara lembut sambil menarik May ke arah mobil Porche hitam yang terparkir di pinggir jalan.

May mengangguk dan dengan enggan melepaskan tangan pria itu untuk masuk ke dalam mobil. Pria itu memasangkan sabuk pengaman untuk May sebelum menutup pintu dan berjalan ke kursi belakang kemudi.

May menatap pria itu memasang sabuknya sebelum menyalakan mesin. Kini dalam cahaya jalanan yang lebih terang, ia bisa melihat bahwa pria itu terlihat masih muda, mungkin 30 an tahun dengan rahang tegas yang terlihat kaku dan rambut berwarna cokelat yang tersisir rapi di atas kepala dan badan kekar yang padat oleh otot. 
 

"Dengar, Tuan," May berkata ketika mobil mereka mulai melaju. "Kau bisa menurunkanku di manapun. Aku bisa mencari jalan pulang sendiri setelah ini. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu. Sungguh. Kau tidak tahu berapa banyak aku memohon pada orang yang kutemui di tempat itu, tidak ada seorangpun yang bersedia membantu. Jika bukan karenamu, aku mungkin masih berada di tempat terkutuk itu dan untuk itu, aku benar-benar berterima kasih, Tuan... uhm... maaf, aku tidak tahu namamu."

"Panggil saja aku Stone," pria itu berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Baiklah, Stone," May membalas sambil memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Namaku May."
 

"Aku tahu," pria itu menjawab sambil menghela napas. "Sayangnya aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja, May"

"A-apa?" May melebarkan matanya. "M-mengapa tidak?"

"Karena seperti yang kukatakan, kau tidak akan suka dengan apa yang akan aku lakukan untuk mengeluarkanmu."

***

***

mau diapain May kira-kira gaes?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Stone
Selanjutnya Stone [Ch:11-15]
11
2
Daftar isi:11. Sekuntum Bunga Putih12. Kekacauan13. You May Kiss The Bride14. Black Bear15. Aku Akan Menjagamu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan