**FREE** Fatima and The Mad King Prolog-ch5

25
11
Deskripsi

BLURB: 

Pada jaman dahulu kala, di Kerajaan nun jauh di sana. Di tempat di mana elang beterbangan dan unta berkeliaran, tinggal seorang gadis bernama Fatima El Sayeed.

Fatima adalah anak seorang saudagar kaya di Kerajaan Khorasan. Tidak cantik, tidak luwes, dan lahir dari seorang ibu yang cacat mental, Fatima menjadi kekecewaan ayahnya sejak lahir.

Satu-satunya yang bisa dibanggakan dari diri Fatima, selain tidak pernah sakit, adalah imajinasi gadis itu.

Dalam kepala Fatima yang sering kesepian...

Prolog

Jaman dahulu kala, berdiri sebuah Kerajaan di tengah padang pasir yang bernama Khorasan.

Seorang Raja yang bernama Hafiz al-Razzaq memerintah di sana. Meski baru berumur enam belas tahun ketika naik tahta, tapi Hafiz adalah seorang Raja yang cerdas dan berani.

Khorasan berkembang di bawah pimpinan Sang Raja Muda dan menjadi salah satu Kerajaan paling makmur di Timur Tengah.

Ketika Sang Raja berumur tujuh belas tahun, dikatakan bahwa Sang Raja bertemu dengan seorang wanita dengan kecantikan melebihi bulan dan bintang di langit Khorasan dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
 

Sang Raja melamar wanita itu saat itu juga dan pernikahan yang mewah dan megah diadakan selama tujuh hari dan tujuh malam di tanah Khorasan.
 

Sayangnya, di hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia di tanah Khorasan sebuah tragedi terjadi.

Pada malam ke tujuh, Sang Raja menemukan wanita yang baru saja dinikahinya bersama dengan pria lain di atas ranjang pengantin mereka.

Murka dan patah hati, Sang Raja membunuh keduanya dengan tangannya sendiri dan bersumpah untuk tidak pernah lagi jatuh cinta. Mereka mengatakan itulah malam di mana Sang Raja merobek dadanya sendiri dan menyimpan jantung hatinya di tempat yang tidak akan mampu dijangkau oleh siapapun.

Sejak saat itu, setiap tujuh hari sekali, Sang Raja menikahi seorang wanita perawan hanya untuk kemudian dibunuhnya sebelum matahari terbit keesokan paginya. 
 

Dengan demikian, Sang Raja beranggapan bahwa ia tidak akan pernah dikhianati lagi dan ia tidak akan pernah terluka lagi.

***

***

 

Chapter 1. Fatima dan Buah Ara

Masshad adalah salah satu kota tersibuk di Kerajaan Khorasan

Masshad adalah salah satu kota tersibuk di Kerajaan Khorasan. Di sana tinggal seorang gadis bernama Fatima el-Sayeed.

Fatima adalah putri dari seorang saudagar kaya. Ayah Fatima, Saheer el-Sayeed adalah pria bertubuh pendek dan memiliki badan layaknya seekor banteng. Tanpa leher, semua bahu.

Saheer menikah dengan ibu Fatima, Yasmin, ketika Yasmin berusia empat belas tahun. Perjodohan yang disetujui semua pihak, mereka mengatakan. Yasmin adalah putri tunggal dari keluarga kaya, dan tanpa penerus, seluruh kekayaan ayah Yasmin akan jatuh kepada sang suami.

Namun, ayah Yasmin rupanya menyimpan sebuah rahasia tentang putri tunggalnya. Ayah Yasmin memang sangat berhati-hati menjaga wajah putrinya agar tidak terlihat oleh siapapun. Saheer kerap bercanda dengan mengatakan bahwa tidak masalah jika calon istrinya buruk rupa, toh ia bisa menikah lagi. 
 

Tidak setelah pesta pernikahan terjadi, Saheer mengetahui apa rahasia yang disimpan oleh keluarga calon istrinya. Ketika kedurung yang menutupi wajah Yasmin akhirnya dibuka, mereka mengatakan gadis itu tersenyum. Dari situlah mereka tahu bahwa Yasmin adalah gadis yang bodoh. Semua tahu, pengantin wanita tidak seharusnya tersenyum.

Mereka mengatakan bahwa ketika Fatima lahir, Saheer mengambil gadis itu dari tangan Yasmin dan menggantinya dengan sebuah bantal untuk dipeluk. Wanita itu memeluknya bantal pemberian suaminya, sama sekali tidak sadar bahwa pertukaran terjadi dan yang dipeluknya bukanlah bayi.
 

Sama seperti istri barunya, secepat itu juga, Fatima tumbuh menjadi sebuah kekecewaan bagi Saheer.

Fatima memiliki dahi yang lebar dan hidung yang besar. Ia tidak cantik atau memiliki tubuh yang ramping seperti anak perempuan kebanyakan. Fatima juga lambat dan sering melamun.

Satu-satunya hal paling bagus yang bisa disebutkan orang tentang Fatima adalah bahwa gadis itu jarang sakit. Ketika teman-teman sebaya berjatuhan oleh wabah penyakit, Fatima adalah satu-satunya yang tidak terpengaruh.

Hal ini hanya membuat kecurigaan ayahnya semakin memuncak. Apakah gadis itu tidak normal seperti ibunya? Mungkin seorang makhluk jadi-jadian atau djin?

Pria itu sering mencibir ke arah Fatima, mengamati gadis dengan mata sipit, sementara istrinya yang bodoh tertawa pada bayangan.

Saheer menikah lagi ketika Fatima berusia empat tahun, setahun kemudian Shahira lahir.

Berbeda dengan Fatima yang berkulit gelap dan berambut keriting, Shahira memiliki kulit kuning langsat dan rambut lurus yang halus. Dengan mata berbentuk biji almond dan bibir tebal yang merah. Semua orang memuji kecantikan Shahira sejak lahir.

Fatima bahkan berkali-kali mendengar ayahnya berkata kepada teman-temannya, "Itu baru namanya anak perempuan yang membanggakan," sambil menunjuk ke arah Shahira.

Dua tahun setelah kelahiran Shahira, lahir Khallid, putra dan penerus keluarga Saheer el-Sayeed. Lengkap sudah anak-anak yang diharapkan oleh Saheer. Keduanya lahir dari istri kedua.

Ibu Fatima meninggal ketika Fatima berumur enam tahun. Fatima merasa sedih. Tapi ia juga tidak terlalu ingat masa kecilnya bersama wanita itu kecuali kilasan-kilasan kejadian yang kini terasa menjauh.

Salah satu memori yang diingat Fatima tentang ibunya adalah ketika mereka mengadakan piknik di gurun pasir. Ibunya membenamkan ujung kakinya ke dalam pasir ketika mereka duduk bersebelahan. Gurun sahara yang panas terlihat keperakan dilihat dari tenda mereka.
 

Fatima ingat bagaimana ia mengarang berbagai cerita untuk ibunya ketika mereka makan. Petualangan penuh imajinasi. Tentang penyamun dan perompak laut, tentang mahkluk sihir yang hidup di dalam lampu dan pangeran.

Wanita itu tersenyum menikmati cerita buatan Fatima, atau mungkin pemandangan gurun pasir yang membuat ibunya tersenyum, Fatima tidak yakin. Tapi kerutan di dahi wanita itu menghilang dan Fatima bisa melihat sebuah bintang putih yang berkilauan layaknya gading muncul, bekas luka ketika ayahnya memukul wanita itu dengan gagang sapu.

Itu adalah satu-satunya kenangan yang diingat Fatima akan Yasmin. Saking indahnya, kadang Fatima tidak yakin bahwa hal itu benar-benar terjadi. Mungkin semua itu hanyalah sebagian dari khayalannya.
 

Lagi pula, jika dipikir-pikir, mana mungkin Saheer mengijinkan istrinya yang bodoh piknik berdua di gurun pasir dengan anaknya yang sama bodohnya.

***

***
 

"Di sini kau rupanya, Fatima."

Sebuah suara mengagetkan Fatima dari lamunannya. Kepala gadis berusia tujuh tahun itu mendongak kaget.

Ini adalah hari pertama sekolahnya dan ia sedang bersembunyi dari gurunya di dalam gudang sekolahan, tangan mendekap lutut di antara gulungan-gulungan kertas, bermimpi ia adalah seekor ikan, berenang di dalam air dingin yang gelap sebelum melompat ke permukaan untuk menangkap sinar matahari yang keperakan.

Ombak di sekitarnya menghilang dan berubah kembali menjadi alat-alat tulis.

Fatima melihat seorang bocah laki-laki berdiri di depannya.  Hossein al-Hassan. 
 

Ayah Hossein, Abu Ali al-Hassan bin Sina atau yang kerap dipanggil, Ibn Sina adalah tetangga Saheer dan juga pria yang di hormati di kota mereka, seseorang yang bijaksana dan cerdas. Banyak dari penduduk kota mendaftarkan anak-anak mereka untuk menimba ilmu di sekolah yang didirikan pria itu secara gratis. 
 

Meski seumuran dengan Fatima, tapi Hossein memiliki tubuh yang lebih pendek. Dengan pipi bulat merah oleh masa kanak-kanak yang bahagia, Hossein memiliki wajah seserius seorang pria tua.

Hossein terlihat mempelajari wajah Fatima, seketika membuat gadis merasa bersalah karena ia tidak seharusnya berada di situ.

"Ayahku mencarimu sejak tadi, kau tahu?" Hossein bertanya. Suara Hossein terdengar datar dan tanpa ekspresi. "Kau terlambat masuk kelas."

Wajah Fatima memerah. Di balik rasa bersalah, kemarahan gadis itu perlahan naik ke permukaan.

"Dan ia menyuruhmu mencariku?" Fatima ingin membuat bocah itu merasa malu karena sudah mencampuri urusannya.

"Tidak, ia tidak memintaku untuk mencarimu. Aku ke sini karena aku perlu merapikan gudang." Suara Hossein terdengar dingin, tapi Fatima bisa melihat rahang pemuda itu mengerat meskipun hanya sekilas. "Apakah kau sakit?"

Fatima tidak menjawab. Hossein kembali mengamati wajah gadis itu.

"Kudengar ayahku hendak melaporkan keterlambatanmu kepada ayahmu nanti," bocah itu berkata.

Mereka berdua tahu apa arti dari ucapan Hossein. Semua orang tahu jika Saheer adalah pria yang galak. Jika ayah Hossein benar-benar melapor, Fatima sudah pasti akan dihukum. Ayahnya mungkin akan melecutnya atau lebih parahnya, mengurungnya di kamar berhari-hari tanpa boleh bermain keluar. Fatima mulai merasa takut sekarang.

"Kau tidak sakit," Hossein berkata.

"Tidak," Fatima membalas, kaku.

"Jadi apa alasanmu kalau begitu?"

"Apa?" Fatima yang sedang panik tidak memahami pertanyaan Hossein.

"Alasan mengapa kau tidak berada di kelas sekarang." Suara pemuda itu sabar. "Jika kau tidak ingin ayahku melapor, kau harus punya alasan yang masuk akal. Jadi apa yang akan kau katakan?"

"Entahlah. Aku tidak tahu."

"Kau harus pikirkan sesuatu."

Kegigihan Hossein membuat ketakutan Fatima berubah menjadi kemarahan.

"Kau saja yang pikirkan sesuatu." Fatima kehilangan kesabaran. "Mawlawi adalah ayahmu, bukan?"

Bentakan Fatima mengagetkan Hossein. Bocah itu memiringkan kepalanya sedikit, layaknya seekor burung yang penasaran. "Jadi?"

"Jadi bicaralah dengannya. Bilang pada ayahmu bahwa kau memintaku untuk membantumu. Ia pasti akan paham." Meski tidak yakin, Fatima mengatakannya dengan penuh percaya diri. Fatima bertekad untuk membuat Hossein menurutinya.

Sebuah kerutan muncul di dahi Hossein.

"Kau ingin aku berbohong?" Hossein bertanya.

"Ya."

"Aku tidak suka berbohong."

Kepolosan bocah itu membuat Fatima mulai merasa frustasi.

"Baiklah, adakah yang bisa kubantu kalau begitu?" Fatima bertanya. "Dengan begitu kau tidak perlu berbohong kepada ayahmu."

Hossein berpikir sejenak. Kemudian sesuatu berubah di wajah bocah itu. Sebuah keputusan.

Hossein meraih sapu yang ada di pinggir ruangan dan menyerahkannya kepada Fatima.

"Untuk apa ini?" Fatima bertanya sambil menatap sapu di tangan Hossein.

"Seperti yang kau katakan," Hossein berkata dengan suara datar. "Kau bilang kau akan membantuku, kan? Aku perlu membersihkan gudang ini."

"Sekarang?"

"Ya. Mengapa tidak." Hossein mengamati Fatima dengan pandangan penasaran.

Mengapa tidak? Sambil menggeram Fatima berdiri dan menyambar sapu dari tangan Hossein.

Ketika mereka akhirnya selesai membereskan gudang, Hossein mengusap rambutnya ke belakang dan menoleh ke arah Fatima.

"Baiklah, kita kembali ke kelas sekarang."

Fatima tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya, jadi ia hanya mengangguk dan mengikuti Hossein berjalan keluar dari gudang melewati lorong bangunan berdinding batu menuju ke kelas mereka.

Guru mereka, Ibn Sani sudah memulai pelajaran ketika keduanya masuk. Mengabaikan pandangan murid di dalam kelas, Hossein menghampiri ayahnya dan meraih tangan pria itu untuk dicium.

"Mawlawi, aku perlu meminta maaf padamu."

"Oh?" Ibn Sina menaikkan alisnya. "Bicaralah."

Dari tempat Fatima berdiri wajah pria itu terlihat dingin dan tegas. Fatima seketika kembali ketakutan.

"Aku sudah membuat Fatima terlambat."

Sang guru menoleh ke arah Fatima. "Ah, ya. Putri Saheer."

"Ya. Tapi bukan salahnya ia terlambat. Aku lupa memberitahumu bahwa aku meminta bantuannya untuk merapikan gudang."

Detak jantung Fatima berada di tenggorokan sekarang. Ia sedang menunggu kemarahan dari Sang Guru. Tapi pria itu hanya menatap wajah putranya dengan pandangan penasaran sebelum kemudian beralih kepada Fatima dan mengangguk.

"Baiklah kalau begitu. Lain kali beritahu aku jika kau hendak membuat seseorang terlambat, Hossein. Sekarang, duduk kalian berdua. Aku ingin melanjutkan pelajaran."

"Ya, Mawlawi."

Begitu Hossein dan Fatima mendudukkan diri di antara murid yang lain, Ibn Sani melanjutkan pelajarannya. 
 

Entah berapa lama Fatima berada di dalam ruang kelas, ia tidak memperhatikan. Fatima bahkan tidak mendengarkan apa saja yang diajarkan oleh Ibn Sani hari itu, benaknya tidak bisa berhenti memikirkan tentang bocah yang duduk di sebelahnya, bertanya-tanya mengapa Hossein bersikap baik kepadanya.
 

Ketika jam istirahat tiba, Fatima berbaris bersama murid yang lain untuk mendapatkan makan siang. 
 

Ruang makan di sekolah mereka berada di luar dan terbuka. Cukup besar untuk menampung puluhan murid yang ada di sana. Menu hari itu simpel tapi banyak. Kari kacang merah dan roti tebal yang dioles dengan keju berempah.

Murid-murid di sekolah Ibn Sani berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak saudagar kaya hingga anak pedagang pasar. Semua terlihat berbaur menjadi satu di tempat itu. 
 

Fatima memilih meja paling ujung yang kosong dan meraih roti yang ada di piring. Remahannya yang terasa kasar melawan jemarinya membuat nafsu makannya lenyap. 
 

Fatima mendorong piringnya menjauh dan menoleh ke meja sebelah. Ia melihat Hossein dan beberapa temannya bercakap-cakap tentang permainan dadu yang sering mereka mainkan ketika jam istirahat.

Di tengah percakapan, Hossein berdiri dan meraih mangkuk berisi buah ara yang ada di atas meja. Bocah itu meraih beberapa dan dengan lemparan tangannya, Hossein melambungkan buah itu satu persatu ke udara sebelum menangkapnya kembali. 
 

Hossein menambahkan satu lagi, lalu satu lagi, hingga kini ada empat buah beterbangan membentuk lingkaran.
 

Anak-anak yang ada di meja Hossein bersorak dan bertepuk tangan. Lagi! Lagi!

Semakin banyak buah melayang, semakin cepat lingkaran berputar  hingga terlihat seakan tidak menyentuh tangan terampil bocah itu. Semakin nyaring pula teriakan anak-anak yang ada di ruang makan. 
 

Pandangan mata Hossein yang tadinya mengikuti pergerakan buah ara mendadak beralih ke arah Fatima. Gadis itu tidak sempat mengalihkan pandangannya sebelum Hossein berkata, "Tangkap."

Satu buah ara meluncur keluar dari pola lingkaran di tangan Hossein dan terlempar ke arah Fatima. Buah itu terjatuh tepat ke dalam telapak tangan Fatima dengan anggunnya dan suara teriakan kembali terdengar. 
 

Satu persatu, Hossein menangkap buah ara yang dimainkannya dan mengembalikannya ke mangkuk kecuali yang terakhir, yang digigit dan di makannya.

Tanpa berpikir, Fatima melakukan hal yang sama dengan buah yang dilemparkan oleh Hossein kepadanya. Jusnya yang manis menyembur ke dalam mulut Fatima, memenuhi lidah gadis itu dengan dagingnya yang lembut. Seketika Fatima menyukai buah ara.
 

***

***

 

Chapter 2. Hossein al-Hassan

Pertemanan Fatima dan Hossein datang layaknya air bah setelah itu.

Sebelumnya, Fatima melihat Hossein sebagai anak yang serius dan kaku. Tapi Kini Fatima sadar bahwa dibalik penampilan Hossein yang tenang, ada wajah lain yang penuh dengan kekonyolan. 
 

Hossein senang ketika bisa membuat orang lain tertawa. Entah berapa kali anak laki-laki itu berusaha menangkap benda dengan mata tertutup saat istirahat, atau bertaruh bisa melompati meja dan kursi dengan teman-temannya. Dan ketika melihat Hossein tertawa dengan matanya yang menyipit, mau tidak mau Fatima juga jadi ingin ikut tertawa.

Hossein layaknya sebuah api di padang pasir, memanggil semua ngengat untuk berkumpul ketika menyala. 
 

Tapi di antara permainan Hossein dengan teman-temannya, ia selalu duduk bersama Fatima ketika jam makan. Hossein akan menceritakan kebiasaan-kebiasaannya di rumah. Kedua adik laki-lakinya yang nakal. Ayahnya yang  tegas tapi selalu bersikap adil. Ibunya yang pandai memasak dan penuh kasih sayang.
 

Awalnya Fatima hanya mendengarkan, tapi lama kelamaan lidah gadis itu mulai mencair dan Fatima pun mulai membuka diri. Ia bercerita tentang ayahnya, bagaimana pemarahnya pria itu. Ia bercerita tentang kedua adiknya, Shahira yang sering iri dan Khallid yang mengikutinya ke mana-mana. Ia bercerita tentang ibu kandung dan ibu tirinya. Ia bahkan menceritakan tentang apa saja yang dibayangkannya ketika melamun di antara pelajaran kelas. Cerita-cerita yang dikarangnya dan petualangan yang dialaminya di dalam kepala.
 

Awalnya Fatima mengira Hossein akan mengejek dan menganggapnya aneh, seperti yang dilakukan ayahnya. Tapi Hossein tidak melakukannya. Hingga suatu kali, Fatima akhirnya menanyakan pertanyaan yang sejak lama ingin ditanyakannya.

"Mengapa kau memilih berteman denganku?"

"Maksudnya?" Hossein balik bertanya dengan kepala memiring.

"Ada banyak murid di sekolah ini yang bersedia menjadi temanmu. Mengapa kau memilih untuk duduk denganku setiap makan siang?"

"Entahlah." Hossein mengedikkan bahu. "Kau tidak seperti dugaanku. Kau menarik."

"Menarik?"

"Ya." Hossein tidak menjelaskan lebih jauh meskipun Fatima berharap.

Fatima mengerutkan bibirnya. Jika ada orang yang menganggap ia menarik, maka Hossein adalah satu-satunya. 
 

Berada di sekolah itu selama beberapa bulan, Fatima selalu kesulitan mengikuti pelajaran. Ibn Sani bahkan berkali-kali harus memberinya pelajaran tambahan agar tidak tertinggal semakin jauh. Penampilannya tentunya juga tidak bisa dibilang menarik. Di antara teman sebayanya ia paling tinggi. Kadang ia membungkukkan punggungnya hanya agar tidak terlihat terlalu mencolok. Apa yang dilakukan Fatima tidak berhasil tentunya. Teman-temannya kini malah memanggilnya 'Gadis Bungkuk'.
 

"Aku hanyalah gadis jelek yang bodoh, Hossein. Berteman denganku hanya akan membuat reputasimu jelek."

"Kau tidak bodoh," Hossein menjawab. "Dan reputasiku tidak akan terpengaruh hanya karena aku berteman denganmu."

Cara Hossein mengatakannya tidak terdengar angkuh atau sombong. Hanya jujur. Perlahan, Fatima akhirnya berhenti bertanya-tanya dan mencari ekor scorpion dari apa yang dilakukan Hossein. 
 

Hossein berkata apa yang ada dalam benaknya dan heran ketika orang lain melakukan kebalikannya. Orang kadang menyamakan kepolosan bocah itu dengan kenaifan, tapi justru itulah yang membuat Hossein berbeda dengan kebanyakan.

Kadang di hari libur, Hossein mengajak Fatima bermain ke luar rumah. Kadang mereka jalan-jalan ke pasar yang ramai, kadang mereka duduk-duduk di bawah pohon palem sambil mengamati orang yang berlalu lalang.

Fatima akan menciptakan permainan untuk dimainkan bersama.

"Tebak apa yang aku lihat," ia akan bertanya.

Burung elang yang sedang lewat di atas kepala.

Salah satu tetangga mereka yang bermata juling.

Pedagang makanan yang sedang lewat.

Tidak ada kata bosan ketika Fatima bersama dengan Hossein.
 

***

Fatima duduk di lorong rumahnya suatu hari. Di tangannya terdapat sebuah buku, sebuah hadiah ulang tahunnya yang ke sebelas. Bukan dari ayahnya, pria itu tidak pernah memberinya apa-apa. Bukan juga dari ibu tirinya, wanita itu tidak pernah menganggapnya ada.

Hossein yang memberikan buku itu kepada Fatima.

Benda itu sangat indah di mata Fatima, berjilid dari kulit yang di cat dengan warna ungu dan halus ketika dipegang. Di sampulnya tertulis 1001 Malam.

Baru saja Fatima membuka sampul buku itu, Shahira muncul. Adik tirinya itu kini berusia enam tahun. Tinggi untuk anak seusianya dan cantik. Mata lebar Shahira membesar melihat buku di tangan Fatma. Gadis itu menjulurkan tangannya.

"Sini lihat."

"Tidak."

Fatima tidak ingin Shahira merebut bukunya. Adik tirinya itu memang kerap iri dengan benda apapun yang dimiliki Fatima dan sering bersikap semena-mena. Shahira melakukannya karena ia tahu ayah mereka pasti akan membela.

"Aku ingin buku itu." Shahira bahkan tidak perlu mengancam Fatma.

"Tidak."

Shahira melangkah maju. "Berikan padaku."

"Buku ini milikku," Fatima membalas dengan gigi mengerat layaknya seekor kucing yang mempertahankan teritorinya.

Shahira ingin meraih buku itu, tapi Fatima berdiri dan mendorong. Shahira yang lebih pendek terhuyung ke belakang dan semakin marah.

"Hei! Beraninya kau mendorongku," Shahira menjerit ke arah kakak tirinya dan menyerang maju dengan wajah merah.

Secara refleks, Fatima melompat mundur.

Shahira tersenyum mengejek melihatnya.

"Ck! Dasar penakut."

"Aku tidak takut kepadamu." Suara Fatima melengking tinggi sementara wajahnya memanas.

"Baba mengatakan bahwa kau adalah gadis bodoh." Kata-kata Shahira yang penuh ejekan diucapkan oleh gadis itu sambil menjulurkan lidahnya.

"Tidak mungkin Baba berkata seperti itu," Fatima menyangkal meski ia tahu Saheer sering melakukannya.

Shahira mendekat dan mendelik.

"Apakah kau mengataiku pembohong, Fatima Bodoh Yang Bungkuk?"

Fatima tahu apa yang dilakukan Shahira. Gadis itu sengaja ingin ia menyerang duluan. Fatima sudah bisa membayangkan apa yang dikatakan oleh ayahnya jika ia memulai perkelahian dengan Shahira.

Gadis bodoh! Minta maaf pada Shahira atau aku akan melecutmu!

Fatima mengeratkan rahangnya menahan mulutnya untuk membalas, tapi ketika Shahira menyambar buku di tangannya, Fatima kehilangan kesabaran. Ia mendorong Shahira sekeras mungkin hingga gadis itu terjatuh. Dahi Shahira membentur dinding rumah yang terbuat dari batu.

Shahira meraba kepalanya dan membelalak ketika melihat sedikit darah mengalir keluar.

Sementara Fatima mengamati dengan tenggorokan tercekik, Shahira berdiri dan berlarian sambil menangis dan menjerit.

Matilah ia, Fatima berpikir.

Benar saja, tak lama terdengar suara teriakan Saheer yang memanggilnya.
 

Lemas dan pucat, dengan buku pemberian Hossein erat dalam pelukan, Fatima menatap wajah ayahnya yang marah. Bibir pria itu tertarik ke samping, menampakkan giginya yang kuning.

"Mengapa kau mendorong Shahira, Fatima?" Saheer bertanya dengan wajah merah padam sambil memeluk Shahira yang menangis.

"I-ia yang memulai, Baba. Shahira merebut buku yang diberikan oleh Hossein kepadaku."

"Bohong!" Shahira menyela. Wajah gadis itu penuh air mata. Dahinya yang terbentur masih sudah tidak lagi berdarah tapi masih terlihat memerah. 
 

"Aku hanya ingin meminjam, Baba." Shahira kembali menangis, membuat suaranya menjadi terputus-putus. "T-tapi Fatima tidak mau me-membagi. Me-me-mengapa ia selalu jahat kepadaku, Baba."

Shahira kembali memeluk ayahnya dan menangis tersedu-sendu.

"Berikan buku itu kepada Shahira, Fatima!" Saheer membentak.

"Tapi, Baba—"

Saheer membelalakkan matanya penuh ancaman.

Fatima membeku, tertangkap antara kemarahannya kepada Shahira dan ketakutannya akan ayahnya. Rasa takut pada ayahnya menang. 
 

Sambil menggigit bibirnya sendiri agar tidak menangis, Fatima menyerahkan buku pemberian Hossein kepada adiknya.

Tidak selesai sampai di sana, ayahnya melecut Fatima sepuluh kali karena sudah berani melukai Sang Putri kesayangan.
 

Keesokan paginya di sekolah, dengan pantat panas bekas lecutan dan wajah cemberut, Fatima menceritakan apa yang terjadi kepada Hossein.

"Maaf kau harus mengalami hal tidak adil seperti itu, Fatima," Hossein berkomentar ketika Fatima selesai bercerita.

Kini sama-sama sebelas tahun, meski masih lebih pendek dari Fatima, tapi wajah Hossein tidak lagi terlihat kekanak-kanakan, melainkan penuh dengan kebajikan seperti ayahnya.

"Apakah kau tidak apa-apa?" Hossein bertanya.

"Ya, hanya kesal."

Hossein mengangguk seakan mengerti. "Akupun juga akan kesal jika berada di posisimu."

Fatima ikut mengangguk. Kini keduanya terlihat layaknya dua anak burung yang menggerakkan kepala.

"Lupakan soal buku itu," Hossein berkata setelah beberapa saat kesunyian. "Bagaimana kalau kau membantuku bermain bola?"

"Aku tidak tahu caranya."

"Kau tidak perlu tahu. Aku akan menunjukkan padamu."

Fatima ingin menolak. Ia tidak ahli bermain bola seperti Hossein. Ia tidak ingin terlihat bodoh di depan temannya. Tapi wajah Hossein yang penuh harapan membuat Fatima akhirnya mengangguk.

"Baiklah."

"Berapa yang bisa kau pegang?"

"Entahlah."

Hossein meraih tangan Fatima dan berkata, "Lebarkan telapak tanganmu."

Fatima melakukan permintaan Hossein. Temannya itu melekatkan telapak tangannya ke atas milik Fatima dan mendadak detak jantung Fatima terasa semakin cepat. Kulit Hossein terasa lembut dan berpasir. Jemarinya yang empuk melekat hangat di telapak Fatima.

"Hampir sama lebar. Mungkin akan lebih mudah jika kau mulai dengan dua bola." Hossein meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan enam bola berlapis kulit yang sering digunakannya untuk bermain dan menyerahkan dua kepada Fatima.

"Ketika aku suruh, lempar satu padaku," Hossein berkata. "Apakah kau mengerti?"

Biasanya, Fatima akan jengkel ketika seseorang memberinya perintah. Tapi ketika Hossein yang mengatakannya, kata-kata temannya itu tidak terdengar seperti perintah. Fatima pun mengangguk.

Hossein mulai memutar empat bola di tangannya seperti yang ia lakukan dengan buah ara di ruang makan ketika itu.
 

"Sekarang," Hossein berkata.

Fatima melemparkan satu bola dari tangannya menuju Hossein. Temannya itu menangkap dan dengan mulusnya dan menambahkannya ke dalam putaran bola-bola di tangan.

"Lagi, Fatima," Hossein berkata.

Fatima melemparkan lagi satu bola di tangannya dan seperti sebelumnya, bergabung dengan yang lain dengan mulusnya.

"Kau melakukannya dengan sangat baik, Fatima," Hossein memuji.

Fatima mengernyitkan dahinya bertanya-tanya apakah temannya itu mengejek. Tapi wajah Hossein yang tulus membuat Fatima tersipu malu.

"Tangkap."

Sebuah bola melayang kembali ke arah Fatima.

Fatima menangkap bola yang dilemparkan Hossein dengan mudahnya. Mereka berdua tertawa satu sama lain setiap Hossein meminta atau melemparkan bola ke arah Fatima. Setelah beberapa saat, Hossein berhenti dan mengumpulkan bola-bola itu kembali ke dalam tas.

"Pelajaran sudah mau dimulai, sebaiknya kita masuk sebelum ayah marah," Hossein berkata.

Dengan perasaan ringan, Fatima ikut berdiri dan berjalan mengikuti Hossein. 
 

Bagi Fatima saat itu, tidak ada kata sedih ketika ia bersama Hossein.
 

***

***

 

Chapter 3. Kepergian Hossein

Suatu kali pada malam pergantian tahun, Ibn Sina dan istrinya datang ke rumah Saheer untuk bersilahturahmi.

Sementara orang tua mereka bercakap-cakap di ruang tengah, Fatima dan Hossein yang kini berusia lima belas tahun duduk-duduk di beranda rumah sambil menatap ke arah langit malam yang penuh bintang.

Suara lolongan anjing malam terdengar di kejauhan bercampur dengan suara angin yang sesekali berembus.
 

Hossein memainkan rumbaian ujung keffiyeh yang dikenakannya di leher sementara Fatima mendongak ke atas. Gaun panjangnya yang menjuntai ke bawah, melambai layaknya layar perahu ketika tertiup angin. 
 

Tiba-tiba gadis itu menoleh ke arah Hossein.

"Apa yang akan kau lakukan besok?"

"Entahlah," Hossein mengedikkan bahunya. "Mungkin di rumah. Teman-teman lama ayah dari Kehran datang. Ia ingin aku bertemu dengan mereka."

"Ayahmu pernah tinggal di Kehran?" Fatima bertanya sambil mengamati wajah Hossein. Dalam beberapa tahun, bocah yang dulunya lebih pendek itu kini berubah menjadi tinggi, bahkan lebih tinggi darinya. Fatima tidak perlu membungkukkan jika berhadapan dengan Hossein sekarang. Ia bisa berdiri tegak tanpa perlu terlihat aneh. Dada pemuda itu juga lebih bidang dari yang diingat Fatima. Bahkan suara Hossein terdegar layaknya seorang pria sekarang, siap untuk dunia yang lebih serius.

"Ya. Ia dulu bersekolah di sana. Di sana jugalah ia bertemu dengan ibuku."

"Oh. Begitukah." Fatima menundukkan kepalanya ke bawah. "Kudengar Kehran adalah kota terbesar di Khorasan. Istana Kerajaan berada di Kehran bukan?"

"Ya. Raja Mustafa yang berada di tahta sekarang. Tapi kudengar ia sedang sakit. Jika sampai sesuatu terjadi pada Raja Mustafa, maka tahta akan jatuh pada Pangeran Hafiz. Ayah berharap hal itu tidak terjadi dalam jangka waktu dekat. Kestabilan kerajaan menjadi taruhannya jika sampai Pangeran Hafiz naik tahta sekarang. Ia masih terlalu muda untuk bisa mengambil keputusan yang benar."

"Memangnya berapa umur Pangeran Hafiz?"

"Tidak lebih tua dari kita," Hossein membalas.

Fatima tidak terlalu paham akan hal ini. Di dunianya yang sempit, apa yang terjadi di Kehran terasa jauh dan tidak berarti.

Fatima mencondongkan badannya ke arah Hossein. Tidak sampai bersentuhan, tapi apa yang dilakukan Fatima membawa sebuah sensasi yang akhir-akhir ini sering dirasakannya setiap berada di dekat Hossein. Hampir seperti sebuah kepakan sayap di dada yang kemudian membuat wajahnya terasa panas.

Ia bertanya-tanya apakah Hossein merasakan hal yang sama dengannya. Fatima ingin mencondongkan tubuhnya lebih dekat, hanya hingga lengan mereka bergesekan. Hanya untuk menyentuh.

Tapi detik itu juga, angin berembus dengan kerasnya dan membawa serpihan pasir beterbangan ke mana-mana.

Hossein langsung berdiri dari tempat duduknya dan meraih keffiyeh yang dikenakannya di leher. Pemuda itu membuka kain lebar itu dan menutupkannya ke wajah Fatima agar tidak terkena pasir, bersamaan dengan berdirinya Fatima.

Tanpa sengaja badan mereka beradu. Mereka berhenti membeku sejenak sebelum kemudian tertawa canggung. Ketika keduanya berhenti tertawa, Hossein meraih pundak Fatima. Ia terlihat ragu, tapi kemudian mendekatkan bibirnya dan mencium bibir Fatima.

Sama-sama tidak mengerti tentang berciuman, keduanya menahan kepala dan bibir mereka dengan kaku. Ketika Hossein akhirnya memundurkan kepalanya dan mereka menatap satu sama lain, Fatima bisa merasakan jantungnya terasa hendak meledak.

Dari semua yang pernah dirasakan Fatima, apa yang dirasakannya sekarang membuat gadis itu merasa hidup.

"Apakah aku kekasihmu sekarang?" Fatima bertanya.

Hossein tersenyum. "Apakah kau ingin menjadi kekasihku?"

"Ya."

"Kau mungkin masih terlalu muda," Hossein berkata.

"Kita seumuran, jika kau lupa."

"Baiklah kalau begitu."

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Fatima, ia berada di dalam cerita yang tidak ingin ia akhiri.

***

Sayangnya, kedatangan teman-teman Ibn Sani ke Masshad, rupanya membawa alasan lain selain sekedar silahturahmi. Ibn Sani ingin mengirimkan Hossein untuk melanjutkan pendidikan di Kehran. Artinya, Hossein harus meninggalkan Masshad dan Fatima.

Sehari sebelum keberangkatannya ke Kehran, Hossein menemui Fatima di depan rumah.

"Jangan bersedih, Fatima. Aku berjanji akan mengirimimu surat. Pendidikanku juga tidak akan berlangsung lama. Hanya satu tahun lalu aku akan pulang," Hossein berkata dengan suara lembut sementara Fatima duduk termenung.

Akhirnya Fatima menjawab, "Aku tidak mengerti mengapa kau harus pergi? Mengapa kau tidak bisa belajar saja di sini seperti yang lain?"

"Ayah ingin agar aku berguru pada Mawlawi Al-Farabi. Ia adalah ulama di Kehran yang dulu mendidik ayahku. Diterima untuk belajar di bawah naungan Mawlawi Al-Farabi adalah sebuah kehormatan besar, Fatima, aku tentu tidak bisa menolak."

Hossein memainkan sebuah kerikil dengan kakinya dan menendangnya ke jalan. Benda itu menggelinding ke seberang jalan dan baru berhenti ketika menabrak roda gerobak seorang pedagang sayur yang lewat.

Wajah Fatima terasa panas. Jika saja kulitnya tidak gelap, pipinya pasti memerah sekarang. Tangannya terasa berkeringat dan sesuatu yang aneh merayap naik dari perut Fatima. Hampir seperti rasa takut yang memenuhi dan meremas dada gadis itu hingga ia tidak bisa bernapas.

Tidak ingin Hossein melihat matanya yang mulai berair, Fatima mendadak berdiri, mengagetkan seekor kadal yang baru saja muncul keluar dari dalam tanah melompat kembali ke dalam.

"Bagaimana jika mereka menawarkan pekerjaan kepadamu di Kehran? Apa yang akan kau lakukan ketika itu? Apakah kau akan menetap di Kehran?" Fatima bertanya dengan suara serak. Ia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi. Setahun adalah waktu yang lama. Bagaimana jika Hossein melupakannya?

Hossein ikut berdiri sekarang.

"Aku belum tahu apa yang akan kulakukan," Hossein membalas. "Tapi aku akan kembali untukmu, Fatima. Aku berjanji."

Tapi Fatima tidak membalas. Ia membalikkan badannya dan berlari masuk ke dalam rumah.

Ketika Hossein datang lagi keesokan paginya sebelum berangkat, sebagian dari diri Fatima tidak ingin menemui pemuda itu. Tapi Fatima tahu bahwa ia akan menyesal jika tidak melakukannya. Jadi ia keluar.

"Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal," Hossein berkata.

Rambut Hossein yang gelap melayang terembus angin pagi. Fatima tidak bisa menjawab. Tenggorokannya kering, ia tidak yakin ia mampu berbicara tanpa menangis. Jika saja ia bisa memutarbalikkan waktu, ia ingin kembali ke waktu kemarin. Waktu di mana Hossein menciumnya dan ia merasa penuh dengan kehidupan.

"Aku akan merindukanmu," Hossein akhirnya memecah kesunyian. "Setiap hari aku akan memikirkan permainan-permainan kita."

Fatima menundukkan wajahnya. "Kau akan bertemu dengan banyak gadis cantik di Kehran. Kau akan sibuk dengan pelajaranmu dan melupakanku."

"Aku tidak akan melupakanmu, Fatima. Tidak pernah. Kau baik-baiklah di rumah dan tunggu aku kembali, kau dengar? Setahun dan aku akan pulang untukmu. Kita akan merayakan awal tahun bersama-sama di Masshad seperti sekarang."

Fatima menatap kedua kakinya sekarang. Ia sedang membayangkan dirinya seekor semut, merayap naik ke atas sepatu Hossein dan ikut dengan pemuda itu menuju Kehran.

Hossein meraih pundak Fatima dan mencium kening gadis itu untuk jangka waktu yang lama.

"Selamat tinggal, Fatima."

Sesaat, Fatima menatap melewati bahu Hossein sebelum akhirnya mendongak. Sebuah kehampaan yang dikenal gadis itu dengan baik kembali muncul.

"Selamat jalan, Hossein."

Tanpa kalimat lain, Hossein masuk ke dalam kereta dan berangkat. 
 

Sebelum kereta membelok dan menghilang di tikungan, Hossein melongokkan kepalanya keluar dan melambai.

Fatima mengangkat tangannya sendiri ke atas kepala sebelum kemudian menyentuhkannya ke jantung.

***

***
 

Chapter 4. Harapan Bodoh

Mengenakan gaun paling indah yang ia punya, Fatima duduk di depan teras rumah.

Hari ini adalah hari pertama di tahun baru. Hari yang dijanjikan oleh Hossein untuk kembali.

Udara panas mengaburkan sisa-sisa dinginnya pagi. Sesekali Fatima berjalan masuk ke dalam rumah untuk membasuh wajahnya dengan air dari baskom di ruang depan sebelum kembali keluar.

Ia tidak keberatan menunggu. Ia membawa buku tulis bersampul kulit pemberian Hossein yang dikirimnya dari Kehran dan pena yang kini digunakannya untuk menuliskan apa saja yang ada dalam benaknya. 
 

Cinta layaknya butiran pasir di padang gurun, Fatima menulis. Tidak berakhir dan tidak berawal. Bayangkan semua jiwa yang pernah hilang dan kini tinggal di dalamnya. Satu genggam cinta adalah harapan. Sisanya, ketakutan.
 

Fatima berharap bisa menunjukkannya kepada Hossein ketika pemuda itu kembali.

Meski sudah setahun berlalu tanpa melihat Hossein, Fatima tidak bisa melupakan ciuman pertama mereka.

Semua teman sebaya Fatima kebanyakan sudah menikah sekarang, bahkan Shahira menerima lamaran hampir setiap bulannya. Semua ditolak oleh ayah mereka, entah mengapa. Ketika pemuda kota mereka berbaris untuk Shahira, tidak ada satupun yang datang untuk Fatima. Tidak mengapa. Fatima tidak peduli. Toh ia tidak menginginkan siapapun kecuali Hossein. Mungkin ia akan membicarakannya dengan Hossein ketika pemuda itu kembali.

Hari menyeret dalam bentuk menit, lalu jam. Ketika matahari tiba di atas kepala, Fatima memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan membuat makanan sederhana untuknya. Roti, madu, dan segelas susu.

Takut kelewat melihat kepulangan Hossein, Fatima makan dengan terburu-buru dan kembali ke tempatnya berjaga.

Shahira menertawainya ketika melihatnya menunggu.

"Ia sudah melupakanmu, Fatima Bungkuk," gadis itu berkomentar sambil mengibaskan rambutnya ketika lewat. "Hossein-jan paling sudah menemukan wanita Kehran yang jauh lebih cantik dan lebih pandai darimu."

Fatima tidak mengacuhkan. Setelah beberapa saat Shahira yang bosan akhirnya masuk ke dalam rumah.

Napas Fatima mulai sesak oleh udara yang semakin lama semakin panas. Apalagi gaun yang dipakainya berlapis dan berbahan tebal, tapi ia bertahan.

Fatima duduk dengan punggung tegak, tidak bergeming layaknya seekor kadal yang sedang berjemur di bawah teriknya matahari. Matanya menatap jalanan di depan rumahnya yang ramai dengan orang yang berlalu lalang.

Sebentar lagi Hossein akan muncul, ia berkata pada dirinya sendiri. Lalu mereka akan bercerita tentang segala hal seperti dulu. Ia akan kembali merasa hidup dan utuh.

Siang merambat menjadi sore.

Khallid, adik bungsu Fatima yang kini berusia enam tahun pulang dari bermain dan duduk bersama Fatima sejenak. Hingga ibunya memanggil untuk mandi dan Khallid pun masuk ke dalam.

Malam datang. Masih tidak ada kereta. Tidak ada Hossein. Akhirnya lelah dan mengantuk, Fatima masuk ke dalam rumah dan tidur.

Fatima menunggu lagi keesokan harinya. Setiap jam hingga tengah hari, melewati panasnya udara siang, berkeringat hingga sore.

Sebentar lagi Hossein akan muncul, Fatima berpikir. Namun ketika matahari menghilang dan bulan datang, mati jugalah harapan Fatima untuk hari itu.

Hari baru datang lagi, siang hari yang panas lagi. Sebentar lagi. Ejekan dari Shahira lagi. Senja lagi. Malam lagi.

Harapan Fatima perlahan menguap.

Keesokan datang lagi. Mata Fatima yang kecoklatan menatap tanpa bergerak ke ujung jalan dari mana kereta Hossein terakhir menghilang, di mana ia terakhir melihat Hossein melambaikan tangannya.

Meskipun Fatima masih menunggu, tapi ia tidak lagi berharap.

Udara kota Masshad yang pengap terasa layaknya kehidupan dan kematian sekarang, campuran antara harapan dan kekecewaan yang sejak lama menjadi teman Fatima.

Ketika malam kembali datang pada hari ke enam ia menunggu, tidak ada lagi kehidupan dalam diri Fatima.

Burung hantu yang tidur di siang hari muncul dari lubangnya dan bersuara.

Dengan perasaan hampa, Fatima mengamati seekor scorpion keluar dari sarangnya dan berjalan melintasi tanah berpasir tak jauh dari kakinya. Mendadak seekor kadal yang cukup besar muncul entah dari mana dan menggigit setengah badan mahkluk berbisa itu sebelum Sang Scorpion sanggup melawan.

Setengah dari badan hitam tanpa kepala itu menggeliat di atas pasir, mati tapi terlihat seakan masih hidup. Seperti dirinya.

Fatima teringat akan Nasnas, mahkluk dalam kisah dongeng yang pernah di bacanya. Konon dikatakan bahwa Nasnas adalah mahkluk setengah manusia dan setengah djin. Walau terlahir hanya dengan setengah kepala, setengah badan, satu lengan dan satu kaki, tapi dengan sihir Nasnas bisa hidup seperti manusia kebanyakan.

Scorpion itu bukan Nasnas tentu saja. Pelan-pelan mahkluk berbisa itu berhenti bergerak dan mati. Tidak ada sihir yang mampu membawa binatang itu kembali hidup.

Fatima menunggu sejam lagi sebelum akhirnya berdiri dan kembali masuk ke rumah.

Keesokan harinya, dengan remahan harapan yang tersisa, Fatima kembali menunggu di depan rumah. Duduk di tempat yang sama dengan yang ditempatinya beberapa hari, ia mengamati belokan jalan untuk menunggu datangnya bayangan kereta yang membawa Hossein kembali.

Tengah hari, Fatima akhirnya berdiri dan berlari masuk ke dalam kamar, membenamkan wajahnya ke dalam bantal dan menjerit.

"HOSSEIN, HOSSEIN."

Fatima merasakan tarikan itu kembali di dalam dada. Remasan yang dikenalnya dengan baik. Kesepian dan kehampaan.
 

***

Ketika Fatima akhirnya bertanya kepada Ibn Sina, pria itu mengatakan bahwa kesibukan Hossein mencegahnya untuk bisa pulang tahun ini. Hossein mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sekolah tempatnya belajar. Ditambah dengan wafatnya Raja Mustafa dan naiknya Pangeran Hafiz ke singgasana, keadaan di Kehran sedang tidak stabil.

Mungkin tahun depan Hossein akan pulang, begitu Ibn Sina berkata.

Fatima bertanya-tanya mengapa Hossein tidak memberitahunya. Fatima mengirimkan beberapa surat kepada Hossein. Tapi balasan tidak pernah datang. Akhirnya, Fatima memutuskan untuk berhenti.

Kadang awan gelap itu menyingkap. Kadang cahaya matahari mengintip melalui tirai sesaknya keputusasaan. Dan dalam waktu singkat yang tenang, Fatima membiarkan dirinya berharap kembali. Harapan yang bodoh, ia sepertinya tidak pernah belajar dari masa lalu. Karena tahun depan datang lagi dan tetap Hossein tidak juga muncul.

Pada tahun ketiga kepergian Hossein, kekacauan akan apa yang terjadi pada malam pernikahan Raja Hafiz membuat semua orang tegang.

Ibn Sina mengatakan bahwa keadaan di Kehran sedang genting. Semua orang berada di ujung kursinya menghadapi kemarahan Sang Raja.

Semua orang setuju bahwa apa yang dilakukan Sang Ratu tidaklah pantas. Berselingkuh bahkan sebelum pesta berakhir, wanita itu layak mendapatkan hukuman mati. Tapi apa yang dilakukan Raja Hafiz kemudian, memerintahkan pengawalnya untuk mencarikan calon istri baru setiap minggunya hanya agar bisa di eksekusi, juga tidak wajar.

"Sang Raja sudah kehilangan akal sehatnya."

Fatima mendengar percakapan Ibn Sani dan ayahnya suatu malam.

"Pemberontakan dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Hossein dan pemuda yang lain berharap untuk bisa menemui Raja Hafiz untuk menyerukan keluhan rakyat. Sayangnya, sejauh ini mereka masih belum berhasil."

Pada tahun ke empat, Ibn Sina datang lagi ke rumah Fatima.

Dari balik dinding ruang depan, Fatima akhirnya mendengarkan alasan mengapa ayahnya menolak semua lamaran yang datang untuk Shahira. Saheer rupanya sudah menjanjikan Shahira sebagai istri Hossein sejak lama. Kini Shahira sudah cukup umur, Ibn Sina mengatakan harapannya untuk melangsungkan pernikahan kedua putra putri mereka.

Fatima tidak menunggu pembicaraan keduanya selesai sebelum berlari masuk ke dalam kamar.

Tidak ada lagi air mata yang keluar kali ini. Sambil duduk di atas ranjang, Fatima bertanya-tanya apa yang membuat semua orang tidak pernah menginginkannya.

Pertama-tama ayahnya. Teman-temannya. Sekarang, Hossein.

"Mengapa, Hossein, mengapa?" Fatima menggumam sendiri di kamarnya.

Ia mengira bahwa Hossein berbeda. Ia mengira ia bisa mempercayai pria itu.

Hossein berkata bahwa ia akan kembali, berjanji untuk tidak melupakannya.

Palsu. Semua hanya janji palsu, kini Fatima sadar. Orang akan mengatakan apapun untuk bisa lepas dari tanggung jawab. Tidak ada di dunia ini yang bisa diandalkan kecuali dirinya sendiri.

Dari jauh dalam lubuk hatinya, Fatima membuat dirinya sendiri berjanji. Mulai sekarang, ia tidak lagi akan percaya pada siapapun. Ia tidak akan lagi jatuh cinta kepada siapapun.

***

***

 

Chapter 5. Ular Di Taman Bunga 

Pernikahan Shahira dan Hossein diadakan tidak lama setelahnya di rumah Ibn Sani. Itulah pertama kalinya Fatima bertemu lagi dengan Hossein.

Kini sama-sama mendekati dua puluh tahun tahun, Fatima masih terlihat sama. Gadis berkulit gelap dan berambut kasar yang terlalu jangkung untuk terlihat normal di antara wanita yang lain.

Hossein, sementara itu, banyak berubah. Kaki pria itu kini lebih panjang, mata pemuda itu terasa lebih gelap dan penuh pengalaman. Tidak lagi ada sisa-sisa kepolosan di wajah Hossein. Ia sudah tumbuh menjadi seorang pria. Tampan. Dewasa. Tanpa kenaifan seorang anak-anak yang kadang masih terlihat dalam diri Fatima.

Mata Hossein membentuk sebuah ucapan maaf ketika ia menyapa, "Salaam, Fatima."

Pikiran pertama yang melintas dalam benak Fatima adalah kemarahan. Ia ingin menjerit dan berteriak ke arah Hossein. Menuntut penjelasan dari pria itu akan kebohongan dan janji-janjinya. Ia ingin mengumpat dan menyebutkan kata-kata kasar untuk melukai perasaan Hossein, untuk membuat pria itu sadar bagaimana sakit hatinya akan apa yang dilakukan oleh Hossein. Bagi Fatima, Hossein lebih dari cinta pertama. Pria itu adalah temannya, satu-satunya koneksi yang dimilikinya akan sebuah kenormalan. Pria itu adalah lembaran paling penting dari buku yang menceritakan kisah hidupnya. Satu-satunya yang tidak melihatnya sebagai kekecewaan.

Tapi seketika itu juga Fatima sadar bahwa kemarahannya tidak akan membuat Hossein kembali kepadanya. Nasi sudah menjadi bubur. Yang sudah terjadi tidak akan bisa terulang. Hossein menentukan pilihannya untuk hidup dengan Shahira dan ia harus menerima.

Pria itu adalah milik Shahira sekarang. Shahira yang cantik dan selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya.

Jantung Fatima berdetak sangar keras sementara kemarahannya perlahan menguap. Ia memaksakan dirinya untuk membalas sapaan Hossein.

"Salaam, Hossein."

"Bagaimana kabarmu?" Bibir Hossein tertarik menjadi sebuah senyuman lembut.

"Baik," Fatima membalas.

"Lihat dirimu," Hossein melambaikan tangannya ke arah Fatima. "Kau tampak dewasa sekarang. Masih mengarang cerita-cerita?"

"Ya." Tidak ingin berbasa-basi dengan Hossein lebih lama, Fatima berkata dengan cepat. "Selamat atas pernikahanmu, Hossein. Semoga Sang Pencipta memberhati pernikahan kalian."

"Terima kasih, Fatima."

Suara mereka terdengar kaku dan canggung. Sebuah ucapan singkat sebelum Fatima beralih ke Shahira.

Lima belas tahun Shahira adalah gambaran kecantikan seorang wanita yang lengkap. Dengan gaun pengantinnya yang berwarna merah dan rambut yang berkilauan layaknya batu opal, mata cokelat tua yang bersinar layaknya emas ketika terkena sinar lampu, Shahira terlihat sangat cantik dan menawan.

"Selamat, Shahira. Aku turut gembira atas pernikahanmu," Fatima berkata sambil memeluk tubuh adiknya.

Fatima melihat wajah Shahira tersenyum. Terang oleh kebahagiaan.

Hossein kembali ke Kehran begitu acara selesai, membawa Shahira bersamanya. Kembali Fatima sendirian ditemani khayalannya.

Tiga hari setelah acara pernikahan Shahira dan Hossein, Fatima sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Ia memberitahu keluarganya bahwa ia merasa tidak enak badan, dan meski tidak ada seorangpun yang percaya, tapi mereka membiarkan.

Pada hari ke empat, Fatima terbangun dengan semburan matahari di wajahnya yang lengket. Tidak pernah dalam hidupnya ia tidur hingga siang. Ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka perlahan. Ketika Fatima menaikkan kepalanya, ia melihat kepala Khallid muncul.

"Kau sakit, Hamshira?" bocah tiga belas tahun itu bertanya.

Fatima duduk di pinggiran ranjang dengan kepala pening karena terlalu banyak tidur. Sisa air mata yang kering terasa kaku di pipinya.

Khallid membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk. Di tangan bocah itu secangkir susu hangat yang kemudian diserahkannya kepada Fatima.

"Aku bawakan kau minuman."

Fatima meraih gelas dari tangan Khallid sambil tersenyum.

"Terima kasih, Khallid. Aku sudah merasa baikan sekarang," Fatima membalas.

Dengan satu lompatan, Khallid duduk di pinggir matras Fatima.

Beranjak dewasa, Khallid tumbuh menjadi anak yang tampan. Bermata lebar dengan tubuh yang kurus tapi berotot. Hasil dari pelajarannya bermain pedang dan memanah.

Berbeda dengan Hossein yang tidak terlalu mahir dengan senjata, Khallid adalah seorang petarung alami. Fatima yakin Khallid akan tumbuh menjadi seorang pria yang luar biasa. Sebuah kebanggaan lain bagi keluarga selain Shahira.

"Baguslah kalau kau sudah sembuh," Khallid berkata dengan suaranya yang mulai berubah. "Aku rindu cerita-ceritamu, Hamshira. Bisakah kau menemaniku hari ini?"

Fatima meminum susu yang dibawa oleh Khallid dan untuk pertama kalinya setelah pernikahan Hossein, Fatima menemukan dirinya menginjak tanah yang keras.

"Tentu saja, Khallid," Fatima berkata sambil meletakkan gelas ke meja di pinggir ranjang.

Fatima meraih buku di atas meja dan meraih pundak Khallid agar duduk di sebelahnya.

"Apakah kau pernah mendengar cerita tentang Ali Baba?"

Khallid menggeleng dengan bibir tertarik lebar.

"Bersiaplah kalau begitu," Fatima memulai. "Ini adalah cerita tentang seorang pria miskin bernama Ali Baba yang menemukan gua berisi emas milik empat puluh penyamun."

***

***

Seorang wanita dan pria bertemu di dalam ruangan redup istana Khorasan yang berlantai marmer. Ibu dan penasihat Sang Raja.

Lampu minyak yang menyala di atas meja tidak mampu menyinari bayangan di wajah keduanya yang gelap.

"Tidak ada lagi yang bersedia mengajukan diri, Valide," Sang Wazir berkata kepada wanita bertubuh tegap yang berdiri di depannya. "Saya tidak tahu apa lagi yang harus saya lakukan."

Wanita itu tidak menjawab. Wajahnya yang kaku menoleh ke luar jendela. Gaun berwarna biru yang dikenakannya bergerak perlahan tertiup angin dari jendela yang panas dan membawa pasir. Mata gelapnya menatap kegelapan malam, mengingatkannya sudah lama hujan tidak turun. Dikatakan bahwa apa yang dilakukan putranya sudah membuat Sang Pencipta murka. Sebuah kutukan, mereka menghembuskan fitnah.

"Bagaimana dengan uang yang kita tawarkan?" Wanita itu akhirnya membuka suara.

"Mereka tidak lagi tergiur oleh mahar, Valide," Sang Wazir menjawab. "Rakyat mulai resah. Satu perawan setiap minggu selama setahun. Saya tidak tahu berapa lama lagi mereka akan diam dan menerima. Saya yakin, kerusuhan hanya tinggal menunggu waktu."

"Dan kau akan menempatkan lebih banyak prajurit di jalanan kalau begitu. Tangkap para pembuat masalah dan hukum mereka." Balasan ringkas yang diucapkan oleh wanita itu hanya menambah kemuraman lawan bicaranya.

Penasihat raja yang bernama Abu Bakr itu mengerutkan dahinya. Wajahnya yang tua terlihat lelah. Cekungan nampak di bawah bola matanya yang sayu.

"Menghukum mereka?" Sang Penasihat bertanya. "Maafkan kelancangan saya, Valide, tapi bagaimana cara menghukum orang tua yang kehilangan anak perempuan mereka? Bagaimana cara menghukum rakyat yang ketakutan?"

Wajah wanita itu mengeras.

"Tugasmu adalah melindungi Rajamu—"

"Rakyat mengatakan bahwa ia sudah kehilangan kewarasannya."

"Mereka mengatakan hal seperti itu karena hasutan," wanita itu mendesis penuh kemarahan layaknya suara desiran pasir di padang gurun.

Abu Bakr bisa merasakan tenggorokannya kering dan ia tidak bisa bernapas.

"Kau tahu hal itu lebih baik dari yang lain, Wazir. Kau sudah bersamaku sejak lama." Mata wanita itu segelap malam di sekeliling mereka sekarang.

Abu Bakr mengangguk. "Tentu saja. Tapi, Valide, keadaan sudah berubah sekarang. Musuh-musuh Shahanshah sudah lenyap."
 

Sang Valide tertawa di dalam ruangan kosong itu. "Mereka belum lenyap. Mereka hanya bersembunyi karena takut. Tugasku untuk memastikan mereka tetap bersembunyi. Naikkan mahar dan carikan Shāhanshāh seseorang sebelum minggu ini berakhir. Apakah kau mengerti?"

Perlahan, pria itu mengangguk. "Saya mengerti, Valide. Tentu saja."

"Bagus." Wanita itu mengangguk. "Pergi dan lakukan tugasmu. Semoga Sang Pencipta bersamamu."

Sementara itu jauh di dalam istana berbatu marmer itu, seorang raja muda duduk sendirian di atas ranjangnya. Tangannya yang basah menggenggam sebuah belati bergagang gading.

Satu-satunya cahaya yang ada di dalam ruangan itu berasal dari lampu minyak yang ada di balik punggungnya. Sebuah cahaya yang menimpa kegelapan.

Darah yang tadinya terasa hangat kini berubah menjadi dingin di tangan Sang Raja. Anyir. Licin.

Dipalingkannya wajahnya dari wanita yang kini tidak bernyawa.

Mereka semua sama, pikirnya. Wanita pembohong yang akan mengatakan apapun untuk bisa menyelamatkan nyawanya. Ular di taman bunganya. Mereka semua layak untuk mati.

 

to be continue…

***

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya **FREE** Fatima and The Mad King Ch6-10
27
11
Daftar isi:6. Sampai Jumpa, Khallid7. Istana Raja8. Raja Dari Segala Raja9. Malam Pertama10. Raja Abhasid Dan Peri 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan