Shadow [Ch 1-2] FREE

7
2
Deskripsi

Daftar isi:


1. The Shadow Man

2. Beggars Can't Be Choosers 

post-image-669dbfc101cc8.jpg

────────────────────────────────

1. The Shadow Man

────────────────────────────────

Pria itu baru saja selesai makan dan hendak menyalakan rokok ketika ponsel yang ada di atas meja bergetar

Pria itu baru saja selesai makan dan hendak menyalakan rokok ketika ponsel yang ada di atas meja bergetar. Diletakkannya bungkus rokok yang baru saja diangkatnya dan sebagai gantinya diraihnya ponsel yang tergeletak di sebelahnya.

Begitu melihat nama Stone muncul dalam pesan yang baru masuk, Zade melepaskan sebuah geraman kesal.

Stone: [Kita perlu menculik adik Jeremy Kim. Perempuan itu ada di rumah sendirian sekarang. Apakah yang lain bersamamu?]

Zade mengetikkan balasannya.

Zade: [Tidak. Aku meninggalkan mereka di kelab malam. Aku sudah di rumah.]

Stone: [Kau makan malam dengan anjing-anjingmu lagi, huh? God, Zade. Betapa mengenaskan. Kau tahu apa yang kau butuhkan? Seorang istri.]

Zade menggelengkan kepalanya dan mengetikkan balasannya.

Zade: [Kata pria yang selalu membawa tidur anjingnya seperti boneka beruang.]

Stone: [Otis sekarang tidur di kamar Trouble, sialan.]

Zade tergelak pelan membayangkan anjing Rottweiler raksasa itu menina bobokan anak Stone.

Zade: [Kau ingin aku menculiknya?]

Stone: [Bisakah kau melakukannya?]

Zade: [Ya, tentu saja. Aku akan menghubungi yang lain jika perlu, tapi kurasa aku sendiri cukup mampu menculik seorang wanita.]

Stone: [Baiklah kalau begitu. Sorry, have to go, Trouble menangis. Aku akan mengirimkan foto wanita itu sebentar lagi. Kabari aku jika pekerjaan selesai.]

Zade: 👍

Selesai mengetikkan balasannya, Zade memasukkan ponsel ke dalam saku dan membereskan piring yang baru ia gunakan.

Gagal sudah rencananya untuk tidur lebih pagi hari ini. Meski kesal oleh gangguan mendadak yang diberikan untuknya, tapi jujur, ia juga merasa bersemangat. Sudah lama ia tidak menculik seseorang.

Selesai meletakkan piringnya ke dalam dishwasher, Zade masuk ke dalam kamar dan mulai berbenah. Berbagai benda yang dibutuhkan untuk membawa dan mengikat seseorang. Senjata, pisau, tali, selotip, dan tidak lupa, penutup wajah. Ia meraih ski mask berwarna hitam yang ada di dalam lemari dan melemparkannya ke dalam tas.

Setelah memberi anjing-anjingnya satu garukan di kepala masing-masing, Zade memberitahu mereka untuk kembali menjaga rumah dan ia pun berlalu kembali ke garasi.

Derungan suara mesin dari mobil terbarunya membuat Zade mau tidak mau tersenyum ketika ia menjalankan kendaraannya keluar. Zade melambai ke arah pengawal di pintu gerbangnya, sebelum melesat kembali ke kota.

Menginjak pedal gas sedalam mungkin begitu masuk ke dalam jalan tol, Zade melepaskan tawa rendahnya. Siapa bilang ia tidak tahu cara bersenang-senang, pikirnya dalam hati. Hal sederhana seperti ini cukup membuatnya merasa santai.

Istri? Cih. Yang benar saja.

Ia menyayangi May, dan Stone memang terlihat lebih bahagia sekarang, tapi Zade tahu kehidupan semacam itu bukanlah untuknya. Stone mungkin dilahirkan sebagai seorang family man, tapi ia bukanlah pria seperti itu.

Diakui Zade, ia dulu sering merasa cemburu melihat keluarga Stone. Redmond dan Lucile adalah sosok orangtua yang sempurna. Ayah Stone adalah pria yang adil dan berkepala dingin sementara Lucile adalah wanita yang penyayang dan lemah lembut.

Berbeda dengan keluarganya.  Ibunya adalah wanita yang rapuh sementara ayahnya adalah pria yang kaku dan keras. Kekejaman River Black tidak hanya ditakuti di kalangan musuh dan sekutu tapi juga di dalam keluarganya. Pria itu sepertinya terlalu akrab dengan kegelapan hingga tidak lagi bisa menidurkan monster di dalam kepala bahkan ketika ia berada bersama istri dan anak-anaknya.

Ketika Zade masih kecil, ayahnya memiliki kebiasaan menendanginya hingga meringkuk dan babak belur hanya karena kesalahan kecil seperti memecahkan piring atau meninggalkan baju kotor berceceran di lantai.

Itulah mengapa ia selalu teratur. Itulah mengapa ia tidak pernah melakukan kesalahan. Ia adalah cetakan yang dibuat oleh kekejaman dan disiplin ayahnya. Kombinasi yang sama mematikannya dengan gunpowder dan api.

Di antara didikan keras ayahnya, ibunya mencoba melembutkan. Sebisa wanita itu tentu saja, melalui air mata dan obat-obatan yang dikonsumsi wanita itu untuk menumpulkan depresinya,  melalui asap rokok yang disulutnya sehabis pertengkaran dengan suaminya, Eliza Black melakukan sebisanya untuk mendidik kedua putranya agar tahu cara memperlakukan wanita.

"Ketika kau menemukan wanita yang baik, perlakukan ia layaknya seorang ratu, my son," wanita itu akan berkata padanya dan Sev. "Cintai ia dengan kelembutan dan lindungi ia dari kemarahanmu. Jangan menjadi penyebab air mata yang mengalir di pipinya dan jangan pernah menghancurkan kepercayaan yang ia berikan padamu. Hidup tidak akan memberkatimu dengan wanita semacam itu dua kali, ingat itu."

Jujur, Zade merasa kesulitan memahami didikan ibunya. Sulit untuk bisa memperlakukan seorang wanita bak seorang ratu ketika ibunya sendiri selalu menangis di sudut rumah oleh kekejaman ayahnya. Untung saja, ia tidak perlu tahu bagaimana cara menghormati wanita untuk mendapatkan perempuan. Kekayaan dan posisinya sebagai kepala mafia cukup untuk memiliki wanita manapun yang ia inginkan.

Jadi, Stone bisa bahagia dengan istri dan anaknya. Ia akan mendapatkan kebahagiaannya dengan caranya sendiri. Dengan hal sederhana yang memacu adrenalin seperti mengemudi ugal-ugalan di tol atau menebarkan teror di mata musuh-musuhnya.

Lagipula, tidak ada wanita baik-baik yang menginginkan pria sepertinya.

Zade menurunkan kembali kecepatan mobilnya ketika ia membelok keluar tol dan masuk ke area perumahan yang dituju.

Rumah-rumah di sekelilingnya terlihat terang dari lampu jalanan. Deretan bangunan mansions yang terlihat mirip satu sama lain layaknya copy paste dari satu gambar.

Zade memarkirkan mobilnya di pinggir trotoar sebelum mengeluarkan ponselnya dari saku untuk menghubungi salah satu orangnya yang bertugas mengikuti pria yang menjadi incaran.

Zade: [Keith, di mana Jeremy sekarang?]

Balasan dari anak buahnya langsung masuk dalam beberapa detik.

Keith: [Jeremy keluar dengan beberapa teman-temannya dua puluh menit yang lalu. Kami sedang mengikutinya. Sepertinya ia hendak menuju pusat kota.]

Zade: [Bagaimana dengan adiknya?]

Keith: [Terakhir aku lihat, wanita itu masih ada di rumah. FYI, Jason juga ada di sana.]

Jason. Pengedar obat yang beroperasi di wilayah Stone.

Ck, Zade mengerutkan bibirnya. Ia sudah memberitahu pria sialan itu untuk tidak menjual kepada keluarga Jeremy. Seseorang sepertinya perlu diingatkan untuk tidak meremehkannya.

Stone masih belum juga mengirimkan foto adik Jeremy, dan tangan Zade sudah mulai gatal untuk segera membenamkan belatinya ke leher Jason.

Mulai tidak sabar, Zade mengetik lagi ke anak buahnya.

Zade: [Kau punya foto adik Jeremy Kim?]

Keith: [Sorry, man. Aku tidak punya. Wanita itu memiliki perawakan tipikal keturunan Korea, wajah asia, kulit putih, pendek, rambut hitam sepunggung, dan sangat cantik. Tidak mungkin salah dikenali.]

Zade mengetikkan ucapan terima kasihnya sebelum kembali memajukan mobilnya menuju ke halaman parkiran rumah yang dituju. Akan lebih mencurigakan jika ia parkir di trotoar, apalagi ketika ia hendak menculik seorang wanita yang akan dimasukkannya ke dalam bagasi.

Zade memarkirkan mobil kesayangannya tepat di depan pintu masuk sebelum meraih tas berisi perlengkapannya dan keluar dari mobil. Layaknya memang seharusnya berada di sana, Zade berjalan mengitari rumah menuju ke kebun belakang.

Begitu berada jauh dari lampu jalanan yang terang, Zade memasang ski mask dan mengenakan kedua sarung tangan yang dibawanya. Sambil mengalungkan tas ke pundak, pria itu mengikuti jalan setapak menuju ke pintu yang ada di bagian belakang rumah.

Layaknya bayangan, Zade berjalan melintasi kolam berenang besar yang ada di halaman belakang rumah itu tanpa suara.  Ia melihat sebuah hot tub di sebelah kolam renang yang penuh dengan ceceran handuk bekas, baju renang, dan sampah. Tempat itu terlihat seperti rumah yang habis mengadakan pesta dan belum dibersihkan. Bagaimana bisa seseorang membiarkan rumahnya kotor dan berantakan seperti itu, Zade tidak habis pikir.

Mengabaikan semua ceceran sampah, Zade melongokkan wajahnya melalui jendela, melihat gerakan apapun di dalamnya. Ketika semua terlihat aman, Zade melangkah menuju pintu dan menjulurkan tangannya.

Ia sudah hendak mengeluarkan alat pembobol kunci ketika menemukan bahwa ia rupanya tidak membutuhkannya. Pintu belakang rumah itu tidak terkunci. Bukti lain bahwa kecerdasan Jeremy Kim sepertinya tidak terlalu tinggi dalam hal ini.

Tanpa suara, Zade mengendap masuk dan menutup pintu. Tidak perlu menguncinya sekarang. Terlambat untuk itu. The shadow man is in.

Rumah itu sunyi dan gelap. Zade belangkah melintasi perabotan dan melihat bahwa bagian dalam rumah terlihat lebih bersih dari luar. Langkah kaki membawa Zade ke dapur. Ia baru saja melewati meja makan ketika didengarnya suara langkah kaki seseorang mendekat.

Zade memundurkan tubuhnya melekat ke dinding dan menunggu. Langkah itu terdengar melewati lorong yang ada di sebelah dapur sebelum menjauh.

Zade memajukan wajahnya untuk mengintip dan bisa melihat seorang pria dengan rambut punk masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu. Sementara Zade menunggu pria itu selesai, ia mengamati lukisan yang ada di depannya dan hampir membuat dirinya sendiri tertawa. Orang waras mana yang menggantung lukisan vagina penuh bulu di ruang makannya? Tepat di sebelah meja makan apalagi.

Menelan gelak tawanya agar tidak keluar, Zade meraih pisaunya dan melekatkan kembali punggungnya ke dinding. Ketika itulah ia mendengar pintu kamar mandi kembali membuka dan suara langkah mendekat.

Pria yang tadi dilihatnya sepertinya hendak berjalan ke dapur. Mungkin mencari makanan atau minum. Sayang, rencana pria itu terpaksa terpotong ketika Zade meraih leher pria itu dan mendorongkan tubuh kurus itu melawan dinding.

Zade mengumpat dalam hati ketika tangannya menggores anting di bibir pria itu ketika ia membekapkan telapak tangannya untuk mencegah pria itu bersuara.

Pria berambut punk itu meraih ke balik punggung mungkin hendak menarik pistolnya keluar ketika Zade menekankan belatinya ke leher pria itu.

"Put. It. Down," Zade menggeram pelan. Suaranya yang membawa ketenangan bercampur dengan ketidakpedulian membuat pria berambut punk itu membelalak dan melepaskan pistol di tangannya.

"Kau sudah diberitahu untuk tidak berhubungan dengan Jeremy Kim, Jason," Zade mengingatkan sebelum menggoreskan belatinya melintasi leher pria itu, memastikan memotong urat nadi yang ada di leher pria itu untuk kematian yang cepat.

Semburan darah membasahi sarung tangan dan pakaian Zade, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah ceceran darah itu ke mana-mana. Ia hanya merasa kasihan pada siapapun yang harus membersihkan rumah ini setelahnya. Bercak darah susah dihilangkan. Apalagi dari atas karpet mahal yang kini tidak lagi berwarna putih.

Sebuah tarikan napas kaget di belakang Zade membuat pria itu memutar kepalanya dengan cepat sementara tubuh lemas Jason menabrak lantai.

Wanita muda yang menatapnya membekap mulutnya sendiri sementara matanya yang lebar membelalak.

Disadari Zade, wanita itu sangat cantik, dan untuk beberapa detik yang bisa dilakukannya hanyalah menatap tanpa bernapas sementara darah menetes turun dari ujung belatinya dan menabrak karpet yang ada di bawahnya.

Cantik, putih, rambut hitam, wajah tipikal Korea.

Zade tersenyum ke arah Christina Kim dan melangkah mendekat.

Zade tersenyum ke arah Christina Kim dan melangkah mendekat

 

 

────────────────────────────────

2. Beggars Can't Be Choosers 

────────────────────────────────

Dua hari sebelumnya

Dua hari sebelumnya.
 

"Apa?" Niamh membentak ke dalam ponsel dalam genggaman. "Apa maksudmu asuransi hanya akan membayar biaya perawatan ibuku hingga akhir bulan?"

"Perusahaan yang selama ini membayar premi asuransi Nyonya Song tidak melanjutkan kontrak karena Nyonya Song sudah tidak terdaftar bekerja di perusahaan lagi, Nona," wanita yang ada di ujung sambungan menjawab dengan suara datar.

"Ya," Niamh menyahut cepat. "Karena ia sakit. Ia tidak kuat lagi bekerja. Itulah mengapa ibuku berhenti bekerja."

"Saya mengerti Nona frustasi, tapi tidak ada yang bisa pihak rumah sakit lakukan saat ini. Tanpa asuransi, pengobatan Nyonya Song juga terpaksa dihentikan."

Niamh berjalan mengitari kontrakan kecil miliknya dengan tangan mengusap kepalanya yang mulai berdenyut. Rasa sakitnya mulai merebak dan mengancam kemarahan Niamh meledak.

Menahan keinginan untuk menjerit, Niamh menarik napas dalam- dalam sebelum membalas, "Jadi... tanpa pekerjaan ibuku tidak bisa memiliki asuransi, dan tanpa asuransi kami harus membayar pengobatan dari kantong sendiri?"

"Benar, Nona."

"Berapa tadi jumlah yang kau katakan harus kami bayarkan untuk enam bulan perawatan? Dua puluh tujuh ribu dollar?"

"Benar, Nona."

"Dan jika kami tidak bisa membayar, kalian akan menendang ibuku dari rumah sakit begitu saja?"

Ketika wanita dibalik ponsel kembali menjawab, "Benar, Nona," Niamh kehabisan kesabaran.

"Jika kami orang kaya, apakah kau kira kami akan membutuhkan asuransi? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?"

"Maafkan kami, Nona. Pihak rumah sakit bisa membantu Nona membuat aplikasi untuk mendapatkan bantuan dari yayasan kemanusiaan jika Nona ingin, tapi hal itu butuh waktu. Sebelum aplikasi lolos, tidak ada yang bisa kami lakukan. Asuransi hanya akan membayar biaya perawatan Nyonya Song hingga akhir bulan ini. Setelah itu, pembayaran harus masuk atau Nona terpaksa membawa ibu Nona keluar dari rumah sakit. Saya bisa sambungkan Nona dengan bagian Hospice Care jika mau. Biaya yang mereka tawarkan lebih terjangkau..."

Niamh menutup sambungan sebelum umpatan dan cacian lepas dari bibirnya.

Tidak mungkin ia memasukkan ibunya ke dalam Hospice Care. Hospice Care adalah tempat bagi pasien yang sudah tidak punya harapan untuk sembuh dan menunggu waktu. Tidak. Ia tidak akan menyerah. Selama ibunya masih memiliki kesempatan, sekecil apapun, ia akan berjuang. Ia tidak akan membiarkan kanker payudara merebut satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Tapi, apa sekarang yang harus dilakukannya? Bagaimana ia bisa mendapatkan 27 ribu dollar dalam dua hari?

Mungkin ia bisa meminjam uang pada Jeremy, Niamh berpikir sambil melirik ke arah jam yang ada di dinding.

"Shit," Niamh mengumpat sambil buru-buru meraih tas dan berlari keluar dari kontrakan.

Sudah hampir pukul delapan. Ia masih harus ke drycleaner untuk mengambil baju Christina sebelum berangkat kerja. Ia tidak ingin memberi wanita itu kesempatan untuk memarahi dan memecatnya. Ia memerlukan pekerjaan ini.

Setelah diagnosis penyakit ibunya dua tahun yang lalu, Niamh memang memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan bekerja full-time.

Sayang, hanya lulusan SMA dan tanpa pengalaman, pilihan pekerjaan yang bisa dilakukannya tidak banyak. Itulah mengapa ketika Jeremy Kim datang dan menawarkan pekerjaan kepadanya sebagai pembantu rumah tangga, tanpa pikir panjang, Niamh langsung menerima. Tidak peduli bahwa Jeremy adalah pria menyebalkan yang selalu beranggapan bahwa semua orang bisa dibeli dengan uang, tidak peduli bahwa Jeremy adalah kakak dari Christina, perempuan yang kerap mem-bully-nya ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Orang sepertinya tidak boleh terlalu rewel. Like they say, beggars can't be choosers.
 

Niamh sedang berjalan menuju bus stop ketika dilihatnya sebuah mobil truk bobrok mengikuti. Ia menoleh dan melihat wajah familiar pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan pelangi dan kupu-kupu. Mantannya. Danny.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Niahm bertanya dengan suara ketus tanpa menghentikan langkahnya.

Mengabaikan nada suara Niahm yang meninggi, Danny memberi wanita itu sebuah senyuman yang dulu sanggup memberi Niahm kepakan sayap di dada. Sekarang, hal itu justru hanya membuat Niamh semakin uring-uringan.

"Kebetulan aku sedang lewat," pria itu berkata sambil mengemudikan truknya pelan sepanjang trotoar. "Aku bisa memberimu tumpangan. Ayo masuklah ke mobil."

"Tidak perlu. Aku bisa naik bus."

"Oh ayolah, Niamh. Berhenti bersikap dramatis. Aku sudah minta maaf soal itu. Mengapa kau pendendam sekali, sih?"

Niamh menghentikan langkahnya dan menoleh. Ia tidak tahu harus mulai dari mana untuk membalas ucapan Danny. Setelah apa yang terjadi pagi ini, kesabarannya sudah setipis kertas.

"Pendendam katamu?" Niamh bisa merasakan wajahnya memanas. "Aku menemukanmu meniduri wanita lain, Danny. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Hubungan kita sudah berakhir. Aku tidak akan bisa mempercayaimu lagi, jadi... berhenti mengikutiku ke mana-mana."

Danny langsung mengerem dan memarkirkan truknya. Pria itu kemudian keluar untuk mengejar Niamh.

"Semua ini tidak akan terjadi jika saja kau mau tidur denganku," pria itu berkata sambil meraih lengan Niamh. "Kau sendiri yang terlalu kolot. Tidak ada yang peduli akan keperawanan di zaman seperti ini. Aku tidak mengerti keinginanmu untuk menunda seks padahal kita sudah menjalin hubungan sejak masuk SMA."

What the hell? Sekarang pria itu berani menyalahkannya akan apa yang terjadi?

Niamh menarik lengannya agar bisa melanjutkan langkahnya. Ia sudah tidak berniat melanjutkan perdebatan ini. Ia butuh menghilangkan wajah Danny dari hadapannya sebelum ia meledak dan mengamuk di muka umum.

Sayang, sebelum ia berhasil, Danny memblokir jalan Niamh menuju halte bus.

"Minggir, Danny," Niamh memberitahu. "Aku tidak punya waktu untuk berdebat denganmu. Aku masih banyak pekerjaan."

Danny membungkuk hingga Niamh bisa merasakan napas panas pria itu di pipinya. Ia dulu menyukai tubuh kekar pria itu. Hal yang sekarang membuatnya merasa terancam. Meski Danny tidak pernah mengasarinya, tapi ia bisa melihat pria itu mulai kesal dan tidak sabar.

"Aku tidak akan melepaskanmu, Niamh," pria itu menggeram rendah. "Kau dengar? Aku mencintaimu dan kau adalah milikku. Aku akan mendapatkanmu kembali. Tidak peduli bagaimana caranya."

Kemarahan pria itu terlihat jelas, yang membuat jantung Niahm berdetak lebih cepat oleh rasa takut. Untungnya, suara klakson bus yang berhenti di sebelah halte mengalihkan perhatian Danny.

Begitu pria itu menoleh, Niamh langsung menggunakan kesempatan itu untuk kabur dan berlari masuk ke dalam pintu bus yang sudah terbuka.

Begitu pintu bus tertutup dan kendaraan berjalan, Niamh bisa melihat pria berambut cokelat itu mengumpat sebelum kembali masuk ke dalam truknya yang setengah karatan dan pergi, menyalip bus yang dinaikinya dengan suara decitan roda yang digas maksimal.

Niamh menggelengkan kepalanya. Hampir tidak percaya bagaimana ia dulu bisa jatuh cinta pada stupid broke asshole seperti Danny.

Sambil menghela napas, Niamh menghempaskan tubuhnya ke salah satu kursi yang kosong dan menoleh keluar jendela.

Jalanan terlihat ramai hari ini. Bus mereka terkena lampu merah di tiap setopan dan sementara ia menunggu salah satunya menjadi hijau, ia mengamati gedung baru yang ada di pinggir jalan. Gedung itu dulunya adalah sebuah hotel kumuh bernama Hotel Starlight. Habis terbakar dalam semalam, pemilik barunya kini membangun gadung lain di atasnya. Sebuah organisasi non-profit untuk membantu wanita dan anak-anak sepertinya. Berwarna kuning cerah dengan pot bunga di bagian depannya, gedung itu terlihat ramah dan mengundang. Jauh lebih indah daripada hotel bobrok yang dulu ada di sana.

Sebelum lampu berubah menjadi hijau, Niamh melihat seorang wanita cantik berpakaian indah berjalan keluar dari dalam gedung sambil menggendong seorang anak kecil yang tidak bisa diam. Di belakang wanita itu, berjalan pria paling mengerikan yang pernah dilihat oleh Niamh. Badannya yang besar dan penuh tato memberitahu Niamh bahwa pria itu bukanlah pria biasa.

Pria itu adalah jenis pria yang tidak ingin kau temui ketika berada di lorong gelap jalanan malam sendirian. Tapi pagi itu, pria itu tidak terlihat menyeramkan. Pria itu kini sedang tertawa sambil menjulurkan lidahnya sambil menggoda anak yang ada dalam gendongan ibunya. Mata pria itu terlihat sangat lembut ketika menatap wanitanya layaknya wanita itu adalah matahari dan ia adalah planet bumi yang diberi kesempatan untuk mengitari agar bisa hidup.

Pasti bahagia rasanya menjadi wanita itu. Tidak perlu pusing akan uang dan memiliki seorang pelindung yang bisa dijadikan sandaran.

Mengabaikan perasaan cemburu melihat keluarga bahagia itu sementara hidupnya sendiri hancur berantakan. Niamh mengingat apa yang sering dikatakan ibunya ketika ia menceritakan tentang perselingkuhan Danny beberapa waktu yang lalu.

"Jika saatnya tepat, semesta akan menyiapkan pria yang terbaik untuknya. Ia hanya perlu bersabar."

Niamh bertanya-tanya kapan hal itu akan terjadi. Ia sudah bersabar dan percaya. Di manakah pria terbaiknya? Mungkin semesta bisa mengirimkan pria bertato dan bertubuh besar seperti pria yang baru dilihatnya tadi. Mungkin semesta bisa membuat pria itu terobsesi kepadanya seakan ia adalah wanita paling cantik yang ada di dunia ini. Bonus tambahan jika pria itu kaya raya dan tidak pelit. Membelikan barang-barang mewah dan perhiasan dan mobil jadi ia tidak perlu lagi naik bus ke mana-mana. Membayarkan pengobatan ibunya hingga sembuh dan mengajak wanita itu pergi liburan bersama mereka setiap tahunnya.

Niamh tertawa sendiri di dalam bus kota. Sedikit terlalu keras hingga membuat beberapa orang menoleh dan menatapnya bak wanita gila. Mungkin ia memang sudah gila. Ketika ibumu sedang dalam perjuangan melawan kematian sementara asuransi menolak untuk membiayai pengobatan dan kondisi keuanganmu morat-marit, wajar seseorang kehilangan kewarasan. Belum lagi mantan sialan yang kini menguntit dan meneror untuk meminta balikan tanpa merasa bersalah akan apa yang sudah dilakukannya.

Niamh menghela napas dan menyandarkan kembali punggungnya ke belakang. Kembali membayangkan bagaimana rasanya menjadi wanita berpakaian indah yang dilihatnya barusan.

***

***


bersambung…

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Shadow
Selanjutnya Shadow [Ch 3-4] FREE
7
1
Daftar isi:3. No Silver Lining4. God Is Dead
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan