

Trigger warn!
⚠️ Pannic Attack!
⚠️ Harsh words! (Lil' bit)
Happy Reading! ♡
•
•
•
•
•
•
•
Ingat bagaimana kerusuhan para anggota di tengah proses pengambilan gambar beberapa hari yang lalu?
Itu sama sekali tak berbeda dengan suasana asrama atau dorm tempat mereka tinggal. Meskipun mereka dipisahkan menjadi tiga dorm, itu tak lantas membuat mereka memilih tinggal diam di kamar masing-masing. Mungkin itu berlaku hanya untuk seorang Kim Junkyu dan kegemarannya pada aktivitas memejamkan matanya dan berselancar pada alam bawah sadarnya, alias tidur.
Ya, Suasana dorm saat ini begitu bising, penuh teriakan, candaan, sekaligus tawa dengan musik hip-hop yang diputar oleh Haruto. Park Jeongwoo, Park Jihoon, dan Yoon Jaehyuk tak berhenti berlarian ke sana dan ke mari sambil menggoda anggota yang lain seakan energi mereka tak akan pernah habis akibat terisi kembali melalui kepuasan yang mereka dapatkan dari kegiatan mereka itu. Tentu saja, tak ada seorang pun di ruangan itu yang tak tertawa. Tingkah jenaka para Beagles-line itu tak pernah gagal menggelitik perut mereka.
Park Jihoon yang sejak tiga puluh menit yang lalu tadi tak berhenti menggoda Choi Hyunsuk. Asahi dan Haruto yang tengah melakukan tarian 'aneh' dengan mengikuti ritme lagu hip-hop yang mereka pasang di ruang tamu itu. Mashiho yang tak berhenti mengomel karena beberapa benda-benda yang sebelumnya telah disusunnya secara rapi itu tak berada di tempatnya. Jangan lupakan beberapa sampah berceceran di meja dan di lantai yang tak langsung dikumpulkan menjadi satu untuk dibuang.
Yoshinori dan Bang Yedam yang juga kini turut bergabung bersama Park Jeongwoo dan Yoon Jaehyuk untuk menjahili seorang Kim Junkyu di sudut ruangan yang tengah sibuk memainkan sebuah permainan online di ponselnya. Sedangkan di ujung ruangan, lebih tepatnya dapur yang berada bersebelahan dengan ruang tamu itu, Choi Hyunsuk dan Kim Doyoung terlihat tengah menyiapkan beberapa camilan dan makanan berat untuk semua orang.
Jika boleh menambahkan, Choi Hyunsuk juga turut menyumbang vokal yang menambah kegaduhan akan suara bising di dalam ruangan. Tentu saja itu diakibatkan ulah seorang Park Jihoon yang tak henti-henti membuat kekesalan hadir pada dirinya itu. Sedangkan Kim Doyoung yang melihatnya hanya ikut tertawa tanpa membantu salah satu dari keduanya. Ia cukup menikmati pertunjukan yang satu ini. Apalagi jika kalian mengetahui bagaimana raut yang ditunjukan oleh kakak tertuanya kala kesal itu.
Setelah makanan hampir siap, Choi Hyunsuk mengambil peran dengan berteriak kepada mereka untuk segera merapikan ruang tamu. Itu harus dilakukan agar nyaman untuk pesta kecil mereka. Ya, pesta kecil. Tak ada sesuatu yang khusus sebenarnya. Mereka hanya ingin bersenang-senang. Tentu saja para anggota yang mendengar makanan segera datang pun langsung melaksanakan perintah dari sang leader mereka itu. Tak ada satu hal pun yang mengalahkan makanan. Bahkan Asahi yang masih bertingkah aneh itu juga turut melaksanakan perintah kakak tertua mereka itu.
"Apakah kalian sudah merapikan semuanya?!" Hyunsuk sedikit berteriak dari arah Dapur.
"Nee!!"/" Sudah Hyung!!!" Sahut para anggota dari ruang tengah.
"Baiklah, sekarang Junghwan-ah, Jihoon-ah, Yoshi-ya, bantu aku membawa piring-piring ini dan menatanya di meja!" Titah Choi Hyunsuk, masih dengan suara nyaringnya.
Akhirnya, pesta kecil mereka dimulai. Tak banyak yang bersuara sejak makanan mulai memenuhi mulut mereka, menuntaskan rasa lapar dan dahaga mereka dengan membiarkan sang makanan yang dilumat oleh gigi dan bergulat dengan saliva yang berusaha melarutkan sang makanan.
Tak seorang pun yang ragu-ragu mengambil menu demi menu yang tersaji di hadapan mereka. Semua orang makan dengan begitu lahap.
Semuanya baik-baik saja, hingga salah seorang dari mereka terdiam dan menatap sosok lainnya yang tampak begitu tidak biasa.
Ada satu masalah.
Jadi, mengapa bayi kelinci kecil kita tampak begitu tak bersemangat hari ini?
So Junghwan yang saat itu mendudukan dirinya di samping Kim Doyoung itu pun menyadari suasana hati yang lebih tua. Ia merasakan bahwa Kim Doyoung-nya ini sedikit berbeda dan eerrrr-aneh.
"Doyoung hyung, kau baik-baik saja?", So Junghwan memutuskan untuk memecah keheningan di tengah kesibukan semua orang yang tengah melahap satu per satu makanan di sana. Semua anggota memutar pandangan mereka seketika, mengarahkan indra pengelihatnya untuk tertuju ke arah Kim Doyoung dan So Junghwan.
"Tentu saja aku baik. Apa ada yang salah denganmu?" Tanya Kim Doyoung menanggapi.
"Uh, kau.. tampak sedikit eerrrr- murung hari ini."
"Tidak. Aku tidak."
"Kau yakin, Doyoung-ah?" Kali ini Junkyu yang bertanya.
"Tentu saja, Hyung!"
"Kau bisa mengatakan kepada kami jika kau sedang berada dalam kesulitan, Doyoung-ah. Kami selalu di sini untukmu. Kau tahu itu kan?" Ujar Mashiho.
"Eum! Aku mengerti, Hyung," Jawab Kim Doyoung dengan sebuah anggukan kepala yang menyertai.
"Yah! Yah! Kembali makan makanan kalian dan segera pergi menonton setelah ini!" Seru Choi Hyunsuk yang mengalihkan perhatian semua orang.
"Ya, ya, ya, makananmu tak akan lari, Hyung. Kau tak perlu terburu-buru." Sahut Jihoon.
Di tengah kikikan para anggota atas celetukan seorang Park Jihoon itu, terdengar dering ponsel milik Doyoung di sana.
"Maaf, Hyung. Kurasa aku harus mengangkatnya," Ujar Doyoung dengan mengangkat ponselnya yang masih berdering itu. Tentu saja anggukan yang didapatinya.
Kim Doyoung menatap ponselnya dalam diam, sebelum ia benar-benar menggeser tombol hijau di benda kotak itu dan menerima si panggilan suara itu.
"Yeobose-yo?"
"...."
"Eum. Baiklah, aku segera datang."
"...."
"Ya, aku akan pergi sekarang."
Begitu Kim Doyoung usai dengan kalimat terakhirnya, panggilan tertutup. Tak ingin berlama-lama, pihak di seberang sana lah yang mengakhiri si panggilan.
Kim Doyoung tak bisa berbohong bahwa ia mengenal betul siapa gerangan yang menghubunginya itu. Bagaimana bisa Kim Doyoung tak menghafal atau mengenali suara wanita itu?
Tentu saja itu mustahil.
Wanita yang menghubunginya melalui panggilan suara adalah sang Ibu, Mama Kim. Ia meminta—atau lebih tepatnya adalah memberikan perintah—kepada seorang Kim Doyoung untuk segera pulang dan hadir di kediaman keluarga Kim.
Tak ada yang berubah. Dingin selalu menjadi yang dirasakan Kim Doyoung. Ikatan yang dipertahankannya itu seolah menyekiknya. Sang Ibu yang seharusnya memberikan kehangatan dan memberikan tempat yang paling aman bagi dirinya itu seolah semakin jauh dan tak teraih olehnya.
Jarak yang memisahkan keduanya seolah semakin besar. Tak ada kehangatan yang terpancar dari hubungan ibu dan anak ini. Kim Doyoung benar-benar berusaha untuk menyentuh hari sang Ibu. Namun tindakannya selalu membawa hasil yang sebaliknya. Mama Kim kian menjauh.
Intonasi datar yang digunakan oleh wanita paruh baya itu tak pernah berubah sedikit pun. Namun, nada bicara yang digunakan oleh Mama Kim itu kian mendingin, membuat beku melingkupi bongkahan hati yang membelenggu kerinduan Kim Doyoung atas pelukan hangat sang Ibu.
'Mungkin Mama hanya sedang lelah.' Atau 'Mungkin Mama tidak dalam suasana hati yang baik.'
Kim Doyoung mulai jengah dengan mantra-mantra penenang yang selalu dibisikannya kepada dirinya sendiri itu. Sebuah sugesti yang berusaha meyakinkan diri bahwa segalanya akan berjalan sempurna. Ini hanya sebuah batu kecil yang menjadi sedikit hambatan untuk hubungan mereka.
Tidak masalah, Doyoung akan mampu melewatinya. Atau mungkin tidak?
Hanya Tuhan yang mengetahui ke manakah ujung cerita ini akan bermuara.
"Hyung-deul, Aku harus pulang ke rumah sekarang. Mama memintaku untuk segera datang. Terima kasih untuk makanannya semuanya! Aku pergi," pamit Doyoung yang menegakkan tubuhnya ketika kalimatnya usai disampaikan olehnya.
"Semua baik-baik saja, bukan? Maksudku, tak ada hal buruk yang terjadi, bukan?" Tanya Hyunsuk memastikan. Jika boleh mengatakan lebih, Choi Hyunsuk merasakan setitik kecemasan yang menghampiri untuk kemudian hinggap di sudut hatinya.
"Tentu saja tidak, Hyung. Semuanya baik-baik saja. Terima kasih telah bertanya. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa besok, semuanya!" Seru Kim Doyoung dengan sebuah senyum lembut yang menyertai langkahnya.
Melihat senyum itu, Choi Hyunsuk tak dapat berbohong bahwa lengkungan di bibir adik kesayangannya yang satu ini tampak sedikit palsu. Bukan. Hyunsuk bukan ingin memberikan tuduhan yang tak berdasar. Ikatan mereka lebih kuat daripada apa yang kalian pikirkan. Choi Hyunsuk dapat merasakan sedikit ketidak-nyamanan yang mungkin menemani perasaan pemuda Kim yang telah menghilang di balik pintu bersama dengan tas selempang kecil yang dibawanya itu.
"Tapi, dia hanya makan sedikit, hyung. Mengapa kita membiarkannya pergi?" Seru Haruto yang berhasil menarik kesadaran Hyunsuk kembali pada tubuhnya.
"Jangan khawatir—"
"Sudahlah Ruto-ya, mungkin Doyoungie hyung memiliki beberapa urusan yang mendesak. Kita tak perlu terlalu memikirkannya. Bukankah ia pergi ke rumahnya? Pasti Mama Kim memasakkan sesuatu yang enak juga untuknya, bukan?" Sahut Jeongwoo yang memotong rangkaian kata yang hendak Hyunsuk uraikan itu.
Choi Hyunsuk terdiam. Matanya kembali berkelana dengan kepala yang tertunduk dalam diam. Bibirnya terasa kaku dan lidahnya kelu.
"Tidak.. Tidak pernah sekali pun...", lirihnya dengan suara yang hampir menyerupai sebuah bisikan halus.
"Hyunsuk hyung, kau mengatakan sesuatu?" Tanya Park Jihoon yang duduk di samping si sulung Choi ini.
"Tidak ada. Aku tak mengatakan apa pun," jawabnya.
Ya, Choi Hyunsuk beruntung. Tak ada seorang pun yang mendengar suara pikirannya yang lolos dari kedua belah bibirnya melalui bisikan halus yang tak disengaja itu. Karena jika itu terjadi, entah bagaimana dia akan menghadapi Kim Doyoung nantinya.
¤¤¤¤
Doyoung POV
Sebuah taksi yang kukendarai menghentikan lajunya di depan sebuah rumah megah dengan pagar hitam tinggi yang tertutup. Sebuah helaan napas berat lolos dari kedua belah bibirku. Kutarik diriku untuk segera keluar dari mobil yang berhasil mengantarku dengan selamat itu setelah memberikan beberapa lembar uang kepada si sopir.
Sebuah senyuman kulemparkan pada seorang tetangga yang melewatiku sebelum kubuka pagar di hadapanku dan pergi masuk ke dalam area megah kediaman Kim ini.
Kulangkahkan tungkaiku untuk mendekati pintu ganda di hadapanku. Tanganku bergerak memegang si gagang pintu dan mendorongnya. Kakiku melangkah masuk dan pandanganku disambut oleh beberapa perabotan yang terlihat elegan dengan sentuhan ornamen-ornamen indah nan unik.
Memasuki ruang tengah, terlihat seorang wanita dengan surai hitam sebahu yang memandang diriku dengan tatapan yang terasa menusuk tajam. Sorot dingin begitu jelas kurasakan kehadirannya dari pancaran manik legam si wanita yang merupakan sosok yang kusebut 'Mama' itu.
Apa aku membuat kesalahan?
Tidak. Kurasa, aku tidak melakukan apa pun yang dapat memicu murkanya.
Tak ada ucapan selamat datang atau pun pelukan hangat penuh sarat kerinduan. Segalanya terasa begitu hambar.
Bahkan sekarang aku telah melupakan bagaimana rasanya pelukan mereka yang kalian sebut Ibuku itu.
"Aku pulang," Aku membuka suara.
"Duduklah!" Ujarnya dingin dengan dagunya yang mengisyaratkan diriku agar duduk di sebuah sofa di sana, tepat di hadapan wanita paruh baya itu.
"Jadi, apa ada sesuatu yang sangat penting sampai Mama memanggilku?" Tanyaku setelah menelan ludahku susah payah. Jari-jemariku tak dapat berhenti bergetar. Entah aura gelap yang seperti apa yang menyelimuti hampir seluruh ruangan ini.
Sebuah suara yang jelas kuketahui itu hadir dari Mama. Saat aku mengangkat pandanganku, aku menemukan Mama yang tengah menggeretakkan giginya dengan rahangnya yang mengeras. Jangan lupakan sorot tajam yang kini dibalut dengan api kemarahan itu begitu kentara dari kedua bola matanya.
"Kau tak tahu apa kesalahanmu, huh?!" suaranya mulai meninggi. Kurasa ia benar-benar marah.
Tapi, kenapa?
Apa yang salah?
"Maaf, Ma. Tapi, aku benar-benar tidak mengetahui apa pun," Ujarku pelan dengan kepala yang mulai tertunduk.
Kurasa ujung sepatuku terlihat lebih menarik.
"Kau tak tahu, huh? Kau benar-benar tak tahu?!" Seru Mama yang beranjak dari tempat duduknya.
Aku mengangkat wajahku kala mendengar langkah mendekat. Tentu saja, tak ada seorang pun yang tak mampu mendengar benturan sepatu dengan hak tinggi dan lantai porselen di tengah keheningan ruangan ini.
Aku menatap ke wajah sosok wanita paruh baya di hadapanku itu. Kudapati bagaimana mata Mama yang tengah membulat dan berkaca-kaca penuh amarah. Aku tahu ini tak akan berakhir baik untukku.
*PLAK*
Benar saja. Sebuah tamparan keras dengan bunyi memekakkan kudapati. Kepalaku tertunduk. Mataku tak mampu lagi menatap ke arah rupa cantik Mama. Kudapati tangan Mama yang mulai keriput itu bergetar dengan kepalan yang masih dipertahankannya. Sungguh, Rasa sakit dan panas yang menghampiri pipiku ini sama sekali tak sebanding dengan rasa sakit di hatiku. Sepertinya sudut bibirku sobek dan sedikit berdarah karena gesekan dengan gigiku kala Mama menamparku tadi. Apa yang harus kukatakan pada teman-temanku nanti jika mereka mengetahui luka ini?
"Kau tak tahu kau bilang?! JAWAB AKU KIM DOYOUNG!", Teriak Mama.
Demi Tuhan, aku ingin berteriak dan mengutarakan ketidak-tahuanku mengenai apa masalahnya hingga Mama terlihat begitu luar biasa marah kali ini. Sayangnya, aku tak bisa melakukannya.
Katakanlah aku terlalu lembek. Tapi memang begitu kenyataannya. Aku tak akan mampu meninggikan suaraku jika itu pada Mama.
"Maaf.." lirihku. Hanya satu kata itu yang mampu lolos dari bibirku.
"MAAF?! Karena ulah cerobohmu itu, alergi yang dimiliki oleh hyung-mu itu kambuh, bodoh! Tidakkah kau berpikir dua kali saat memberikan sesuatu untuk dia, huh?! Kau ingin membunuhnya, huh?! Kau pasti berniat membunuhnya kan?! Kau mengetahui betul apa yang tak dapat dikonsumsi oleh Dokyung dan kau masih saja memberikannya!"
Mama mencengkeram daguku begitu erat, memaksaku untuk melakukan kontak mata dengannya. Tentu saja, aku terkejut. Pupilku mengecil dengan getaran di kelopak mataku seiring dengan gerak refleks yang dilakukannya.
'Mama, itu bukan aku. Aku tak pernah memasak atau bahkan memberikan makanan laut sekali pun di rumah kepada Dokyung Hyung,'
Sungguh, Kim Doyoung yang malang. Ingin mengutarakan kalimat pembelaan yang telah hadir dan kueja di otak, tapi pada akhirnya hanya keterdiaman lah yang menjadi jawaban atas tuduhan dari Mama. Ketakutan yang membelengguku membuat suaraku tak mau keluar. Tenggorokanku tercekat. Tubuhku bergetar hebat saat tatapan tajam penuh api kemarahan itu dilayangkan oleh Mama tepat ke dalam manik kecokelatan milikku.
"JAWAB AKU, KIM DOYOUNG! Kenapa kau melakukannya?! Kau bisa saja membunuhnya, kau tahu?!" Teriak Mama yang menghempaskan cengkeramannya.
Sebuah helaan napas dari Mama terdengar sebelum ia menenggak habis segelas air mineral yang tersaji di meja depan sofa itu. Tubuhku membeku.
"Maaf, Ma. Aku ti-
"Berhenti! Aku tak ingin mendengar elakan atau alasan bodoh dan tak masuk akal darimu!", Mama menghentikan ucapanku.
Sungguh, ketidak-beruntungan yang malang. Disaat aku mampu mengendalikan diriku dan membuka mulutku, Mama menghentikanku dan mengabaikanku sepenuhnya dengan berjalan menjauhiku.
"Ma...", Panggilku lirih, berharap Mama mau menghentikan langkahnya sejenak dan meluangkan sedikit waktunya untuk menjawab pertanyaanku barang sebentar saja.
Berhasil. Ia berhenti berjalan tanpa menengok ke arahku.
"Bagaimana keadaan hyungie?" Tanyaku sambil menundukkan kepalaku. Suaraku bergetar hebat kala merasakan tatapan yang sama sekali tak bersahabat.
"Cih! Kau masih berani bertanya seperti itu? Apa kau tidak malu karena kau adalah penyebabnya, huh?!" Mama menjawab dengan sebuah decihan penuh sarat kebencian. Dan Mama benar-benar pergi setelah mengatakan itu.
Tubuhku yang membatu itu tiba-tiba melemas kala Mama telah benar-benar pergi dengan mobilnya. Aku terduduk di sofa lembut ruangan itu.
Aku hanya terdiam dengan pikiran yang menerawang, entah apa yang kupikirkan saat ini. Semuanya begitu buram, bercampur aduk menjadi satu hingga tak mungkin untuk diuraikan. Tatapanku terlihat kosong meskipun tak begitu dengan pikiranku yang terasa penuh.
Air mataku melesak keluar tanpa izin dariku. Tidak, ini tidak benar. Kim Doyoung bukan orang lemah yang akan menangis hanya karena tuduhan tanpa dasar.
Tapi itu semua bohong. Aku tahu bahwa jauh di dalam hatiku, diriku tak mampu menahannya. Jauh di dalam kegelapan sana, aku menangis, meraung dan memaki takdir yang telah tertulis dalam buku kehidupanku.
Dadaku terasa sesak bukan main seiring dengan isakan yang kian terdengar memilukan. Mataku bergerak ke sana dan ke mari, tidak fokus.
Tidak, ini tidak boleh terjadi. Kim Doyoung itu kuat. Kim Doyoung itu sama sekali tidak lemah. Kim Doyoung itu kuat. Ya, aku bisa. Aku dapat mengatasinya.
Dengan tubuh yang luar biasa lemas dan gemetar, aku beranjak dari dudukku dan melangkahkan kaki ke kamarku. Kubuka sebuah laci meja di samping tempat tidurku dan mengambil sebuah kotak dan membukanya.
Begitu menemukan apa yang kucari, kubuka botol itu dan kuambil tiga buah pil dari sana untuk kemudian kutenggak bulat-bulat.
Aku menarik diriku untuk mengambil posisi duduk di ranjang putih milikku.
Ya, itu obat penenang, obat anti-depresan yang beberapa kukonsumsi sejak tiga tahun yang lalu usai menghadiri sesi konsultasi bersama dengan seorang ahli psikiatri.
Obat penenang itu mulai bereaksi. Mataku terasa semakin memberat, pun dengan deru napasku yang mulai kembali teratur, tidak memburu seperti sebelumnya.
Ah, aku baru ingat. Aku memakannya lebih dari dosis yang biasa kutelan.
Tak apa. Hanya satu kali tak akan membunuhmu, bukan?
Aku hanya ingin beristirahat sebentar.
Mataku terpejam bersamaan dengan kristal bening yang menetes dan mengalir membasahi pipiku seiring dengan kesadaranku yang mulai menipis.
Doyoung POV End.
¤¤¤¤
Tbc.
Masih mau lanjut kan ya?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
