FRIEND ZONE Chapter (1-10)

2
0
Deskripsi

Sahabatan bertiga?  
Semuanya jadi asik, seru

Tapi....

Pasti salah satu dari mereka harus ada yang mengorbankan perasaannya,  siapakah dia?

 

FRIEND ZONE

 

PROLOG

Arsen Arjuna Mahardika. Sahabatnya Aurellia Gabrielle dan Senata Feronika. Arsen mengenal Aurel sejak kecil, sedangkan Sena baru mengenal Arsen sejak SMA kelas satu itu pun karena Aurel sekelas dengan Sena. Sejak saat itu Sena berteman dengan Aurel dan juga Arsen.

Aurellia Gabrielle. Sahabat kecilnya, Arsen Arjuna Mahardika. Aurel sangat dekat dengan Arsen, dimana ada Aurel pasti ada Arsen tetapi, kedekatan mereka sedikit merenggang saat kedatangan seorang Senata Feronika. 
Aurel itu cantik dan akan tetap cantik walaupun memasang raut wajah datar. Sifat Aurel itu cuek, dingin, tidak pernah senyum dan galak tetapi anehnya banyak cowok yang suka dengan Aurel. Entah apa yang mereka liat dari Aurel. 

Senata Feronika. Teman sekolah Aurel sejak SMA kelas satu dan menjadi teman Arsen juga. Sena itu kebalikannya dari Aurel. Kalau Aurel itu cuek, Sena ramah, kalau Aurel tidak pernah senyum, Sena murah senyum. Pokoknya sifat Sena itu kebalikannya dari sifat Aurel. 

 

 

"Jangan buat seseorang mencintaimu. Jika kamu tak siap berikan hatimu. Cinta tak berbalas itu menyakitkan."

 

 


 

CHAPTER 01


Arsen❤
Aurel lo dimanA? 
Aurel
Urel
Aurel lo nggak pingsan, kan?!

Aurel mental layar ponsel yang baru saja masuk beberapa pesan dari seorang Arsen. 

Menghela napas, Aurel membalas pesan Arsen dengan malas. 

Me
Apa?

Arsen❤
Lama banget balas pesan gue!

Me
Lagi di perpustakaan. Sebentar lagi selesai. 

Arsen❤
Ya udah gue tungguin di lobi sekolah yaa. Pulang bareng gue pokoknya! 
Aurel tersenyum tipis saat mendapatkan balasan pesan dari Arsen yang satu ini.

Me
Okee

Aurel tersenyum kembali dan menyimpan ponselnya di saku. Ia kembali mengerjakan tugas sekolah yang harusnya dikerjakan di rumah. Karena Aurel tidak bisa mengerjakan di rumah karena alasan tertentu. 

Setengah jam tugas sekolah selesai dan Aurel keluar perpustakaan untuk segera menuju lobby, karena Arsen pasti menunggunya di sana. Saat tiba di lobi, Aurel mencari keberadaan Arsen namun, tidak menemukannya.

"Dimana Arsen? Katanya mau nungguin di lobi?" gumam Aurel sedikit kesal. Karena takut terjadi sesuatu dengan sahabatnya itu. Aurel memilih mengirim pesan pada Arsen. 

Me
Sen, lo dimana? 
Gue udah di lobi. 
Arsen? 

Tidak ada balasan dari cowok itu, bahkan pesan yang ia kirim hanya terlihat ceklis satu. Takut ada sesuatu urusan, Aurel memilih menunggu di lobi sampai Arsen datang atau membalas pesannya. 

Setengah jam lamanya, Aurel menunggu tetapi, Arsen tidak juga datang dan membalas pesannya. Padahal tanda pesan sudah ceklis dua. 

Berdecak. "Kemana sih? sampai nggak balas pesan dari gue?" gumam Aurel kesal. 

Lima belas menit kemudian, akhirnya Aurel mendapatkan balasan pesan dari Arsen. Segera Aurel lihat isi pesan itu dan saat membacanya, raut wajah Aurel berubah datar.

Arsen❤
Sorry rel, gue anterin Sena ke toko buku. Lo pulang sendiri aja ya.

Aurel hanya bisa tersenyum kecut saat membaca balasan pesan dari Arsen. "Kebiasaan, selalu ingkar janji," gumam Aurel lirih dan mematikan ponselnya. Memasukkan ke dalam saku baju dan keluar sekolah untuk pulang menggunakan bus. 

Aurel sudah terbiasa dengan sifat Arsen. Cowok itu sudah ke 999 kalinya telah mengingkari janji dan mungkin sekarang yang ke 1000 kali. Bahkan sering kali Arsen lebih memilih Sena dari pada Aurel yang sudah ada di depan matanya. Miris bukan kalau jadi Aurel? 
 

 

CHAPTER 02

🍁

Sekarang Aurel sudah berada di kamar tidurnya setelah pulang menggunakan transportasi umum. 

Aurel ingin bersih-bersih karena badannya yang sudah lengket. Bayangkan saja, pulang naik bus dengan jam yang sama saat pulang kerja. Otomatis Aurel harus berdesak-desakan untuk bisa pulang ke rumahnya.

Setengah jam berlalu, Aurel keluar kamar mandi dan bersiap untuk tidur karena Aurel adalah tipe cewek yang gak bisa tidur terlalu malem paling malem juga jam 9 itupun terpaksa harus belajar karena ada ulangan harian.

Aurel menghela nafas lelah dan merapihkan tempat tidurnya. Pintu balkon Aurel sengaja tidak pernah di kunci karena Aurel tahu akan ada seseorang yang datang. 

Bruk! 

Aurel menghempaskan tubuhnya di kasur empuknya. Aurel mulai menarik selimut, memeluk guling dan mulai memejamkan mata. 

Baru saja Aurel memejamkan mata, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar pintu balkon kamar Aurel. 

Aurel mendengkus kesal dan memilih tidak memperdulikan. Ia tahu siapa pelaku di balik pintu kamar balkonnya. Namun suara ketukan semakin kencang dan mengganggu tidur Aurel. 

Aurel berdecak. "Ganggu aja sih!" gerutunya kesal dan bangun dari tidurnya, berjalan malas ke arah pintu balkon. 

Pintu kamar balkon terbuka. Seseorang telah berdiri tegak dengan senyumannya. Dia, Arsen. Sudah menjadi kebiasaan seorang Arsen yang selalu berkunjung ke rumah Aurel lewat balkon kamarnya yang memang jarak balkon keduanya sangat dekat. Arsen selalu bertamu ke rumah Aurel saat malam hari. 

Aurel memutar bola mata malas. "Udah malan tahu nggak. Gue ngantuk," serunya kesal. 

Bukannya merasa bersalah. Arsen semakin masuk ke dalam kamar Aurel. "Masih sore, tahu," balasnya santai.

Aurel menghela napas. "Pulang sana. Udah jam sepuluh malam, gue harus tidur," usirnya langsung dan mendorong bahu Arsen yang ingin tidur di kasurnya. Tetapi, Arsen tidak peduli. Cowok itu semakin mendekati ranjang dan setelahnya merebahkan tubuhnya di kasur milik Aurel.

Aurel berdecak. "Arsen, gue ngantuk beneran!"

"Lo tidur aja. Gue mau disini. Kalau gue udah ngantuk, gue bakal balik ke kamar," balas Arsen yang mulai sibuk dengan ponsel. 

Aurel menghela napas jengah dan memilih kembali tidur. Berusaha mengabaikan cowok nyebelin itu. Suasana hati Aurel masih buruk karena Arsen telah mengingkari janjinya tadi sore. 

"Terserah lo! Awas macam-macam sama gue!" ancam Aurel dan mulai membaringkan tubuhnya di samping Arsen. 

"Kalau gue cium pas lo tidur nggak apa-apa, kan?" tanya Arsen jahil dengan menaikan turunkan alisnya. 

Aurel menoleh dengan tatapan tajam. "Nggak!" tolaknya dan memejamkan mata, berusaha untuk terlelap ke dalam mimpinya. 

Arsen tertawa dan mulai mengusap surai hitam Aurel lembut. 

"Rel."

"Hm?" jawab Aeri walaupun matanya sudah tertutup tetapi, Aurel masih sadar. 

Arsen menatap Aurel yang sudah memejamkan mata. "Gue suka sama seseorang," ucapnya yang sontak membuat Aurel membuka matanya. 

Arsen kembali tertawa akan respon Aurel yang seperti terkejut. Gadis itu memiringkan tubuhnya dan menahan kepalanya dengan tangan kirinya. 

"Suka— sama siapa?" tanya Aurel dengan tatapan lekatnya. 

Arsen ikut menatap Aurel, mereka saling tatapan beberapa detik. "Lo," jawab Arsen membuat kedua mata Aurel melebar. 

"Bohong gue," lanjut Arsen dan menyentil kening Aurel pelan. 

Aurel memutar bola matanya dan memejamkan mata dengan memeluk gulingnya. "Senata Feronika." Seketika mata Aurel terbuka dan tidak berkedip beberapa detik. "Gue suka sama Senata," lanjut Arsen yang membuat Aurel tersenyum kecut. Aurel harus menahan kenyataan dan rasa sakit di hatinya. 

"Ohh." Arsen mendesis. "Dih! Kok gitu doang sih respon lo!" Kesalnya dengan mencubit hidung mungil Aurel. 

Aurel mendengkus dan mengusap hidungnya. "Lo suka banget sama dia?" tanya Aurel lirih, mencoba setenang mungkin untuk tidak menangis. 

"Suka," jawab Arsen. "Sejak kapan?" tanya Aurel lagi. 

Arsen berPikir sejenak. "Eum, waktu pertama kali ketemu dia kelas satu SMA," jawabnya jujur. 

"Ohh," jawab Aurel dan memilih memutar tubuhnya. Membelakangi Arsen. Hati Aurel benar-benar sakit.

Rasanya Aurel ingin menangis, orang yang dia sayang dan cintai menyukai perempuan lain yang ternyata sahabatnya sendiri, Senata Feronika. 

"Sen, lo pulang sana gue mau tidur," usir Aurel lembut. 

"Bentaran, gue masih mau disini. Lo tidur aja, nanti kalau gue udah ngantuk baru balik," tolak Arsen dan kembali memainkan ponselnya. 

Aurel menghela napas. "Terserah deh, nanti lo keluar jangan lupa tutup pintu balkonnya," pesan Aurel dan memejamkan mata. Tanpa sadar, kedua air mata Aurel jatuh. 

"Siap bos!" balas Arsen. 

Aurel mulai tidur dengan membelakangi Arsen, yang nyatanya menahan tangisan. Aurel berusaha tidur agar apa yang di dengarnya tadi hanyalah sebuah mimpi. 

🍁

 

 

 

CHAPTER 03

🍁

Suara kicauan burung terdengar jelas di telinga Aurel. Aurel membuka matanya perlahan dan bangun dari tidurnya menuju balkon. 

"Good morning," gumam Aurel dengam merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum pergi menuju kamar mandi. 
Aurel melirik balkon kamar Arsen. Pintu itu masih tertutup dengan rapat. Pasti masih tertidur, Aurel sangat hafal kebiasaan cowok itu. 

Karena jam sudah menunjukan pukul enam pagi. Aurel bersiap untuk sekolah. 

Lima belas menit kemudian, Aurel telah selesai mandi dan berpakaian sekolah. Aurel berjalan ke meja rias memakai bedak tipis dan lipstik warna yang senada dengan bibir, agar tidak terlihat pucat.

"Ayoo, berangkat sekolah," gumam Aurel dan langsung keluar kamar menuju lantai bawah, tepatnya ruang makan.

Tiba di tangga, Aurel menghentikan langkahnya sejenak dan menghela napas panjang saat dirinya melihat ayahnya dan ibu. Ralat wanita tua yang sangat Aurel benci, karena sampai kapanpun Aurel tidak akan pernah mau mengakui kalau wanita tua itu adalah ibu-nya. Wanita tua yang sedang bersama ayahnya adalah istri kedua sang ayah setelah ibu kandung Aurel meninggal dunia.

Aurel sangat tidak menyukai wanita itu sampai kapanpun karena jahat, licik, tukang adu domba dan keras kepala. Hubungan ayahnya menjadi renggang karena ulah wanita tua itu. Kalau saja wanita tua itu tidak datang ke kehidupan ayahnya. Aurel yakin, hubungan Aurel dan ayahnya pasti akan baik-baik saja dan bahagia layaknya keluarga walaupun tanpa seorang ibu. 

Aurel kembali melanjutkan langkahnya, menuruni anak tangga menuju ruang makan. Ia hanya ingin pamit pada sang ayah. 

"Ayah," sapa Aurel dengan melirik sekilas ibu tirinya. "Aurel pamit berangkat sekolah," lanjutnya yang ingin menggenggam tangan ayah nya namun, pria itu menjauhkan tangannya.

Aurel menarik napas pelan, menahan sesak di dadanya kemudian, tersenyum tipis. Berusaha untuk tidak terlihat lemah. "Aurel pergi, yah," pamitnya tanpa mau berpamitan dengan ibu tirinya. Karena Aurel sampai kapan pun tidak mengakui wanita itu adalah ibu-nya. 

"Anak nggak ada sopan santun," gumam Arkham dengan mengoleskan selai pada roti yang di pegangnya. 

Aurel tidak peduli. Ia memilih melanjutkan langkahnya. Aurel sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu dari bibir ayahnya. 

Keluar rumah, Aurel tersenyum saat melihat sang supir yang sudah bersiap. "Selamat pagi, non Aurel," sapa pak Agus. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama 20 tahun sebagai supir pribadi keluarganya. 

"Pagi pak," balas Aurel ramah. 

"Sudah siap berangkat sekolah?" tanya Pak Agus. 

Aurel mengangguk kecil. "Aurel berangkat bareng sama Arsen. Bapak jemput Aurel aja nanti pulang sekolah," ucapnya.

"Ohh, ya sudah. Hati-hati non," ucap pak Agus mengerti. 

"Iya pak, Aurel berangkat dulu, ya," pamit Aurel dengan melangkah keluar gerbang rumahnya dan pergi menuju rumah yang hanya lima langkah dari rumahnya. 

"Arsen!" panggil Aurel dari luar gerbang rumah cowok itu. 

"Pagi non Aurel," sapa satpam rumah Arsen dengan membukakan pintu gerbang hitam besar.

"Pagi pak."

"Silahkan masuk. Sepertinya den Arsen sedang sarapan," ucap pak satpam itu ramah. 
Aurel mengangguk dan memasuki rumah keluarga Mahardika. 

"Iya pak, Aurel masuk ya. Permisi," izin Aurel. 

Aurel masuk rumah Arsen dengan langkah santai karena memang keluarga Mahardika sudah menganggap Aurel sebagai anaknya. 

Tiba di ruang makan raut wajah Aurel langsung berubah datar. Di salah satu kursi makan, ada Senata yang sedang makan bersama dengan Arsen. 

Menarik napas sejenak. "Pagi," sapa Aurel berusaha terlihat biasa saja.

"Pagi, rel," sapa Arsen dan Sena bersama. 

"Pagi, Aurel sayang," sapa Yoralina, ibu dari Arsen Arjuna Mahardika. 

"Sini sayang, duduk. Sudah makan belum?" tanya Yora dengan menarik kursi untuk Aurel. 

"Terima kasih. Sudah, bun" jawab Aurel berbohong. Ia tidak ingin orang-orang tahu akan kehidupan asli keluarganya. Aurel sangat pandai menyimpan luka. 

"Yaah, padahal bunda sudah siapkan nasi goreng untuk kamu," sendu Yoralina. 

Aurel tersenyum tipis. "Ya sudah, mana nasi goreng buatan bunda. Aku makan," ucapnya tidak tega dengan tatapan Yoralina. 

"Sebentar, bunda ambilkan dulu," balasnya senang dan meletakan sepiring nasi goreng di depan Aurel. 

"Terima kasih, bun." Aurel langsung menyantap nasi goreng itu dengan lahap. 

Beberapa menit berlalu, Aurel telah selesai menyantap makan paginya. Kini, tatapannya tertuju pada Arsen dan Sena yang duduk saling bersebelahan. 

"Eum, Aurel, sorry banget nih. Lo nggak bisa berangkat bareng gue. Sena minta berangkat sama gue," ucap Arsen tiba-tiba.

Aurel tersenyum kecut. "Ya udah, nggak apa-apa. Gue bisa naik ojek online," balasnya terlihat baik-baik saja dan bangun dari duduknya. "Kalau gitu gue berangkat, yaa. Takut telat," lanjut pamitnya dan ingin mencium tangan Yora namun, dengan wanita itu ditahan. 

"Aurel, kamu bareng sama om Arsan aja, ya," ucap Yora yang tidak tega. Yoralina sudah menganggap Aurel seperti putrinya sendiri. 

Aurel tersenyum namun, setelahnya menggeleng. "Sebelumnya terima kasih, bun. Aurel bisa naik ojek. Nggak apa-apa, kok," balasnya dan mencium tangan Yoralina. "Titip salam untuk om Arsan," lanjutnya dan bergegas keluar rumah Arsen. 

Melihat kepergian Aurel, tatapan Yora langsung tertuju pada putranya. "Arsen, kamu kan bisa bawa mobil. Kenapa biarkan Aurel pergi sendiri?" tanyanya kesal. 

Arsen menghela napas. "Arsen mau bawa motor bun. Kalau bawa mobil macet. Nanti telat ke sekolahnya," balasnya.

Yora menghela napas, anaknya yang satu ini tidak pernah peka dengan perasaan Aurel. Padahal Aurel sudah terang-terangan memperlihatkan perasaannya pada Arsen, sampai Yora mengetahuinya dengan sendiri kalau Aurel suka pada putranya.

🍁

Aurel sekarang sudah tiba di halte bis, dirinya berbohong kalau akan naik ojek online. Nyatanya Aurel memilih untuk naik bus. 

Aurel duduk di bangku halte dengan pandangan ke depan dan melihat orang berlalu-lalang di depannya. 

Aurel menghela napas dan tidak lama bus datang dan Aurel langsung masuk bus dengan berdesak-desakan. 

Beberapa menit kemudian, Aurel tiba di halte dekat sekolah dengan baju yang terlihat lecek dengan rambut sedikit berantakannya. 

Aurel menghela napas lega saat pintu masuk masih terbuka. Tapi, kali ini keberuntungan sedang tidak berpihak pada dirinya. Pintu tiba-tiba tertutup. 

"Pak sebentar!" seru Aurel berusaha menahan pak satpam yang sudah sepenuhnya menutup pintu gerbang. 

"Maaf neng. Jam masuk sudah tiba," balas pak satpam. 

Aurel mendesis. "Pak, saya mohon buka gerbangnya. Saya cuma telat beberapa detik aja, kok. Pak bukain," mohonnya dari luar gerbang dengan wajah memelas. 

"Kamu, saya kasih masuk tetapi, harus dapat hukuman," jawab pak satpam tegas 

Senyum Aurel luntur. "Yaaah!"

"Ya sudah tidak boleh masuk," balas pak satpam.

Aurel mendengkus. "Ya sudah, saya masuk pak," balasnya pasrah. 

"Letakan tas kamu di sini, dan lari sepuluh putaran," ucap pak satpam tegas. 

Aurel terkejut bukan main. "Pak, banyak banget. Nanti kalau saya pingsan, gimana?!" protesnya. 

"Saya tidak mau tahu! Siapa suruh datang terlambat. Semua murid juga dapat hukumannya kok," jawab pak satpam enteng. 

Aurel menghela napas dan mulai berlari mengelilingi lapangan. 

Satu putaran terlewat... 

Dua terlewat...

Tiga terlewat... 

Empat terlewat...

Lima terlewat...

Enam terlewat... 

Napas Aurel sudah mulai sesak, kepalanya juga sudah pusing. Aeri memilki darah rendah, sekalinya mengalami kelelahan agar membuatnya pusing dan lemah. 

"Cepat, lari lagi!" teriak pak satpam dari pinggir lapangan yang sedang mengawasi para murid yang terlambat datang.

Aurel menghela napas panjang dan kembali berlari namun, larinya tak seperti sebelumnya. 

Tujuh putaran terlewat... 

Bruk! 

Aurel tergeletak di rumput karena tidak kuat menahan pusing di kepalanya. Samar-samar, Aurel mendengar seseorang mendekatinya dengan panik. Kemudian seluruh pandangannya mengabur dan ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Aurel tidak sadarkan diri.

🍁

Setelah satu jam terbaring di atas kasur UKS dengan selimut biru menutupi tubuh Aurel. Aurel akhirnya terbangun membuka matanya perlahan, melihat langit-langit ruang UKS berwarna putih. 
Tatapannya beralih ke sebelah kanan, dimana sosok jangkung dengan seragam sedikit berantakan sedang menunggunya dari tadi. 

"Masih pusing?" tanyanya dengan memberikan segelas air putih pada Aurel. 

"Sedikit," jawab Aurel, setelah meminum air. Lalu menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. 

"Kok lo bisa pingsan?" tanyanya terdengar khawatir. 

"Capek," jawab Aurel singkat. 

Tjak! 

Jitakan pelan mendarat di kening Aurel. "Yang spesifik. Gue juga tau kali, pasti capek di suruh lari sepuluh putaran," balasnya kesal. 

Aurel memutar bola mata malas dan memilih tidak menjawab. 

"Udah makan?" tanyanya lagi

Aurel mengangguk pelan. "Lo nggak lihat gue makan di rumah lo?" tanyanya balik. 

"Ahh, lupa gue," balasnya dengan cengiran. 

"Sorry, gue nggak maksud buat lo di hukum. Coba aja kalau gue bawa mobil, pasti lo nggak di hukum sampai kelelahan kaya gini," ucapnya menunduk. 

Aurel menghela napas, dirinya tidak menyukai Arsen saat sedih. "Bukan salah lo. Salah gue sendiri, ngapain gue ke rumah lo dulu. Harusnya gue langsung berangkat," ucap Aurel membuat Arsen menatapnya. 

"Ihh! Lo harus ke rumah gue kalau mau berangkat. Gue janji deh, kalau Sena minta berangkat bareng. Gue bawa mobil," seru Arsen. 

"Terserah lo," balas Aurel dan kembali menidurkan kepalanya dengan memejamkan mata membelakangi Arsen.

🍁

 

 

CHAPTER 04

🍁

Bel istirahat berbunyi dan Aurel keluar kelas. Dirinya sudah kembali ke kelas setelah merasa baikan di jam pelajaran pertama selesai. 

"Lo makan bareng gue. Nggak ada penolakan," ucap Arsen dengan menarik tangan Aurel agar mengikutinya. 

Aurel menurut saja, kalau Arsen sudah dengan kalimat tanpa penolakan. Aurel harus menurut kalau tidak bisa menjadi masalah yang panjang. 

Aurel dan Arsen tiba di kantin sekolah. Arsen langsung menarik lengan Aurel agar segera duduk di kursi kantin. 

"Mau makan apa? Gue yang pesan makanannya," tanya Arsen. 

"Apa aja. Gue lagi malas makan," jawab Aurel datar. 

Arsen menghela napas dan berjalan menuju penjual makanan. Lima menit berlalu, Arsen telah kembali dengan dua nampan di tangannya. 

"Di makan. Awas aja nggak di makan. Gue bakal marah," ancam Arsen. 

Aurel terpaksa menurut, daripada nanti jadi bahan perhatian. Aurel sangat benci perhatian. 
Satu sendok nasi masuk ke mulut Aurel, membuat Arsen yang sedang menatap gadis itu tersenyum. 

"Arsen!" panggil seseorang membuat pemilik nama dan Aurel menoleh. 

"Hai, Aurel!" sapa Senata saat melihat keberadaan gadis itu di sebelah Arsen. 

"Hmm," balas Aurel singkat. 

Senata cemberut. "Kok kalian nggak tunggu aku sih?" tanyanya sendu. 

Arsen tersenyum gemas. "Maaf, tadi Aurel pingsan. Jadi aku mau bawa dia ke kantin supaya cepat makan," jawabnya jujur. 

"Kok bisa pingsan sih, rel? Perasaan kamu itu kuat deh. Main basket berjam-jam aja masih bisa?" tanya Senata heran. 

"Gu—"

"Habis di hukum lari lapangan gara-gara telat," selak Arsen. 

"Kok telat? Kalau gitu tadi pagi kita berangkat bareng aja," ucap Senata merasa bersalah. 

Aurel menghela napas. "Gue nggak apa-apa," balasnya. 

"Harusnya kamu tadi bawa mobil, Arsen. Kasihan Aurel sampai di hukum gara-gara telat," seru Senata. 

Arsen mengusak surai hitam Senata. "Kamu kan mau naik motor. Aku nggak tega kalau harus buat kamu sedih karena nggak jadi," ucapnya membuat kening Aurel mengkerut. 

Senata mengerjap. "Tapi kalau Aurel ikut nggak apa-apa, kok," balasnya melirik Aurel. 

"Kamu lebih penting. Aku udah janji bakal berangkat sama kamu naik motor," ucap Arsen membuat kedua tangan Aurel mengepal.

"Tapi—"

Prang!

Aurel yang kesal membanting sendok di tangannya dan bergegas bangun dari duduknya dan meninggalkan Arsen dan Senata yang heran. 

"Aurel mau kemana?!" teriak Senata namun, Aurel tidak men jawabnya. 

"Ish!" pukul Senata pada lengan Arsen. "Kamu sih! Aurel jadi pergi," lanjutnya. 

Arsen tertawa kecil dan mengacak surai hitam Senata pelan. Dirinya gemas dengan cewek itu yang terlihat menggemaskan.

🍁

Aurel tiba di area rooftop sekolah. Ia menghela napas dan duduk di sofa yang terlihat sudah usang namun, masih bisa digunakan untuk duduk. 

Aurel menutupi kedua matanya dengan lengan dan tiduran di sofa itu, ia diam dengan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. 

"Gue kira nggak ada orang," ucap seseorang. 

Aurel membuka mata dan menatap sosok laki-laki yang sedang duduk di dinding menghadap ke langit dengan kaki yang bergelantung. 

"Gue, Aksa. Kelas sebelas IPA dua," ucapnya tanpa menatap Aurel. 

"Nggak tanya," balas Aurel dingin dengan mata yang masih terpejam. 

Aksa tersenyum tipis. "Hanya ingin memperkenalkan diri" ucapnya. "Lo, Aurellia Gabrielle bukan?" lanjut tanyanya memastikan. 

Aurel diam. "Kalau nggak ada jawaban berarti benar," lanjut Aksa dengan senyuman tipis. 

"Pergi. Jangan ganggu gue," usir Aurel agak ketus. 

Lagi-lagi Aksa tersenyum. "Gue mau temani lo. Takut-takut lo lompat karena patah hati," ucapnya membuat Aurel membuka mata. 

"Maksud lo?" tanya Aurel bingung. 

"Lo mau tahu? Sahabat lo, Arsen sedang menyatakan perasaannya pada Senata di tengah lapangan." 

Deg! 

Detak jantung Aurel berdetak kencang. Dadanya serasa begitu sesak saat mendengar ucapan cowok itu. 

"Lo-lo bohong?" tanya Aurel yang masih tidak percaya. 

Aksa mengangkat kedua bahunya. "Lihat tuh! Acaranya sedang berlangsung," jawabnya masih dengan tatapannya yang tertuju pada lapangan. 

Segera Aurel bangun dan mendekati Aksa. Melihat ke arah pandang cowok itu dan benar saja, seorang Arsen sedang berlutut di depan Senata dengan bunga di tangannya. 

Aurel terdiam beberapa detik dengan kedua mata berkaca-kaca. "Lo jahat, Sen," ucapnya dalam hati. 

Aurel memundurkan langka. Ia tidak ingin melihat kedua sahabatnya yang mungkin sebentar lagi akan menjadi sepasang kekasih.

Aksa yang melihat reaksi Aurel, merasa iba. Cewek di depannya pasti menyukai seorang Arsen itu. "Lo nggak apa-apa?" tanya Aksa ragu, dirinya hanya ingin memastikan kalau cewek itu baik-baik saja. 

Aurel menggeleng pelan. "Nggak, gue sedang tidak baik," jawabnya lirih dan kembali duduk di sofa dengan menunduk menatap sepatunya dan sedetik kemudian, air mata jatuh dari sudut matanya. 

Aurel menahan isakan agar tidak keluar karena Aurel adalah tipe perempuan yang tidak mau orang lain tau masalahnya. Ia akan menyimpan semua masalahnya dengan rapat-rapat. Bahkan seorang Arsen pun tidak mengetahui masalah keluarganya. 

Aksa menatap Aurel yang menunduk, dirinya tahu kalau gadis itu menangis dalam diam. Terdengar suara isakan yang tertahan darinya. 

"Kalau lo butuh sandaran gue siap jadi tempat curhat lo," ucap Aksa, dirinya sangat tidak menyukai jika ada seorang perempuan menangis di depannya. 

Aurel tidak merespon. Gadis itu langsung pergi begitu saja dari area rooftop. Menghela napas, Aksa menatap punggung Aurel yang bergetar itu. "Ternyata lo pembohong yang handal," gumamnya. 

🍁
 

 

 

CHAPTER 05

🍁


Aurel telah kembali ke kelas dan langsung menuju kursinya. Menidurkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata sejenak. Ia ingin menenangkan pikirannya sampai bel istirahat selesai berbunyi. 

"Aurel!" panggil seseorang dari luar kelas. Aurel kenal suara itu namun, ia berusaha untuk tidak peduli. 

Terdengar langkah kaki, mulai mendekati tempat Aurel duduk. "Lo beneran tidur?" ucap Arsen dengan menyingkirkan rambut Aurel dari wajah gadis itu. "Yaah, padahal gue mau cerita ke lo," lanjut Arsen saat tahu Aurel sedang tidur. Namun kenyataannya, Aurel tidak tidur. Ia tidak ingin bertemu Arsen untuk saat ini. "Kalau gitu gue cerita aja deh. Nggak di dengar juga nggak apa-apa," gumam Arsen dan mengikuti posisi Aurel. 

Menghela napas pelan. "Gue habis menyatakan perasaan pada Sena dan lo harus tahu! Sena terima perasaan gue," gumam Arsen bercerita dengan nada senang.

Aurel yang mendengarkannya hanya bisa merasakan sesak di dada. 

"Gue kira nggak akan di terima tetapi, gue salah. Ternyata dia juga suka sama gue," lanjut Arsen. 

Arsen mengelus pucuk kepala Aurel dan mencium kening gadis itu. "Tidur nyenyak, bel istirahat bangun. Gue mau balik ke kelas. Nanti gue titip teman kelas untuk bangunin lo," ucapnya dan meninggalkan kelas. 

"Woy! Bro, gue titip Aurel. Bel masuk tolong bangunin," Suara Arsen terdengar saat bicara dengan teman kelasnya Aurel. 
Sedangkan Aurel masih memejamkan mata dengan kedua tangan terkepal. "Kenapa, lo nggak pernah peka sama perasaan gue. Arsen," ucapnya dalam hati. 

🍁

Sekolah sudah pulang dan sekarang Aurel tiba di rumah setelah berusaha menghindar dari Arsen. Untuk saat ini, Aurel tidak ingin bertemu dengan cowok itu. Setiap kali melihat wajah bahagianya Arsen membuat dada Aurel terasa sesak. 

"Buat makan malam!" Suara teriakan terdengar saat Aurel baru saja ingin menaiki anak tangga menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. 

"Bukan tugas saya," jawab Aurel ketus dan kembali naik tangga namun, terdengar ucapan lagi yang membuat Aurel menghentikan langkahnya. 

"Gue nggak mau tau! Lo harus buat makan malam. Itu sudah jadi tugas lo bodoh!" ucapnya membentak. 

Aurel memejamkan mata sejenak, menahan emosi yang tiba-tiba saja muncul. Menarik napas pelan dan menghembuskan, Aurel berbalik badan dan tersenyum miring. 

"Saya bilang nggak—"

Plak! 

Satu tamparan mulus mendarat di pipi Aurel. Tubuh Aurel diam dan tidak bergeming. Kesakitan yang selalu Aurel rasakan saat berada di rumah ini. Terkena tamparan kuat  untuk kesekian kalinya membuat Aurel sudah terbiasa setelah ayahnya menikah dengan wanita tua di hadapannya. 

"Masak atau gue bakal buat lebih dari ini!" ancamnya dan langsung pergi meninggalkan Aurel yang masih terdiam di anak tangga. 

Mengepalkan tangan, Aurel menghela napas panjang. "Lo kuat. Nggak boleh menyerah," gumamnya menyemangati dirinya sendiri dan kembali melanjutkan langkahnya. 

Aurel masuk kamarnya, menyimpan tas dan langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan menatap langit-langit kamar. "Aurel kangen bunda," gumamnya lirih. 

Satu tetes air mata berhasil turun di pipi Aurel, lubang yang selama ia tutup rapat kini terbuka kembali. Membayangkan bundanya yang selalu ada di samping namun, sekarang tidak akan pernah ada. Hidupnya sudah lelah dengan siksaan yang selalu di rasakan dari ibu tirinya. Aurel mengharapkan pelukan ayah yang tidak akan bisa di dapatkannya lagi karena selalu sibuk dengan pekerjaannya dan juga karena ulah wanita tua itu. Hidupnya bagaikan kertas putih kosong. 
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar balkon Aurel. Segera Aurel hapus jejak air mata di pipinya. Setelah sudah dalam keadaan baik, Aurel menoleh dan melihat sosok laki jangkung yang berdiri dengan senyuman dan sebuah plastik besar di tangannya. 

Aurel menghela napas dan berjalan malas ke pintu balkon untuk membuka pintu. "Ngapain?" tanyanya datar. 

Arsen mendengkus dan memilih masuk ke dalam kamar Aurel. "Gue masih ingat sama lo, kan?" ucapnya dengan mengangkat kantong plastik berisi martabak manis rasa keju yang menjadi makanan favorit Aurel.

"Hmm," balas Aurel singkat dan kembali ke kasur untuk merebahkan tubuh. 

Arsen mengerutkan keningnya, bingung. Respon Aurel yang terkesan biasa saja. Biasanya kalau ia datang dengan membawakan makanan favoritnya, gadis itu pasti akan lompat-lompat dengan kegirangan layaknya anak kecil yang mendapat permen. 

"Kenapa lo? Tumben nggak senang gue kasih martabak?" tanya Arsen heran dengan meletakan martabak di meja belajar dan duduk di pinggir kasur. Menatap Aurel yang sedang memejamkan matanyam

"Nggak apa-apa. Lagi capek aja," jawab Aurel. 

"Capek ngapain? Di kelas lo tidur," tanya Arsen heran. 

Aurel membuka mata dan menatap Arsen lekat. "Semua kehidupan gue, Arsen," ucapnya dalam hati. 

Arsen mengerjap saat Aurel menatapnya dengan lekat. "Lo ada masalah?" tanyanya berubah serius. "Ehh tunggu deh. Ini pipi lo kenapa merah?!" tanya Arsen yang baru sadar. 

Aurel langsung mengalihkan tatapannya kearah lain. "Eum, kebentur pintu," jawabnya asal. Karena Aurel tidak ingin Arsen tahu akan kehidupan keluarganya. 

Arsen memicingkan matanya, curiga. "Serius?" tanyanya. 

"Hm, serius gue," jawab Aurel tenang agar Arsen percaya. 

Arsen menghela napas. "Kebiasaan. Selalu ceroboh," seru Arsen dan mengikuti Aurel tertidur di sampingnya. 
Keadaan hening sesaat. 

"Aurel." 

"Hm?"

"Gue mau cerita," ucap Arsen dan menatap Aurel namun, tidak membuka mata. 

"Tentang lo sama Sena?" tanya Aurel. 

"Kok lo tau?" tanya balik Arsen. 

Aurel membuka mata. "Berita lo sudah menyebar ke sekolah. Siapa yang nggak tau."

Arsen tersenyum dengan menggaruk tengkuknya. "Oiya, gue kan nyatakan perasaan sama Sena di lapangan," gumamnya polos. 

Aurel memutar bola mata malas. "Lo...senang banget nembak Sena?" tanyanya lirih. 

Arsen mengangguk cepat. "Senang banget! Gue udah dari suka lama sama Sena dan akhirnya perasaan gue terbalaskan," jawabnya. 

Aurel tersenyum miris. "Kalau perasaan gue kapan lo balas," ucapnya dalam hati.

"Ohh," balas Aurel. 

"Oiya! Mulai besok gue bakal berangkat bareng terus sama Sena," ucap Arsen membuat Aurel mengigit bibirnya. "Tapi lo tenang aja. Lo masih bisa bareng berangkatnya sama gue. Nanti gue bawa mobil," lanjutnya Arsen tanpa tau kembali menggoreskan luka pada Aurel. 

"Ng-nggak usah. Gue bisa sendiri. Gue nggak mau ganggu kalian," balas Aurel dan bangun dari tidurannya menuju kamar mandi. 

"Lo masih bisa bareng gue berangkatnya. Nggak usah ngambek," ucap Arsen berniat jahil. 

Aurel berhenti melangkah dan berbalik badan. Menatap Arsen dingin. "Gue nggak mau ganggu hubungan lo. Gue tau batasan," balasnya. 

Arsen diam sejenak. "Mau kemana?" tanyanya.

"Kamar mandi," jawab Aurel. 

Arsen mengangguk dan menatap punggung Aurel. Ia merasa gadis itu seperti marah padanya.

"Apa gue salah bicara?" gumam Arsen bingung. 

Tidak lama Aurel keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Aurel melihat Arsen yang tertidur di kasurnya. Menghela napas pelan, Aurel membiarkan Arsen tertidur, dirinya memilih keluar kamar untuk membuat makan malam. 
Sebenarnya di rumah Aurel memiliki pembantu. Tetapi, entah kenapa ibu tirinya bersikeras agar Aurel yang mengerjakan membuat makan malam. 

Ting! 

Pesan masuk berbunyi. 

Arsen ❤

Gue pulang yaa, mau ngerjain PR. 

Aurel tersenyum tipis, walaupun Arsen sudah milik Sena tetapi, dirinya masih saja mengabarkan pads Aurel. 

Me

Hm, kerjain yang benar.

🍁

 

 

 

CHAPTER 06


🍁

Setelah selesai membuat makanan, Aurel memilih untuk pergi keluar menuju rumahnya, Arsen. Dirinya ingin terhindari dari amarah ibu tirinya.

"Pak, Arsen ada di dalam?" tanyanya pada penjaga rumah. 

"Halo, nona Aurel. Maaf, den Arsen barusan aja pergi bawa mobil," jawabnya.

Senyum Aurel seketika luntur. "Eum, kalau bunda ada?" tanyanya lagi. Setidaknya masih ada bunda yang bisa mengisi kesepiannya. 

"Ohh, ada non. Silahkan masuk."

Aurel tersenyum dan masuk rumah Arsen. Saat masuk perkarangan rumah, Aurel sudah melihat ibunya Arsen yang sedang berada di taman. 

"Bunda!" panggil Aurel semangat. 

"Ehh, Aurel. Sini," balas Yora. 

Aurel bergegas mendekati. "Halo, bun," sapanya dengan senyuman. 

"Arsen baru aja keluar," ucap Yora. 

"Aurel mau ketemu bunda kok," balasnya dan duduk di bangku taman dengan menatap Yora yang sibuk dengan tanaman dan bunga. 

"Aurel bantu boleh bun?" tanyanya. 

"Bolehlah sayang, sini. Kamu masukan tanahnya ke dalam pot buka," perintah Yora.

Aurel mengangguk patuh. Keadaan menjadi hening, karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing. 

"Aurel." 

"Iya, bun?" Aurel sedikit menoleh pada Yora. 

"Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan Yora membuat Aurel menghentikan kegiatannya. 

"Nggak apa-apa bun. Memang kenapa?" tanya Aurel balik dengan bingung. 

"Maafkan, Arsen. Kamu pasti sakit hati. Karena Arsen menyatakan perasaannya pada Sena bukan kamu," jawab Yora membuat Aurel terdiam sesaat. 

Tersenyum tipis. "Perasaan tidak bisa di paksa, bun. Aurel masih bisa bersama Arsen saja sudah senang," balasnya berbohong. Padahal hatinya sudah terasa begitu sesak. 

Yora menatap Aurel iba. "Kamu memang anak yang baik sayang. Bunda yakin, pasti kamu akan mendapatkan pria yang baik juga. Tetapi, bunda mohon kamu jangan hilangkan perasaan kamu pada Arsen. Bunda yakin suatu saat nanti, Arsen akan tahu perasaan kamu. Kamu hanya perlu bersabar," ucapnya yang menginginkan Aurel menjadi pacar putranya. 

Aurel tersenyum. "Aurel nggak bisa janji, bun. Tetapi, Aurel berusaha agar hati ini tetap untuk Arsen. Aurel sayang banget sama Arsen," jawabnya yang langsung dapat pelukan dari Yora. 

"Terima kasih sayang. Coba bunda punya anak cowok satu lagi. Sudah bunda jodohkan sama kamu. Tapi sayangnya, bunda cuma punya Arsen," ucap Yora. 

Aurel tertawa kecil. "Sepupu Arsen juga boleh bun. Kak Gio misalnya," ucapnya bercanda. 

Yora langsung melebarkan mata. "Yaah, jangan dia dong. Saingan Arsen lebih perfect, yang lain aja. Bisa-bisa Arsen kalah dan kamu lebih nyaman sama Gio," balasnya bercanda juga. Tapi sebenarnya dalam hati ia was-was. 

Keduanya tertawa bersama. Setelah kegiatan dengan tanaman selesai. Yora dan Aurel masuk ke dalam rumah. Yora meninggalkan Aurel sebentar ke dapur, medangkan Aurel memilih membaca buku yang di bawanya di ruang keluarga. 

Beberapa menit berlalu, tiba-tiba buku yang di baca Aurel di tarik oleh tangan seseorang dari belakang. Membuat Aurel menoleh dengan mendengkus kesal.

"Baca mulu, nggak capek apa?" tanya Arsen melompat ke sofa samping dan duduk di sebelah Aurel. 

Aurel memutar bola mata malas dan mengambil bukunya dari tangan cowok itu. "Terserah gue," balasnya. "Dari mana lo?" lanjut tanyanya basa-basi. 

"Jalan sama Senata," jawab Arsen dengan senyuman. Terlihat bahagia dari wajahnya. 
Aurel terdiam dengan mengepalkan tangan kemudian, berusaha untuk terlihat biasa saja. 

"Kamu udah pulang, Sen," ucap Yora kembali dengan dua gelas minuman di tangannya. 

"Udah, bun," jawab Arsen. 

Yora melirik Aurel namun, yang diliriknya hanya menampilkan wajah tenang. "Kamu memang pintar menyembunyikan perasaan, Aurel," ucapnya dalam hati. 

"Gimana jalannya?" tanya Yora, memberikan gelas pada Aurel dan duduk di sebelah gadis itu. 

"Lancar, bun!" jawab Arsen semangat. 

"Lain kali ajak Aurel juga. Kasihan sendiri di rumah," ucap Yora membuat Aurel melirik wanita paruh baya itu. "Ya, kan, Rel," lanjutnya. 

Aurel hanya bisa tersenyum tipis. Sedangkan Arsen mendesis. "Makanya cari pacar. Jangan buku mulu," Ceplos Arsen. 

Yora menghela napas dengan menatap sang putra. "Arsen, kamu-nya yang tidak peka. Aurel menunggumu," ucapnya dalam hati. 

Aurel yang dapat ucapan dari Arsen hanya bisa tersenyum miris. Sampai kapan pun, dirinya tidak akan dapat balasan dari cowok itu. 

Aurel menutup bukunya dan bangun dari sofa. "Bunda, Aurel pulang yaa. Udah jam sembilan malam, takut ayah  Aurel," pamitnya. 

"Yaah! Padahal gue baru sampai rumah. Nginep aja di sini," seru Arsen cemberut, membuat Aurel tersenyum tipis dengan gelengan. 

"Besok masih bisa ketemu lagi," jawab Aurel dan mencium punggung tangan Yora. "Aurel pulang, bun" pamitnya meninggalkan rumah Arsen.

🍁

Melangkah tidak begitu jauh, Aurel tiba rumahnya. Berdiri di pintu utama, ia menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan sebelum masuk rumah. 

Aurel mulai melangkah membuka pintu dan berjalan menuju ke kamarnya namun, suara seseorang yang begitu berat membuat langkah Aurel terhenti. 

"Dari mana kamu?" tanya Wardana Hardine dingin. Ayah Aurellia Gabrielle Hardine. 
Aurel berbalik badan dan menatap ayahnya datar. "Rumah, Arsen," jawabnya singkat. 

"Sampai malam seperti ini? Kamu itu jangan buat nama keluarga jelek hanya karena perbuatan kamu yang selalu pulang malam!" ucap Wardana tegas. 

Membuat Aurel mengepalkan kedua tangannya. "Kalau bukan karena wanita tua itu, Aurel akan betah di rumah, ayah," ucapnya dalam hati. 

"Maaf, tapi Aurel lebih suka di rumah tante Yora daripada di rumah ini," balas Aurel jujurm

Plak! 

Tanpa aba-aba, satu tamparan di dapat Aurel dari tangan sang ayah. Baru kali ini ayahnya melayangkan tamparan pada Aurel. Aurel semakin mengepalkan kedua tangan sampai kukunya menancap di kulit tangannya, menahan rasa sesak di dada. 

"Ngomong apa kamu?!" tanya Wardana dengan emosi tertahan. 

Aurel menarik napas panjang sebelum kembali berucap. "Aurel lebih suka di rumah tante Yora daripada di rumah," ucap Aurel ulang, membuat emosi Wardana semakin memuncak. 

"Masuk kamar!" Aurel langsung menaik tangga menuju kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Sedangkan wanita tua yang sedari tadi memperhatikan dari jarak cukup jauh menyeringai puas. 

"Lihat saja. Ada waktunya kamu pergi jauh dari rumah ini."
Aurel membuka laci belajarnya dan mengeluarkan beberapa pil putih yang selalu ada saat ia membutuhkannya. 

Dua pil di minumnya. Aurel memukul dadanya dan berjalan ke kamar mandi. Menangis di dalam kamar mandi dalam diam. 

Aurel selalu melakukan seperti itu saat sang ayah melukai hatinya.

🍁

Set jam berlalu, Aurel keluar kamar mandi dengan pakaian yang sudah berganti. Setelah berhenti menangis, Aurel memilih untuk membersihkan diri. Ia tidak ingin wajahnya terlihat berantakan di depan orang-orang. 
Membuka pintu kamar mandi dan keluar. Aurel langsung dikejutkan oleh seorang cowok jangkung yang berada di atas kasurnya. Dia sedang tiduran dengan memainkan ponsel. 

"Ngapain lo ke sini?" tanya Aurel dengan melangkah ke arah meja belajara, memastikan pil obat yang sempat ia minum tersimpan dengan aman. 

"Main, bosen gue di kamar," jawab Arsen tanpa menatap Aurel. 

"Pulang sana. Gue mau tidur," usir Aurel yang mulai naik ke kasur dan membaringkan tubuhnya di samping Arsen dengan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. 

"Tidur aja. Gue masih mau di sini," balas Arsen santai. 

Aurel menghela napas. Dirinya sudah terbiasa saat Arsen main masuk ke kamarnya. Bahkan saat dirinya sudah terlelap.

Aurel membiarkannya, karena memang cowok itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak padanya. "Jangan macam-macam. Gue mau tidur," pesan Aurel dan mulai memejamkan matanya. 

"Rel."

"Hm?"

"Berangkat sekolah bareng gue ya," ucap Arsen. 

"Hmm." 

"Lo jangan jauh-jauh dari gue. Gue tahu udah punya Sena tetapi, gue nggak mau lo menjauh dari gue," ucapnya Arsen lagi. 

"Hmm."

"Janji! Jangan pernah jauh atau pergi dari gue?" tegas Arsen yang kali ini serius. 

Kali ini tidak terdengar balasan dari Aurel. Arsen langsung menoleh dan seketika tersenyum saat melihat sahabatnya sudah masuk ke alam mimpi. 

Arsen menarik selimut hingga menutupi sebatas leher Aurel dan mengelus kepala Aurel lembut. "Good night, my best friend," gumamnya dengan mencium kening Aurel. "Gue sayang banget sama lo."

🍁

 

 

 

CHAPTER 07

🍁

Pagi Hari, Aurel sudah rapi dengan seragam sekolahnya dan bergegas ingin berangkat sekolah. Aurel menuju ke lantai bawah menuruni anak tangga dan menemukan ibu tirinya berdiri di bawah tangga seperti sedang menunggunya. 
Menghela napas pelan. Aurel berusaha untuk tidak peduli dan memilih tetap berjalan tetapi, sayangnya tangannya di tahan oleh wanita itu. 

"Malam ini ada tamu yang akan datang. Jadi kamu nggak boleh keluar kamar. Mengerti!" ucapnya mengancam. 

Aurel tertawa mengejek. "Anda pikir ini rumah anda?! anda nggak berhak melarang-larang saya di rumah ayah saya sendiri!" balas Aurel ketus dengan tatapan tajam. 

Plak! 

Tamparan lagi di dapat Aurel. Tamparan ini mungkin sudah ratusan kali yang Aurel dapat dari ibu tirinya. Bahkan tamparannya pun sudah kebal di wajahnya sehingga Aurel tidak dapat merasakan sakit lagi. 

"Berani-beraninya kamu membentak saya! Saya ini ibu—"

"Anda bukan ibu saya! Sampai kapanpun anda bukan ibu saya! Dasar wanita nggak tahu diri!" selak Aurel yang juga membentak dengan napas menggebu. Ia paling benci jika wanita tua dihadapannya mengakui bahwa dia adalah ibunya. Sampai kiamat pun Aurel tidak akan pernah mengakuinya. 

Plak! 

Lagi, tamparan kembali di rasakan Aurel. Namun lebih kuat sampai Aurel merasakan darah sedikit keluar dari sudut bibirnya. Aurel sentuh sudut bibirnya dan tersenyum mengejek kepada wanita tua di hadapannya. Rasa perih yang dirasakan akibat tamparan tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya selama ini. 

"Kamu menurut atau saya bakal buat lebih dari ini!" ancamnya dengan menunjuk wajah Aurel dengan jari telunjuknya. 

Aurel menepis tangan wanita itu. Sedangkan wanita paruh baya yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran tuan rumahnya berlari cepat ke arah Aurel dan membawa Aurel pergi menjauh. Wanita paruh baya itu terlihat khawatir dengan keadaan anak majikannya yang menderita. Dirinya khawatir dengan wajah Aurel yang terlihat merah dan darah keluar dari sudut bibir Aurel. 

"Sudah nyonya. Sebaikanya nyonya masuk saja biarkan saya yang mengurus nona Aurel," ucapnya dengan tatapan memohon. 

"Pokonya saya nggak mau kalau dia keluar kamarnya nanti malam. Kalau masih membantah, jangan kasih dia makan malam!" perintahnya tegas dan langsung pergi meninggalkan Aurel dan pembantu yang berdiri di sampingnya. 

Aurel mengepalkan kedua tangan, emosinya sudah memuncak ingin sekali menjambak rambut wanita itu. Jika saja pembantunya tidak meredakan emosinya, bisa jadi Aurel dapat pukulan dari ayahnya nanti. 

"Non, tenang yaa. Ada bibi disini, kita obati luka non Aurel," ucap bibi dengan mengelus punggung Aurel agar tenang.  
Aurel tersenyum tipis pada pembantunya. "Terima kasih, bi," ucapnya. 

Bibi tersenyum. "Sama-sama, non. Ayoo, bibi obati. Supaya non tidak terlambat berangkat sekolah."

Aurel mengangguk. "Lain kali non tidak usah membalas ucapan nyonya. Bibi nggak tega sama non yang selalu dapat perlakuan kasar darinya," ucap bibi dengan mengobati luka Aurel

"Aurel nggak bisa, bi. Dia udah keterlaluan, Aurel nggak akan tinggal diam," balas Aurel kembali emosi.

Bibi mengelus pucuk kepala Aurel. "Bibi sayang sama nona. Bibi nggak mau non Aurel terluka lagi," ucap bibi. 

Aurel tersenyum tipis. "Terima kasih, bi. Aurel sayang bibi juga," ucapnya dengan memeluk bibinya. 

"Ya sudah. Sekarang berangkat. Nanti terlambat masuk sekolah." 

"Iyaa bi, Aurel berangkat yaa bi," pamit Aurel. Kali ini dirinya tak ingin berangkat bersama Arsen. Bisa gawat kalau Arsen melihat wajahnya yang terluka. 

Setelah mengirimkan pesan, Aurel mulai berangkat sekolah dengan menggunakan ojek online.

🍁

Aurel tiba di sekolah. Di sepanjang koridor sekolah banyak yang menyapa Aurel, sedangkan yang di sapa hanya memasang wajah datar namun, sesekali tersenyum tipis jika Aurel mengenalnya.

Bruk! 

Aurel tertabrak bahu seseorang membuatnya sedikit terhuyung ke belakang tetapi, untungnya tidak terjatuh. 

"Sorry, gue nggak sengaja," ucapnya membuat Aurel menoleh. Ingin tahu siapa pelaku yang telah menabraknya. 

Seorang cowok telah berdiri di depannya. "Aurel," ucap cowok itu sedikit terkejut. 

"Siapa?" tanya Aurel datar. 

Cowok itu tersenyum tipis. "Baru kemarin kita ketemu. Lo udah lupa aja. Gue Delvin, kita ketemu di roftoop," jawabnya. 

"Ohh," balas Aurel terkesan dingin. 

Delvin menatap Aurel. Matanya tak lepas dari Aurel yang notabennya di juluki ice princess. 

Aurel langsung beranjak pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada cowok dengan nama Delvin itu.

Delvin tersenyum, menurutnya Aurel menarik. Entah, kenapa dia begitu penasaran dengan gadis itu. Aurel berbeda dengan gadis lainnya yang ada di sekolah. Dia cenderung lebih tertutup dan dingin kepada semua orang terlebih wajah datarnya dan tidak pernah tersenyum, terkecuali dengan kedua sahabatnya Arsen dan Senata.

Aurel tiba di kelas. Ia langsung duduk di kursinya dan membuka buku yang sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi. 

"Morning, Aurel," sapa seseorang dari ambang pintu kelas dengan bersendar di pintu dan tidak lupa kedua tangannya di lipat di depan dada. 

Aurel hanya melirik sebentar dan kembali fokus pada buku. 

Arsen mendengus dengan respon Aurel. Ia masuk dan memilih duduk di kursi depan gadis itu. 

Arsen menatap Aurel yang sedang membaca. "Aurel!" serunya riba-tiba membuat Aurel terkejut. 

"Apasih!" Arsen mendesis. "Wajah lo kenapa lagi?!" tanyanya heboh saat melihat wajah Aurel sedikit merah dan sudut bibirnya di plester kecil. Arsen juga mengangkat dagu Aurel agar dirinya dapat melihat luka di wajah gadis itu. 

"Bukan apa-apa," jawabAurel dengan menipis tangan Arsen pelan. 

Arsen mendengkus. "Nggak apa-apa gimana?! Wajah lo terluka gini. Siapa yang sudah buat lo luka?!" tanyanya serius. 

Aurel menatap Arsen sekilas dan kembali baca buku. "Bukan siapa-siapa" jawabnya santai, membuat Arsen berdecak. 

"Rel, gue nggak suka di bohongin!" ucap Arsen tegas dengan tatapan tajam. 

Aurel menghela napas kemudian, menutup buku dan menatap Arsen malas. "Gue jatuh dari tempat tidur, makanya gue chat lo kalau gue telat berangkat sekolah," jawab Aurel berbohong. 

Arsen memicingkan matanya. "Lo nggak bohong?" tanyanya serius. 

"Hmm," jawab Aurel dengan anggukan kepala. 

Arsen menghela napas lega dan mengusak surai hitam Aurel pelan. "Kalau ada yang ganggu lo, cerita sama gue. Gue nggak suka lo pendam masalah sendiri, mengerti?" pesannya. 

Aurel mengangguk saja. "Maaf, gue bohong sama lo," ucapnya dalam hati.

"Ya sudah, gue balik ke kelas. Nanti istirahat, gue ke kelas lo bareng Senata," pamit Arsen. 

"Hmm."

🍁

Bel istirahat berbunyi. Aurel langsung merapihkan barang-barangnya dan bersiap untuk ke kantin. 

"Aurel!" panggi Arsen dengan melambaikan tangannya ke arah Aurel. 

Aurel tersenyum dan mendekati Arsen. "Ayoo!" ajak cowok itu dengan merangkul Aurel di sisi kanan, sedangkan Sena berada di sisi kirinya. 

Sepanjang perjalanan menuju kantin, mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Apa lagi Arsen dan Aurel most wanted sekolah. 

Arsen Arjuna Mahardika, cowok tampan dengan hidung mancung, alis tebal, bibir berisi. Jago dalam olahraga, pintar akademik. Banyak cewek yang menyukai cowok itu. 

Aurellia Gabrielle, cewek cantik bak putri kerajaan. Aurel terlihat elegan dengan tatapan dinginnya, pintar, bersikap jutek dan juga jago olahraga seperti Arsen. Banyak cowok yang kagum dan menyukainya tetapi, Aurel tidak pernah menanggapi mereka. 

Senata Feronika, tidak banyak yang menonjol darinya. Cewek itu hanya cantik dan lucu. Pintar? Biasa saja. Olahraga? Nggak bisa. Tapi, senyumnya dapat membuat orang ikut tersenyum. Senata menjadi most wanted karena berteman dengan Arsen dan Aurel.

🍁

 

 

CHAPTER 08

🍁

"Rel, lo mau makan apa. Gue beliin deh," ucap Arsen tiba-tiba.

Aurel menaikan alisnya, tumben sekali seorang Arsen membelikannya makan.

"Serius lo?" tanya Aurel memastikan.

"Serius gue. Buru mau pesan apa?" tanya Arsen.

"Nasi goreng minumnya es teh manis," jawab Aurel

Arsen mengangguk dan kini tatapannya beralih pada Senata. "Kamu mau apa?"

"Samain aja sama punya kamu," balas Senata dengan senyuman.

Arsen mengangguk dan menuju ke penjualan makanan. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan nampan di tangannya dan satu piring di bawa penjual makanan.

"Nih," ucap Arsen dengan memberikan nasi goreng yang ia bawa pada Aurel.

Aurel tersenyum tipis. "Terima kasih," balasnya. Matanya berbinar saat melihat hidangan di depannya terasa begitu menggugah selera makan.

Arsen mengangguk dan tersenyum. Sedangkan milik Senata, di bawakan oleh penjualan nasi goreng.

Mereka bertiga makan dengan nikmat, sesekali Aurel melirik pada Arsen yang duduk tepat dihadapannya. Sedangkan Arsen sedang asik dengan Senata. Mereka saling melempar tatapan dan sesekali tersenyum.

Aurel menunduk dengan tersenyum miris. "Sesak juga ternyata lihat Arsen bersikap lembut sama Sena," ucapnya dalam hati.

Tidak lama makanan Aurel telah habis lebih dulu. Segera Aurel bangun dari duduknya."Gue balik ke kelas," pamit Aurel.

"Gue antar," tahan Arsen.

"Ehh? Ngapain? Sena mau lo tinggal?" tanya Aurel balik. Ia bisa melihat raut wajah cewek itu yang berubah sendu.

Arsen melirik Sena sebentar dan selanjutnya menggeleng kepala.

"Gue bisa sendiri. Duluan," pamit Aurel langsung keluar kantin. Sejujurnya, Aurel ingin Arsen mengatarnya tetapi, ia tahu diri. Senata adalah pacar Arsen, jadi cewek itu adalah prioritasnya.

Di sepanjang koridor sekolah banyak yang menyapa Aurel. Karena memang Aurel terkenal di sekolah.

Di sisi lain. Dua orang cowok sedang memperhatikan Aurel.

"Aurel cantik. Tapi sayang cueknya minta ampun," ucap seseorang dengan menepuk pundak Delvin.

Delvin menatap Aurel yang baru saja melewatinya. Gadis itu berjalan santai dengan tatapan datarnya.

Senyum tipis tercetak di bibir Delvin. "Gue suka cewek kaya dia. Nggak gampang untuk didekati," celetuk teman Delvin lagi.

Delvin mendesis dan melangkah mengikuti Aurel. "Duluan," pamitnya pada temannya.

"Hai, Rel," sapa Delvin saat sudah berjalan di sebelah gadis itu.

"Hmm," balas Aurel singkat dan memilih masuk kelas.

Delvin berhenti melangkah dengan menatap punggung Aurel. Gadis itu sungguh cuek dan tidak tersentuh.

Teman Delvin tertawa saat cowok itu diabaikan. "Sabar, bro. Lo harus berjuang kalau mau dapetin cewek model dia. Gue yakin Aurel belum punya pacar, jadi kalau lo pacaran sama dia. Lo beruntung banget bisa dapetin hatinya," ucapnya panjang.

Delvin berpikir sejenak, benar juga apa yang di bilang temannya. "Susah kayanya."

🍁

Bel pulang sekolah berbunyi. Segera Aurel bereskan barang-barangnya dan bergegas untuk ke kelas Arsen. Arsen sudah berjanji pada Aurel untuk pulang bersama.

Aurel tiba di kelas Arsen, senyuman tidak pernah luntur sedar keluar kelas. "Ar-sen...." ucapan Aurel terhenti saat melihat cowok itu sedang mengobrol dengan Sena. Mereka terlihat romantis. Dimana Arsen sedang mengusap kedua pipi Senata.

Aurel menghela napas panjang dan memilih berbalik badan untuk pergi dari kelas, lebih baik dirinya pulang sendiri dari pada pulang bareng Arsen yang malah menambah rasa sakit di hatinya.

Keluar sekolah. Aurel sudah berada di halte bus.

Menunggu tujuan bus ke arah rumahnya datang. Aurel menatap ke depan melihat orang berlalu-lalang.

"Hai," sapa seseorang tiba-tiba.

"Hai," sapa balik Aurel namun, terkesan dingin.

"Pulang naik bus?" tanyanya lembut.

"Nggak lihat gue nunggu apa?" tanya Aurel 
dingin.

Orang itu tersenyum. "Pulang bareng gue aja. Gue antar sampai rumah dengan selamat," tawarnya.

"Nggak usah, terima kasih. Gue bisa naik bus," tolak Aurel.

"Hm, ya udah gue tungguin deh sampai bus tujuan lo datang," ucapnya.

Aurel mendesis. "Mending lo pulang aja," usirnya langsung. Namun yang di usir tetap di tempatnya dan tak bergeming.

Aurel menghela napas jengah dan memilih tak perduli dengan orang itu.

Sepuluh menit kemudian, bus tujuan Aurel datang namun, kodisi di dalam begitu sesak. Aurel tetap memaksa untuk masuk namun, banyaknya penumpang yang menunggu di halte bersama Aurel membuat gadis itu terdorong kembali keluar bus.

"Aww!" ringis Aurel saat dirinya terdorong ke belakang, untungnya ada seseorang yang menolongnya agar tak jatuh.

Aurel buru-buru menyeimbangkan posisinya. "Te-terima kasih," ucapnya gugup.

"Sama-sama, masih mau naik bus? Sudah mau gelap loh. Mau hujan kayanya," ucapnya lagi menawarkan.

Aurel menatap langit dan benar saja, awan sudah menggelap menandakan akan turun hujan. 
Aurel menghela napas. "Ya sudah. Gue pulang bareng lo," jawabnya pelan.

Cowok itu tersenyum senang. "Mobil gue di sana. Ayoo!" ajak Delvin semangat.

"Hmm."

Aurel dan Delvin sudah berada di perjalanan. Keadaan hening, hanya terdengar suara hujan yang turun. Sesekali Delvin mencuri pandang pada Aurel. Sedangkan Aurel sendiri hanya menatap keluar jendela.

"Di mana rumah lo?" tanya Delvin memecahkan keheningan.

Aurel menoleh. "Komplek kristal crown," jawabnya singkat.

"Hmm, okee. "

Tidak lama Delvin dan Aurel tiba di rumah. Aurel melepaskan sabuk pengaman. "Terima kasih sudah mau antar gue pulang," ucap Aurel tulus.

"Hm, sama-sama."

Aurel keluar mobil Delvin dan langsung masuk rumahnya. Sedangkan Delvin yang masih berada di tempat menghela napas. "Dingin banget, sih, lo, Rel," gumamnya dan pergi meninggalkan rumah Aurel.

Aurel memasuki rumahnya. Keadaan di dalam sungguh sepi. Aurel menghela napas lega, setidaknya Aurel tidak akan dapat pukulan dari wanita tua itu kali ini.

Aurel menaiki anak tangga dan membuka pintu kamar. Memasuki kamar, Aurel di buat terkejut saat Arsen sudah berada di dalam kamarnya. Cowok itu sedang duduk di sofa dengan tatapan tajamnya.

"Buat kaget aja," gumam Aurel dan melangkah menuju ke meja belajar, meletakan tas dan melepaskan dasi sekolahnya.

"Siapa tadi yang antar lo pulang?" tanya Arsen tiba-tiba.

"Teman," jawab Aurel singkat dengan mengambil handuk di luar beranda kamarnya.

"Siapa?" tanya Arsen lagi.

Aurel melirik Arsen. "Bukan siapa-siapa. Tadi baru ketemu," jawab Aurel tenang dan ingin pergi menuju kamar mandi namun, tiba-tiba tangannya di tahan oleh Arsen.

"Siapa dia, Aurellia Gabrielle?" tanya Arsen dengan penekanan. Tatapan cowok itu begitu tajam.

Aurel menghela napas dan menepis tangan Arsen. "Gue bilang temen," jawab Aurel kesal. Ia baru saja tiba di rumah sudah langsung di buat emosi. 

Aurel langsung masuk kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, Aurel keluar kamar mandi dan betapa terkejutnya seorang Arsen berdiri di depan pintu.

"Shit!" umpat Aurel mengelus dadanya. "Lo ngapain sih?!" kesalnya dan melewati Arsen.

Arsen yang melihat Aurel terkejut hanya biasa aja. Cowok itu masih masang wajah tajamnya. "Jawab gue, Aurel. Dia siapa?" tanya Arsen dengan mengikuti setiap langkah gadis itu. 

"Nggak penting juga, Arsen. Dia cuma teman biasa," jawab Aurel dengan mengusak rambutnya dengan handuk karena basah.

Arsen mengerang. "Bagi gue penting?!" serunya sedikit meninggikan suaranya.

Aurel menatap sekilas Arsen dari kaca riasnya. "Lo kenapa sih? Aneh," tanyanya kembali sibuk mengeringkan rambut.

Arsen mendekat pada Aurel dan membalik tubuh gadis itu membuatnya berhadapan dengan dirinya. Tangannya juga mencengkram bahu Aurel.

"Apa lagi?"

"Siapa dia? Tinggal bilang apa susahnya sih?!" tanya Arsen yang semakin kesal.

Aurel melepas tangan Arsen dari bahunya. "Delvin," jawabnya singkat dan kembali ke posisi awal.

"Delvin? Anak mana?" tanya Arsen penasaran.

"Sejak kapan lo penasaran sama orang lain?" tanya balik Aurel.

Arsen mendengkus. "Tadi kenapa pulang nggak bareng gue? Lo milih cowok itu daripada gue?" tanyanya berubah serius.

Aurel menaikan alisnya dan menatap Arsen lewat kaca rias. "Gue nggak mau ganggu lo sama Sena. Gue tau diri, Sen," lirihnya.

Arsen berdecak. "Ganggu apa sih?! Gue yang minta lo pulang bareng," balasnya.

Aurel menghela napas dan beralik badan. Menatap Arsen sejenak sebelum bicara. "Gue...." jedanya. "Gue sakit liat lo berdua sama Sena," lanjutnya dalam hati.

"Gue di ajak pulang bareng," jawab Aurel asal.

Arsen memicingkan matanya. "Bohong?!"

"Terserah."

"Terus kenapa nggak kasih kabar ke gue?" tanya Arsen lagi.

"Ngapain gue bilang sama lo?" tanya Aurel balik dengan nada kesal.

"Gue sahabat lo!" Aurel tersenyum kecut. Hanya sahabat, ya? Nggak bisa lebih? 

🍁
 

 

 

CHAPTER 09

"Lo sahabat gue," jawab Arsen.

Aurel tersenyum kecut. "Justru karena hanya sahabat. Gue nggak harus bilang sama lo. Lo udah ada Sena," balasnya serius.

Arsen menaikan alisnya. "Aneh lo, hari ini," serunya dan meninggalkan Aurel untuk menuju kamarnya lewat balkon kamar Aurel.

Aurel tersenyum miris. Tanpa sadar, Arsen selalu membuatnya sakit hati.

🍁

Malam hari, pukul sepuluh malam. Harusnya Aurel sudah tidur tetapi, karena haus jadinya terpaksa Aurel turun ke lantai bawah untuk mengambil minum.

Menuruni anak tangga, langkah Aurel terhenti di tangga bawah saat melihat wanita tua itu bersama pria lain.

Tangan Aurel langsung mengepal keras. Rasa amarah muncul, ayahnya telah di permainkan oleh wanita tua itu.

"Dasar wanita murahan!" bentak Aurel dengan napas menggebu yang sukses menghentikan aksi panas dari dua orang yang duduk di sofa ruang keluarga. Wajah ibu tirinya seketika memucat dengan wajah terkejut.

"Wanita jalang!" teriak Aurel lagi. Beraninya dia menduakan ayahnya yang lagi bekerja keras di luar sana.

Aurel dengan sekuat tenaga menarik kerah baju pria yang sedang bersama ibu tirinya. "Pergi lo. Jangan pernah datang lagi ke sini!" usir Aurel dengan memukul pria yang telah bermain dengan ibu tirinya.

Plak!

Tamparan di dapat Aurel dari ibu tirinya tiba-tiba. Aurel mengepalkan tangannya marah. Ingin sekali ia menjambak rambut wanita tua itu terapi, ia urungkan niatnya. Karena Aurel harus memberitahu kelakuan wanita itu pada ayahnya yang telah berselingkuh.

"Gue bakal bilang ke ayah!" seru Aurel dan 
kembali ke kamar dengan emosi.

Tiba di kamar, Aurel mengambil ponsel dan segera menghubungi ayahnya. Ia harus memberitahu kelakuan ibu tirinya. 
Telpon langsung tersambung.

"Ada apa?" tanya ayahnya di sebrang sana.

Aurel mengigit bibirnya. "Ayah, wanita itu selingkuh di belakang ayah. Dia sudah melakukan hal yang hina di rumah kita sama laki-laki lain. Aku melihatnya sendiri ayah! Ayah harus percaya sama Aurel!" ucapnya cepat kepada sang ayah namun, yang di dengar Aurel hanya helaan napas panjang.

"Kamu sudah mengganggu waktu saya. Ucapan kamu itu omong kosong, ibumu tak akan selingkuh. Aurel!" balasnya membentak, membuat 
air mata Aurel menetes mendengar ucapan ayahnya.

Bagaimana bisa ayahnya lebih percaya ibu tirinya daripada putrinya sendiri.

"Tapi dia selingkuh ayah dan satu lagi, dia bukan ibu Aurel!" serunya dengan suara bergetar, menahan tangisnya. Hatinya begitu sakit, ayahnya memilih wanita itu daripada putrinya sendiri.

"Cukup! Saya tidak akan percaya dengan ucapan kamu, Aurel. Jadi mending tutup telponnya. Saya tidak ada waktu mendengar omong kosongmu!"

"Ayah dengar du-" Sambungan telpon terputus bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh ke lantai.

Perkataan ayahnya bagaikan pedang yang menusuk hatinya secara bertubi-tubi, begitu sakit dan perih.

Aurel tersenyum miris. "Bunda...ayah telah berubah...." Dadanya terasa sesak, emosinya semakin tidak bisa terkendali.

Dengan bergerak lemah, Aurel mengambil beberapa pil penenang di laci belajarnya kemudian, di minumnya dua pil agar tenang.

"Sakit...." Tiba-tiba sesuatu turun dari lubang hidung Aurel. Ia mengusapnya dan saat itu juga 
Aurel melebarkan matanya kaget menyadari bahwa darah segar mengalir dari hidungnya. Aurel mengalami mimisan.

Di hapusnya dengan kasar darah dari hidungnya dan segera ke kamar mandi untuk menghilangkan darah. Setelah di rasa darah tak keluar lagi. Aurel keluar kamar mandi dan segera tidur. Badannya begitu lelah dan capek dengan kehidupannya yang menyedihkan. Aurel ingin melupakannya.

🍁

Hari telah berganti. Aurel sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Menatap dirinya di cermin, 
Aurel tersenyum miris. Sandiwara akan ia lakukan kembali.

"Aurel! Lo udah rapi belum!" panggil Arsen dari balkon kamarnya.

Aurel memilih diam. Ia keluar kamar dan menuju lantai bawah untuk segera berangkat sekolah.

Tiba di gerbang rumah, Aurel mengerutkan kening saat melihat seorang Arsen sudah siap di depan dengan motor besarnya.

"Kok bawa motor? Sena mau lo taru dimana?" tanya Aurel mendekati keberadaan Arsen.

"Sena sudah berangkat, dia piket," jawab Arsen. 
"Ohh."

Arsen memberikan helm pada Aurel. Aurel memakainya dan naik ke motor Arsen. "Terus gue pulang naik apa nanti?" tanya Aurel lagi dan memeluk Arsen.

"Sama gue. Sena ada ekskul," jawab Arsen.

Aurel mengangguk dan tidak lama Arsen menyalakan mesin motornya dan mulai melajukan motor menuju sekolah.

"Rel."

"Hmm?" Aurel sedikit memajukan tubuhnya agar bisa mendengar ucapan Arsen.

"Jangan jauhin gue," ucapnya.

Aurel mengerjap. "Lo kenapa? Tumben bicara aneh," tanyanya balik.

Arsen menghela napas. "Gue tahu ada Sena, tapi gue nggak mau lo menjauh."

Aurel tersenyum miris. "Lo egois, Sen. Senata bakal cemburu nanti, hubungan lo sama dia bakal renggang dan gue nggak mau di cap pelakor," balasnya.

"Terserah. Tapi, gue nggak mau lo menjauh."
"Egois."

Lima belas menit berlalu. Motor yang di kendarai Arsen tiba di sekolah.

"Terima kasih," ucap Aurel turun dari motor Arsen dan melepaskan helm. "Gue duluan," lanjutnya dan pergi.

Arsen mendengkus dan buru-buru melepaskan helmnya untuk mengejar Aurel.

"Aurel!" ucap Arsen dengan menarik tas gadis itu, membuat jalan Aurel terhenti.

"Kok, ninggalin gue sih!" ucap Arsen kesal. 
Aurel memilih diam.

Arsen berjalan cepat sampai dimana ia berhadapan dengan Aurel. "Lo kenapa sih?" tanyanya heran dengan sikap Aurel belakangan ini.

Aurel menatap Arsen datar. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat dan menyingkirkan Arsen untuk kembali berjalan.

Arsen berdecak dan kembali mensejajarkan langkahnya dengan Aurel.

"Muka lo pucat. Lo sakit?" tanya Arsen baru menyadari saat dirinya menatap gadis itu dengan lekat.

Aurel mengerjap. "Gue lupa pakai bedak. Lo tahu sendiri kulit gue putih pucat," jawabnya asal.

Tibalah di kelas dan Arsen juga ikut masuk kelas Aurel.

"Lo kenapa ikut masuk? Sana ke kelas lo," usir Aurel yang mulai kesal.

Arsen menatap Aurel serius. "Lo ada masalah?"

Aurel mengerutkan kening. "Aneh lo! Udah sana ke kelas lo."

Bel masuk berbunyi. Arsen menghela napas. "Tuh! Udah masuk, sana!" usir Aurel lagi.

Arsen berdecak. "Ya, sudah. Gue ke kelas ya. Nanti ke kantin bareng. Awas ninggalin gue," ancamnya.

Arsen meninggalkan kelas Aurel setelah dapat respon anggukan dari gadis itu.

Tidak lama guru olahraga masuk. "Selamat pagi, anak-anak!" sapa guru olahraga, Pak Zaenal.

"Pagi pak!" sapa murid-murid serempak.

"Kalian ganti baju yaa. Bapak kasih waktu sepuluh menit untuk berganti pakaian. Setelah berganti pakaian langsung menuju lapangan. Kita kumpul di sana," perintah pak Zaenal.

"Baik, pak!"

Aurel berganti pakaian. Sepuluh menit berlalu, Aurel sudah berada di lapangan dengan murid 
kelas lainnya.

"Olahraga kali ini basket. Bapak sudah buat tim. Setiap tim berisi lima orang dan permainan di mulai dari tim Aurel dengan tim Luna," ucap sang guru.

Tim Aurel dan Luna memasuki lapangan dan permainan di mulai.

Aurel membawa bola basket menuju ring lawan tetapi, karena di kepung, Aurel mengoper bolanya ke tim-nya.

"Aurel, lo nggak apa-apa? Wajah lo pucat banget?" tanya Farel yang sejajar berlari dengan 
Aurel. Cowok itu peka dengan keadaan gadis itu.

"Nggak apa-apa," jawab Aurel singkat

"Kalau lo nggak kuat bilang. Nani gue ngomong sama pak Zaenal," pesan Farel.

"Hmm."

Aurel berlari untuk mendapatkan bola yang di oper temannya namun, dirinya tiba-tiba bertabrakan dengan tim lawan dan membuatnya terjatuh.

Bruk!

"Aurel!" pekik murid-murid melihat Aurel terjatuh dan langsung tak sadarkan diri.

Semua murid berdatangan ke tempat Aurel terjatuh.

"Aurel!" ucap Laura teman sebangkunya dengan panik. Wajah Aurel begitu pucat. Namun Aurel tak merespon. "Bapak bawa ke UKS," ucap pak Zaenal yang langsung menggendong Aurel untuk segera di bawa menuju UKS.

Di sepanjang koridor, banyak yang penasaran siapa yang di bawa pak Zaenal karena wajahnya 
tertutup oleh rambut.

"Pak Zaenal gendong siapa itu?" tanya Felix.

Pertanyaan Felix membuat Arsen ikut menatap pak Zaenal yang sedang berlari membawa seorang murid.

"Itu kaya Laura yang di belakang pak Zaenal," sambung Peter.

"Berarti pak Zaenal lagi ngajar kelas IPA satu, kelasnya Aurel," sambung Rion.

"Iya, ya," jawab Felix dan Peter bersamaan.

"Udah yuk, balik kelas," ajak Rion.

Peter dan Felix mengangguk. Arsen mengikut saja dan saat tiba di kelas. Ada obrolan dua orang cewek teman mereka yang seperti membicarakan pak Zaenal.

"Tadi gue lihat Aurel dibawa pak Zaenal. Mukanya pucat banget."

"Kayanya Aurel sakit."

"Kalian ngomong apa?" sambung Arsen yang penasaran.

Dua cewek itu menoleh. "Ohh, tadi gue lihat Aurel di gendong pak Zaenal ke UKS. Kayanya sahabat lo itu lagi sakit, Sen."

Tanpa ingin menunggu, Arsen langsung keluar kelas untuk menuju UKS.

🍁
 

 

 

CHAPTER 10

 

🍁

Bel istirahat telah selesai. Aurel ingin turun dari kasur namun, langsung di tahan oleholeh Arsen.

"Mau kemana?" tanya Arsen.

"Kelas," jawab Aurel singkat.

"Lo masih sakit, Rel. Di sini aja, gue temenin," tahan Aurel.

"Nggak mau. Gue mau ke kelas," kekeuh Aurel.

Arsen hanya bisa menghela napas, dirinya tidak bisa membantah dengan sifat Aurel yang keras kepala.

"Ya sudah, gue antar ke kelas," jawab Arsen pasrah.

Aurel menatap Senata. "Senata, gimana ?" bisik Aurel pada Arsen.

Arsen langsung menoleh pada Sena. "Sen, sorry ya. Aku anterin Aurel ke kelas, kamu sendiri ke kelas nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

Aurel mendengkus, bagaimana bisa Arsen meninggalkan Senata.

"O-oh gitu ya, ya sudah nggak apa-apa. Aku ke kelas ya," pamit Senata yang langsung keluar UKS.

Bugh!

Aurel memukul pelan kepala belakang Arsen. "Arsen! Lo malah suruh Sena sendiri ke kelas. Lo pacar apaan sih?" serunya kesal. Masalahnya, Aurel jadi tidak enak pada cewek itu.

Arsen mendengkus dan mengelus kepala belakangnya yang di pukul Aurel. "Dia kan nggak sakit, rel," balas Arsen polos.

Aurel menghela napas kasar dan langsung keluar UKS, meninggalkan Arsen dengan kesal.

"Ehh, lo kok malah tinggalin gue?!" ucap Arsen dengan mengejar Aurel yang jalan lebih dulu.

Aurel tidak mendengarkan ucapan Arsen, dirinya tetap memilih jalan.

Aurel tetap berjalan dengan Arsen yang mengejarnya di belakang.

"Tunggu," ucap seseorang membuat langkah Aurel terhenti.

Aurel dan Arsen menoleh ke sumber suara. Orang itu mendekati Aurel.

Aurel menatap orang itu datar sedangkan Arsen menaikan alisnya, baru pertama kali dirinya melihat orang ini.

"Ini punya lo bukan?" tanyanya. 
Aurel melirik gelang yang di pegang orang itu. 
"Iya, terima kasih, Delvin," ucapnya dan mengambil gelangnya dari tangan cowok itu .

Delvin tersenyum, Aurel masih ingat namannya, sedangkan Arsen menaikan alisnya Aurel mengetahui nama cowok itu.

"Sama-sama," balas Delvin.

Aurel melanjutkan langkahnya lagi, Arsen yang sadar Aurel telah pergi kembali mengikuti gadis itu.

"Dia siapa?" tanya Arsen penasaran, yang berjalan di samping Aurel.

"Kepo banget," jawab Aurel.

Arsen mendengkus. "Gue penasaran," serunya.

" Delvin," jawab Aurel singkat.

"Sejak kapan lo kenal dia?" tanya Arsen lagi.

"Pulang sekolah. Saat lo di kamar gue, lo lihat gue di antar pakai mobil. Dia yang antar gue," jawab Aurel menjelaskan.

Arsen menghentikan langkah Aurel dengan menahan lengannya. "Jadi itu cowok yang buat gue sama lo waktu itu bertengkar?!" tanya Arsen tidak santai.

Aurel menaikan alisnya. "Lo kenapa sih?" tanyanya balik.

"Jawab gue?!" Aurel memutar bola mata malas.

"Kita nggak bertengkar karena dia, Arsen," seru Aurel jengah.

"Jauhin dia," ucap Arsen tiba-tiba, membuat Aurel menaikan alisnya.

"Dih! Kok lo jadi ngatur-ngatur gue," balas Aurel tidak suka.

"Siapa tahu dia cuma...."

"Cuma apa?" tanya Aurel dengan tatapan tajam.

Arsen terdiam. "Gue juga butuh teman. 
Nggak selamanya gue sama lo dan Senata, apa lagi...." Aurel sedikit menunduk. "Lo sudah jadi pacar Sena. Gue butuh teman, pasti ada saatnya kalian pergi berdua tanpa gue," lanjut Aurel lirih dengan memainkan jari tangannya.

Arsen menatap Aurel yang menunduk, dirinya merasa bersalah. "Maaf, gue nggak mau aja lo menjauh dari gue sama Sena setelah dapat teman baru," balas Arsen menatap Aurel lekat.

Aurel mendongakkan kepalanya. "Nggak akan, lo sahabat gue. Lo, gue tempatkan di lain tempat berbeda di antara teman-teman gue," ucapnya. 
dengan senyum miris. "Tempat yang sangat berbeda dari yang lain sampai setiap gue dekat sama lo, jantung gue berdetak lebih cepat," ucap Aurel dalam hati.

Arsen mengusak pucuk kepala Aurel lembut dan menggenggam tangan itu. "Ayoo, gue antar ke kelas," ajaknya.

🍁

Waktu sudah menunjukkan pukul  tiga sore dan waktunya pulang sekolah.

"Aurel, lo langsung pulang?" tanya Laura teman sebangku Aurel.

"Nggak kayanya, gue mau ke perpustakaan. Ada janji sama Arsen. Gue duluan ya," jawab Aurel dan langsung pamit keluar kelas, mempercepat langkahnya menuju tempat yang menjadi tujuannya.

Aurel dan Arsen ada janji untuk belajar bersama. Bukan Aurel yang minta tetapi Arsen, karena Arsen mendapat nilai ulangan matematika rendah, makanya cowok itu meminta Aurel untuk mengajarinya. Mereka akan berjanjian di perpustakaan setelah pulang sekolah.

Saat berjalan di koridor kelas, Aurel tidak sengaja bertemu dengan Delvin.

"Hai, mau kemana?" tanya Delvin yang menyamakan langkahnya dengan Aurel.

"Perpustakaan," jawab Aurel singkat.

"Sama, gue juga mau ke sana. Boleh bareng?" tanya Delvin berusaha untuk tidak terlalu akrab agar gadis itu tidal risih.

"Hmm," Jawab Aurel dengan anggukan.

Delvin tersenyum dan mereka berdua mulai melangkah menuju perpustakaan bersama.

Saat ingin masuk perpustakaan, langkah Aurel terhenti saat matanya menangkap pemandangan yang tak asing. Dua orang yang dikenalnya. Arsen dan Senata.

Delvin yang tersadar akan tatapan Aurel berhenti melangkah dan mengikuti arah tatapan gadis itu.

Arsen dan Senata berjalan ke arah sebuah motor yang dapat di pastikan itu adalah motor milik Arsen. Arsen dan Sena menaiki motor hingga motor itu melaju meninggalkan kawasan sekolah.

Tubuh Aurel mematung melihat mereka yang sudah menghilang dari pandangannya. Ponsel Aurel tiba-tiba berbunyi membuat Aurel kembali tersadar membuka pesan masuk.

Arsen❤
Tunggu di perpustakaan sebentar ya, gue mau antar Sena pulang dulu.

Tidak sadar Aurel tersenyum, gadis itu menggelengkan kepala berusaha mengusir semua pikiran buruknya yang datang, hampir saja dirinya salah paham pada Arsen.

Me
Oke, gue tunggu.

"Kenapa?" tanya Delvin.

"Nggak apa-apa," jawab Aurel dan memasukan ponselnya ke saku baju, kembali melangkah 
masuk perpustakaan.

Delvin mengangguk dan mengikuti Aurel di belakangnya.

"Permisi bu," sapa Aurel.

"Halo Aurel, sudah dua hari kamu nggak ke sini. Kemana aja?" tanya bu Sana penjaga 
perpustakaan.

"Ada urusan bu. Jadi nggak bisa mampir ke perpustakaan," jawab Aurel.

"Ohh, ya sudah. Isi buku kunjungan dulu, ya," suruh Sana.

"Siap bu," jawab Aurel dengan senyuman.

Delvin yang melihat interaksi Aurel dengan bu Sana merasa heran. Sikap Aurel berubah, tidak seperti ke dirinya yang dingin dan irit bicara. 
Setelah Aurel menulis namanya di buku kunjungan, Aurel berjalan ke arah kursi dan meja yang kosong, sedangkan Delvin memilih meja di sebelah Aurel. Dirinya memilih sedikit menjauh agar gadis itu tidak risih nantinya.

Tidak terasa sudah dua jam Aurel menunggu Arsen di perpustakaan. Aurel juga sudah menelpon Arsen namun, dengan cowok itu tidak diangkat.

"Kemana sih Arsen?" gerutu Aurel yang sudah bosan menunggu.

Karena bosan, Aurel memutuskan untuk keluar perpustakaan mencari udara segar. Saat sampai di luar perpustakaan, ternyata di luar sedang turun hujan dengan sangat deras.

Aurel menghela nafas panjang. Aurel kembali mengambil ponsel di saku bajunya dan menelpon Arsen namun, tetap tidak bisa di angkat. "Kemana sih, Arsen?!" gumam Aurel kesal.

Ting!

Pesan masuk dari Arsen. Segera Aurel membuka isi pesannya.

Arsen❤
Sorry, Rel. Gue nggak bisa belajar bareng hari ini. Ibunya Sena sakit jadi gue nganterin Sena ke sana.

Aurel tersenyum kecut. Dadanya terasa sesak kembali.

Arsen mengingkari janjinya lagi. Seharunya Aurel sudah tahu akan terjadi seperti apa. Aurel mentertawakan dirinya dalam hati.

Tanpa sadar air mata jatuh di pipi Aurel. Hatinya terasa perih, bahkan luka yang sebelumnya belum sembuh. Aurel memang salah. Tidak seharusnya menaruh hati pada Arsen.

"Setidaknya jangan berjanji, kalau akhirnya membuat gue sakit," gumam Aurel dengan meremas ponselnya.

🍁
 

VOTE, SHARE AND COMMENTS

THANKS FOR READING

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya LOVE SCENARIO (CHAPTER 29)
2
1
Napas Graceline masih memburu. Terlihat jelas raut wajah gelisah dan ketakutan. “Daddy ja-jangan ke mana-mana,” balasnya dengan masih menggenggam lengan Christhoper. Tatapannya tidak menatap Christopher, melainkan ke arah lain.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan