
Ikuti kisah Anne, Sean dan Satya yuk.
LM
Bab 7
Suasana bahagia mewarnai makan malam keluarga yang selalu memanfaatkan quality time. Disela kesibukan masing-masing, keluarga Satya menyempatkan makan bersama. Seorang ayah, ibu dan tiga anaknya yang sudah beranjak dewasa dan mandiri hadir dengan penuh kebahagiaan.
Ryan, kakak Satya yang sibuk dengan pekerjaan selalu mengutamakan keluarga besarnya hingga selalu hadir di makan malam yang disiapkan Mama Lian. Deasy gadis cantik yang baru masuk kuliah di kedokteran tak luput bahagianya saat momen berkumpul. Pun Satya yang sejak tadi mengumbar senyum. Pasalnya, ia sudah menemukan jawaban atas penasarannya dengan akun AP ternyata milik Anne. Entah apa yang akan dilakukannya mengingat Anne yang mendekatinya sebatas kasihan karena Anne justru tertarik dengan Sean bukan dirinya.
"Kayaknya ada yang lagi bahagia, nih. Dari tadi senyum-senyum sendiri?" Ryan mulai membuka percakapan dengan melirik Satya.
"Tumben banget ada yang berbinar matanya. Kakakku yang ganteng kenapa nih, Ma, Pa?" Candaan Deasy membuat Satya mencubit adiknya.
"Ough, Ma, Mas Satya nih nyakitin aku."
"Kayaknya lagi kesengsem, nih?"goda Ryan lagi.
"Eh, kalian jangan nggodain Satya terus! Biar dia fokus projectnya supaya segera selesai. Habis itu ngenalin mama calon mantu."
Tawa anggota keluarga Satya mengiringi makan malam mereka. Satya yang digodain kakak adiknya hanya tersenyum simpul. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Hanya terbesit rasa penasarannya mengenal lebih jauh tentang Anne. Entahlah, inikah yang dinamakan cintanya yang mulai bersemi. Anne adalah satu-satunya teman perempuan yang mau dekat dengannya untuk saat ini. Ia tidak mau terlalu berharap dengan hubungan barunya. Bisa-bisa Anne tak nyaman dengan profesinya yang sebenarnya.
Selesai makan, Deasy masih mengobrol dengan Mama Lian dan Papa Wijaya. Sementara, Satya sudah bisa dipastikan balik kamar mengerjakan projectnya. Meskipun beberapa kali ditegur mamanya, dia selalu saja mendapat pembelaan dari papanya. Menurut Papa Wijaya, Satya biar mandiri. Tapi Mama Lian nggak tega dengan anaknya yang kerja keras tak kenal waktu. Alhasil Mama Lian hanya bisa cerewet memperingatkan supaya Satya tidak lupa makan dan istirahat.
Terdengar pintu kamar Satya diketuk dari luar membuat fokus laki-laki berambut belah tengah itu menoleh.
"Masuk! Nggak dikunci."
"Isshh, project apaan nih malah senyum-senyum mandangin chating di laptop." Satya yang tak ingin Ryan tahu apa yang dikerjakannya langsung menutup laptopnya dalam kondisi setengah terbuka.
"Kepo aja sih," sahut Satya.
"Kamu nggak jadi juri kompetisi Nasional, Sat?" Tanya Ryan.
"Enggak, Mas. Tahun ini aku off dulu. Kata papa aku fokus satu kerjaan dulu aja biar cepat kelar."
"Oh project dengan perusahaan di Belanda itu ya?" tanya Ryan penasaran. Awalnya dirinya yang ditawari Papa Wijaya untuk bergabung project keamanan informasi itu. Tapi dia sedang mengurus anak perusahaan papanya jadi dia harus berbagi peluang dengan adiknya. Satya hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan kakaknya.
"Mas, boleh tanya nggak?
"Apa?"
"Hmmm, nggak jadi deh pasti nanti nyebar gosip ke papa mama sama si centil Deasy."
"Memangnya apaan, Sat?Janji deh Mas pegang rahasia."
"Mas Ryan pernah dekat dengan seorang gadis, nggak? Atau pernah ada nggak yang ndeketin gitu?" Satya mengatakan dengan lirih dan fokus ke pintu kamarnya takut ada yang mendengar pembicaraan mereka. Ryan yang mendengar langsung terbahak. Namun Satya dengan sigap langsung menutup mulut kakaknya.
"Eh, aku nggak bisa nafas tahu."
"Lagian siapa suruh tertawa keras."
"Kamu lagi dekat dengan siapa, Sat?" Ryan mendekati adiknya dengan muka penasaran.
"Ada sih Mas, temen satu klub coding. Tapi dia memang perhatian sama semua orang. Dan lagi dekat dengan temanku lainnya. Cuma aku penasaran aja sama dia yang selalu mengajakku bergaul dengannya. Dia suka ngatain aku misterius."
"Emang iya." Sontak aja Satya memukul lengan Ryan hingga mengaduh.
"Itu tandanya dia ada perhatian juga sama kamu. Jangan dicuekin lah kalau kamu memang mau mendekatinya."
"Tapi dia sepertinya sukanya sama temanku."
"Tahu dari mana?"
"Dari sikapnya aja."
"Ciieee yang suka perhatiin cewek sekarang. Biasanya mandengin laptop melulu. Hahahah." Tawa Ryan membahana begitu tahu adiknya yang super dingin mulai tertarik dengan lawan jenis.
"Jodoh tak akan kemana Sat, berdoa sama Allah. Mas doakan deh kamu dapat yang terbaik."
"Ishhh, nyemangatin diri sendiri juga ya?" Satya mulai meledek kakaknya.
"Iyalah, pada akhirnya nanti Mas juga pasti bertemu dengan jodoh pilihan Allah. Sekarang masih dalam doa." Ryan pun menjawab dengan tersenyum.
"Entahlah, masih nanti aja aku mikirin itu. Project ini agak riskan takutnya membahayakan orang yang didekatku."
"Kalau gitu berhati-hatilah! Jangan lupa apapun yang terjadi berdoa sama yang di atas. Sang Pencipta kita."
"Siap, Mas." Trimakasih banyak sarannya.
"Oke bro, lanjutkan ya. Aku mau kencan dulu."
"Ckkckkk, kayak ada aja yang mau diajak kencan." Satya menjulurkan lidahnya.
"Hahaha, banyaklah yang mengantri sama Ryan yang mempesona."
Satya mendecis melihat tingkah narsis kakaknya.
LM
Bab 8
Di sebuah ruangan Klub coding, Pak Radit memberikan penjelasan persiapan kompetisi. Peserta terlihat antusias dalam mendengarkan penjelasan. Dari kompetisi nanti akan diambil juara 1, 2 dan 3. Hadiah berupa uang pembinaan yang bisa dikatakan besar karena bisa untuk biaya hidup di kota pelajar. Tak hanya itu, ketiga pemenang akan mendapat fasilitas pembinaan tingkat lanjut secara cuma-cuma. Sangat menggiurkan sekali hadiah yang bisa didapatkan.
"Sean, Anne, dan Satya. Kalian harus bisa menjadi contoh untuk menyemangati teman-teman yang lain. Saya tahu track record kalian yang sering mengikuti event besar. Bahkan tidak jarang kalian mendapat penghargaan," kata Pak Radit.
"Insyaallah siap, Pak,"jawab Sean dan Anne kompak. Sementara itu, Satya menjawab dengan bahasa tubuhnya mengacungkan dua jempol.
Marisa dan Hilda pun meminta disemangati Anne.
"Hilda, kita harus banyak belajar sama Anne nih."
"Iya, Risa. Anne, ajarin kita ya!"
"Insyaallah, kita belajar bareng di klub ini. Kami siap bantu, iya kan Sean, Sat?"
Sean dan Satya pun mengangguk.
Hilda dan Marisa tersenyum senang.
Pak Radit mengitari para mahasiswa dengan membagikan materi untuk dipelajari.
Tiba di sebelah posisi Anne duduk, Pak Radit mengajak ngobrol Anne lumayan lama. Hal ini menjadi perhatian mahasiswa lainnya. Pak Radit tersenyum tidak biasa saat bicara dengan Anne. Entah teman-teman Anne saja yang mengartikan berbeda atau Anne sendiri juga merasa begitu. Anne merasa agak canggung dan salah tingkah ditatap teman-temannya penuh selidik.
"Pak Radit, yang ini maksudnya apa ya?" Marisa mencoba membuyarkan lamunan teman-temannya yang menatap interaksi Pak Radit dan Anne. Tak terkecuali juga Sean dan Satya yang sedikit kesal melihat Anne diajak ngobrol dosennya.
"Mana, Ris?" Pak Radit memberi penjelasan yang ditanyakan. Justru Risa malah berbisik ke dosennya itu.
"Bapak jangan dekat-dekat Anne, ada dua bodyguardnya tuh mukanya pada suram." Hilda yang mendengar bisikan Risa ke Pak Radit mencubit tangan Marisa.
"Ough, apaan sih Hilda. Sakit tahu." Hilda memberi peringatan pada Risa untuk tidak menggosip. Pak Radit yang emlihat yingkah keduanya justru tersenyum lebar.
"Selama janur kuning belum melengkung, masih ada harapan, kan?" Pak Radit berlalu menuju mejanya di depan.
Marisa dan Hilda hanya bisa saling bertatapan melongo, bahkan Marisa reflek menepuk jidatnya.
"Mimpi apa Anne, dikelilingi laki-laki tampan dan pintar ya, Hil?"
"Nggak usah iri ya, tuh masih banyak laki-laki yang bisa dijadiin pasangan," sahut Hilda sambil menunjuk ke pojok belakang dengan dagunya. Marisa menoleh dan menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Lalu mereka berdua pun tertawa.
"Sstt, Risa jangan keras-keras ketawanya. Ingat disuruh belajar Pak Radit." Teguran Anne membuat Risa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Lalu melihat dosennya yang sudah menaruh telunjuknya di depan bibir.
"Jadi, yang ini harusnya gini. Nanti algoritmanya akan jalan." Anne dengan sabar mengajari temannya yang duduk tepat di sampingnya.
"Anne memang top, pinter dan cantik lagi." pujian Sean benar-benar melambungkan hati Anne hingga kupu-kupu seolah beterbangan di sekitarnya.
"Siap ikut kompetisi Nasional semua nih," lanjut Sean.
"Apa sih, Sean. Kamu itu lho yang jago Coding. Aku mah cuma bantu yang aku bisa."
"Jangan merendah gitu, Anne," kata teman yang duduk di samping Anne lalu diangguki Sean yang setuju menilainya suka merendah."
Interaksi Anne dan Sean tak luput dari pandangan Satya. Iya hanya berwajah datar saat Anne tak sengaja mengedarkan pandangan dan bersitatap dengan dirinya. Pandangan Satya mengunci tajam penglihatan Anne. Namun sedetik kemudian ia segera mengalihkannya sebelum jatuh terjebak dalam pesona gadis itu.
"Satya kenapa, sih?"batin Anne. Ia merasa tidak nyaman dengan hatinya yang sedang berbunga-bunga. Ia memanfaatkan momen bisa bercengkerama bersama Sean saat membantu temannya. Anne lagi-lagi merasa tidak enak hati, sikap Satya yang aneh dan misterius muncul lagi. Sikap itu ditunjukkan sampai selesai kegiatan.
"Anne, nanti temani mamaku belanja lagi ya!pinta Sean yang membuatnya terkejut. Bagaimana tidak terkejut, Sean mengatakannya di depan teman-temannya Hilda, Marisa bahkan ada Satya yang pasti juga mendengar. Anne sontak saja merasa salah tingkah, meskipun hatinya sangat senang.
"Insya Allah Sean."
"Tenang, nanti aku belikan es krim." Sean mulai merayu Anne yang tidak pernah bisa menolak.
"Ciee, yang sudah mulai kenal dengan calon mertua." Marisa pun ikut menggoda. Anne segera mengusap pipinya yang memanas. Ia merasa wajahnya pasti memerah karena malu.
"Selamat ya Anne!"ucap Hilda dengan senang hati. Anne pun tersenyum. Namun senyumnya seketika pudar saat pandangannya ke arah Satya. Laki-laki itu justru memalingkan wajah saat ditatapnya.
"Oke, nanti aku jemput di kosmu ya. Aku pamit dulu." Sean meninggalkan mereka seraya melambaikan tangan.
"Siap Sean ganteng." Ucapan Marisa sungguh konyol. Mewakili jawaban Anne yang hanya bisa memukul bahu Risa.
Tak lama kemudian Satya menyusul pergi meninggalkan ruang tanpa kata membuat Anne mengernyitkan dahi. Anne yang bertanya-tanya tentang perubahan sikap Satya, lalu mengikutinya dari belakang.
Sementara itu, Hilda dan Marisa masih melanjutkan belajarnya. Pak Radit sudah menuju ruang dosen setelah menutup kegiatan diskusi itu. Satya melangkah lebar menyusuri lorong kampus. Anne mengikuti dengan berjalan cepat karena ketinggalan.
"Satya, tunggu...."
"Sat....stop, please!" Ucap Anne setengah berteriak, tetapi Satya tidak menggubrisnya.
Satya mempercepat langkahnya diikuti Anne yang sedikit berlari.
"Berhenti, Sat..." Belum selesai berucap tiba-tiba Satya menghentikan langkahnya. Anne yang terburu-buru melangkah tanpa melihat depan langsung menabrak punggung Satya.
"Aargh. Ma...maafkan aku."ujar Anne sembari membetulkan posisi berdirinya.
Spontan Satya membalikkan badannya dan berusaha mendekati Anne. Namun Anne yang tidak siap sungguh terkejut saat Satya mendekatinya. Anne pelan-pelan jalan mundur, ia merasa takut dengan tatapan tajam Satya tidak seperti biasanya.
"Satya, kamu kenapa?" Orang yang ditanya hanya bergeming. Melangkah maju memojokkan Anne hingga tubuhnya membentur dinding ruangan didekatnya. Lalu Satya mengurungnya dan menatapnya penuh penekanan.
"Satya, aku takut. Kamu kenapa?"tanya Anne sungguh polos dan benar dimatanya terpancar ketakutan dengan sikap Satya.
"Kenapa mengikutiku?"pertanyaan Satya sedikit membuat Anne lega, pasalnya deru nafas laki-laki didepannya menyapu hangat wajahnya. Hati Anne tiba-tiba berdesir dalam posisi sedekat itu dengan tatapan tajam seolah menghujam jantungnya.
"Satya."
LM
Bab 9
"Satya, minggir!" Anne berusaha melepaskaan diri dari kungkungan kedua tangan laki-laki di depannya. Namun, Satya masih tetap menahan posisinya.
"Jangan pernah ikut campur urusanku, mengerti!" Satya sebenarnya tak tega bersikap kasar terhadap seorang gadis. Apalagi Anne sudah mulai mencuri perhatiannya. Kebersamaan yang ditunjukkan Anne dan Sean di ruang tadi sedikit menyulut api kekesalan dalam dirinya. Baru kali ini Satya dibuat kesal oleh seorang gadis. Ditambah lagi Pak Radit yang mulai tertarik juga pada Anne.
Satya tidak mengerti perasaannya. Terlalu dini mengatakan ini cinta. Tapi ia merasa tida rela Ane dikelilingi banyak laki-laki. Satya juga mengambil sikap tepat menurutnya. Sebab semakin Anne mendekatinya, gadis itu bisa dalam bahaya. Satya masih terlibat mengerjakan project besar untuk keamanan informasi dengan perusahaan yang bekerja sama dengan luar negeri. Satya tidak mau Anne berada didekatnya yang berujung membahayakan keselamatan gadis itu.
"Ta...tapi, kenapa?"suara Anne terbata, tenggorokan terasa tercekat. Pandangannya pun mulai kabur karena matanya berembun. Ia sadar sebentar lagi pasti menangis.
"Dasar cengeng!"ucap Satya sontak membuat mata Anne tidak mampu membendung air mata. Satya lalu melepaskannya dan pergi tanpa mengucap kata maaf. Anne merosotkan tubuhnya yang masih bersandar di dinding menjadi terduduk dan memegang kedua lututnya. Ia lalu menundukkan kepalanya si kedua lutut. Tangisnya pun tak bisa dibendung.
"Sebenarnya, aku salah apa sama kamu, Sat?Aku hanya ingin berteman dengan semua orang, terutama kamu. Aku pikir kamu sudah berubah lebih baik, nyatanya kamu masih sama."
"Anne, apa yang terjadi?" Tiba-tiba seruan Marisa dan Hilda menyapa Anne yang menangis dalam posisi duduk bersandar dinding. Anne pun hanya menggelengkan kepala. Kedua temannya saling berpandangan dan melihat sekitar tidak ada orang. Keduanya saling mengedikan bahu, lalu menghibur Anne.
"Yuk, aku dan Hilda antar ke kosmu!" usul Risa sambil mengajak Anne berdiri lalu menuju parkiran mobil.
Sepanjang perjalanan Anne hanya diam termangu. Pikirannya masih berkelana mengingat kata-kata Satya yang membuatnya menangis.
Sampai di kos, Anne mengucapkan terima kasih kepada dua sahabatnya. Marisa dan Hilda bermaksud menemani Anne, tetapi ditolaknya. Anne merasa baik-baik saja dan butuh waktu sendiri.
"Terima kasih Risa, Hilda. Besok ya aku cerita sama kalian."
"Iya, santai saja Anne. Istirahatlah!"kata Hilda dan Marisa yang langsung berpamitan meninggalkan kos Anne.
Anne yang semula bersemangat mau berselancar di dunia maya mengurungkan niatnya. Ia berganti baju dan membersihkan diri, sholat Zuhur dan makan siang. Lalu ia merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan matanya. Cairan bening menetes tanpa permisi dari bola mata indahnya. Ia tak menyangka niat baiknya berteman dengan Satya ternyata tidak pernah diharapkan laki-laki itu. Gegas ia menghapus air mata itu. Sia-sia menurutnya.
"Ah sudahlah, ngapain capek-capek mikirin orang nggak jelas," batin Anne.
Suara ponsel berdering, nama Sean tertera di layar.
"Assalamu'alaikum, gimana Sean?"
"Wa'alaikumsalam. Anne, aku jemput satu jam lagi ya. Kamu harus sudah siap," pinta Sean.
"Oke, Sean. Aku tunggu,"jawab Anne dengan suara agak serak karena habis menangis.
"Anne, kamu habis nangis?"tanya Sean penasaran.
"Eh...enggak Sean. Aku lagi tiduran." Anne bergegas bangun membenarkan posisinya supaya suaranya jelas.
"Oh kirain. Baiklah nanti aku telpon lagi ya."
"Ya Sean." Anne meletakkan ponselnya di meja samping kasur setelah Sean menutup panggilan. Ia merasa lega Sean tidak mencecar pertanyaan lagi mengenai perubahan suaranya.
Setelah peristiwa tadi, Anne perlu berpikir keras bagaimana kelanjutan persiapan kompetisi Codingnya. Ia pasti akan merasa canggung bertemu dengan Satya. Padahal Pak Radit sudah berpesan kepada ketiganya untuk bekerja sama membimbing teman-teman lainnya.
Sekarang Anne hanya bisa bekerjasama dengan Sean untuk melakukan persiapan bersama teman-teman yang lain. Ia sudah memantapkan hati untuk membantu teman-temannya mengikuti kompetisi Nasional.
Sempat terpikir di benak Anne untuk chat dengan temannya di dunia maya yaitu PA untuk diajak berdiskusi materi persiapan. Namun entah mengapa, saat ini Anne sedang tidak mood mengunjungi blog PA. Anne memejamkan mata kembali dan masuk ke alam mimpi.
Satu jam berlalu, Sean sudah sampai di depan kos Anne dengan mobilnya. Ia menghubungi ponsel Anne, tetapi hanya terdengar nada dering dan tak diangkat.
"Mbak,mbak. Ada yang nyari."
Anne spontan kaget dan terbangun dari tidurnya. Kondisinya masih belum sadar 100%. Dia memejamkan matanya kembali dan teringat janjinya dengan Sean untuk mengantar Mama Rosa berbelanja.
"Astaghfirullah. Aku terlewat janji dengan Sean dan Mamanya."
Anne lalu berlali ke kamar mandi mencuci muka dan berpakaian. Kali ini ia mengenakan gamis kaos navy dipadukan pasmina motif bunga-bunga. Tak lupa tas cangklong kecil dibawanya untuk menaruh ponsel dan dompet.
"Awas kejedug pintu, Mbak!" Anne hanya mengulum senyum. Adik kosnya munhkin heran melihat tingkahnya. Masih berusaha mengumpulkan nyawa, Anne seperti aorang linglung.
Setelah Anne keluar, di teras sudah duduk Sean yang sedang mengamati bunga-bunga di pot-pot putih dan coklat milik ibu kos terpajang rapi di rak. Terpikir olehnya membelikan untuk mamanya.
"Eh, Sean. Maaf aku terlewat jam. Aku ketiduran,"kata Anne sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
"Nggak masalah, Ann. Aku yang merepotkanmu untuk menemani mamaku. Harusnya aku yang berterima kasih dan kamu nggak perlu merasa bersalah."
"Yuk,berangkat sekarang!"ajak Anne, disusul Sean yang berdiri dari posisi duduknya.
Mereka memasuki mobil Sean yang terparkir di halaman depan kos. Lalu Sean mengenakan sabuk pengaman dan mengingatkan Anne untuk memakainya juga. Sean pun melajukan mobilnya untuk menjemput Mama Rosa di Kantor papanya.
"Ngomong-ngomong pot-pot dan bunganya di teras kos tadi bagus, Ann. Jadi pengin beliin mamaku."
"Oh itu, punyanya bu Kos. Belinya di Pasty, semacam pasar khusus tanaman dan hewan-hewan peliharaan. Di pinggir-pinggir jalan juga ada sih, cuma kalau di Pasty banyak pilihannya. Kapan-kapan kalau mau aku antar juga nggak papa Sean."
"Dengan senang hati, tuan putri. Tawaran yang menarik. Mamaku pasti senang." Ucapan Sean benar-benar membuat wajah Anne memanas. Ia sungguh tersipu malu dengan panggilan yang baru saja diucapkan laki-laki yang duduk di sampingnya.
"Sean kenapa sikap Satya sungguh berkebalikan denganmu."
LM
Bab 10
Seminggu berlalu, Klub Coding mempersiapkan diri untuk mengikuti Kompetisi Nasional. Pada akhirnya tidak semua menyanggupi ikut berpartisipasi. Tentunya Sean dan Anne wajib ikut untuk mewakili klub mereka. Serta 5 orang lainnya yang bersedia menjadi peserta.
Satya memang dari awal hanya berniat membantu persiapan mereka. Ia pun sudah menyampaikan alasannya secara langsung kepada dosen pembimbingnya yaitu Pak Radit. Beliau pun menyetujuinya dengan syarat Satya membantu persiapan teman-temannya.
Flashback on
Satya mengetuk ruangan dosen yang tertera papan nama Raditya Baskara.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Oh Satya, masuk! Silakan duduk!"
"Terima kasih, Pak Radit. Begini Pak, maaf sebelumnya saya ingin menyampaikan kalau saya tidak akan ikut Kompetisi Coding."
"Kenapa, Sat?" tanya Pak Radit penasaran.
"Begini ceritanya Pak, ......."
...
Satya mulai bercerita alasan dibalik dirinya tidak ikut serta dalam event itu karena seharusnya ia menjadi juri. Namun karena ada project yang harus segera diselesaikan, Satya tidak menerima tawaran menjadi juri.
Pak Radit pun mengangguk paham.
"Baiklah, terimakasih atas kejujuranmu Satya. Namun saya minta kamu tetap memberi bimbingan untuk teman-teman yang akan ikut ya!"
"Siap, Pak. Saya akan membantu semampu saya. Kalau begitu saya pamit dulu ya Pak."
"Oh sebentar Sat, sebenarnya kamu ada masalah apa dengan Anne? Akhir-akhir ini saya lihat kalian tidak bertegur sapa."
"Tidak ada masalah Pak, kami biasa saja kok." Satya menutupi kejadian dirinya membuat Anne menangis di lorong kampus."
"Kamu yakin?"tanya Pak Radit penuh selidik.
"Saya amati Anne juga berubah menjadi kurang semangat meskipun kedekatannya dengan Sean semakin tampak di hadapan teman-temannya. Saya harap masalah pribadi tidak masuk dalam kegiatan persiapan sampai pelaksanaan event nanti, Sat." Peringatan Pak Radit menyentil Satya yang memang membuat perubahan sikap Anne. Gadis itu menjadi tidak ceria seperti biasanya. Ia jadi merasa bersalah.
"Siap. Insya Allah saya akan membantu dengan semaksimal mungkin, Pak."
Flashback off
Di ruangan tempat biasa klub coding berdiskusi telah terisi penuh para anggotanya. Anne duduk semeja dengan Sean, Satya yang melihatnya semakin memasang wajah datar tanpa ekspresi. Anne sudah melupakan kejadian yang dialaminya. Sebab ia akan fokus dengan persiapan kompetisi. Mereka diberi latihan oleh Pak Radit untuk mencoba menyusun script dari kasus yang diberikan.
Masing-masing diminta kerja secara individual. Hanya Satya yang menjadi asisten Pak Radit karena dia tidak ikut kompetisi. Sementara anggota yang tidak ikut kompetisi tetap diminta mengerjakan sebagai bentuk latihan. Satya duduk didepan bersama Pak Radit, Hilda dan Marisa di kursi belakang Sean dan Anne selisih satu meja karena ada Sherly dan Alena.
Pak Radit memberi tugas ini karena untuk kegiatan pre kompetisi. Script yang mereka susun akan dikirimkan ke panitia untuk seleksi tahap awal.
Siang itu udara panas tak menghalangi semangat para anggota klub Coding. Istirahat salat Zuhur dan makan siang pun dikerjakan sesuai jam. Sesaat para peserta istirahat, listrik tiba-tiba off. Pak Radit dan Satya segera menghubungi teknisi untuk memperbaiki. Dua laki-laki yang bekerja sebagai teknisi berusaha membetulkan jalur listrik yang diduga konslet. Mereka akan memperbaiki posisi lampu yang tepat di atas meja tempat duduk Sean dan Anne.
Di meja itu masih ada laptop Sean dan Anne serta beberapa kertas. Tanpa sengaja salah satu teknisi menyenggol buku-buku yang ada dimeja dan membuatnya terjatuh ke bawah dengan kertas-kertas di dalam buku beberapa berhamburan. Petugas itu merasa takut kalau pemiliknya marah, lalu berusaha merapikannya. Namun Pak Radit segera menghampirinya.
"Perlu bantuan, Pak?" tanyanya ke petugas.
"Oh ini tadi terjatuh, tapi saya sudah merapikannya."
"Baiklah, lanjutkan Pak! Semoga selesai istirahat bisa nyala listriknya."
Satu jam istirahat berlalu, Satya yang selesai salat dan makan siang segera masuk ke ruangan. Namun petugas teknisi belum berhasil memperbaiki listriknya. Sehingga mereka harus pindah ruang sebelah.
"Baiklah, teman-teman kita akan pindah ke ruangan sebelah dulu ya."
Anne yang melihat ekspresi tegas Satya dan suaranya yang khas membuat hatinya mengembang. Sejenak ia lupa dengan kejadian yang membuatnya sedih kemarin.
"Karena Pak Radit ada keperluan keluar kota mendadak, jadi saya yang memimpin kegiatan ini selanjutnya."
Sebagian peserta sudah berpindah ke ruangan sebelah. Anne menata barang-barangnya dan mendapati bukunya dalam kondisi kertas-kertas didalamnya sedikit berantakan.
"Kemana, catatan script ku, ya?" gumannya sambil mencari-cari di dalam bukunya.
Anne mencari lembar demi lembar di dalam buku miliknya pun tidak ada. Dia duduk berjongkok juga tidak menemukan. Dengan perasaan ragu Anne mencoba mencari di meja tempat duduk Sean karena duduk bersebelahan. Anne yakin Sean tidak akan marah karena ia hanya berniat mencari kertas scriptnya.
Anne menggeser laptop Sean, mengangkatnya, membuka buku Sean dan kertas di dalamnya. Tiba-tiba Sean sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Anne."
"Eh, Sean. Ma..maaf," belum sempat Anne melanjutkan ucapannya, Sean menampakkan wajah yang tidak seperti biasa.
"Apa yang kamu lakukan Anne?" Nada bicara Sean naik satu level.
"Sean, maaf aku tidak meminta ijin menyentuh barang-barangmu."
Sean tidak bisa berpikir panjang langsung menanyakan kepada dua temannya Sherly dan Alena yang masih duduk dibelakang kursinya.
"Katakan apa yang kalian lihat dengan Anne sebelum aku datang?"tanya Sean membuat Anne gugup dan takut begitu juga dua temannya yang memang melihat Anne sedang menyentuh dan membuka-buka buku milik Sean.
"Eh, itu tadi Anne mencari sesuatu trus membuka bukumu Sean," kata Alena
"Tapi kami tidak tahu yang sedang dicarinya," lanjut Sherly.
Alena dan Sherly sebenarnya tidak terlalu suka dengan kedekatan Anne dan Sean karena salah satu darinya yaitu Alena menyukai Sean. Namun dia tidak menuduh Anne, hanya menjawab Sean apa yang dilihatnya.
"Sean, aku kehilangan script. Aku mencarinya belum ketemu."
Anne bingung menjelaskan alasan apalagi untuk membuat Sean percaya. Keributan pun terjadi. Hilda dan Marisa yang sudah berpindah di ruangan sebelah pun ikut mendatangi. Satya juga ikut dipanggil oleh teman mereka yang lain.
Suasana ruangan itu semakin menyesakkan dada. Anne bingung menjelaskan pada Sean. Laki-laki itu sudah terlihat emosi jika masalahnya menyangkut sebuah kompetisi.
"Anne, kamu mau melihat scriptku?"
"Tidak, bukan begitu Sean." Anne menjawab dengan sedikit gugup sambil mengibaskan tangannya.
Nantikan next part. Jangan lupa tap love ya atau komen. Makasih.🥰
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
