My Tinder Dating: My Cruel Revenge (Chapter 3)

0
0
Deskripsi

First Meeting Mike dengan salah satu Tinder Match-nya.

*

Mike, seorang single kronis yang terluka karena selalu ditolak wanita. Mencoba aplikasi Tinder dan malah dikecewakan oleh para matches-nya karena fisik gemuk dan kemiskinannya.  Mike berusaha mengubah dirinya:  Kaya dan bertubuh gagah.  Motivasinya balas dendam. Dia bertekad membalas wanita-wanita Tinder yang pernah menyakitinya dengan kejam.

Chapter 3.  Pertemuan Pertama Dengan Rachma.

                “Hi..” aku memulai chatku dengan Tya, Tinder match pertama dalam sejarah hidupku.  Aku melihat HPku beberapa menit, sampai bahuku ditepuk Rico.

                “kok bengong?” tanya Rico.

                “pasti lagi nungguin balasan. Haha” ledek Rina tunjek poin banget.

                “kok ga dibalas ya Rin?” 

                “Sabar Mike. Kan dia punya matches banyak, ga kayak kamu Cuma nungguin dia. Hahaa” 

                “Kesempatan ya Rin nge-bully aku” 

                “Bukan nge-bully lah kalau gitu sih. Situ aja yang..” 

                “Situ aja yang ga peka kalau aku lagi becanda.” Aku memotong ucapan Rini.

                “Eh, yang becanda Rina atau Mike?” Rico pasang tampang bego.

                “Eh dibalas nih!” kataku bersemangat membaca balasan Tya.

                “Cantik ga Mike?” tanya Rico ikut semangat.

                “Ga ada foto muka-nya. Adanya foto segelas kopi dan beberapa foto suasana kafe gitu.”

                “oh pecinta kopi. Coba tanyainlah suka arabica atau robusta.” Saran Rico.

                                

Mike: “Salam kenal Tya. Suka robusta atau arabica?”

                                Tya: “Salken juga Mike. Arabica nih, kamu suka kopi juga?”

                                Mike: “Ya lumayan doang, tapi ga bisa bedain banget. Amatir haha..”

                                Tya: “Aku juga ga jago banget kok. Hihi..”

                

                Hmm, chat-ku dengan Tya terasa menyenangkan. Seperti apa ya wajahnya? Tuh kan, dasar aku nih. Selalu wajah dulu yang aku pikirkan.  Rina bener banget!  Tapi senang juga sih akhirnya malam ini terasa berguna banget.  Aku jadi bisa menyadari salah satu sifatku, plus aku bisa berteman dengan Tya.  Ya semoga Tinder ini bisa jadi solusi buat kejombloan kronisku hahai..

                Sejak malam itu, aku jadi rajin buka Tinder.  Setelah seminggu, Matches-ku bertambah menjadi 3 orang: Tya, Vivi, dan Rachma.  Tya masih kuliah semester akhir katanya, tapi belum mau ngaku kuliah apa dan dimana. Vivi udah kerja tapi juga belum ngaku kerja apa. Cuma Rahma yang lumayan terbuka. Dia kerja admin di salah satu kantor developer.  Aku sendiri juga belum terbuka banget dengan mereka. Aku cuma kasih tahu sekilas saja tentang pekerjaanku dan hari-hari chat kami lebih banyak kami pakai untuk becanda hal-hal receh. Siapa tahu receh dikumpulin jadi banyak juga kan. Ya gitu, aku ikuti saran Rina, mau jadi pria yang humoris supaya mereka nyaman denganku.

                Setelah dua minggu, obrolan kami mulai mengarah kepada pertemuan.  Terutama dengan Rachma dan Tya.  Tapi aku belum tahu wajah mereka dan itu bener-bener ngelatih kesabaranku, karena mereka selalu menolak. Aku ingat pesan Rico dan Rina, jangan buru-buru, jangan maksain keinginanmu. Kalau Vivi, ni orang timbul tenggelam. Kadang merespon cepat, kadang bak ditelan bumi, menghilang 1-2 hari.  Oh ya, matches-ku bertambah dua lagi, Tinder Id-nya overjoyed- dan menolak memberitahu nama aslinya.  Si Overjoyed ini benar-benar sibuk atau tidak tertarik padaku karena balasnya lama dan singkat-singkat.  Ada satu lagi si Melly, cuma agak aneh karena belum apa-apa udah ngeluh-ngeluh belum bayar kost lah, kelaperan lah. Karena kasihan aku pernah mau mengiriminya makanan, tapi dia menolak memberitahuku alamat kostnya. Aneh kan? Ya sudahlah.

                Setelah hampir tiga minggu berlalu, aku mulai lebih gencar minta foto mereka dan malah Rachma yang akhirnya minta nomor WA-ku. Wah senang banget akhirnya bisa chat di WA.  Rachma mengirim fotonya dan ternyata dia manis banget! 

Tya juga akhirnya mau chat aku di WA tapi tetep belum mau kirim fotonya. Bener-bener dah, sengaja banget bikin orang penasaran. 

Vivi minta nomor WA-ku tapi setelah kuberi malah menghilang lagi. Si Overjoyed apalagi, benar-benar no response.  Rico dan Rina bilang unmatch saja, tapi aku pilih biarin. 

Melly masih sama. Mengeluh dan menolak kirimanku. Malah bilang transfer saja. Lah, aku ga tahu dia siapa, wajahnya seperti apa, alamatnya dimana, jadi curiga kan.  Mau unmatch si Melly sih, ga nyaman banget, tapi entah kenapa kubiarin dulu.

                Mike: “Rachma, ngopi yuk?”

                Rachma: “Kapan n dimana?”

                Mike: “Besok malam yuk, Starbuck deh atau terserah kamu mau dimana?”

                Rachma: “Boleh deh, jam 8 ya.”

First Meeting With Rachma.

                Aku nyampe duluan di Starbuck sekitar 19.30 karena terlalu semangat haha. Di pikiranku dipenuhi pesan-pesan dari Rina:

                Satu, cowok yang maju bayarin.  Kalau dia minta split bills, tetep cowok harus bayarin. Kecuali dia maksa banget, baru gapapa split bills.

                Dua, mata jangan jelalatan ke payudaranya. 

                Tiga, mata jangan beredar ngeliatin cewe-cewe lain di kafe.

                Empat, fokus ke dia. Jangan main HP sendiri.

                Lima, jadi diri sendiri. Jujur aja, tapi ga semua juga harus diceritain.

                Jam 20.00 pas, aku mulai tegang. First meeting lah, harap maklum. Gimana kalau mataku ga sengaja melihat ke payudaranya atau reflek ngeliat ke cewe lain?  Gimana kalau aku kehabisan topik pembicaraan?  Aku sebegitu tegangnya sampai buka lagi dompetku dan memastikan uangku aman dan kira-kira cukup. 

                Jam 20.10, untuk keseribu kalinya kubuka HP-ku dan belum ada chat dari Rachma, padahal aku sudah memberi kabar dari jam 19.55 tadi kalau aku sudah sampai.  Pikiranku jadi kuatir, gimana kalau Rachma batal datang?  Mataku sejak tadi terpusat ke pintu masuk Kafe. Satu persatu pengunjung Kafe datang dan pergi dan tidak satupun yang mirip Rachma.

                “Mike?” tiba-tiba seorang wanita duduk di depanku. Tangannya terulur mengajakku bersalaman.

                “Lho, Rachma? Sejak kapan kamu masuknya?” aku benar-benar ga lihat dia masuk ke Kafe. Tanganku menyambut tangannya. Senyumnya, wugh, tiga sendok gula.

                “Barusan dong. Sori ya telat.” Kata Rachma. Penampilannya casual modis dengan celana jeans biru dan kaos hitam.

                “Oh gpp. Mau pesan apa? Yuk!” 

Semua sejauh ini sesuai rencana dan saran-saran dari Rina. Kami mulai asik ngobrol tentang kenapa dia swiped right aku.

“Kebanyakan pasang foto palsu atau ga ada fotonya sih Mike. Jadi aku tertarik kamu pasang fotomu dan kelihatannya kamu baik orangnya.”

Wah, aku harus berterima kasih berkali-kali ke Rina nih.

“Trus kenapa kamu swiped right aku, Mike? Kan aku ga ada pasang foto?” 

“Haha, aku geser kanan semuanya sih.”

“Hah? Dasar kamu ya! Haha..” tawa Rachma sekilas membuatnya menjadi mirip penyanyi Raisa.

“Boleh nanya ga Mike, kamu kerjanya apa dan gimana sih? Waktu di chat kamu bilang kamu kerja di Production House, tapi kamu belum jelasin.  Janjimu waktu itu kamu akan jelasin kalau kita ketemuan kan?”

                “Boleh dong. Jadi aku kerja di PH yang memproduksi musik karaoke gitu.”

                “Oh, untuk yang nyanyi kalau kita ke tempat karaoke gitu bukan sih, Mike?”

                “Bener. Tapi kadang ada juga perorangan yang pesan untuk kebutuhan manggung.”

                “Trus kamu kerja bagian apa Mike disitu?”

                “Serabutan sih, Rachma.  Yang kerja disitu cuma kami bertiga. Jadi ya semua pekerjaan kami gantian kerjainnya.  Ya bersih-bersih, ya bantuin produksi. Aku bisa main gitar dan keyboard dikit-dikit lah. Trus ya pegang administrasi juga. Ya namanya PH masih kecil sih.”

                “Oh ya? Kirain yang udah gede gitu karena bisa masukin hasil produksi ke studio karaoke gitu.”  Kata Rachma sambil menyesap kopinya.

                “Kami pakai digital musik, jadi ga perlu banyak orang.  Ada temanku si Dio, dia allround tuh, semua dia bisa kerjain sendiri.  Dari bikin aransemen, rekaman semua instrument, editing, mixing, mastering.  Aku belajar banyak dari dia.”

                “Digital musik maksudnya?”

                “Hmm, gini, ga perlu rekaman drum asli, dan ga perlu pemain drum asli. Sound drum-nya bisa pakai software editing dan pemain drumnya ya kami-kami ini, pakai mouse aja bisa.”

                “Wah kayaknya seru, tapi aku ga paham. Hahaha.. Jadi singkatnya, kamu ini musisi ya?”

                “Engga juga sih ya secara aku main musiknya ga jago banget.  Lebih ke music programmer. Tapi bukan programmer yang coding bahasa pemrograman gitu ya.”

                “Ga paham dunia musik aku tuh. Suka sih dengerin lagu, tapi ga paham main alat musik.”

                “Ya bidang orang lain-lain si ya. Kamu sendiri uda lama kerja di developer itu?”

                “Mayan sih, udah tiga tahunan. Kepala admin sih sekarang.”

                “Wah, hebat. Bangun perumahan gitu ya?”

                “Iya proyeknya banyak. Yang penting sih, bosku baik. Gaji lumayan, bonus lumayan. Haha..”

                “Kelihatan kok kamu hepi. Haha..” 

                “Kalau gajimu gimana Mike? Bagus?” tanya Rachma. 

                Boom!! Pertanyaan yang tidak pernah kuduga. Sebuah bom yang meledak tepat di titik kelemahanku.

[End of Chapter 3]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Tinder Dating: My Cruel Revenge (Chapter 4)
1
0
Mike, seorang single kronis yang terluka karena selalu ditolak wanita. Mencoba aplikasi Tinder dan malah dikecewakan oleh para matches-nya karena fisik gemuk dan kemiskinannya.  Mike berusaha mengubah dirinya:  Kaya dan bertubuh gagah.  Motivasinya balas dendam. Dia bertekad membalas wanita-wanita Tinder yang pernah menyakitinya dengan kejam.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan