Stone [Ch:1-5 FREE]

17
4
Deskripsi

Daftar isi:
1. Black Snake

2. Black Snow

3. Black Room

4. Stone Black

5. Wanita Berkulit Salju 

Note: Versi cetak buku ini available di shoppe ya. Link: https://s.shopee.co.id/2qAwzAnNym

1. Black Snake

May tersentak bangun dengan dahi berkeringat.

Selalu, sejak beberapa hari terakhir, mimpi yang sama mengganggu tidurnya. Dalam mimpinya ia sedang terbaring di atas ranjang, telanjang. Kaki dan tangannya terikat, membuatnya tidak bisa bergerak. Kemudian, seekor ular datang. Selalu ular yang sama. Dengan kulit bersisik yang dingin dan licin, ular hitam besar itu merambati tubuhnya. Mulai dari kakinya, bergerak menyelinap naik ke tubuhnya, mengusap celahnya yang terbuka dengan badannya yang dingin.

Anehnya, sentuhan ular itu walaupun mengerikan tapi terkesan lembut dan berhati-hati,hampir membuatnya terlena, sebelum kemudian ular itu membuka rahangnya, memperlihatkan taringnya yang panjang dan mengigit.

May tentu saja bertanya-tanya apa arti mimpinya itu. Seekor ular hitam yang besar tentu bukan pertanda bagus. Bahkan bagi seseorang yang tidak mempercayai hal-hal mistis semacam itu, tetap saja May merasa merinding. Apalagi ketika mimpi itu terus berulang dengan adegan yang sama.

Suara napas seseorang yang ada di sebelahnya membuat May menoleh ke samping.

Suaminya masih terlelap di tempat tidur. Sama sekali tidak terpengaruh oleh apa yang dirasakan May. Wanita itu menghela napas dan menarik tubuhnya perlahan duduk. Jam menunjukkan pukul 4:15 pagi.

Tidak mungkin ia bisa balik tidur, May memutuskan untuk turun dari ranjang. Dengan berhati-hati agar tidak membangunkan suaminya, May berdiri dan berjalan menuju ke kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, mengganti pakaian tidurnya dengan legging dan kaos, May kemudian menyelinap keluar dari kamar tanpa suara.

Udara dingin yang menyambut begitu ia berada di luar terasa luar biasa segar. Setelah mengambil sebotol air dari kulkas, May berjalan menuju ruang fitnes. Olah raga pagi adalah kebiasaan yang disukainya. Lari apa lagi. Berkeringat dan bergerak memudarkan ketegangannya dan membuatnya merasa lebih santai.

Sambil menghabiskan waktunya di atas alat treadmill, May memikirkan tentang kehidupan rumah tangganya. Pernikahannya dengan Sean baru seumur jagung. Satu tahun. Masih berbau pengantin baru, kata orang. Tapi May tidak merasa demikian. Awal-awal pernikahan, mereka sepertinya tidak terpisahkan. Hampir setiap malam mereka habiskan untuk bercinta. Di kamar, di mobil, di kebun, di hotel. Sean bahkan beberapa kali merekam percintaan mereka, sebagai pengingat jika ia bekerja di luar kota katanya.

Tapi, beberapa bulan terakhir, Sean sepertinya mulai menarik diri. Pria itu bekerja hingga larut malam dan begitu pulang, yang dilakukannya langsung tidur. May awalnya mencoba memahami. Wajar, pekerjaan Sean sebagai seorang pengusaha membutuhkan banyak perhatian. Apalagi ketika perusahaan mengalami goncangan akibat pergerakan ekonomi yang tidak stabil akhir-akhir ini. Sean tentu saja semakin tidak memiliki waktu untuk istrinya.

Namun ketika hal itu terus berlangsung dan usaha May untuk memperbaiki hubungan mereka disambut dingin, wanita itu pun akhirnya menyerah.

Pertemuannya dengan Sean juga bukanlah sesuatu yang spesial. Managernya, Jackie, adalah yang memperkenalkannya dengan Sean. Menurut Jackie berkencan dengan pengusaha playboy akan bagus untuk publikasi dan membantu karirnya. Siapa yang mengira ia akhirnya jatuh cinta dan berakhir dengan menikahi pria itu.

May mematikan mesin dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak ada gunanya. Bahkan setelah sejam berada di atas treadmill, perasaan tidak tenang itu masih juga menggantung rendah.
 

May sedang menyiapkan sarapan dengan pelayan rumah ketika Sean masuk ke ruang makan. Pria itu langsung berjalan menuju lemari penyimpanan alkohol dan menuangkan whisky ke dalam gelas yang langsung ditenggaknya.

"Kau mengigau lagi dalam tidurmu," Sean berkomentar tanpa membalikkan badannya. "Aku sampai terbangun karena suaramu."

May menoleh ke arah suaminya. Pria itu kembali menuangkan sedikit whisky ke dalam gelas dan menenggaknya dalam satu tegukan.

"Maaf," May membalas.

Sean tidak membalas. Ia hanya meletakkan gelas kosongnya ke atas counter sebelum membalik dan berjalan ke arah May.

"Jadwal acaraku padat hari ini, jadi aku mungkin tidak bisa menemanimu ke pesta nanti malam," Sean berkata sambil membenahi jas yang dikenakannya.

May yang sedang menuangkan segelas teh langsung menghentikan pekerjaannya.

"Tapi semua orang akan bertanya-tanya jika kau tidak ada, Sean. Jackie sudah mengatur acara ini sejak lama. Lagi pula ini adalah pesta ulang tahunku, tidak bisa kah kau memberi perkecualian?"

Sean meraih gelas teh yang disiapkan oleh May dan menenggaknya dengan intensitas yang sama dengan ketika ia menghirup whisky.

"Kau tahu sendiri bahwa perusahaan sekarang sedang sibuk-sibuknya, May. Kumohon mengertilah keadaanku. Rumah besar dan kehidupan mewah ini bukan dibayar oleh hasil beraktingmu, melainkan pekerjaanku. Bahkan pesta mewah yang hendak kau gelar nanti malam juga keluar dari sakuku. Jadi, tahu dirilah sedikit dan berhenti merongrongku untuk mengikuti kemauanmu."

Balasan merendahkan Sean bukanlah sesuatu yang baru bagi May. Tapi tetap saja ucapan pria itu melukainya sama seperti biasa. Berbeda dengan Sean yang berasal dari keluarga ternama, May berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Sejak kedua orang tuanya meninggal, ia tinggal bersama dengan neneknya dan terbiasa bekerja keras sejak muda.

Keuletan, keberuntungan, dan kecantikan wajahnya yang unik, membuat May dilirik oleh majalah fashion yang melejitkan namanya sebagai model sebelum kemudian sebagai aktris. Meski demikian, tetap saja keluarga Sean menganggapnya rendah. Ibu Sean bahkan tidak hadir dalam pesta pernikahan mereka sementara ayah Sean memperlakukannya layaknya wanita murahan.

"Mobil sudah siap, Tuan Kettler." Salah satu pelayan rumah mereka mengumumkan sambil membungkukan tubuhnya.

Sean mengangguk.

May menjulurkan tangannya hendak membantu suaminya mengancingkan jas, tapi pria itu sudah membalikkan badan dan tanpa mengatakan apa-apa berjalan keluar dari rumah.

***

***

Sean mengamati pria yang duduk makan siang bersamanya tanpa suara. Bruce adalah sepupunya. Anak dari adik ayahnya lebih tepatnya. Sama-sama bernama belakang Kettler dan sama-sama bergulat di bidang properti, bisa dibilang saat ini Bruce lebih sukses dibanding oleh Sean.

Sean meraih gelas airnya dari atas meja dan menenggaknya hingga habis. Tenggorokannya terasa kering.

Sean sendiri tidak pernah menyukai Bruce. Menurutnya Bruce adalah pria arogan tidak mau kalah yang selalu menginginkan apapun yang ia miliki. Ketika ia membeli mobil, Bruce akan langsung membeli yang lebih mahal. Ketika ia membeli rolex, Bruce akan membeli dua. Persaingan mereka berlangsung sejak kecil dan, meski tidak tahan dengan kelakuan Bruce, Sean tidak punya pilihan.

Benar, hutang terbesarnya sudah bisa dianggap lunas. Namun masih ada cicilan lain menunggu. Pelunasan kreditnya jatuh tempo hari ini. Dan ia perlu mencari uang tambahan untuk membayar jika tidak ingin bank menyita mobil mewahnya.

Sean tahu Bruce tidak mungkin akan memberinya uang begitu saja, jadi ia perlu menawarkan sesuatu yang menjadi miliknya kepada Bruce.

"Hai, Bruce," Sean memaksakan suaranya keluar sambil meletakkan kembali gelasnya ke atas meja. "Omong-omong, apakah kau masih berminat untuk mencoba istriku?"

Pria yang duduk di depan Sean langsung menghentikan suapannya dan mendongak.

"Apa katamu?" pria bernama Bruce itu mengulang seakan takut salah dengar.

"Kau pernah menawariku seratus ribu dollar untuk semalam bersama May, bukan? Apakah kau masih berminat?"

Bruce meletakkan garpu yang dipegangnya dan meraih lap yang ada di atas meja. Sambil masih mengamati Sean, Bruce menyapukan lap kain itu ke mulutnya yang berminyak sebelum melemparkannya kembali ke atas meja dan bersandar ke belakang.

"Apakah kau serius, Sean?" Bruce bertanya dengan suara kaget.

"Tentu saja aku serius. Apakah kau masih berminat atau tidak?"

"Fuck yeah, tentu saja aku masih berminat," Bruce membalas sambil nyengir. "Ayahku mengatakan bahwa kau butuh uang. Aku hanya tidak tahu kau butuh uang segitu parahnya hingga kau bersedia menyewakan istrimu, Sean. But hey... bagus bagiku. Jadi seratus ribu dollar semalam?"

Sean menggeleng. "Aku ingin lebih, dua ratus."

"Untuk dua ratus ribu kau sebaiknya mengizinkanku melakukan apapun kepada istrimu. Kau sendiri tahu bahwa aku adalah pria yang cukup... uhm... katakan saja bergairah ketika bercinta."

Tentu saja Sean tahu apa maksud Bruce. Semua orang di keluarga mereka tahu apa yang maksud Bruce. Berapa banyak uang yang harus dibayar Bruce untuk menutup mulut wanita-wanita itu karena kasarnya pria itu memperlakukan mereka.

Setelah menelan ludahnya dengan susah payah, Sean mengangguk. "Baiklah. Setuju. Asal kau memakai kondom ketika melakukannya dan aku tidak ingin kau melukai wajah May. Aku tidak ingin May terlihat babak belur di depan umum."

"Deal." Cengiran Bruce semakin melebar. "Bisakah kau mengaturnya untuk malam ini?" Bruce bertanya sambil memajukan kepalanya ke arah Sean dan menjilati bibirnya yang tebal. "Kebetulan aku sedang...uhh... butuh pelampiasan."

Sean memikirkan balasannya. Malam ini adalah pesta ulang tahun May. Menyewakan istrinya dihari ulang tahun wanita itu membuatnya terdengar sebagai pria keparat. Tapi di sisi lain... Sean tidak berani membayangkan apa yang akan dikatakan orang tuanya jika sampai bank menyita harta bendanya.

"Baiklah," Sean akhirnya membalas. "Tapi aku mau kau membayar di depan."

"Tidak masalah."

Bruce meraih ponselnya dari saku celana dan mengetikkan sesuatu di dalamnya. Begitu ia selesai, Bruce menunjukkan layar ponselnya ke arah Sean.

"Sudah kutransfer," Bruce memberi tahu. "Dua ratus sesuai perjanjian."

Sean menatap layar di ponsel Bruce dan terlihat puas. "Baiklah... terima kasih."

Bruce mengantungi lagi ponselnya dan melanjutkan suapan makanannya.

"Apakah May tahu akan hal ini?" pria itu bertanya sambil mengunyah.

"Tidak. Ia tidak tahu."

"Lebih bagus. Aku tidak sabar untuk melihat wajahnya ketika ketakutan." Bruce kembali tergelak sambil menunjuk Sean dengan garpunya. "Katakan, Sean. Jika aku puas, mungkin kita bisa melakukan hal ini secara rutin."

Sean buru-buru menggeleng. "Tidak. Tidak. Hanya satu kali ini. Aku sudah menjanjikan May kepada pria lain."

"Fuck, Sean," Bruce mengumpat sambil tertawa. "Kau sepertinya lebih berbakat menjadi mucikari daripada menjual properti. Bagaimana kalau kau pindah haluan saja? Serahkan Kettler properti padaku sepenuhnya dan aku berjanji untuk menjadi langganan setiamu."

Sean memalingkan wajahnya, jijik tapi juga tidak berdaya.

***

***

 

 

2. Black Snow

"Kau memanggil, bos?"

"Kau memanggil, bos?"

Stone Black memalingkan wajahnya dari jendela dan menemukan dua orang kepercayaan, Angelo dan Jet, melangkah masuk.

Seekor anjing rotweiller berbulu cokelat yang lebih mirip dengan beruang daripada anjing mengikuti keduanya sebelum duduk di bawah kaki Stone.

Stone menepuk kepala anjing itu sebelum meraih sebatang rokok dari atas mejanya dan menyelipkannya ke antara bibir.

"Katakan pada yang lain bahwa kita akan keluar malam ini," Stone berkata sambil menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Sudah waktunya kita memperkenalkan diri pada pengedar yang berani beroperasi di daerah kita tanpa membayar."

"Kudengar mereka datang dari Virginia, mungkin dari Abingdon atau Ashland," Jet menimpali sambil menyandarkan punggungnya ke meja panjang yang ada di pinggir ruangan. "Orang-orang itu perlu belajar untuk menghargai tuan rumah mereka ketika datang bertamu."

"Aku yakin mereka akan belajar," Stone membalas dengan suara datar. "Setelah sedikit darah tumpah."

Stone menarik rokoknya dari bibir dan membalik untuk kembali mengamati pemandangan yang ada di luar jendela.

"Kuakui, aku cukup menyukai tempat baru kita," Angelo berkata sambil mendudukkan dirinya ke atas sofa. Lengannya terentang lebar mengusap ke sandaran sofa kulit yang baru dibeli Stone. "Lokasinya bagus dan pemandangan yang kau dapat di sini tidak mungkin bisa kau dapatkan dari rumah lama kita di tengah kota."

Angelo tidak salah. Dengan luas hampir seribu meter persegi dan pemandangan menghadap ke arah pantai, 12 juta dollar adalah harga yang sepadan dengan yang apa yang ia dapat. Angelo dan Jet bisa mengambil salah satu ruangan di lantai bawah sementara ia memiliki seluruh lantai dua untuk dirinya sendiri.

Menjadikan keluarganya berada di posisi ini adalah impian ayahnya sejak lama. Sekarang pria itu membusuk di dalam tanah dan semua tanggung jawab jatuh ke atas kepalanya sebagai anak satu-satunya.

Tidak pernah ia mengira bahwa ia akan mendapatkan posisinya di umurnya yang masih sangat muda. Ia masih berumur 25 tahun ketika itu. Masih sangat bodoh dan naif. Sibuk membasahi penisnya dengan wanita dan pisaunya dengan darah untuk paham akan konsekuensi dan tanggung jawab.

Semua berubah ketika ia menemukan ayahnya terbunuh dengan leher tergorok.

Hal pertama yang ia lakukan begitu mengambil alih bisnis adalah mendapatkan pembalasan dendamnya. Ia memburu mereka yang bertanggung jawab akan kematian ayahnya dan membuat mereka membayar.

Itu adalah lima tahun yang lalu.

Beberapa mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan dalam pembalasan dendamnya, tapi reputasi mulai terbentuk akan apa yang ia lakukan dan Stone menemukan hal itu berguna. Lebih baik menjadi seorang pria yang terlalu mengerikan daripada diremehkan. Selama orang menganggapnya sebagai monster, mereka mudah dikendalikan.

Anjing cokelatnya menekannya kepala besarnya ke paha Stone dan memberi dorongan yang bisa dengan mudahnya membuat seorang anak kecil terjatuh.

Stone menyelipkan rokok yang dipegangnya ke bibir sebelum menunduk dan mengelus bagian belakang telinga anjingnya itu. Ia sudah memiliki Otis sejak binatang itu masih kecil, dan jujur, ia menyukai anjingnya lebih dari kebanyakan orang.

"Martha dan Molly akan kembali besok, bukan?" Angelo berkata tanpa mendongak, tangannya kini sibuk mengetikkan sesuatu ke ponselnya.

"Ya," Stone menjawab.

"Oh, thank God," Jet menggeram sambil mengusap wajahnya dengan tangannya yang bertato. "Aku akhirnya bisa berhenti membeli burger dan junkfood. Aku rindu masakan Martha. Dan Molly pasti sudah bosan karena tidak menemukan orang untuk diomeli."

Angelo tertawa dan mengatakan sesuatu tentang Molly yang tidak lagi diperhatikan oleh Stone.

Martha adalah wanita yang sudah bekerja untuk keluarganya bahkan sebelum ia lahir. Dan putrinya, Molly, sudah dianggap Stone dan semua orang yang bekerja untuknya sebagai kakak perempuan. Keduanya adalah apa yang mengingatkan Stone akan sebuah keluarga.

"Oh ya," Angelo berkata sambil memasukkan ponselnya ke saku. "Bagaimana dengan cacing Kettler itu? Kapan ia akan menyerahkan istrinya kepada kita?"

Stone menghentikan usapannya dari kepala Otis dan menegakkan punggungnya.

"Minggu depan," pria itu berkata sambil menarik rokoknya keluar dari bibir. "Ia mengatakan bahwa wanita itu mendadak sakit dan butuh beberapa hari untuk istirahat."

Angelo mendengkus. "Yang benar saja. Sakit apanya. Ia paling sedang berpikir untuk berkelit lagi."

"Jangan khawatir tentang Henry Kettler," Stone membalas. "Ia tidak akan ke mana-mana. Pastikan saja orang-orang kita siap malam ini."

***

***

Pesta ulang tahun yang disiapkan oleh Jackie setidaknya berlangsung meriah

Pesta ulang tahun yang disiapkan oleh Jackie setidaknya berlangsung meriah.

Jackie membooking sebuah ballroom hotel berbintang lima untuk acara malam ini dan mendekor ruangan dengan rangkaian bunga lilly of the valley yang disukai May. Sebuah live orkestra mengalun lembut dari atas panggung dan tamu yang datang terlihat menikmati waktunya dengan mengobrol satu sama lain dan berkeliling mencicipi aneka makanan yang beredar.

May tahu Jackie sudah bekerja keras mempersiapkan semuanya. Yang bisa ia lakukan setidaknya adalah menikmati.

Namun kegalauan yang mengikuti sejak pagi, membuat May hampir tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi. Ia hanya berdiri di tengah kerumunan sambil sesekali mengangguk dan tersenyum ketika ada yang mengajaknya berbicara tanpa memperhatikan apa yang didengarnya.

Jackie yang sadar, akhirnya menarik lengan May dan membawa wanita itu ke teras.

Suara lagu dan obrolan yang terdengar akhirnya teredam begitu pintu teras terayun menutup dan mengurung kedua wanita di luar.

"Kau terlalu cantik untuk cemberut di hari ulang tahunmu, Princess Snow White," Jackie memulai sambil meletakkan tangannya di pinggang.

May terlihat canggung oleh panggilan yang ditujukan kepadanya.

Princess Snow White.

Sudah lama ia tidak mendengar panggilan masa kecilnya itu. Kedua orang tuanya memanggilnya dengan sebutan itu karena ia mirip dengan Snow White ketika kecil. Mata lebar, kulit seputih salju, rambut hitam bergelombang, bibir merah dan tebal.

Ia tidak secantik atau sepolos Snow White, May tahu. Orang tua akan mengatakan hal terindah tentang anaknya meski tidak benar. Keduanya sudah meninggal sejak lama. Sekarang, hanya segelintir orang yang tahu akan nama panggilannya dan lebih sedikit yang memanggilnya dengan panggilan itu.

May mengedikkan bahunya.

"Aku tidak cemberut," May menjawab seadanya.

Jackie menghela napas.

"Kau hampir tidak menyentuh makananmu dan hanya mengeluarkan beberapa patah kata kepada para tamu," Jackie berkata dengan mata melebar. "Aku tahu sesuatu mengganggu pikiranmu. Ceritakan."

Jackie menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menunggu.

May hanya menggeleng. "Tidak ada yang perlu diceritakan. Aku hanya... lelah."

"May, aku mengenalmu sejak lama. Apakah kau kira aku tidak bisa membaca pikiranmu? Ini pasti tentang Sean, bukan?"

May memalingkan wajahnya.

"Apakah sesuatu terjadi?" Jackie melanjutkan dengan suara berhati-hati.

"Apakah ia berselingkuh?" Jackie menebak. "Itukah mengapa ia tidak datang malam ini?"

May buru-buru menggeleng.

"Tidak. Tidak seperti itu," May menjawab meski ia juga tidak yakin. "Kurasa tidak... ia hanya... sibuk. Kau tahu bagaimana kerasnya ia bekerja. Perusahaan mengalami kemunduran akhir-akhir ini. Wajar jika ia tidak merasa sedang dalam mood untuk berpesta."

"Semua orang mengalami kemunduran akhir-akhir ini, May," Jackie menyahut. "Bukan alasan bagi Sean untuk melewatkan pesta ulang tahun istrinya sendiri."

May memalingkan pandangannya keluar teras. Kerlip lampu kota yang menyala dikejauhan terlihat seperti hamparan lautan permata. Sungguh indah. Ada alasan mengapa ia meminta Jackie untuk mengadakan pestanya di tempat itu. Sean mungkin tidak datang, tapi disinilah ia pertama kali berkencan dengan Sean dan di tempat inilah ia pertama kali jatuh cinta pada pesona pria yang akhirnya dinikahinya itu.

"Huh...." Jackie tiba-tiba menggumam, "Ia sepertinya memiliki umur yang panjang. Lihat. Baru saja kita membicarakannya, ia muncul."

Kalimat Jackie membuat May menoleh kembali ke dalam ruangan.

Wajah May yang tadinya muram langsung bersinar.

Sean! Pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan sebuah buket mawar merah di tangan. Menolehkan pandangannya ke sekeliling ruangan seakan sedang mencari sesuatu.

Dengan bibir tersenyum lebar, May berlari masuk kembali ke dalam ruangan dan menyambut Sean.

"Sean!" May menjerit. "Kau datang."

"Tentu saja aku datang," Sean berkata sambil menyodorkan buket mawar ke arah May. "Happy birthday, Sayang."

Mata May yang bulat langsung melengkung oleh senyuman. Dengan wajah ceria, May menerima buket yang diberikan suaminya dan memberi pria itu sebuah pelukan.

"Apakah kau sudah makan?" May bertanya sambil memundurkan wajahnya. "Aku bisa meminta pelayan untuk menyiapkan—"

"Tidak. Tidak," Sean memotong. "Aku sebenarnya datang untuk menjemputmu Aku.. uhm... punya kejutan untukmu."

"Oh?" May mengerutkan alisnya. "Kejutan?"

"Ya, Baby." Pria itu memberi sebuah senyuman yang terlihat janggal di mata May. Lebar tapi tidak mencapai mata.

Sean meraih tangan May dan menarik ke arah pintu. "Ayo. Aku tidak ingin kita terlambat."

"Tapi, Sean— Pestanya—"

"Lupakan tentang pestanya," Sean memotong cepat tanpa menoleh.

"Bagaimana dengan tamu? Bagaimana dengan Jackie."

"Jackie akan paham. Sudahlah. Aku tidak ingin ia menunggu."

"Siapa yang menunggu?"

"For fuck sake, May, sekali saja, bisakah kau jangan banyak tanya dan ikuti aku?"

Kekasaran dalam suara Sean membuat May tersentak kaget. Sean sering berkata dengan nada merendahkan ketika pria itu gusar, tapi Sean tidak pernah membentaknya sebelum ini. Apakah sesuatu terjadi?

Tidak ingin membuat pria itu lebih marah, May menahan keinginannya untuk bertanya. Sebagai gantinya, ia menoleh ke arah Jackie dan menggumamkan kata 'sorry' dengan bibirnya sambil mengikuti tarikan tangan Sean.

***

***
 

 

3. Black Room

Note: !Warning! Bab ini mengandung adegan kekerasan dan pelecehan. Yang tidak nyaman atau belum cukup umur, mending skip karena penjabaran scene-ku cukup detail.

***

***

May mengamati bangunan yang ada di depannya dari balik kaca gelap mobil sport milik Sean

May mengamati bangunan yang ada di depannya dari balik kaca gelap mobil sport milik Sean. Hotel yang mereka tuju terlihat mewah tapi sepi.

Di awal pernikahannya, Sean memang kerap mengejutkan May dengan romantic gateway seperti ini. Membooking hotel mewah selama beberapa hari hanya untuk bersantai dan bercinta layaknya pasangan muda yang baru menikah.

Sean tidak lagi melakukannya. Uang dan kesibukan adalah alasan yang diberikan pria itu. May paham tentu saja. Itulah mengapa ia merasa tidak enak akan kejutan yang diberikan oleh Sean.

"Kau tidak perlu membooking hotel untukku, Sean," May berkata. "Aku sudah cukup senang kau bisa menghabiskan malam ini denganku. Kau tidak perlu buang-buang uang untuk hal ini."

May menolehkan kembali wajahnya ke arah Sean dan bisa melihat bahwa komentarnya sepertinya menyinggung perasaan pria itu.

"Jangan meremehkanku, May," pria itu berkata sambil merengut. "Hanya karena usahaku mundur bukan berarti bahwa aku bangkrut."

May buru-buru menggeleng. "Maafkan aku, Sean, bukan maksudku untuk—"

"Sudahlah," Sean memotong cepat sambil mematikan mesin mobil. "Ayo, kita keluar."

Tidak ingin membuat Sean makin kesal, May menurut. Ia membiarkan Sean membukakan pintu mobil untuknya dan menggiringnya menuju pintu hotel.

Seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian sekuriti tersenyum ke arah Sean sambil mengangguk sebelum membukakan pintu untuk keduanya.

Di dalam, suasana sepi yang sama terlihat. Hanya ada seorang resepsionis di loby yang menatap ke arah mereka dengan wajah masam.

"Apakah kau sudah membooking hotel?" May bertanya ke arah Sean.

"Hm," Sean hanya menggumam sambil mengangguk.

Mereka berjalan melewati meja resepsionis dan langsung masuk ke dalam lift. Ketika mereka sampai di lantai yang dituju, Sean menarik pinggang May dan menggiring wanita itu melewati lorong sepi dengan deretan pintu kamar yang tertutup.

Mata May membesar ketika ia mendengar lenguhan dan geraman terdengar dari balik pintu yang ada di kanan dan kirinya.

Sean berhenti ketika mereka tiba di salah satu kamar yang ada di sana dan mengetuk pintu.

Ketika itulah May mulai merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

"Kukira kau yang membooking hotel, Sean," May berbisik ke arah suaminya. "Tidakkah kau memiliki kunci?"

Sean berdeham.

"Tidak," pria itu berkata singkat. "Bruce yang memesankan hotel."

"Bruce?" Alis May langsung berkerut. Belum sempat ia bertanya lebih jauh, pintu terbuka.

"May!" Bruce berseru dengan tangan terbuka lebar. "Selamat ulang tahun, Baby."

Bruce meraih pundak May dan mencium pipi wanita itu. Bukan jenis ciuman yang pantas untuk diberikan pada istri sepupu yang sedang berulang tahun, melainkan jenis ciuman yang membuat May merasa ingin mendorong pria itu dan mengelap pipinya dengan tangan.

"Hai, Bruce." Mau mencoba untuk tenang meski kini mulai merasa gugup. Ia mendorong dada Bruce dan baru sadar bahwa pria itu hanya mengenakan jubah mandi dengan ikatan yang longgar. "A-aku tidak mengerti. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa yang kulakukan?" Bruce menjawab pertanyaan May dengan pertanyaan. "Menunggumu tentu saja. Masuk. Masuk."

"T-tunggu dulu—"

Kalimat May terpotong ketika Sean mendorongnya masuk ke dalam kamar.

"Jangan lupa perjanjian kita, Bruce," Sean berkata kepada sepupunya, sepenuhnya mengabaikan kebingungan dari wajah istrinya.

"Perjanjian?" May bertanya, mengalihkan pandangannya dari Bruce menuju Sean. "Apa yang kalian bicarakan? Perjanjian apa?"

Mengacuhkan May, Sean mengulang ucapannya, "Bruce? Apa kau dengar yang kukatakan?"

"Ya... ya... ya... Aku ingat. Jangan melukai wajahnya dan kondom. Ada lagi?" Bruce bertanya dengan nada tidak sabar.

"Tidak."

"Bagus. Kau bisa tunggu di luar."

Bruce membanting pintu di depan wajah Sean dan menguncinya rapat-rapat. Setelah itu barulah ia membalik ke arah May yang berdiri kaku di dalam ruangan.

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan pertama-tama, Sweetheart?" pria itu bertanya dengan mata menyipit.

May melangkah mundur ke belakang.

"A-apa sebenarnya yang terjadi?" May bertanya dengan suara yang mulai gemetaran. "Perjanjian apa yang kalian bicarakan?"

"Kau akan tahu sebentar lagi, Sayang," pria itu menjawab sambil mengusap perutnya yang buncit. "Sebelumnya, apakah kau ingin minum? Aku ada wine...whisky... bir?"

May menelan ludah dan memaksakan dirinya untuk mengamati kamar yang baru saja ia masuki.

Tidak ada jendela di ruangan itu. Sesuatu yang janggal pada sebuah hotel mewah seperti itu.

Lantainya yang bermarmer hitam dan dindingnya yang dipasangi wallpaper hitam membuat jantung May makin mengerat oleh rasa takut. Semua yang ada di dalam ruangan itu terlihat seram dan gelap. Perabotan yang ada di dalamnya juga minim dan berwarna hitam. Hanya meja dari kayu hitam, sofa kulit hitam dan sebuah ranjang berukuran besar dengan sprei berwarna hitam.

May mencoba untuk menahan dirinya agar tidak gemetaran ketika ia melihat empat borgol besi yang terpasang pada tiap sudut ranjang.

"Tidak, terima kasih," May membalas sambil memalingkan pandangannya dari Bruce. "Aku tidak ingin minum."

Pria itu memiliki mata yang kecil dan rapat. Dengan tumpukan lemak di atas tumpukan ototnya.

"Apakah kau yakin?" Bruce bertanya sambil mengambil sejangkah maju ke arah May. "Alkohol akan membuat apa yang akan terjadi lebih mudah untuk ditelan."

"Apa maksud—" Kalimat May terhenti ketika ia akhirnya sadar apa yang terjadi. Kenyataan itu menghantam May dengan keras hingga ia merasa pening. "S-sean menawarkan sesuatu kepadamu?"

Tawa kasar Bruce mengambil alih kesunyian yang ada di dalam kamar.

"Kau lebih pintar dari yang kuduga," pria itu menjawab. "Untuk dua ratus ribu dollar, aku memilikimu malam ini, Sweetheart."

"Tidak. A-aku bukan pelacur. Aku tidak bersedia melakukan hal ini."

Semuanya terasa berputar dalam pandangan May. Ia tahu bahwa ia perlu keluar dari ruangan itu. Tanpa menunggu balasan Bruce, May berjalan melewati Bruce untuk menuju ke arah pintu. Sayang, sebelum tangannya sempat meraih gagang pintu, Bruce meraih pinggangnya dan menariknya kembali ke dalam kamar.

"Bruce! L-lepaskan aku," May meronta sambil mencoba menarik napas, tapi paru-parunya sepertinya berhenti berfungsi.

Tawa Bruce terdengar kasar dan kejam.

"Belum apa-apa sudah mencoba untuk kabur?" pria itu bertanya dalam geraman. "Oh, tidak bisa, Sweetheart. Aku sudah membayar Sean. Kau tidak boleh keluar sebelum memuaskanku."

Jantung May sepertinya berhenti berdetak ketika pria itu mendorongnya ke atas ranjang dan meremas pergelangan tangannya hingga tidak bisa bergerak.

"Please, Bruce," May merintih. Ia tidak bisa berpikir dengan jelas. Seluruh tubuhnya menegang oleh rasa takut yang tidak pernah dirasakannya sebelum malam itu. "Lepaskan aku. Jangan lakukan hal ini. Aku tidak tahu apa yang dijanjikan oleh Sean kepadamu, tapi aku tidak ingin berada di sini. Le-lepaskan aku."

Tawa Bruce rendah dan dalam memberitahu May bahwa pria itu tidak terganggu oleh penolakannya dan justru semakin bersemangat. May bisa merasakan kekakuan pria itu ketika Bruce menekankan bagian bawah tubuhnya ketika pria itu menindihnya.

"Teruslah merengek, Sayang," Bruce menjawab dengan suaranya yang kasar. "Bisakah kau merasakan betapa aku menyukai rengekanmu?"

Air mata turun ke pipi May sementara ia meronta lebih kuat untuk bisa lepas dari himpitan Bruce. May melawan. Ia menjerit sambil mencakar dan menendang. Yang kemudian membuat Bruce menggeram dengan frustasi sebelum kemudian memutuskan untuk memasangkan borgol yang ada di tiang ranjang ke kedua tangan May.

"Tidak! Tidak ! Jangan lakukan ini, Bruce," May memohon dengan air mata mengaburkan suaranya. "Ini semua tidak benar. Aku adalah istri sepupumu. Kumohon lepaskan aku."

Bruce tidak menjawab. Pria itu menjalankan tangannya ke badan May, menyentuh dan meremas bagian dari tubuh May yang sebelumnya hanya pernah disentuh oleh suaminya. Tangan Bruce menyingkap bagian bawah gaun yang dikenakan May ke atas sebelum kemudian merobek celana dalam yang dikenakan May.

"Tidak! Hentikan!" May menjerit dengan wajah berlumuran air mata. Ia meronta sekuat tenaga, hanya berhenti ketika rasa sakit dari ikatan di pergelangannya menjadi tidak tertahankan.

Sambil mengeringai, Bruce meraih bagian atas gaun May dan menariknya ke bawah, menampakkan bra yang dikenakan May yang juga kemudian ditariknya hingga ke perut.

Dengan bagian intimnya terpampang jelas dan tangan terikat ke tiang ranjang, May hanya bisa menangis sesenggukan ketika Bruce meraih salah satu payudaranya dan memainkannya.

Helaan napas kecewa terdengar dari bibir Bruce, menghancurkan sisa harga diri yang dimiliki oleh May.

"Untuk 200 ribu dollar, aku mengharapkan dada yang lebih besar dari ini. Betapa disayangkan."

Pria itu menurunkan pandangannya ke bawah dan memberi usapan ke celah May yang terpentang.

"Mari kita berharap Sean tidak melonggarkanmu."

"Bruce, j-jangan," May berkata, memberi satu permohonan putus asa yang terakhir dan berharap bahwa Bruce masih memiliki belas kasihan untuk menghentikan semua ini.

Namun ketika Bruce melepaskan jubah mandinya, May tahu bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan membuat pria itu berubah pikiran. Apapun yang ia ucapkan, apapun yang ia lakukan, Bruce akan mengambil martabatnya sebagai wanita baik-baik malam ini.

Pria itu meraih sesuatu dari laci nakas dan membuka bungkusnya dengan tidak sabar. Dengan satu tangan, Bruce memasangkan kondom itu ke kejantanannya sementara dengan tangannya yang lain ia menarik paha May agar lebih membuka.

Setelah memposisikan dirinya ke celah May, Bruce langsung membenamkan dirinya sekuat tenaga ke dalam.

"Arg, fuck!" Bruce menggeram rendah sementara May menjerit kesakitan.

Tubuh May gemetaran dan air mata mengalir semakin deras ketika pria itu mulai bergerak. Bruce tidak hanya membunuh harga dirinya dengan setiap desakan, tapi pria itu juga melukainya dengan kekakuan yang menggesek di antara selangkangannya.

"S-stop! Sakit... Hentikan, Bruce!"

May menangis dan meronta tanpa hasil. Pergelangan tangannya sakit oleh cengkeraman borgol sementara bagian bawah tubuhnya nyeri oleh sodokan Bruce yang terus menumbuk dengan kasar dan tanpa jeda.

Seakan ingin memperdalam desakkannya, Bruce menarik pergelangan kaki May ke atas pundaknya sebelum kembali menghantam dengan sepenuh tenaga.

"Sakit! B-bruce! Stop!" May menggertakkan giginya yang gemetaran sambil mencoba untuk bertahan.

Entah berapa lama Bruce menggagahinya seperti itu. May mengira bahwa ia hendak pingsan, ketika Bruce akhirnya menghantamkan dirinya satu kali lagi ke dalam sebelum mengejang.

Ketika Bruce akhirnya selesai, pria itu berguling dari tubuh May dan berbaring dengan napas terengah.

May terisak sambil memalingkan wajahnya, mencoba membuat dirinya sekecil mungkin di samping badan Bruce yang berat.

"Kau seperti yang kubayangkan, Baby," Bruce berkata sambil tersenyum lebar sambil meraih rambut May yang acak-acakan dan mengangkat kepala wanita itu agar melihat ke arahnya. "Pussy-mu sungguh terasa luar biasa."

Bruce mendesakkan satu jarinya ke celah May dan membuat wanita itu merintih oleh rasa sakit.

"Istirahatlah sementara kau bisa," Bruce berkata dengan cengiran di wajahnya. "Sean hanya memberiku waktu semalam denganmu dan aku berniat mendapatkan nilai uangku balik."

***

***

 

4. Stone Black

Hari sudah gelap ketika Stone masuk ke dalam kursi penumpang SUV hitamnya yang kedap peluru. 

Angelo duduk di belakang kemudi sementara Jet mengambil tempat di belakang.

Begitu mobil berjalan, Stone mengamati peta di dalam ponsel sementara sisa orang-orangnya mengikuti dalam tiga kendaraan serupa di belakang.

Pengedar baru itu sepertinya mengambil kesempatan dengan memasuki daerah abu-abu yang menjadi perbatasan antara wilayahnya dan wilayah Belosokov. Ia tidak ingin memulai peperangan dengan keluarga Belosokov. Apalagi ketika dirinya dan Nikolai Belosokov baru saja menyetujui gencatan senjata.

Stone sadar akan keberadaan Nikolai Belosokov selama bertahun-tahun. Dengan wilayah yang berdampingan, kedua anggota mereka kerap bentrok dan tidak jarang pertumpahan darah terjadi. Itulah mengapa ketika Nikolai datang kepadanya dengan sebuah bisnis proposisi setahun yang lalu, Stone lebih dari siap untuk mendengarkan. Nikolai mengusulkan gencatan senjata. Dengan satu syarat, kedua keluarga berada di daerah masing-masing dan tidak saling ikut campur, sebuah hal simpel yang disetujui oleh Stone.

Nikolai mungkin adalah pria yang ambisius, tapi pria itu juga tahu kapan harus berhenti, dan sejauh ini, Nikolai membuktikan kata-katanya.

Artinya, ia juga harus berhati-hati menangani masalah ini.

Sekitar setengah jam, iring-iringan mobil bergerak memasuki kompleks perumahan mewah dengan rumah-rumah besar yang diterangi oleh lampu berwarna oranye di bagian depannya.

Stone menatap kembali peta yang ada di ponselnya sebelum menunjuk ke arah jalanan.

"Belok kanan di sini," Stone memberitahu Angelo yang duduk di belakang kemudi untuk membelok.

Jet bersiul dari belakang. "Pantas saja semua orang menginginkan daerah ini. Ada banyak uang di sini."

"Ya," Stone membalas. "Istri-istri yang bosan membeli pil dari jalanan sementara suami mereka menghabiskannyanya dengan berkunjung ke strip club. Semua uang yang akan masuk langsung ke kantung kita atau kantung Belosokov."

Di persimpangan berikutnya, Stone memberi tahu Angelo untuk membelok ke kanan. Ukuran rumah yang mereka lalui mengecil dan tidak semewah sebelumnya, tapi tetap saja daerah itu terlihat ditinggali oleh kalangan menengah ke atas dengan pekarangan mereka yang dipenuhi bunga dan rumput yang terpangkas rapi.

"Paling ujung," Stone memberi tahu ketika mereka akhirnya sampai.

Angelo mengangguk dan meminggirkan mobilnya ke pinggir.

"Baiklah," Stone berkata begitu Angelo mematikan mesin. "Waktunya kita memperkenalkan diri."

Angelo tertawa dan terdengar suara familiar dari arah Jet yang sedang memeriksa pistolnya untuk memastikan benda itu siap digunakan.

Rumah dua lantai yang mereka tuju terlihat sepi dan sama sekali tidak mencolok. Bagian depannya di cat dengan warna krem yang lembut dan bahkan ada sebuah air mancur terpasang di pekarangan.

Stone berani menjamin bahwa kebanyakan orang yang tinggal di sekitar rumah itu pasti sepenuhnya tidak sadar akan kegiatan terlarang tetangga mereka.

Stone menoleh ke arah dua orang yang ada di dalam mobil. Angelo dan Jet terlihat siap akan apapun yang terjadi. Keduanya mengamati Stone dengan wajah kaku dan dingin.

"Kita hanya akan membicarakan hal ini baik-baik," Stone memberi tahu. "Selama ia tidak mencari masalah, kita tidak membuat masalah."

Keduanya mengangguk. Jet mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan perintah Stone ke semua orang.

Begitu pesan terkirim, orang-orang Stone bergerak serentak. Keluar dari mobil dan berjalan ke pintu depan rumah dengan dengan keset bertuliskan welcome di bawahnya.

Stone melepaskan kancing jasnya sebelum mengetuk pintu. Jaga-jaga jika ia perlu menarik keluar senjatanya jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Pria yang membuka pintu terlihat lebih muda dari yang diduga oleh Stone, sekitar 20-an dengan rambut di model punk yang di gel kaku ke atas dan anting di bibir.

"What the fuck..." pria itu menggumam ketika melihat segerombolan pria berjas di beranda rumahnya.

Meski tato yang menyembul dari tubuh Stone dan yang lain memberitahu pemuda itu bahwa ia tidak berhadapan dengan polisi, tapi bukan berarti ia tidak berhadapan dengan masalah.

"Undang kami masuk, kid," Stone memberitahu dengan suara rendah. "Kami akan menarik perhatian semakin lama kami berada di luar. Kau tidak ingin tetanggamu curiga, bukan?"

Pemuda itu melangkah ke samping memberi jalan untuk Stone dan yang lain masuk.

Begitu semua berada di dalam, pemuda itu menutup pintu dan menjerit, "Pete! Bisakah kau turun? Kita ada masalah di bawah."

Suara langkah kaki yang tergopoh terdengar dari lantai dua. Seorang pria bercelana jeans belel dan bertelanjang dada berlari menuruni tangga. Perutnya yang buncit karena terlalu banyak bir terlihat bergoyang dan rambutnya yang cokelat terlihat acak-acakan dan berminyak. Bahkan sebelum Pete membuka suara, seketika Stone tahu ia tidak menyukai pria itu.

Langkah Pete terhenti di tengah lorong begitu melihat kerumunan pria memenuhi ruang tengahnya.

"Siapa kalian?" pria itu berkata dengan tangan yang perlahan bergerak ke belakang punggungnya. Jelas hendak meraih pistolnya.

"Aku akan berpikir dua kali jika aku menjadi dirimu, Pete," Stone memberi peringatan. "Aku akan menganggapnya sebagai ancaman jika kau terus menggerakkan tanganmu.  Dan kau tidak ingin mengancam orang sepertiku."

Tangan pria itu membeku, memberi tahu Stone bahwa mungkin Pete tidak sebodoh yang dikiranya.

"Kau mungkin tidak mengenalku karena kau baru di daerah ini, tapi namaku adalah Stone Black dan keluargaku adalah yang menjalankan bagian dari kota ini." Stone memberi pria itu pandangan tajam sebelum melanjutkan, "Artinya, kau bekerja untukku. Aku di sini untuk membicarakan tentang peraturan yang perlu kau ikuti dan memberitahumu kapan aku akan menarik bagianku."

"Bagianmu?" Pria itu menggaruk perutnya dan melepaskan sebuah dengkuran yang terdengar seperti tawa. "Dengar, Man. Aku sudah bekerja di bidang ini selama bertahun-tahun. Setahuku Amerika adalah negara bebas. Artinya, aku tidak bekerja dibawah siapapun dan aku tidak mau membayar."

Stone melirik ke arah pemuda rambut punk dengan anting bibir yang tadi membukakan pintu untuknya. Pemuda itu memperhatikan apa yang terjadi tapi tidak berkata apa-apa. Bahkan ketika orang-orang Stone mulai menyebar dan memeriksa ruangan, pria itu tidak bergerak untuk menghentikan dan hanya mengkerut di pinggir ruangan sambil melirik ke arah Pete yang terlalu sibuk untuk terlihat tidak takut.

"Mungkin di tempat lamamu kau bekerja untuk dirimu sendiri," Stone menjelaskan sambil memaksakan dirinya untuk sabar. "Tapi tidak di kota ini. Di sini, kau bekerja untukku. Jika kau sudah berada di bidang ini bertahun-tahun, tentunya kau tahu tentang hal ini, Pete."

Jet berjalan masuk kembali ke ruang tengah dengan menggiring enam orang pria. Bawahan Pete yang semua terlihat sama bingung dan takutnya dengan pria berambut punk.

Angelo menyusul sambil mencengkeram dua wanita muda di setiap tangan. Pria itu nyengir dan berkata, "Mereka kutemukan di salah satu kamar di atas."

Salah satu wanita itu meronta untuk lepas dari cengkeraman Angelo, sementara yang lain hanya terdiam menatap ke depan dengan pandangan penuh teror.

"Keluarkan mereka dari sini dan katakan untuk jangan kembali," Stone memberitahu Angelo.

Angelo mengangguk dan membuka pintu sebelum mendorong keduanya keluar dari teras.

"Kau dengar sendiri," pria bertubuh kekar itu berkata. "Keluar dari sini dan jangan kembali!"

Angelo menutup kembali pintu sambil menggumam, "Sayang sekali. Yang berambut hitam cukup cantik."

"Aku yakin kau akan menemukan yang lain," Stone memberitahu sebelum melangkah mendekati Pete.

Sesuatu yang disesali Stone karena kini aroma masam pria itu membuatnya ingin muntah.

"Siap untuk mendengarkan?" Stone bertanya dengan suara rendah.

Mata Pete melesat ke arah orang-orangnya dan Stone bisa melihat pria itu merencakan sesuatu.

"Apapun yang kau rencanakan," Stone menggeram, rendah hingga hanya Pete yang mendengar. "Jangan lakukan."

Stone bisa melihat detik ketika Pete mengabaikan peringatannya dan sebuah keputusan diambil.

Stone menghela napas panjang ketika tangan Pete bergerak. Bahkan sebelum jemari Pete sempat menyentuh gagang pistolnya, Stone meraih pisaunya dan menancapkannya ke leher pria itu.

Mata Pete melebar sementara mulutnya membuka.

Pemuda dengan anting di bibir mengumpat tertahan sementara yang lain melangkah mundur sambil menarik napas.

Perlahan, Stone mencabut pisaunya keluar dan membiarkan Pete melorot berlutut di bawahnya. Darah mengucur dari luka yang ada di leher pria itu, membasahi dadanya yang telanjang dan mengendap di atas karpet berwarna krem yang melapisi lantai. Pete terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi darah yang memenuhi tenggorokan membuat suaranya tidak terdengar.

Stone berdecak sambil menggunakan kakinya untuk mendorong Pete agar terguling ke belakang. Wajah pria itu kini pucat dan redup. Sebuah wajah yang dikenali oleh Stone dengan baik. Wajah pria yang hanya memiliki beberapa detik untuk hidup.

"Sangat disayangkan," Stone menggumam. "Susah untuk membersihkan noda darah di karpet."

Stone mengalihkan perhatiannya ke orang-orang Pete dan terlihat kecewa dengan apa yang dilihatnya. Kebanyakan hanyalah anak-anak muda yang sepertinya terlalu memiliki impian muluk untuk berada di tempat itu.

Stone menunjuk ke arah pemuda dengan rambut punk yang berdiri membeku di tempatnya bak sebuah patung.

"Kau, kid. Siapa namamu?"

"J-jason," pemuda itu menjawab dengan suara lirih. Matanya berkedip dari tubuh Pete yang sudah tidak bergerak menuju ke arah Stone sebelum menunduk ke bawah.

"Selamat, Jason," Stone melanjutkan sambil menyeka darah dari pisaunya menggunakan lap yang ditemukannya di salah satu sofa. "Kau baru saja naik jabatan. Apakah kau memiliki pendapat yang sama dengan Pete tentang apa yang kubicarakan?"

"T-tidak, Tuan," pria itu membalas dengan cepat dan memberanikan dirinya untuk menatap mata Stone sambil menggeleng.

"Bagus." Stone memasukkan kembali pisaunya ke dalam jas dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. "Bagaimana dengan kalian?"

Semua menggeleng dan menggumamkan kata 'tidak'.

"Keputusan yang bijaksana." Stone menunjuk lima orang-orangnya sebelum melanjutkan, "Mereka akan tinggal di sini dan membantu kalian dengan aturan kami. Mereka akan mengawasi apa yang kalian lakukan dan kapan kalian diwajibkan menyetor. Selama kalian mengikuti aturanku, aku yakin kita tidak akan memiliki masalah seperti ini kedepannya."

Semua mengangguk dan terlihat lebih dari lega ketika Stone akhirnya bergerak menuju ke arah pintu.

Orang-orang itu mungkin tidak sadar, tapi dengan bantuannya, Stone tahu mereka akan menghasilkan lebih banyak uang daripada bekerja di bawah kekuasaan Pete.

"Kemana lagi sekarang, bos?" Angelo bertanya sambil melangkah di sebelah Stone.

"Aku ingin melihat pembangunan strip club baru kita dan ada satu pemilik kasino yang ingin kudatangi."

Angelo memberi Stone sebuah anggukan dan membukakan pintu mobil.

Ketika pekerjaan akhirnya selesai dan malam yang panjang berakhir, Stone memutuskan untuk kembali ke rumah sementara Angelo dan Jet menghabiskan sisa malam dengan berpesta di club dengan anggota mereka yang lain.

Mendudukkan dirinya di salah satu kursi patio yang ada di dek belakang, Stone menyandarkan punggungnya ke belakang dan menyalakan sebatang rokok.  Diumurnya yang sudah 30 tahun, pesta dan wanita di club sudah tidak lagi menarik baginya. Dan dengan posisinya yang sudah berada di atas, satu-satunya hal yang diinginkan Stone saat ini adalah ketenangan dan stabilitas.

Suara deburan ombak yang bersautan membuai kesadaran Stone yang kelelahan. Anjingnya yang berukuran besar datang dan menyandarkan kepalanya ke atas paha sementara pria itu mencoba untuk tidak jatuh tertidur.

Setelah menghabiskan sebatang rokoknya, Stone memaksakan dirinya untuk bangun dan berjalan ke kamarnya yang ada di lantai atas. Dilepaskannya jasnya yang bernoda darah dan dilemparkannya ke sandaran kursi. Selesai mencuci tangan di kamar mandi, Stone berjalan kembali ke kamar. 

Baru saja pria itu hendak mematikan lampu, sebuah USB kecil yang tergeletak di atas meja mengalihkan perhatiannya.
 

Benar juga. Sean Kettler dan istri kecilnya.

***

***

 

5. Wanita Berkulit Salju 

Ketika Bruce akhirnya selesai May hampir tidak bisa bergerak. Seluruh badannya terasa sakit dan kepalanya berputar. Paru-parunya bahkan sepertinya berhenti bekerja karena tidak peduli seberapa banyak ia berusaha menarik napas, ia merasa tidak cukup.

May mendengar suara telepon yang ada di dalam kamar berdering.

Bruce melompat turun dari ranjang dan berjalan ke arah meja. Tanpa menutupi badan gempalnya yang masih telanjang, Bruce mengangkat telepon dan menjawab.

"Ya, bos?" pria itu berkata kepada siapapun yang ada di ujung sambungan. Setelah menunggu sesaat, pria itu membalas, "Baiklah.... Aku mengerti.... Akan kulakukan."

Selesai menutup telepon, Bruce meraih jubah mandinya dan menyeringai ke arah May.

"Ini pastilah hari keberuntunganku, May," pria itu berkata sambil mengikat tali jubah mandinya. "Pria yang memiliki hotel ini menyukaimu dan ia akan memberi suami tidak bergunamu sebuah tawaran yang tidak akan bisa ditolaknya. Artinya, kau sepertinya akan tinggal disini lebih lama dan aku akan memiliki kesempatan untuk menemuimu lagi. Lebih bebas kali ini tanpa aturan-aturan dari Sean."

May tidak lagi sanggup bertanya. Air mata dan kemampuannya untuk melawan sudah habis terpakai sepanjang malam. Ia tidak memiliki tenaga untuk melakukannya apa-apa. Begitu Bruce berjalan keluar, perlahan ia pun kehilangan kesadaran.

***

***

Stone terbangun dengan matahari menyinari wajahnya karena lupa menutup korden.

Ada beberapa hal yang perlu dikerjakannya hari ini sebelum ia punya waktu untuk mengurusi masalah Sean. Pria itu bagaikan duri di bawah kulit. Meski tidak membuatnya berdarah tetap saja mengganggu jika dibiarkan. Mungkin ia akan melakukannya setelah pertemuannya dengan Nikolai Belosokov siang ini.

Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, Stone berjalan menyusuri lorong menuju ruangan berkaca lebar yang diubahnya menjadi home gym untuk sedikit olah raga. Dinding kaca yang melapisi salah satu sisi ruangan menampakkan pemandangan lautan yang luar biasa mempesona, Stone merasa bisa selamanya berada di ruangan itu hanya untuk mengamati lautan.

Selesai angkat beban yang kemudian diakhiri dengan lari di atas treadmill selama sejam, Stone berkeringat dan haus. Membawa handuk yang digunakan untuk mengelap dadanya yang basah, Stone berjalan turun ke bawah untuk mengambil air minum.

Baru saja ia meraih botol minum dari kulkas, seorang wanita dengan rambut pirang berjalan masuk.

"Oh halo," wanita itu menyapa sambil melangkah mendekat. Kaos ketatnya yang tipis menapak jejak payudaranya yang padat dan dengan hanya mengenakan celana dalam, Stone bisa melihat kaki jenjang wanita itu yang putih.

Mata wanita itu bergerak mengamati Stone sebelum bibir tebal itu tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Berapa banyak pria tampan yang tinggal di rumah ini sebenarnya?" wanita itu bertanya sambil tertawa cekikikan.

Stone mengabaikan wanita itu dan membuka botol minum.

Wanita itu melangkah mendekat dan menjalankan jemarinya menyusuri salah satu tato beruang besar yang ada di dada Stone.

"Dan apa maksud tato beruang yang ada di dada kalian ini?"

Stone menenggak airnya dan tidak menjawab.

Seakan sama sekali tidak melihat kejengahan Stone atau menolak untuk percaya bahwa Stone tidak tertarik, wanita itu mengusapkan tangannya ke bagian depan badan Stone sambil menggigit bibirnya dengan gaya menggoda.

Stone akhirnya menampik tangan wanita itu menjauh.

"Hei!" wanita itu berseru. "Tidak perlu bersikap kasar. Aku kan hanya berusaha untuk bersikap friendly."

Wanita itu memberi Stone sebuah cebikan yang sepertinya sering digunakannya untuk merayu seorang pria.

"Aku bukan temanmu dan aku tidak tertarik pada wanita murahan."

Mata wanita itu melebar. Sebelum wanita itu sanggup menjawab, Jet berlarian masuk ke dalam.

"Hei..., kau... uhm...," Jet berkata ke arah wanita itu sambil terlihat seperti mencoba mengingat sesuatu.

Setelah beberapa detik kesunyian yang canggung, Jet menambahkan, "Baby," memberitahu Stone bahwa Jet sepertinya sudah lupa nama wanita itu. "Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di kamar. Aku bisa mengambilkan apapun yang kau mau."

Wanita itu mengedikkan bahunya.

"Aku bosan menunggu di kamar sendirian," wanita itu menjawab dengan bibir cemberut.

"Baiklah," Jet berkata sambil menarik tangan wanita itu dan mendorongnya keluar dari ruang makan. "Aku akan kembali ke kamar setelah ini. Tunggu saja aku di sana."

Jet menampar pantat semok wanita itu ketika melewatinya, yang kemudian membuat wanita itu menjerit berlebihan sebelum berjalan kembali ke kamar sambil cekikikan.

"Jangan katakan kau hendak membiarkannya tinggal di sini seharian, Jet," Stone berkata setelah wanita itu menghilang ke dalam kamar Jet.

Jet menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Yeah... well... kukira ia akan pergi tadi malam setelah kita selesai. Aku tidak mengira ia masih akan di sini hingga pagi ini. Jangan khawatir, aku akan mengusirnya."

"Lakukan secepatnya," Stone membalas dengan wajah merengut. "Ia terlihat manja, Jet. Kau perlu lebih hati-hati dalam memilih."

"Mereka semua manja setelah merasakanku," Jet mengedik sambil nyengir. "Satu ronde lagi dan aku akan menendangnya keluar setelah itu. Janji."

Stone menggelengkan kepalanya begitu Jet berjalan kembali ke kamar. Masih berumur 24 tahun, Stone paham bagaimana mendidihnya darah Jet. Meski sering melakukan hal yang ceroboh dan terlihat kasar, kesetiaan Jet kepadanya tidak perlu dipertanyakan. Itulah mengapa ia mempercayakan banyak hal pada Jet.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Stone kembali turun ke bawah dan cukup puas ketika menemukan wanita asing yang dibawa Jet sudah pergi.

Hanya ada dua pria di meja makan yang kini sedang duduk sambil nyengir sementara Martha menyiapkan sarapan.

"Selamat pagi, Martha," Stone berkata kepada pengurus rumahnya ketika wanita itu menyerahkan cangkir kopi kepada Stone.

"Selamat pagi, Tuan Black," wanita itu menjawab.

"Apakah kau dan Molly menikmati liburanmu?"

"Ya, Tuan Black. Meski jika boleh jujur, seminggu terlalu lama untuk berlibur. Aku sudah tidak tahan ingin segera pulang."

"Well, kita semua senang kau kembali," Stone berkata sambil melemparkan senyumannya ke arah wanita setengah baya itu. Tidak peduli berapa kali ia memberitahu Martha untuk memanggil namanya, wanita itu menolak dan bersikeras memanggilnya dengan sebutan formal

Molly, sementara itu, kebalikan ibunya. Wanita berusia 25 tahun itu berjalan masuk dengan keranjang laundry di tangan dan cengiran lebar di wajahnya.

"Hei, Stone," wanita itu menyapa dengan senyum lebar di wajahnya yang cerah. "Seminggu tidak ada yang menggangumu, apakah kau merindukanku?

"Tuan Black, Molly," Martha mengingatkan sambil mengayunkan spatula yang dipegangnya ke arah putrinya.

Molly memutar bola matanya ke arah Stone.

"Apakah kau merindukanku, Tu..an... Black?" Molly mengulang pertanyaannya dengan penekanan pada nama belakang Stone sebelum menoleh ke arah ibunya. "Kita sudah kenal satu sama lain sejak masih memakai popok. Ia juga tidak keberatan aku memanggil namanya."

"Tetap saja," Martha menjawab dengan nada tegas. "Ia adalah bos mu dan kau akan bersikap sopan ketika berbicara dengannya."

Molly menghela napas dan melemparkan pandangan sekilas ke arah Angelo. Warna merah di pipi Molly memecahkan misteri mengapa Angelo tidak membawa siapa-siapa dari club semalam. Pria itu sepertinya sibuk dengan Molly.

Stone mengangkat alisnya ke arah Angelo hanya untuk memberitahu pria itu bahwa ia tahu apa yang terjadi, tapi tidak berkata apa-apa. Setidaknya tidak di depan Martha. Jika wanita itu mempermasalahkan kelakuan Molly yang memanggilnya dengan sebutan nama, wanita itu pasti akan mempermasalahkan putrinya berhubungan dengan salah satu orang kepercayaannya.

Angelo hanya meringis sambil menggaruk lehernya melihat tatapan mata Stone.

Martha meletakkan tiga piring besar ke atas meja yang langsung disambar oleh Angelo dan Jet yang sudah kelaparan.

Stone mendudukkan dirinya di kursi kosong yang ada di sebelah Angelo dan meraih piring terakhir yang ada di atas meja.

Sambil menghabiskan sarapan, Stone mendapatkan sebuah pesan masuk yang membuat alisnya berkerut.

"Apa yang terjadi?" Angelo yang sadar akan perubahan raut wajah Stone bertanya.

"Sean melunasi seluruh hutangnya dan membatalkan perjanjiannya tentang istrinya," Stone membalas sambil masih menatap layar ponselnya.

"Bagus, bukan?" Jet menyahut dari seberang meja. "Uang lebih berguna daripada wanita. Kita tidak perlu lagi memikirkan tentang cacing Kettler itu dan istrinya. Kita bisa menggunakan uang itu untuk pembangunan strip club kita yang baru. Kudengar Nikolai Belosokov sedang membangun beberapa di dekat perbatasan. Uang sepertinya mengalir masuk dari sektor itu dengan mudahnya. Apakah kau masih akan menemui pria itu siang ini?"

"Ya."

Stone memasukkan ponselnya kembali ke saku. Mungkin benar kata Jet. Ada bagusnya Sean membatalkan penjanjian ini. Seperti yang dikatakannya, dengan posisinya yang kini sudah berada di puncak, yang diinginkannya hanyalah stabilitas dan ketenangan. Tidak perlu memperkeruh suasana dengan memikirkan tentang wanita berkulit salju itu. May Kettler bukan lagi urusannya.

***

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Stone
Selanjutnya Stone [Ch5-10] FREE
13
4
Daftar isi:6. Belati Dalam Hamparan Salju7. Curiosity Killed The Cat8. Secercah Cahaya Dalam Kegelapan9. Stabilitas dan Ketenangan, Atau?10. Bantuan Dengan Konsekuensi
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan