Songbird Ch: 6-10 FREE

3
0
Deskripsi

Daftar isi:
6. Megah dan Menyedihkan

7. Air Mata Sang Pemburu

8. Mereka yang Ditandai

9. Pria Pemarah

10. Waktu Yang Tercuri 

6. Megah dan Menyedihkan

Nimia mengamati pria yang ada di depannya tanpa bersuara.

Senator Juno Vibius.

Tangan Nimia terasa gatal ingin memperbaiki penampilan pria itu. Mungkin merapikan rambutnya yang acak-acakan, mengelap bekas tinta yang melekat di jarinya, atau menggosok jubahnya yang terlihat kusut.

Juno Vibius adalah seorang duda yang sudah bercerai lebih dari lima tahun lamanya, dan Nimia tahu, kadang budak mengambil kesempatan ketika tidak ada Nyonya Rumah yang mengawasi.

"Siapa namamu, Gadis kecil?" Juno bertanya ketika Nimia menawarkan nampan berisi buah dan manisan ke arah pria itu.

"Nimia, Tuan."

"Nama yang unik."

Juno mengamati Nimia. Pria itu memiliki tatapan mata yang dalam dan ramah. Menggali tapi menjaga jarak.

"Bukan dari Vesontio sepertinya. Terlalu banyak vokal yang beruntun dan bentuk matamu juga berbeda. Hm... aku menebak dari pesisir Ionian, mungkin daerah Macedonia?"

Nimia tersenyum sebagai jawaban dan melangkah mundur meski diam-diam masih mengamati.

Juno memiliki kaki kiri yang lebih kecil dari yang kanan. Bawaan dari lahir sepertinya. Hal itu membuat Juno sedikit pincang ketika berjalan. Tapi ketika duduk atau berdiri, pria itu terlihat layaknya seorang bangsawan yang cukup menawan, dengan rambut gelap yang tebal dan hidungnya yang mancung.

Sungguh kasihan Senator Juno Vibius, Nimia berpikir. Hersilla akan memakan pria itu hidup-hidup dan meludahkannya ketika sudah menjadi tulang belulang.

"Oh, Senator!" Hersilla melangkah masuk.

Wajah gadis itu terlihat segar dan menawan dalam balutan sutra berwarna krem dan kalung oranye di lehernya.

Lima belas tahun, sama seperti Nimia. Cantik dan anggun layaknya sekumtum bunga yang baru merekah.

"Kau datang lebih pagi dari janji. Apakah kau sudah tidak sabar untuk segera berangkat ke pertandingan?" Hersilla bertanya dengan suara ceria sambil menjulurkan tangan kanannya.

"Pertandingan memang selalu menarik untuk ditonton, Milady,." Juno berdiri dari tempat duduknya dan meraih juluran tangan Hersilla untuk mengecupnya. "Walau jika memilih, aku lebih menyukai perpustakaan dan buku daripada arena yang panas."

Hersilla menaikkan tangannya ke mulut dan tertawa cekikikan. Nadanya yang terlampau tinggi membuat telinga Nimia berdengung karena berisik.

"Aku berniat untuk mengubah pendapatmu, Senator," Hersila membalas. "Karena seperti yang kau lihat, aku cukup tergila-gila dengan permainan di arena."

"Ah... Seperti ayah seperti putrinya." Juno mengangguk dengan anggun ke arah Paulus yang melangkah masuk.

Paulus mengerutkan keningnya ketika melihat Juno. Mata pria itu menatap dengan pandangan tidak suka ke arah rambut Juno yang acak-acakan dan sandalnya yang berdebu, sementara ia sendiri terlihat tanpa cela. Tapi tetap saja, semua orang tahu siapa Juno Vibius. Bukan hanya senator, pria itu adalah keluarga kerajaan. Seseorang dengan darah biru yang tentunya memiliki derajat jauh lebih tinggi daripada seorang pengatur acara gladiator seperti Paulus Vonones.

"Apakah benar kau adalah sepupu dari Ratu Julia?" Hersilla bertanya kepada pria itu dengan mata membelalak lebar.

"Oh, ya." Juno tersenyum sambil mengangguk. "Kami sering bermain bersama ketika masih muda. Aku masih berkunjung ke istana untuk menemui Ratu Julia. Sayang... akhir-akhir ini aku agak sibuk jadi tidak sempat."

"Benarkah?" Mata biru Hersila melebar mendengar cerita Juno. "Katakan seperti apa Sang Ratu?"

"Julia adalah wanita yang cerdas. Sangat mandiri dan berpikiran keras. Sesuatu yang wajar mengingat betapa mudanya Julia ketika ayahnya meninggal."

"Ah... ya... ya... sungguh kasihan sekali apa yang terjadi pada keluarga Ratu Julia," Hersilla menyahut. "Dan ia adalah anak satu-satunya, bukan?"

Juno mengangguk sambil menjulurkan tangannya untuk menggandeng Hersilla keluar.

"Di mana keretamu, Senator?" Hersilla bertanya sambil celingukan.

"Oh, aku tidak membawa kereta."

"Jadi bagaimana kita akan berangkat ke arena?" Hersilla bertanya dengan wajah kebingungan. "Kau tentunya tidak berharap kita akan berjalan kaki ke sana, bukan?"

Nimia tahu pertanyaan Hersilla adalah sebuah sindiran akan kondisi Juno yang sedikit pincang. Itulah mengapa ketika Sang Senator mengangguk, hampir Nimia tertawa melihat wajah Hersilla yang kaget.

"Sebenarnya, itulah yang aku usulkan, Milady," Juno menjawab. "Cuaca sangat cerah dan udara tidak terlalu panas hari ini. Apa yang lebih baik untuk menikmati udara segar selain berjalan kaki?"

Hersilla menoleh ke arah Paulus dengan mata membelalak.

"Kau tentunya tidak ingin jalan kaki kan, Ayah? Bagaimana dengan pakaianmu yang licin?" Hersilla berharap ayahnya akan menolak untuknya.

Paulus terdiam. Nimia tahu pria itu ingin menjodohkan Hersilla dengan Sang Senator. Paulus tidak ingin menyinggung perasaan Sang Senator dengan menolak, tapi ia juga tidak ingin berjalan kaki dan berisiko merusak pakaiannya yang sempurna. Setelah beberapa saat, Paulus akhirnya memutuskan.

"Juno benar. Cuaca sangat indah hari ini, sayang untuk dilewatkan. Uhm... Kalian berangkatlah dulu." Paulus melambaikan tangannya sambil tersenyum. "Aku akan menyusul."

"Tapi, Ayah," Hersilla merengek. "Aku memakai sepatu baru dan tasku berat—"

"Nimia bisa bawakan barang-barangmu, My Dear," Paulus memotong cepat. "Ia juga bisa mencucikan sepatumu jika terkena debu. Lagipula, kau terlihat sangat menawan dengan gaun barumu. Biarkan orang-orang kota melihat betapa cantiknya dirimu."

Hersilla masih merengut. Tapi ia tahu bahwa apa yang dikatakan ayahnya benar.

"Baiklah," Hersilla berkata sambil mencium pipi ayahnya. "Aku akan menyiapkan tempat duduk untukmu di arena. Jangan lama-lama."

Gadis itu kemudian melemparkan tasnya ke arah Nimia dan melangkah keluar dalam gandengan tangan Sang Senator.

Udara yang sejuk menerpa wajah Nimia begitu ia berada di luar. Benar kata Sang Senator, cuaca sangat indah hari itu. Orang-orang yang berlalu lalang dengan wajah cerah menyita perhatian Nimia dari tas berat yang dibawanya. Dan aroma makanan yang tercium, membuat air liur Nimia mengalir keluar. Paulus baru saja memberinya dua keping koin tembaga untuk jajan tadi pagi, mungkin ia akan habiskan untuk membeli beberapa manisan. Ia menyukai Libum, sejenis kue berisi keju dan madu.

Nimia sedang memperhatikan deretan pedagang yang menawarkan manisan ketika seorang wanita berbadan besar mendadak membalik dan menubruknya dari samping.

"Aduh!" Nimia menjerit karena tersandung.

Senator Juno yang berjalan di depan Nimia dengan sigap menjulurkan tangan dan meraih lengan gadis itu sebelum ia tersungkur.

"Woa... Hati-hati, Gadis Kecil," pria itu berkata sambil menstabilkan badan Nimia. "Kau akan menubruk orang jika berjalan tanpa melihat ke depan."

"Ya, Tuan. Maaf." Nimia mengangguk dengan penuh penyesalan. Benar-benar disayangkan. Pria itu terlalu baik untuk mendapatkan Hersilla.

Ketika mereka akhirnya sampai di arena, Hersilla sudah tidak sabar untuk segera duduk.

Sang Senator menggiring mereka ke tempat duduk yang sudah disediakan. Dengan posisi Juno sebagai senator sekaligus saudara keluarga kerajaan, mereka mendapatkan tempat duduk yang lebih baik dari biasanya, hampir bersebelahan dengan kursi Raja dan Ratu Vesontio.

Hersilla menghempaskan tubuhnya ke atas kursinya sambil melongok ke segala arah. Ketika gadis itu melihat salah satu temannya duduk di kursi yang lebih bawah, dengan wajah terang, Hersilla langsung melambai.

"Hei, Polly!" Hersilla menjerit.

"Polly pasti sangat cemburu sekarang melihatku berada di kursi keluarga kerajaan," Hersilla berbisik ke arah Nimia. "Tahukah kau bahwa kemarin ia bercerita kepada semua orang bahwa Rollo tergila-gila kepadanya? Ia bahkan memamerkan suarat-surat yang dituliskannya untuk Rollo. Oh...sungguh menjijikkan. Tunggu saja hingga ayah memberikanku kesempatan untuk bertemu Rollo. Aku akan membuat wanita itu cemburu setengah mati."

Suara terompet yang menandakan datangnya Sang Raja berbunyi.

"Oh, lihat!" Hersilla kini menunjuk ke kursi utama. "Raja Maximus terlihat tampan hari ini."

Nimia ikut melongokkan lehernya untuk melihat. Sang Raja terlihat ceria, bercakap-cakap sambil tersenyum dengan salah satu pria yang ada di sebelahnya.

"Tapi Ratu Julia tidak terlihat cantik," Hersilla melanjutkan.

Nimia mengalihkan pandangannya pada wanita yang ada di sebelah Sang Raja.

"Ugh," Hersilla mendengkus. "Ia terlihat pucat hari ini dengan gaun merahnya. Beberapa wanita memang tidak cocok menggunakan warna merah. Warna terang seperti itu bisa membuat kulit seseorang terlihat kusam memang. Apalagi jika kulitnya agak gelap. Untung bagiku aku cocok memakai semua warna...."

Diakui Nimia, Hersilla tidak salah. Sang Ratu terlihat pucat hari ini. Wanita itu terlihat seakan sedang banyak pikiran atau sakit. Yang kemudian membuat Nimia merasa kasihan. Seorang budak kasihan pada seorang Ratu, Nimia berpikir, mungkin ada yang salah dengan dirinya.

Nimia masih mengamati wajah Sang Ratu ketika mendadak kepala wanita itu menoleh ke arahnya.

Mata Sang Ratu yang berwarna biru jatuh pada milik Nimia, dan untuk beberapa detik sebelum Nimia sadar akan posisinya dan menurunkan pandangannya ke tanah, ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh wanita itu. Tersesat dan kesepian. Sepertinya.

"Ah, di sini kalian rupanya."

Paulus yang mendadak muncul mengagetkan Nimia.

"Apakah kalian siap untuk pertunjukan pertama?" Paulus mendudukkan dirinya di sebelah Sang Senator. "Aku menemukan selusin kuda paling aneh ketika bertemu dengan pedagang dari Afrika. Mereka menamakannya zebra..."

Paulus melanjutkan ceritanya tentang binatang-binatang yang dibelinya dari pasar minggu ini. Dua puluh harimau dari India. Rusa dan babi hutan dengan taring sepanjang tangan pria.

Hersilla menyandarkan kepalanya ke pundak Juno Vibius sambil menatap wajah pria itu melalui bulu matanya yang tebal dan lentik layaknya seekor laba-laba yang menarik mangsanya ke dalam perangkap.

Nimia menguap lebar. Udara yang semilir dan kurang tidur semalam membuatnya mulai mengantuk. Ditambah dengan obrolan membosankan yang keluar dari mulut Paulus dan Hersilla, Nimia harus berusaha keras agar tidak tertidur sebelum pertunjukan dimulai.

Suara langkah kaki dan teriakan yang menggema dari belakang Nimia mengalihkan perhatian gadis itu.

Nimia menoleh. Di belakang kursi mereka, ia bisa melihat segerombolan pria berbaris menyusuri lorong berjeruji besi yang gelap. Baju pelindung pria-pria itu berkilauan di balik jubah merah yang mereka kenakan. Wajah-wajah para pria itu terlihat tegang.

"Ah, petarung-petarung milik Felix," Paulus berkomentar sambil mengerutkan bibirnya. "Petarung kelas tiga, mereka semua. Tetap saja, umpan paling cocok untuk singa-singa yang lapar. Nah, itu Felix di antara mereka."

Nimia mengamati pria yang ditunjuk oleh Paulus. Gemuk dengan rambut ikal yang kini sedang berteriak ke arah salah satu petarungnya.

"Lekas maju, My Boy!"

Pria itu mendorong salah satu pria yang ada di barisan depan untuk berjalan lebih cepat. Seorang pria dengan rambut kecoklatan dan wajah kosong. Pria itu mengenakan pakaian kulit yang menampakkan sebagian punggungnya yang penuh luka.

Seketika Nimia mengenali pria itu.

Tahanan itu! Pria yang melawan balik di pertandingan pertama yang ditontonnya enam bulan yang lalu. Nimia masih ingat bagaimana ia menangisi pria itu ketika pengawal arena akhirnya berhasil menebasnya jatuh. Pria itu mengingatkannya akan seekor singa yang mati tertusuk tombak. Megah dan menyedihkan. Melawan hingga hembusan napas terakhir.

Setelah apa yang terjadi, Nimia tidak mengira bahwa pria itu masih hidup. Bahkan setelah mendapat pengampunan dari Sang Raja, ketika diseret keluar dari arena, pria itu terlihat kaku seperti singa yang dilihatnya. Tapi ia sudah salah. Pria itu masih hidup. Dan kembali ke arena sebagai seorang petarung.

"Lekas, Lucius! Berhenti melamun dan lekas jalan. Kau membuat antrian yang panjang di belakang!" Pelatih gemuk itu kembali berteriak dengan tidak sabar.

Lucius.

Jadi itukah nama pria itu?

Untuk pertama kalinya, Nimia tidak sabar untuk pertandingan segera dimulai.
 

***

***
 

7. Air Mata Sang Pemburu

Lorong di bagian bawah arena berdengung layaknya sarang lebah.

Beberapa berjalan dengan langkah terburu-buru melalui lorong lembabnya yang remang-remang. Beberapa duduk di pinggir lorong, beberapa berdiri. Beberapa memegang batu asah untuk menajamkan senjata mereka. Pedang, tombak, pisau, belati. Beberapa pria berdiri dengan gerobak yang nantinya akan digunakan untuk mengangkut mereka yang tewas.

Di kejauhan raungan terdengar. Mungkin binatang, mungkin juga manusia yang sekarat. Lucius tidak lagi bisa membedakan.

"Inikah orangmu yang akan naik pertama?" Seorang petugas arena berteriak ke arah Felix sambil menunjuk ke arah Lucius.

"Ya," Felix membalas.

"Petarungmu akan tampil setelah harimau-harimau itu selesai dengan para tahanan." Petugas itu menunjuk ke arah lorong yang ada di sudut. "Untuk sekarang, singkirkan ia ke sana agar tidak terlihat dari luar."

Felix mendesiskan perintahnya dan Lucius menemukan dirinya terdorong ke arah yang ditunjuk oleh Sang Petugas.

Angin musim semi tidak bertiup di lorong bawah tanah. Udara di sekeliling Lucius terasa dingin dan berbau busuk. Debu dari tanah yang terguncang oleh para penonton di atas mereka berjatuhan ke bawah layaknya taburan badai di padang pasir.

Lucius menunduk dan menunggu hingga perintah berikutnya datang.

Sebuah papan kayu dengan kerekan bergerak turun, membawa dua petugas dengan gerobak yang penuh berisikan tumpukan mayat.

Begitu kedua petugas itu turun, Felix mendorong Lucius untuk naik.

"Semoga beruntung, My Boy," pria itu berkata begitu papan kayu bergerak naik.

Di atas, seorang budak menggiring Lucius menuju gerbang masuk dan dengan tergesa-gesa mendorongkan sebuah pedang besi dan tameng ke tangan Lucius.

"Dewi Fortuna memberkatimu, Petarung," pria itu berkata.

Lucius menunduk. Jemarinya yang kasar mengelus permukaan pedang yang tajam. Dalam kegelapan, ia melihat lagi pedang kayu yang ada di benaknya. Rudius.

Suara sorakkan yang ada di luar arena memadam. Samar, Lucius mendengar teriakan dari pemandu acara dari balik pintu gerbang.

"Dan sekarang... Tuan dan Nyonya sekalian... Bersiaplah untuk pertunjukan berikutnya. Kami hadirkan..."

Dengan suara deritan, gerbang kayu besar yang ada di depan Lucius membuka. Cahaya matahari yang mengaburkan mata langsung membanjir masuk melalui celahnya yang melebar.

Lucius mengernyitkan mata dan menaikkan satu tangannya ke atas.

"LUCIUS..... SANG.... PEMBURU....!"

Sorakan terdengar mengelilingi Lucius ketika ia berjalan ke dalam arena.

Lima ribu suara meneriakkan namanya. Lima ribu wajah-wajah kabur yang pucat mengenakan gaun warna-warni dari sutra dengan mulut mereka yang membuka di bawah langit biru yang cerah. Belum pernah Lucius melihat orang sebanyak itu di satu tempat sebelumnya.

Lucius menemukan dirinya mematung sebelum akhirnya menurunkan pelindung kepalanya turun. Tidak perlu tahu mengapa orang-orang itu berada di sana dan meneriaki namanya, yang perlu ia lakukan hanyalah membunuh siapapun yang berusaha membunuhnya. Sesederhana itu.

Iblis yang ada di dalam dirinya merangkak keluar dengan girangnya.

Suara pembawa acara kembali terdengar kali ini mendesus untuk mendiamkan para penonton.

"Dan sekarang, dari pedalaman hutan Amazon. Kami bawakan buruan yang sepadan untuk pemburu kita..."

Gerbang sisi lain arena membuka. Lucius melepaskan mantelnya dan menaikkan pedangnya sambil mengambil ancang-ancang.

"RATU AMAZON DAN PARA PENGAWALNYA!"

Lima wanita berjalan keluar dari bawah gerbang, mengenakan pelindung kepala dari emas dan pedang yang terangkat tinggi. Kain dari kulit cheetah menutupi bagian bawah tubuh mereka, meninggalkan payudara mereka terekspos untuk lirikan pada penonton.

Iblis yang ada di dalam diri Lucius menguap, meninggalkan pria itu sendirian dan kebingungan. Mereka ingin ia melawan wanita? Lucius menurunkan ujung pedangnya. Besi itu kini menggores permukaan pasir arena yang panas.

Wanita yang paling tinggi melepaskan jeritan aneh dan menyerbu ke arah Lucius. Keempat wanita lain mengikuti.

"Sialan," Lucius mengumpat.

Tidak perlu banyak dipikirkan. Ia harus membunuh siapapun yang berusaha membunuhnya. Sesederhana itu.

Lucius menaikkan pembali pedangnya dan melawan mereka satu persatu. Yang paling kecil terlebih dahulu, tidak lebih dari lima belas tahun sepertinya. Gadis itu menusukkan pedangnya dengan putus asa daripada keahlian dan Lucius menyelesaikan pertarungan dengan satu ayunan pedang.

Perempuan dengan rambut hitam menjadi yang kedua. Wanita itu memiliki bekas lecutan di punggungnya. Lucius menjatuhkan pedang wanita itu sebelum membacok dengan mata terpejam.

Lucius bisa merasakan tangannya mati rasa. Setiap ayunan pedangnya terasa penuh perjuangan.

Dalam gerak lambat, ia bisa melihat wanita yang menjadi pemimpin mereka menjerit mencoba untuk mengumpulkan dua rekannya yang tersisa. Wanita itu sepertinya tahu apa yang dilakukannya. Menyerang bebarengan mereka mungkin memiliki kesempatan untuk menjatuhkan Lucius, tapi sayangnya, mereka panik. Dan mereka kabur ke segala arah.

Dalam sorakan para penonton, Lucius mengejar mereka satu persatu. Ia hanya mencoba melakukannya secepat mungkin, semematikan mungkin.

Wanita berbadan tinggi dengan pelindung kepalanya yang berbulu menjadi yang terakhir. Diakui Lucius, wanita itu menerima serangannya dengan cukup lihai, menangkap sabetan pedangnya dengan tamengnya yang tipis sebelum menyerang balik dengan pedangnya yang kecil. Dari balik pelindung kepalanya, mata wanita itu terlihat lebar dan buas. Penuh dengan kebengisan untuk membunuh.

Lucius memukul pedang wanita itu jatuh sebelum memukulkan tamengnya ke dada telanjang wanita itu.

Wanita itu terjatuh ke permukaan pasir layaknya sebuah boneka yang usang. Darah mengalir keluar dari bibirnya yang membuka.

Pukulan Lucius sepertinya meremukkan beberapa tulang iga dan membuat wanita itu tidak bisa bernapas. Tidak mati, belum, hanya tersedak oleh darahnya sendiri.

Lucius terlihat lelah ketika melangkah maju.

"Mitte! Mitte!"

Teriakan penuh tangisan terdengar di telinga Lucius. Pria itu mendongak dengan wajah kosong. Di setiap kursi arena, ibu jari terangkat ke atas. Sorakan mereka menyuarakan hal yang sama. Mitte, semua meminta Lucius untuk mengampuni Ratu Amazon yang ada di bawah kakinya.

Mata Lucius pedih oleh keringat. Ia membuang tamengnya dan menekuk satu lututnya di sebelah wanita itu. Darah wanita itu kini membasahi tanah yang ada di bawah mereka.

Mata wanita itu bergerak liar. Tangannya terangkat ke atas berusaha mendorong Lucius.

"Kumohon," wanita itu berkata.

Lucius hanya menatap wanita itu.

Ratu Amazon itu tersedak oleh darahnya sendiri. "K-kumohon."

Mata lebar wanita itu menatap dengan keputusasaan. "Jangan."

Lucius menyelipkan tangannya ke dalam rambut wanita itu dan menolehkan wajahnya kesamping, menampakkan tenggorokan wanita itu yang masih berdenyut.

Sang Ratu Amazon menghembuskan napasnya kasar dan memejamkan mata.

Lucius mengeratkan rahangnya dan menusukkan ujung pedangnya ke dalam denyut samar yang ada di belakang rahang wanita itu. Hingga wanita itu berhenti bergerak.

Penonton yang ada di arena membungkam sepenuhnya sekarang.

Lucius berdiri. Noda darah membasahi tubuhnya. Mata-mata kaget menatap dengan penuh rasa penasaran.

Iblis di dalam diri Lucius kembali muncul dan meraung. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, Lucius menghantamkan pedangnya melawan dinding arena, terus dan terus hingga pedang itu patah menjadi dua dengan dentingan yang keras. Lucius melemparkan sisa gagang pedangnya sejauh mungkin dan meludah. Ia bisa merasakan luka lama di punggungnya kembali robek dan berdarah. Lucius meraih pelindung kepalanya dan melemparkan benda itu juga ke udara.

Kemarahan mengalir naik ke dalam tenggorokan Lucius. Mulutnya terasa panas oleh amarah dan emosi yang tidak bisa ia ungkapkan. Ia pun membuka mulutnya dan berteriak. Bukan makian, bukan kata-kata, hanya raungan panjang layaknya seekor binatang buas yang terluka.

Dan para penonton itu pun bertepuk tangan.

Gegap gempita.

Mereka melemparkan sorakan dan teriakan dan pujian ke arah Lucius layaknya air hujan di musim kering. Mereka melemparkan koin dan bunga dan berdiri dan menjeritkan namanya.

Mereka menggebrakkan kaki mereka hingga mengguncang seluruh arena.

Ketika itulah air mata akhirnya terjatuh dari mata Lucius. Berdiri sendirian di arena besar , di kelilingi mayat lima wanita dan taburan bunga mawar yang sepertinya tidak berakhir, Lucius menangis.  
 

***

***

***
 

8. Mereka yang Ditandai

"Selamat, Lucius!"

"Pertunjukan yang menarik!"

"Ya, Selamat— Hei! Mau kemana kau?"

Lucius berjalan melewati ruang makan tanpa menoleh. Pria itu melemparkan mantelnya ke atas salah satu kursi sebelum meraih gentong anggur yang ada di atas meja panjang.

"Hei, jangan dibawa! Itu anggur untuk kita semua!" seseorang berkata dengan suara gusar.

Lucius tidak peduli. Ia mendekatkan pinggiran gentong ke mulutnya dan menelan tanpa rasa haus. Semua pria yang ada di ruangan itu langsung terdiam.

Lucius mengusapkan tangannya mengelap lelehan anggur dari mulutnya sebelum melemparkan gentong yang ada di tangannya ke arah tembok. Benda dari tanah liat itu pecah dengan suara keras dan membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu melompat kaget sambil memaki.

"Pria keparat," seorang pria dengan wajah geram menggumam.

Lucius membalik dan menedang kursi yang sedang diduduki pria itu hingga pria itu terjatuh ke belakang. Tidak berhenti di situ, Lucius meraih pisau buah yang ada di atas meja dan melemparkannya ke kepala pria itu, menyambar sebagian dari telinga pria itu hingga robek.

Pria itu berteriak dan menyerang balik. Begitu bangkit, ia menyeruduk dan menubrukkan pundaknya ke perut Lucius. Keduanya bergumul di atas lantai dalam belitan tangan dan kaki yang saling menendang dan memukul.

Petarung lain mulai ikut berkerumun. Beberapa ikut memukul dan menendang.

"Hajar pria itu! Hajar!"

"Pukul kepalanya!"

"Tendang!"

"BERHENTI SEMUANYA!" Felix menjerit dari pintu masuk.

Pria-pria itu melangkah mundur.

Pria yang dilawan oleh Lucius melepaskan diri dan berdiri dengan kaki terhuyung. Darah mengucur dari sisi kepalanya.

Tanpa berkata apa-apa, Lucius ikut berdiri dan mengelapkan tangannya ke bajunya yang basah.

Felix berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar bertingkah sesuai dengan reputasimu, My boy."

"Ia memotong telingaku—"

"Oh berhenti merengek seperti anak kecil, Pod," Felix memotong protesan pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari Lucius. "Pergi dari sini dan obati dirimu."

Felix kemudian menunjuk ke arah Lucius. "Dan kau, jangan cari masalah, kau dengar?"

Lucius meraih gentong anggur yang lain. Mata pria itu tidak bergerak dari Felix sementara ia menenggak.

"Aku akan mencarikanmu lawan yang lebih sepadan lain kali. Seseorang yang lebih layak untuk melawanmu sebelum pertandingan musim ini berakhir. Mungkin Paulus akan bersedia mengatur...."

Tanpa menunggu Felix selesai, Lucius membalik dan berjalan kembali ke kamarnya yang kosong.

Seseorang pernah berkata bahwa hidup adalah tragedi untuk mereka yang merasakan. Anggur, setidaknya, membuat pria itu berhenti merasakan.

***

***

"Ia benar-benar luar biasa." Suara Hersilla yang malas terdengar penuh kekaguman. "Tidakkah menurutmu begitu, Nimia?"

"Ya, Nona."

Nimia meraih sebotol minyak zaitun yang ada di atas meja.

Mereka sedang berada di ruang mandi sekarang. Hersilla sedang tengkurap di atas meja mermer untuk dipijat. Kepalanya terbaring miring membelakangi Nimia sementara rambutnya yang berwarna pirang terjurai melambai di atas ubin mozaik berwarna hitam dan putih yang terlihat muram.

"Sungguh. Aku tidak pernah melihat seorang pria seperti itu sebelumnya. Jauh lebih menarik daripada Rollo yang pasti. Rollo terlalu... mengikuti aturan. Tapi Lucius ini—" Hersilla mengangkat tangan kanannya sementara Nimia mengoleskan minyak zaitun ke sisi tubuhnya. "Ada sesuatu yang liar dari pria itu. Maksudku— Apakah kau melihat cara pria itu membunuh wanita Amazon itu? Ia menusukkan pedangnya ke leher wanita itu dengan wajah tanpa ekspresi. Oh... benar-benar brutal."

Nimia meletakkan kembali botol ke atas meja dan mulai memijat punggung Hersilla.

"Ia terlihat seperti monster, kau tahu? Berlumuran darah seperti itu. Dan aku bisa melihat bahwa ia sepertinya sudah terbiasa dengan darah. Berbeda dengan Rollo. Selama ini aku tidak pernah melihat Rollo terlalu dekat dengan musuhnya. Terlalu takut pakaiannya terciprat darah sepertinya. Seorang pria yang jantan tidak seharusnya takut mengotori dirinya sendiri, bukan? Maksudku... orang datang ke pertandingan tidak untuk melihat seseorang yang bertarung dengan hati-hati. Mereka datang untuk melihat sesuatu yang menegangkan. Mereka datang untuk melihat seseorang yang menegangkan."

Sementara Hersila terus mengoceh, Nimia tidak bisa berhenti membayangkan Lucius memangku wanita Amazon itu dalam pelukannya.

"—Dan ketika ia berjalan keluar setelahnya... seakan ia tidak mendengarkan sorakan para penonton. Ia tidak peduli akan tepukan tangan penonton. Ia membunuh karena ia menyukainya."

Hersila menaikkan tangannya dan menggeliat sambil menguap.

"Apakah menurutmu ia tampan, Nimia?"

"Entahlah, Nona," Nimia menjawab. "Apakah Nona ingin aku menggosok kaki Nona dengan batu apung?"

"Ya, lakukan," Hersila membalas sambil menolehkan kepalanya. "Aku tahu kau juga terpesona pada pria itu, Nimia. Aku melihat wajahmu ketika ia bertarung." Mata biru Hersilla mengamati wajah Nimia. "Hm... tidak aneh. Pria kasar seperti itu pastilah terlihat menarik bagi budak rendahan sepertimu, kan?"

Nimia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ia perlu mengalihkan pembicaraan sebelum Hersilla melihat perubahan di wajahnya.

"Dan bagaimana pendapat Nona tentang calon suami Nona?" Nimia bertanya sambil meraih batu apung dan mulai menggosok kaki Hersilla.

"Juno Vibius?" Hersila mendengkus. "Apakah kau tidak melihat penampilan pria itu? Ugh sangat membosankan. Benar ia mungkin adalah sepupu Ratu Julia, tapi ia sudah tua dan cacat. Ia juga memiliki seorang anak yang baru berusia delapan tahun. Apa gunanya kecantikan ini jika aku harus memberikan diriku untuk pria tua yang pincang? Ia terus-terusan menceritakan tentang buku dan perpustakaan dirumahnya seperti aku peduli dengan hal-hal seperti itu."

Hersila meraih gelas anggur yang ada di sebelahnya dan menenggak.

"Jika Juno Vibius adalah yang pria terbaik yang bisa ditemukan oleh ayah maka ia harus mencari lebih keras. Aku ingin seseorang yang lebih muda. Seseorang yang lebih menarik. Aku ingin seorang pria yang maskulin."

Hersilla memilin rambutnya sambil tersenyum. "Aku penasaran pria seperti apa Lucius ini."

Nimia mengeratkan rahangnya. Ia tidak menyukai nama pria itu dalam mulut Hersila.

***

***

Matahari yang tajam membuat jalanan berkilau layaknya permukaan air yang beriak. Terik dan penuh dengan kebencian.

Nimia melewati malam-malam bulan Juni dengan mimpi buruk tentang masa lalu dan kegelapan.

Pusat kota ramai oleh berbagai aktivitas. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pertandingan terakhir musim panas di arena adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Puncak dari festival. Dan tahun ini pertandingan yang dinanti-nanti adalah pertandingan antara petarung legendaris Rollo melawan pendatang baru. Seorang pria bernama Lucius yang mendapat julukan Sang Pemburu oleh penggemar-penggemarnya.

"Pertandingan ini adalah karena ikut campurku, kau tahu, kan?" Hersilla mengumumkan dengan suara bangga kepada Nimia siang itu. "Aku membujuk ayah untuk mempertemukan mereka di arena. Ayah membuka taruhan lima lawan satu untuk Lucius."

"Masuk akal," Nimia berkomentar.

"Aku setuju," Hersilla membalas. "Tidakkah menurutmu pertandingan ini akan menarik?"

Nimia mengangguk sambil terus mengipasi Nona Mudanya.

"Rollo lebih unggul dalam segala hal," Hersilla melanjutkan. "Ia lebih pengalaman dan berasal dari rumah pelatih yang lebih terkenal. Aku yakin Lucius mungkin akan kalah. Tapi tetap saja akan menarik melihat Sang Pemburu menjadi buruan. Aku penasaran apakah ayah akan setuju jika aku mengadakan acara makan malam untuk mengundang petarung-petarung itu sebelum acara."

Hersilla berdiri dari sofa di ruang tengah dan berlari kecil keluar.

"Hm... Aku akan tanyakan pada ayah."

Paulus tentu saja tidak mungkin menolak keinginan putri kesayangannya tentu saja. Apalagi ketika Hersilla mengingatkan Paulus bahwa sebuah acara dengan Rollo sebagai tamu tentu saja akan menarik perhatian banyak orang penting kerajaan.

"Aku akan hadir juga, tentu saja," Hersila meraih lengan ayahnya sambil menyibakkan rambut.

Paulus menaikkan alisnya sambil mengamati putri tunggalnya. "Oh entahlah, Hersilla. Orang-orang ini adalah pria kasar. Mereka bisa lepas kendali—"

"Jangan khawatir, Ayah," Hersilla memotong sambil tersenyum dengan manisnya. "Aku akan berada di dekatmu sepanjang acara. Kau bisa melindungiku jika sampai keadaan menjadi terlalu.. uhm... lepas kendali, kan?"

Ketika kerutan di wajah Paulus belum juga terurai, Hersilla menambahkan, "Lagi pula, aku yakin Polly pasti akan hadir jika kita mengundang Rollo. Ia pasti akan mengundang teman-teman ayahnya. Kau tahu sendiri kan koneksi keluarga Polly seperti apa. Ia pasti akan membawa orang-orang penting semua. Siapa tahu, salah satu dari mereka akan lebih menarik dari Juno. Bagaimana, Ayah?"

Begitu Paulus mengangguk Hersila langsung menjerit kegirangan. Gadis itu mengecup pipi ayahnya dan langsung memerintahkan seisi rumah untuk menyiapkan acara.

Hanya ada waktu dua hari untuk menyiapkan semuanya.

Begitu undangan tersebar, Hersilla memerintahkan juru masak untuk menyiapkan menu yang mewah. Sesuatu yang bisa dinikmati baik oleh para bangsawan maupun para petarung yang mungkin akan menikmati makan malam terakhirnya sebelum pertandingan.

Budak diperintahkan untuk memoles piring dan alat makan perak, menggantung korden dan menghiasi rumah dengan berbagai macam hiasan dan rangkaian bunga yang mempertontonkan kekayaan keluaran Vonones.

Terlalu mencolok menurut Nimia. Terlalu norak dan terlalu murahan untuk mereka yang memiliki selera.  Tapi tentu saja Nimia tahu untuk menyimpan pendapat itu untuk dirinya sendiri. Tidak perlu memberi Hersilla alasan untuk semakin membencinya.

Ketika acara akhirnya tiba, Nimia benar-benar kelelahan. Kakinya terasa ngilu dan pipinya pedih oleh tamparan dari Hersilla.  Entah berapa kali ia harus merubah susunan rambut Hersilla karena wanita itu tidak menyukainya. Untunglah, sebelum Nimia kehabisan tenaga, Hersilla akhirnya mengumumkan bahwa ia puas akan penampilannya.

"Lumayan." Hersila berputar-putar di depan cermin. "Aku terlihat menawan."

Gaun sutra berwarna biru bergerak dengan indahnya di tubuh gadis itu. Suara denting gelang di tangan wanita itu terdengar setiap Hersilla bergerak. Dengan wajah penuh riasan dan bibir merah, Hersilla menggerakkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri.

Nimia menghela napas dan mengeka keringat dari dahinya.

"Aku tidak butuh kau lagi malam ini, Nimia," Hersilla mengumumkan sambil membenahi kalung mutiara yang ada di lehernya agar lurus. "Aku tidak ingin perempuan kumuh sepertimu mengotori pemandangan di acara malam ini. Kau akan membuat orang-orang itu mual sebelum makan. Bersihkan kamarku lalu pergi ke  belakang."

"Ya, Nona," Nimia membalas.

Begitu Hersilla berjalan keluar, Nimia buru-buru merapikan kamar Hersilla. Bukan karena ia ingin segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat, melainkan untuk melakukan sesuatu yang lain.

Dengan langkah berhati-hati, Nimia keluar dari kamar Hersilla dan berjalan melintasi lorong rumah besar itu menuju ke arah kebun.

Suara obrolan yang ramai dan budak yang berlalu lalang, menarik perhatian Nimia ketika ia melewati ruang perjamuan. Dan meski ia tahu Hersilla akan menghukumnya jika ketahuan, tetap saja, Nimia tidak bisa menahan dirinya untuk mengintip ke dalam.

Dari pinggiran pintu ruangan,  Nimia melihat lebih banyak bangsawan dari yang biasa datang ke pesta Paulus. Beberapa senator dan bahkan saudara kerajaan terlihat. Mereka duduk berkerumun di sofa yang berhiaskan bunga-bunga, mengenakan pakaian sutra mereka yang cerah, memakan berbagai hidangan eksotis yang disediakan oleh Paulus, bergosip dengan tangan di dekat mulut dan suara yang penuh basa basi.

Yang janggal dari pemandangan itu adalah adanya pria-pria berbadan kekar yang ada di dalam ruangan. Banteng di antara keramik, burung bangkai di antara merak, dan sepertinya kali ini para merak tidak keberatan dengan adanya mereka. Para gladiator.

Biasanya para bangsawan itu akan mencebikkan bibirnya ketika melihat mereka, tapi malam ini mereka ingin bersentuhan dengan pria-pria kasar yang brutal itu dengan jemari mereka yang bercincin. Biasanya wanita-wanita bangsawan itu akan menjerit dan menyingkir jika melihat mereka di jalanan, tapi malam ini, mereka terlihat genit penuh dengan rasa penasaran.

Tentu saja. Mengapa tidak. Kemungkinan besar, pria-pria itu akan mati besok. Apa yang lebih menarik daripada menghabiskan waktu dengan mereka yang sudah ditandai oleh Sang Pencabut Nyawa?

Di kursi kehormatan yang di sediakan oleh Paulus, duduk Rollo dan Lucius. Bersebelahan dan mengabaikan satu sama lain.

Nimia tidak bisa menahan diri untuk membandingkan keduanya.

Rollo memiliki rambut pirang yang tersisir rapi. Lucius berambut cokelat yang berantakan.

Rollo terlihat santai, tersenyum dan bersenda gurau.  Lucius masam dan tidak nyaman.

Rollo mencicipi setiap hidangan yang disajikan dengan hati-hati.  Lucius meraih apapun yang ada dijangkauan dan memasukkannya ke dalam mulut.

Rollo duduk di kursi berlapis sutra layaknya disitulah tempatnya. Lucius duduk tegak dan kaku bak sebuah patung yang belum selesai dipahat.

Ketika Nimia melihat Nona Mudanya melangkah mendekati Lucius, ia membalik dan melanjutkan langkahnya.

Ketika Nimia melihat Nona Mudanya melangkah mendekati Lucius, ia membalik dan melanjutkan langkahnya

***

***

9. Pria Pemarah

Lucius merasa tidak tahan berada di dalam ruangan yang panas itu. Ia tdak tahan duduk di atas kursi yang terlalu empuk itu, tidak tahan akan semua basa basi yang terus ditujukan ke arahnya, dan lebih dari semua itu, tidak tahan akan ocehan non-stop dari wanita muda yang ada di sebelahnya.

"Aku menonton semua pertandinganmu, Lucius," gadis itu berkata sambil menggeser duduknya semakin mendekat. "Apakah kau tidak pernah merasa takut ketika melawan orang-orang itu di arena? Jika aku jadi dirimu, jangankan mengangkat pedang, aku pasti sudah tidak berani berjalan masuk."

Satu sapuan tangan gadis itu meraih lengan Lucius.

Lucius menggeram. Ia sedang membayangkan kepala berambut pirang wanita muda itu di antara rahang singa.

"Hanya geraman yang kudapat?" Gadis itu menyibakkan rambutnya dan tertawa. "Sungguh irit bicara kau ini. Tapi bukankah orang mengatakan bahwa diam adalah emas? "

Mengabaikan komentar wanita itu, Lucius meraih teko anggur yang ada di atas meja.

"Ayolah..... Jangan terlalu sombong denganku."

Gadis itu merengut sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dada gadis itu terdorong ke depan, sengaja. Agar Lucius bisa mengagumi lekukannya yang indah di balik gaun birunya yang mewah.

Payudara yang cantik, Lucius berpikir.

Rambut yang indah.

Wajah yang cantik juga.

Mata layaknya seekor musang.

Suara alunan lagu yang terdengar menenggelamkan suara wanita muda itu sebelum Lucius sanggup memintanya untuk berhenti mengganggu.

Malam semakin larut. Kerumunan mulai memudar dan tamu-tamu mulai berdiri dari tempat duduknya.

Para senator meraih tangan wanita yang bukan istrinya sementara para petarung dengan blak-blakan meraih tangan para budak yang lewat dan menarik mereka ke tempat yang lebih sepi.

Rollo menghilang ke kebun belakang bersama dengan salah satu wanita bangsawan yang sejak tadi mengincarnya.

Sebuah tangan meraih lengan Lucius.

"Bagaimana kalau kau menemaniku jalan-jalan, Lucius?" Gadis dengan mata musang itu berkata. Lidahnya menyapu bibirnya yang merah. "Udara tidak terlalu berangin malam ini. Kita bisa jalan-jalan di kebun belakang."

Lucius melirik ke arah Felix. Pria itu sedang bercakap-cakap dengan Paulus Vonones.

"Jangan khawatir dengan ayahku," Hersila melanjutkan. "Ia tidak mungkin marah. Lagipula ia sedang sibuk bernegosiasi dengan lanistamu."

Dengan membawa teko anggur bersamanya, Lucius membiarkan gadis itu menariknya keluar. Ia butuh udara segar lagipula.

Tangan lembut dengan kuku terawat menyelinap ke dalam siku Lucius, menarik pria itu ke jalan setapak yang menjauhi rumah. Aroma bunga melati dan mawar tercium dari tubuh wanita muda itu dan membuat Lucius sedikit pusing.

"Jadi," gadis itu tersenyum ke arah Lucius. "Aku penasaran, darimana kau berasal, Pemburu?"

"Tidak dari mana-mana, Milady," Lucius menjawab dengan suara rendah.

"Oh, ayolah. Semua orang berasal dari suatu tempat," gadis itu mendesak. "Namamu terdengar layaknya kau berasal dari Vesontia, tapi kau tidak berbicara seperti orang Vesontia. Jadi aku penasaran, apakah kau dari utara? Aku dengar daerah utara penuh oleh suku primitif orang-orang barbar dimana prianya pemburu dan wanitanya bertubuh besar. Apakah kau berasal dari salah satu suku itu?"

Mereka berpapasan dengan seorang pria, senator mungkin karena wanita muda yang berjalan bersamanya mendadak berhenti untuk menyapa.

Lucius sudah tidak tahan. Begitu wanita muda itu melepaskan tangannya, ia langsung melompat ke dalam semak-semak dan kabur.

"Hei! Lucius!"

Lucius tidak berhenti. Ia terus berjalan dalam kegelapan jalan setapak sambil sesekali menengokkan kepalanya ke belakang.

"Lucius... Lucius... di mana kau?"

Dari kejauhan ia melihat wanita muda itu menjulurkan lehernya, melongok ke segala arah sambil memanggil-manggil namanya. Tidak ingin wanita itu menemukan dan menyeret-nyeretnya kembali, Lucius memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah bangunan gelap yang ditemukannya.

Bangunan itu sunyi dan terlihat kosong. Dalam kegelapan ruangan tanpa cahaya, Lucius bisa melihat patung marmer Dewi Fortuna yang berkilauan samar.

Ia pasti berada di ruang doa atau semacamnya, pikir Lucius sambil menyandarkan punggungnya melawan tembok.

Dindingnya yang dingin terasa nyaman ke punggung Lucius. Lucius menyerodot ke bawah dan melanjutkan minumannya.

Akhirnya, kesunyian, Lucius menghembuskan napas penuh kelegaan. Akhir ia ia bisa minum dengan tenang. Peduli apa jika ia akan dimarahi karena sudah kabur dari wanita yang mengundangnya. Toh besok ia akan mati.

Lucius meneguk teko di tangannya dalam satu isapan yang panjang. Dengungan dari anggur yang sejak tadi ditenggaknya mulai terasa, mengaburkan semua hal yang ada di sekitarnya.

Mendadak, suara sesuatu yang bergerak di sudut ruangan mengagetkan Lucius hingga terbangun sepenuhnya. Tanpa suara ia menarik tubuhnya bangkit dan berjalan mengelilingi kolam air.

Sebuah suara desahan yang lembut kembali terdengar.

Lucius melompat dalam kegelapan dan meraih sebuah pergelangan tangan.

"Jangan bergerak atau aku akan membunuhmu." Iblis dalam kepalanya melepaskan diri dari rantai. "Siapa dirimu?"

Tidak ada balasan untuk beberapa saat. Kemudian...

"Namaku Nimia." Suara seorang wanita terdengar. "Apakah kau selalu memulai percakapan seperti ini?"

Pergelangan tangan yang ada dalam genggaman Lucius kecil dan lembut. Lucius melepaskan tangan wanita itu dan melangkah mundur. Ketika itulah ia baru sadar bahwa telapak tangannya terasa basah dan lengket.

"Kau berdarah."

"Ya." Suara itu setuju. "Cukup banyak kali ini. Sepertinya aku memotong terlalu dalam."

Lucius penasaran apakah wanita itu juga semabuk dirinya.

"Siapa kau?"

"Nimia," wanita itu mengulang. "Kau mungkin tidak bisa melihatnya tapi aku sedang menjulurkan tanganku untuk bersalaman jika kau mau menerima. Tangan kananku yang tidak berdarah tentunya."

Lucius meraih tangan yang terjulur ke arahnya dengan perasaan bingung. Telapak tangan wanita itu terasa kasar seperti miliknya. Tangan seorang budak.

"Kau melukai dirimu sendiri?" Lucius bertanya.

"Ya." Suara itu kembali setuju. "Aku cukup sering melakukannya. Pergelangan tanganku terlihat seperti punggungmu."

Lucius terdiam karena kaget.

"Kau Lucius, bukan?" wanita itu melanjutkan. "Nama Vesontia untuk pria asing. Nimia, sementara itu adalah nama Macedonia. Maaf. Aku akan diam sekarang. Kau pasti ingin duduk dalam kegelapan dan minum anggurmu dengan tenang."

Lucius duduk. Pria itu kembali menyandarkan punggungnya ke belakang dan menenggak sisa anggur di dalam tekonya dalam beberapa tegukan.

Matanya sudah terbiasa dalam kegelapan sekarang. Ia bisa melihat siluet wanita yang ada di depannya. Hidung mancung, rambut ikal, pergelangan tangan yang terjulur ke dalam sebuah mangkuk.

Sebuah senandung dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Lucius terdengar dari bibir wanita itu. Suaranya yang dingin menyelinap di dalam dinding ruangan gelap itu dan membungkam raungan kemarahan yang sejak tadi menggedor isi kepala Lucius.

Lucius memejamkan mata sementara musik asing itu perlahan menghilang dan meninggalkannya kembali ke dalam kesunyian.

"Lucius?" wanita itu memanggil setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Apakah kau akan mati besok?"

"Ya."

Wanita itu mendesah.

"Sayang sekali aku harus melihatnya. Aku dipaksa untuk menonton meski aku tidak menyukainya. Benar-benar tidak menyukai nya."

Lucius bisa mendengar tetesan darah dari pergelangan tangan Nimia yang meluncur ke dalam mangkuk.

Tes. Tes. Tes.

"Aku juga tidak menyukainya."

"Aku bisa menebak." Suara itu membalas. "Kau berbeda dengan Rollo. Pria itu menenggak sorakan dan tepukan tangan layaknya seorang petarung. Tidak sepertimu. Kau bukan petarung."

Lucius mengedipkan matanya. "Jadi apa aku?"

"Seorang pemarah," Nimia menjawab dalan lantunan nada yang bermelodi. "Pemarah, dan sendirian, dan tersesat. Mencari-cari jalan untuk pulang. Dari mana asalmu, pria pemarah?"

***

***

10. Waktu Yang Tercuri 

"Caledonia."

Dengan heran, Lucius mendengar gumaman berlumuran anggur meluncur dari tenggorokannya. Bak sebuah uap air yang tersiram terik matahari, Lucius bisa melihat kembali dataran tempatnya tinggal, menekan dalam kegelapan layaknya sebuah laut tanpa dasar.

"Di bagian utara pulau itu terdapat sebuah tempat bernama Albion. Pegunungan di pinggir pantai."

"Albion." Suara itu mengulang. "Kau masih memiliki keluarga di sana?"

"Tidak," Lucius menjawab dengan suara berat. "Ibu meninggal ketika aku masih muda. Sementara ayah dan kedua kakak ku...." Tenggorokan Lucius mendadak terasa kering.

"Siapa mereka?" wanita itu bertanya.

"Ayahku adalah salah tetua suku di Albion," Lucius menjawab sambil menghembuskan napas. "Ia percaya pada pedang dan kebebasan. Ia lah yang mengajariku dan saudara-saudaraku cara bertarung. Untuk membela diri. Bukan untuk mencari masalah."

"Di mana ia sekarang? Ayah dan saudara-saudaramu"

"Mati."

Ada kesunyian sesaat sebelum suara itu kembali terdengar. "Apa yang terjadi?"

"Vesontio datang suatu hari, membangun benteng di dekat Albion dan menuntut penduduk yang ada disekitar kota itu untuk membayar iuran. Sapi, gandum, senjata. Ayah menolak dan membunuh perwakilan yang datang ke desa kami."

Hujan panah, tameng yang beterbangan, jeritan dan teriakan kuda. Kilasan dari apa yang terjadi hari itu kembali membayangi benak Lucius. Salah satu kakaknya jatuh terkena lemparan tombak. Yang lain tertusuk pedang prajurit Vesontio.

"Aku masih berusia 13 tahun ketika itu. Bodoh dan mengira bahwa aku bisa menyelamatkan mereka semua. Aku sudah salah tentu saja. Mereka membunuh ayah dan membakar desa hingga menjadi abu. Mereka yang masih hidup, dibawa ke Vesontio untuk dijadikan budak. Aku termasuk."

Asap, darah, teriakan wanita. Bocah tiga belas tahun dengan pedang yang terlalu berat untuknya. Bocah bodoh.

Lucius memalingkan wajahnya dari kenangan itu.

"Lalu?"

Lucius hampir lupa akan Nimia.

"Lalu tidak ada." Lucius mengedikkan bahunya. "Mereka membawaku ke tambang batu sebagai budak, di mana aku membunuh seorang pengawal dan dikirimkan ke arena untuk mati."

Kepala Lucius dipenuhi oleh bayangan sekarang. Ia membutuhkan lebih banyak anggur. Anggur yang sudah tidak tersisa.

Ketika wanita itu tidak berkata apa-apa, Lucius menoleh. Embusan napas lembut yang terdengar di sebelahnya membuat Lucius penasaran.

"Mengapa kau melakukannya?" ia bertanya. "Melukai dirimu sendiri seperti itu?"

Untuk waktu yang sangat lama wanita itu terdiam. Lucius mengira ia tidak akan mendapatkan jawaban ketika kemudian...

"Apakah kau pernah mendengar tentang Sicarii?"

"Tidak."

"Sicarii adalalah grup pemberontak yang bertanggung jawab akan matinya 700 pasukan Vesontio ketika Perang Macedonia terjadi. Mereka bersembunyi di sebuah benteng di tepi pantai, tempat dimana matahari membakar sepanjang hari. Udara selalu terasa panas di dalam benteng. Jauh lebih panas dari musim panas di Vesontio. Aku ingat aku membenci tempat itu. Membuatku merasa tinggal di dalam tempayan yang dipanaskan di atas api." Wanita itu menghela napas sebelum melanjutkan. "Ayahku adalah seorang pejuang Sicarii dan aku lahir di benteng itu. Lima belas tahun yang lalu."

Lima belas? Wanita itu terdengar lebih dewasa dari lima belas, pikir Lucius.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Butuh delapan tahun bagi Vesontio untuk menemukan tempat persembunyian Sicarii. Dan satu malam untuk mendobrak benteng."

"Kau ingat semuanya?"

"Tidak terlalu. Aku masih sangat muda, enam tahun. Aku hanya ingat mengintip dari atas benteng dan melihat pasukan Vesontio berkerumun di bawah layaknya semut." Nimia menggeleng. "Aku hanya ingat malam itu panas. Sangat panas seperti malam ini. Itulah mengapa sekarang aku selalu benci malam yang panas. Aku ingat ayah pergi berbicara dengan pria lain dalam suara rendah di depan rumah. Ibu terlihat muram. Begitu juga dengan Sui, kakakku yang berumur delapan tahun."

Lucius terdiam mengamati wanita itu. Suara wanita itu terdengar tenang. Begitu juga dengan raut mukanya yang menatap ke kejauhan.

"Ketika ayah kembali ke rumah, ia membawa ibu ke dalam kamar untuk waktu yang sangat lama. Ayah keluar sendirian dan menarik Sui masuk ke kamar. Aku sedang bermain boneka sendirian ketika itu, tapi kemudian memutuskan untuk menyusul karena penasaran. Aku mendorong pintu kamar dan berdiri di bawah pintu masuk. Ketika itulah aku melihat Sui. Tergeletak di lantai dengan leher terpotong. Ibu di sebelahnya, menggenggam sebuah belati di tangan kanan dengan pergelangan tangan kiri penuh darah. Aku menjerit. Ayah menoleh dan menatap ke arahku, memanggilku untuk mendekat. Kemarilah, Nimia, pria itu berkata. Aku ingin memberimu pelukan. Aku sudah hendak melangkah mendekati pria itu ketika aku melihat belati berlumuran darah di tangan ayah. Aku langsung membalik dan berlari keluar dari rumah. Aku mengira ayah pasti sudah kehilangan kewarasannya malam itu. Aku perlu mencari bantuan. Aku berlari ke rumah sebelah, tapi semua sama saja di sana. Semua orang mati. Semua orang tersayat dan membunuh dirinya sendiri. Aku tidak paham ketika itu, tapi kini aku mengerti mengapa mereka melakukannya. Lebih baik mati daripada ditangkap. Lebih baik meninggalkan benteng sebagai mayat daripada tawanan terantai. Itulah mengapa ketika Vesontio berhasil mendobrak pintu benteng keesokan paginya, mereka hanya mendapatkan sebuah benteng penuh oleh mayat— dan seorang anak kecil berumur enam tahun duduk di ruang tamu, menunggu keluarganya terbangun."

Tenggorokan Lucius terasa kering.

"Jadi kau adalah satu-satunya Sicarii yang tersisa?"

"Mungkin ada beberapa orang lain yang hidup, aku tidak ingat. Mereka membawaku ke Vesontio tak lama sesudah itu. Dan menjualku sebagai budak."

"Jadi kau melukai dirimu sendiri karena... kau ingin mati?"

"Aku seharusnya mati bersama mereka," wanita itu menjawab dengan suara datar. "Aku seharusnya berani seperti Sui dan membiarkan darahku tumpah seperti mereka semua. Apa yang kulakukan sekarang hanyalah caraku untuk membayar hutang pada Dewa Kematian. Untuk waktu yang kucuri. Untuk kehidupan yang seharusnya tidak kumiliki." Wanita itu mendadak menoleh. "Apakah kau masih punya anggur?"

"Tidak."

"Sayang sekali." Wanita itu menarik badannya bangkit. Sambil memegang dinding sebagai pegangan, ia membawa mangkuk berisi darahnya dan berjalan terhuyung keluar dari ruangan.

Lucius ikut berdiri dan mengejar. Ia melihat wanita itu berlutut di sebelah semak-semak dan menuangkan mangkuknya ke bawah, membasahi permukaan tanah. Pria itu menunggu dengan canggung.

"Selesai," Wanita itu berkata sambil berdiri. Sepertinya terlalu cepat karena kini Lucius bisa melihat wanita muda itu terhuyung dengan tangan terjulur.

Lucius menangkap bahu gadis itu sebelum terjatuh.

Dari jarak sedekat itu Lucius bisa melihat bahwa gadis itu cukup tinggi. Ujung kepala gadis itu sejajar dengan matanya. Rambutnya yang berwarna cokelat tergerai hingga ke punggung.

"Semoga Dewi Fortuna melindungimu besok, Pemburu." Gadis itu menawarkan sebuah senyuman di permukaan bibirnya yang penuh. "Aku akan menonton."

Mata gadis itu lebar dan gelap, penuh dengan keputusasaan yang membuat tengkuk leher Lucius berdiri.

"Selamat malam, Lucius dari Albion," gadis itu berkata sebelum membalik dan melangkah pergi.

Hati-hati, Lucius ingin berkata. Tapi ia hanya terdiam hingga gadis itu menghilang ke dalam kegelapan.

 Tapi ia hanya terdiam hingga gadis itu menghilang ke dalam kegelapan

***

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Songird
Selanjutnya Songbird Ch:11-15
2
0
Daftar isi:11. Budak dan Nona Muda12. Berapa Lama Pria Itu Akan Bertahan?13. Surat Lady Hersilla14. Tawa Sang Iblis15. Fortuna Adalah Dewi Yang Kejam
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan