
Kulihat Dewi, mantan istriku. Ia tampak cantik dan terawat, tak seperti dulu saat bersamaku. Kuperhatikan dengan teliti, kerudung lebar yang ia kenakan, rupanya tak mampu menutupi perutnya yang membuncit. Badannya pun kini berisi. Mungkinkah ia tengah mengandung? Ah, entahlah. Sepuluh tahun berpisah denganku bukanlah waktu yang sebentar. Aku yakin ia telah menikah dan hidup berbahagia. Syukurlah, aku turut senang melihatnya.
"Aku pulangkan kamu ke rumah orang tuamu. Tak sanggup lama-lama hidup berdua...
Sungguh ... aku tak pernah menyesal telah menceraikan Dewi. Melihat betapa ia bahagia sekarang, itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Senyumnya.
Tawanya.
Binar matanya.
Meski ia melukis itu semua bukan untukku. Tak apa. Aku turut merasakan bahagianya.
Dulu, bertahun-tahun hidup bersamaku. Dengan keadaan ekonomi yang terjepit. Juga tekanan batin yang ia rasakan. Membuat wajah dan tubuhnya tak pernah terurus. Ia juga nyaris depresi. Bukan karena ulahku, namun tekanan sekitar tempat tinggal kami.
Dewi, gadis yang kunikahi karena kesederhanannya. Dengan mahar selembar uang seratus ribu rupiah dan juga cincin emas sebesar satu gram. Ia menerima pinanganku dengan lapang dada.
"Tak apa, Mas. Inshaa Allah Dewi ridho. Karena menikah adalah ibadah. Bukan ajang untuk mendapatkan materi berlimpah. Semoga pernikahan kita langgeng, ya. Sampai kakek nenek dan sampai nanti disatukan dalam surgaNya."
Wajah bersahaja dengan tatapan mata yang teduh milik Dewi menyemangati hariku. Sungguh, aku sangat bersyukur memilikinya.
Selama menikah. Tak sekalipun ia mengeluh atau menuntut. Sedikit banyak gaji yang kuberikan. Ia selalu mengucap syukur dan berterima kasih. Pekerjaanku hanyalah seorang kuli bangunan. Kadang juga mengojek demi menambal sulam kebutuhan. Maklum, aku hanyalah lulusan smp. Almarhum ibu dan bapak tak cukup uang untuk menyekolahkanku.
Aku dan Dewi tidak tinggal di rumah sendiri. Kami menumpang di belakang rumah kakak iparku. Tepatnya, rumah suami kakakku. Hanya sepetak. Berisi satu kamar, dapur, dan kamar mandi. Bukan tak ingin punya rumah sendiri. Jangankan untuk membeli rumah. Untuk sekadar menyewa saja aku tak mampu. Karena pendapatanku hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Miskin sekali.
Berangkat pagi dan pulang selalunya hampir malam adalah ikhtiar yang kumaksimalkan, tapi tetap saja pendapatanku tak cukup untuk sebagian disisihkan. Hingga suatu waktu, di saat kami sedang krisis keuangan. Dewi mengikhlaskan cincin pernikahannya untuk dijual.
"Pakai saja, Mas. Nggak papa. Adek ikhlas."
"Tapi, Dek ...."
"Sudahlah, Mas. Karena kebahagiaan tidak diukur dengan banyaknya materi. Asal kita bisa bersama-sama dan Mas selalu sayang sama Adek. Inshaa Allah Adek ikhlas."
Ah ... aku terharu sekali. Kulihat binar matanya yang indah berkaca-kaca. Rabbi, kenapa sedalam ini rasa cintanya padaku? Untuk memikirkan dirinya sendiri saja tidak. Ia teramat baik dan peduli.
Terkadang, kebaikan yang berlebih dari seseorang membuat hati jadi tak enak sendiri. Dewi adalah istri yang baik dan sangat pengertian.
Semakin ia berbuat baik padaku. Semakin besar pula rasa sayang ini padanya.
Di pernikahan yang menginjak usia satu tahun. Aku dan Dewi semakin menghangat saja. Namun, tidak dengan tahun-tahun setelahnya.
Kuperhatikan Dewi mulai berubah. Pernah beberapa kali kupergoki ia menangis. Membenamkan mukanya di bawah bantal. Tentu saat itu ia tak sadar aku tengah mengintipnya dibalik jendela kamar. Aneh, karena setiap kali bersamaku ia tak pernah seperti itu. Jangankan sembunyi di bawah bantal. Menunjukkan kesedihannya di hadapanku saja tidak.
Atau saat tanpa sengaja aku menemukan begitu banyak benda kecil dengan satu garis berwarna merah di bawah kolong ranjang. Ya, aku ingat itu. Saat pernikahan kami lebih dari dua tahun. Aku menemukan benda yang kini kuketahui bernama test pack itu di kamarku.
Satu kesimpulan kutarik. Selama ini, ia sengaja menyembunyikan kepedihannya seorang diri. Dewi yang malang.
Lalu, semakin hari istriku itu berubah jadi pendiam. Kalau kuajak bicara ia kadang tak nyambung. Meski begitu, senyum di bibirnya tak pernah sekalipun pudar. Oh, Dewi. Maafkan suamimu ini. Kini, aku telah menyesal menikahinya. Bukannya bahagia yang ia kecap dan rasa, tapi duka nestapa seolah tak pernah ada habisnya sejak kami menikah.
"Kamu itu jadi istri gimana, kok masih belum hamil juga."
"Jangan-jangan kamu mandul, Wi."
"Oh, kasihan sekali adikku. Menikahi perempuan berrahim kering. Menghangatkan rahimnya saja tak bisa!"
"Kamu itu di sini hanya numpang. Harusnya sadar diri dengan posisi. Bukannya diam dan tidur saja di rumah. Noh, bantuin Mbak lagi banyak kerjaan!"
Duh, perihnya. Fakta baru kudapat saat rajin mengintip istriku di dalam rumah. Bukan tanpa alasan. Karena saat itu aku sedang tak ada kerjaan. Ingin pulang, tapi kenyataan pahit menghampiri. Lagi-lagi aku menelan pahitnya fakta yang mungkin sudah lama terjadi. Selain tekanan, Dewi juga diperalat oleh kakakku sendiri.
Sekali lagi, maaf. Untuk perih yang tak kunjung usai ini.
"Mas, Adek kangen Ibu sama Bapak. Pingin pulang, seminggu aja, ya? Kebetulan ada acara nikahan sodara," ungkapnya suatu hari.
Jarak rumahku dan rumah orang tua Dewi terbilang cukup jauh. Ia berasal dari jawa tengah. Sedangkan aku berasal dari jawa timur. Jika dibilang jahat, biarkan saja. Namun, aku mendapat keuntungan dengan jarak rumah yang jauh.
Orang tuanya tak tahu keadaan rumah tangga kami seperti apa. Setiap kali videocall yang tentu saja pakai gawai kakakku. Dewi selalu menutupi semua kurangku.
"Gimana, Mas? Seminggu aja, kok."
Kupandangi kedua matanya dengan lama. Ada pengharapan besar di sana. Kuanggukan kepala meski berat hati. Karena selain tak ada ongkos untuk pulang. Guna membeli oleh-oleh pun tak ada. Apa jadinya jika ia kelak diperbincangkan?
Ah, aku tak tahan. Terlebih ia harus berangkat ke sana sendiri.
"Mas jangan khawatir. Adek punya ongkos untuk pulang pergi. Nggak banyak, hanya seratus ribu."
"Tapi, Dek. Apa nggak terlalu mepet uangnya? Mas pinjam ke Mbak Wina dulu, ya?" tawarku.
Dewi menggeleng. "Jangan, Mas. Hutang kita sudah banyak. Adek malu. Inshaa Allah cukup kok uang segini juga."
Dewi tersenyum tipis.
Melihat ia seperti itu, aku seperti tak punya pilihan lain. Dengan berat hati kuikhlaskan kepergiannya. Tak apa. Mungkin, di rumah orang tuanya ia bisa bahagia.
"Tapi, Mas. Sebelum pergi, Adek minta antar ke toko perhiasan dulu."
Sedikit terkejut saat ia berkata demikian. Apakah ia memegang uang lebih untuk membeli barang mahal itu? Mengingat, uang belanja yang kukasih saja pas-pasana. Jangankan untuk membeli perhiasan. Sekadar beli gamis murah atau daster saja, itu tak pernah.
Hampir lima tahun dan selembar pakaian pun tak pernah kubelikan. Rabbi ....
Dadaku sesak mengingat pengorbanan Dewi selama ini. Seringnya ia mendapat lungsuran dari Mbak Wina. Ya, kami memang semiskin itu.
Seperti permintaannya, kuantar dia ke toko perhiasan.
"Bukan yang itu, Mas," ujarnya saat aku hendak masuk ke dalam toko emas. Pakaian lusuh dengan sandal butut. Duh, enggak pantas rasanya.
"Lha, terus di mana, Dek?" tanyaku.
Dewi berjalan ke sebuah toko penjual aksesoris. Baru kusadari bahwa ia hendak membeli perhiasan imitasi. Untuk apa? Demi apa ia berbuat begitu? Apakah ia ingin pamer? Atau apa? Tapi, Dewi bukan perempuan seperti itu.
"Maafin, Adek, Mas. Jangan tersinggung, ya? Bukannya Dewi ingin pamer atau apa. Tapi, ini demi menjaga nama baik, Mas. Dewi nggak mau Mas dipandang sebelah mata oleh keluarga Dewi. Setidaknya, ada sebuah cincin yang melekat di jari manis ini. Dewi nggak akan ngomong ini emas asli atau palsu. Hanya akan memakainya demi menjaga nama Mas saja."
Rabbi ....
Jika saja ini di dalam rumah. Sudah barang tentu aku akan menangis sejadi-jadinya. Dia ... kenapa tulus sekali. Menutupi segala aib dan kurangku. Bahkan pada keluarganya sendiri.
Usai mengantar ia ke pasar hanya untuk membeli cincin imitasi itu. Aku akhirnya mengantar Dewi ke terminal. Ia akan menaiki bis. Berat sekali rasanya harus melepas Dewi pergi, tapi tak apa. Kukuatkan hatiku. Karena mungkin di sana, ia akan mendapat banyak cinta dari keluarganya. Makanan yang layak, juga pakaian yang indah.
"Dewi berangkat dulu, ya, Mas. Jaga kesehatan dan jangan banyak pikiran," pesannya sebelum benda persegi panjang yang terbuat dari besi dengan roda yang menggelinding itu, menghilang dalam pandanganku.
Sejak saat itu, hari menjadi sangat sepi di rumahku. Masak sendiri, nyuci baju sendiri, tidur sendiri, semuanya kulakukan sendiri. Satu hal yang membuatku tertekan dan tak sabar. Uang belanja yang biasa kuberikan untuk Dewi. Rasanya tak pernah cukup untuk kuolah sendiri. Selalu ada kurangnya. Entah betapa pandainya istriku itu mengolah uang belanja. Sedikit pun tak pernah mengeluh atau meminta lebihannya.
Baru sehari ia pergi, tapi aku sudah kelimpungan sendiri. Saat aku tengah mengambil pakaian di lemari, tanpa sengaja kutemukan sebuah buku tanpa sampul. Kupikir itu adalah catatan penting Dewi atau curahan hatinya selama ini. Kubuka perlahan, tapi. Saat melihat isinya. Tak satupun kutemukan tulisan tangan. Semuanya berisi gambar-gambar anak bayi. Dewi mengguntingnya, dan menempel setiap gambar yang ada. Melihat dari bentuk kertas, beragam gambar berasal dari tempat yang berbeda. Ada yang berasal dari koran bekas, majalah, sabun bayi atau yang lainnya.
Aku luruh di depan lemari kamar. Kurasakan sakit dalam dada yang kian menghunjam. Mencoba menghirup udara segar, melonggarkan paru-paru yang mendadak terasa sesak. Rabbi ... selama ini Dewi tak hanya menyimpan pedihnya sendiri. Pengharapan besar juga ia simpan rapat-rapat.
Bodohnya aku sebagai suami yang tak pernah tahu isi hati sang istri.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar dari arah luar pintu diketuk kasar. Kuusap sisa air mata dengan lengan bajuku. Lalu bergegas pergi membuka pintu.
"Dewi! Ayo ke luar! Enak-enakan numpang nggak bantuin pekerjaan! Ayo sini!"
Suara lantang Mbak Wina membuat hatiku berdenyut sakit. Jadi, selama ini istriku masih diperlakukan seperti ini?
Kriiet!
Pintu terbuka setelah kubuka slot kuncinya. Kudapati wajah Mbak Wina terkejut begitu melihat aku yang membuka daun pintu.
"Lho, Dewi ke mana?" tanyanya seraya menggaruk belakang daun telinga sendiri.
"Dia lagi pulang. Tadi sebelum Zhuhur bisnya berangkat. Mbak selalu seperti ini tiap kali Adit nggak di rumah? Keterlaluan sekali kamu, Mbak!" sungutku kesal.
"Lha daripada istrimu diam di rumah. Lagian itung-itung biar dia ada kegiatan. Belum punya anak ini. Mbak curiga istri kamu itu mandul! Udah bertahun-tahun nikah belum juga punya anak! Apa sebutannya kalau bukan mandul?" sindirnya menekan.
Ugh, tajam sekali lidah kakakku ini menghakimi Dewi.
"Jaga ucapanmu, Mbak!"
"Lho, beneran, Dit! Lihat aja badannya kurus nggak berisi. Gimana mau hamil!" Mbak Wina mendengkus lagi.
"Cukup, Mbak. Dewi istri Adit! Mbak ngatain dia, sama saja Mbak ngatain Adit!"
'Asal Mbak tahu, Dewi kurus begitu karena kurangnya nafkah dariku!' sambungku hanya dalam hati.
"Terserah kamu sajalah! Saran Mbak ini, ya. Sesekali cek ke Dokter kandungan. Tah, lihat temen kamu yang udah pada nikah. Mereka aja udah punya anak! Padahal duluan kamu dan Dewi menikahnya!"
Aku terdiam mendengar penuturan kakakku itu. Hingga singkat cerita, Mbak Wina meminjamiku uang untuk periksa ke Dokter Kandungan dan tentu saja jumlahnya tidak sedikit. Tanpa sepengetahuan Dewi, aku memeriksakan diri. Mengikuti serangkaian test kesuburan pria. Penjelasan Dokter membuatku terpukul. Saat ternyata, aku sendiri biang masalah tak kunjung hamilnya Dewi.
Kualitas Sp*rm*ku tidak baik. Dokter bilang bentuknya pun banyak yang tak normal alias cacat. Runtuh sudah harapanku untuk terus bersama Dewi. Tak ingin mengekangnya dengan keadaan yang mungkin akan terus menyiksa batin dan menghambat kebahagiaannya.
Tanpa ada penjelasan detail dariku. Begitu ia datang sepulang dari rumah orang tuanya. Kudiamkan ia berhari-hari. Ia masih berbakti. Masih melayani kebutuhanku meski sama sekali tak kupedulikan dan itu membuatku semakin hancur. Saat ia justeru menyalahkan diri sendiri karena kudiamkan.
"Aku istri yang nggak becus, Mas. Maaf jika tak bisa seperti yang kamu harapkan. Jangan mendiamkanku. Bicaralah. Semua kesalahan akan kuperbaiki. Aku menyayangimu, Mas."
Tidak, Wi! Bukan kamu yang salah! Tapi, aku! Apa yang kamu harapkan dari pria miskin dan tak sehat sepertiku?!
Kutekan egoku paling dalam lalu bangkit berdiri menatap tajam ke arah Dewi.
"Aku sudah bosan hidup denganmu, Wi! Aku muak dengan keadaan seperti ini! Sejak kepergianmu aku berpikir. Mungkin akan lebih menyenangkan saat istri yang kucintai tetap bertahan bersamaku di sini. Bukan justeru ... memilih pergi!"
Dewi menatapku dengan kedua mata yang berkaca. Sayang, maafkan Masmu ini. Aku tahu kamu terluka, tapi aku tak sanggup jika melihatmu tetap bertahan di sini.
Seminggu ia datang. Seminggu kemudian kuantar lagi istriku itu pulang ke tempat orang tuanya.
"Aku pulangkan kamu ke rumah orang tuamu. Tak sanggup lama-lama hidup berdua denganmu. Di luar sana, masih banyak perempuan yang cantik dan menggoda. Juga lebih sedap dipandang mata dari pada kamu. Oh, ya. Satu hal lagi. Jangan pernah mencariku. Kita resmi berpisah mulai hari ini juga."
Hancur dan berkeping hati ini setiap mengingat itu. Sepuluh tahun silam. Aku menyakiti hati orang yang paling kusayang. Melepas agar ia bahagia. Hingga tanpa sadar air mata telah luruh sempurna dari kedua sudut mata. Kutarik diri mundur satu langkah. Melihat Dewi bahagia saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Maaf untuk luka yang kutorehkan. Maaf untuk hati yang tak bisa kuajak kompromi. Maaf untuk kehidupan yang tak kunjung layak saat bersamaku. Tapi, percayalah, Wi. Dalam doa dan sujudku, pintaku hanya satu. Agar kelak Allah satukan kita dalam rumah di surgaNya.
"Bapak ngapain dari tadi di sini? Mau beli apa?"
Aku terjingkat saat seorang perempuan muda menghardikku. Ia memandang dengan tatapan yang ... entahlah.
"Kalau nggak punya uang jangan ke sini! Pergi! Pergi!" usirnya.
"Iya, maaf."
Aku beringsut hendak meninggalkan pintu utama sebuah rumah makan yang tanpa sengaja mempertemukanku dengan senyum Dewi. Tak apa, ia bahagia aku pun sama. Sebuah keberuntungan bisa melihatnya lagi. Ia semakin cantik dan sehat. Aku bahagia.
Sebelum pergi, kutatap kembali wajah yang berada di dalam. Hanya terhalang oleh kaca bening saja. Mendadak, jantungku berdebum hebat. Saat kedua mataku dan Dewi tanpa sengaja bertemu pandang.
Ia menatapku tanpa berkedip. Lalu dengan sekali gerakan ia berdiri dan menyeru namaku.
"Mas Adit!"
Bersambung ke part 2
Silahkan dukung untuk kelanjutanya ya….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
