
“Yah, aku juga merasa begitu. Tidak sanggup lagi aku membayangkan jika ada orang yang tidak bersalah mati seperti ini. Mati bagai binatang.”
“Atau mati oleh binatang.”
Lorong-lorong yang jadi cabang itu rupanya tidak kalah panjangnya dengan lorong besar tempat mereka tiba sebelumnya. Yang membedakan adalah lebarnya yang lebih sempit. Sementara bau busuknya tetap tinggal. Pikiran yang tinggal membayangkan bagaimana orang-orang jahat itu dapat tinggal di tempat yang sama sekali tidak bercahaya. Adakah mereka juga sudah menjelma jejadian hewan melata, mampu meraba dalam gelap? Karena jika memang pun, tetap akan membingungkan, karena tidak ada yang dapat benar-benar melihat dalam gelap gulita.
Jalanan sekarang menurun, tangan yang menggenggam obor dimajukan, takut-takut jika ada perangkap di depan. Namun sejauh ini belum ada perangkap atau tanda-tanda bahaya yang terasa.
"Sedari kemarin saya perhatikan Ngger Adya terlihat tenang-tenang saja. Tuan Resi tentu sudah mengajarkan banyak hal sampai-sampai membuat Ngger Adya jadi sangat berani, ya?" tanya Pak Oman yang berada di depan.
"Memangnya ada ajaran yang membuat jadi berani? Aku tidak tahu." jawab Adya pendek. "Bapak prajurit merasa takut?"
"Yah, jika dibilang tidak takut, bohong namanya. Saya hanya tetap waspada."
"Bapak seorang prajurit, bukan? Apa boleh takut?"
"Mau saya prajurit, ksatria, atau raja sekali pun, saya tetap saja seorang manusia. Ada takutnya, Ngger."
"Takut apa memangnya?"
"Takut jika jadi semakin banyak korban penjahat-penjahat itu. Takut kalau terjadi apa-apa pada Gusti Anom sekalian. Takut jika Argakencana jadi hancur."
"Loh, aku kira Pak Oman takut mati?"
Jalanan berbelok, maka ikut berbelok juga Adya dan Pak Oman.
"Urusan mati bukan urusan saya, Ngger. Kalau sudah waktunya, mau bagaimana? Sedari dahulu sudah tugas saya mengamankan keraton dan seisi negeri, jika Sang Pencipta mau, sudah sedari dulu saya mati. Tetapi rupanya belum."
"Maunya Pak Oman sendiri, bagaimana? Mati gegara ini, atau tetap panjang umur?"
"Entahlah, Ngger. Saya tidak pernah terpikir ke sana."
"Bukankah kita bisa mengaturnya? Eyang katakan padaku jika...tunggu, Pak! Berhenti sebentar!"
Langkah kaki Pak Oman terhenti seketika. Ia putar tubuhnya demi menerangi sosok Adya dengan sinaran obornya. Namun yang dituju menunjuk arah bawah dengan jari telunjuknya. Maka Pak Oman menurut, ia merunduk lalu mendekatkan nyala obor pada permukaan tanah. Terkejut sang prajurit tua ketika permukaan tanah memantulkan nyala obor. Kerlap-kerlip di atas permukaan tanah bagaikan kerlap-kerlip bintang di malam yang cerah.
"Besi."
"Besi?" tanya Adya.
"Ya, banyak serpihan besi." kata Pak Oman lagi sambil meraih tanah lalu meniliknya dari dekat. "Ini bisa jadi petunjuk kita untuk menerka tempat yang sedang kita tuju."
Pak Oman berdiri lalu berbalik pada arah depan lagi. Ia mengajak Adya untuk mempercepat jalannya. Dan selama perjalanan, seringkali Pak Oman menurunkan cahaya obornya dan kerlap-kerlip dari pantulan serpihan besi jadi semakin banyak. Sebelum mereka dapat berbicara, langkah kaki sudah tiba pada sebuah ruangan lain.
Ruangan itu ukuranya kecil. Luasnya hanya dua kali rumah-rumah kosong di atas permukaan tanah. Menempel pada dinding di kanan dan kiri meja-meja panjang yang terbuat dari batu. Di bawahnya penuh dengan karung-karung berisi kayu-kayu bakar. Cemas akan keadaan sekitar, Pak Oman berbalik pada arah lurus dan segera meneranginya. Tarikan nafas panjangnya yang tercekat jadi pertanda jika ketakutannya terbukti. Di depan sana terdapat sebuah perapian, besar dan melingkar bagian atasnya. Di dalam perapian terdapat palang baja yang kakinya tertimbun abu dan arang.
"Ngger, tolong periksa sisi di sana dan di sana," kata Pak Oman sambil menunjuk serong kanan dan kiri. "Coba lihat, barangkali kamu menemukan palu atau martil."
"Palu atau martil." gumam Adya sambil memeriksa dalam remang. "Memangnya apa bedanya palu dan martil...oh, ada, Pak! Ada martil di sini...uh! Bau busuk apa ini?"
Cemas akan penemuan Adya, Pak Oman ikut menyusul. Di dapatinya sebuah bejana besar yang isinya basah. Jemari Adya hendak meraih genangan di dalam namun Pak Oman buru-buru menarik tangannya.
"Tunggu, Nak! Jangan disentuh!" sergap Pak Oman. Sang prajurit tua kemudian mendekatkan obornya agar genangan di dalam jadi lebih jelas. Bejana itu terisi cairan yang warnanya nila kebiru-biruan. "Sudah saya duga. Ini racun!"
"Racun seperti racun yang menempel di celurit dan arit-arit itu?"
"Kemungkinan besar."
Buru-buru Pak Oman kembali ke perapian di tengah, menepikan abu dan arang di sana, berharap mencari sisa-sisa kayu yang dapat ia bakar. Dibantu Adya yang menambahkan dengan kayu-kayu dari dalam kantung di bawah meja batu, sekarang terang mulai hadir lagi di dalam tungku. Jadi jelas pemandangan sekarang. Ruangan itu adalah dapur pandai besi. Berbagai peralatan untuk membuat perkakas dapat ditemukan di sana. Namun begitu, yang membuat Pak Oman mengerenyitkan dahi adalah tampak pula bahan-bahan yang tidak umum. Kantung berisi butiran emas, dedaunan yang warnanya beraneka ragam, hingga bangkai ular dan kodok. Kesemuanya menumpuk di tepi dinding dekat gerbang masuk, sisi yang luput mereka perhatikan sebelumnya.
Pak Oman membagi nyala obornya pada bongkahan kayu yang sudah menyala, lalu kemudian memberikannya pada Adya.
"Kita keluarkan setiap-setiap yang berada di bawah meja. Kita harus cepat, jika tidak, racun itu bisa menguap. Salah-salah kita bisa keracunan di sini!"
Adya tidak menjawab lagi selain melakukan apa yang diperintahkan padanya. Maka ia mengeluarkan setiap kantung yang berada di bawah meja di sisi kanan. Sementara Pak Oman pada sisi yang berseberangan. Mereka temukan lagi lempengan besi, perunggu hingga perak. Ada juga batang-batang kayu yang sudah dibentuk gagang.
"Berikan gagang itu pada saya." minta Pak Oman. Maka Adya mengambil satu lalu memberikannya pada Pak Oman. Sementara dirinya menerima gagang obor. "Jagad, semoga ketakutan saya tidak terbukti."
Dalam genggam tangannya terdapat dua batang kayu. Satu adalah kayu bakar sementara yang satunya lagi adalah gagang bakal celurit atau arit. Dua batang kayu itu Pak Oman cemplungkan dalam bejana berisi racun. Terbelalak kedua mata Pak Oman dan Adya kala mendapati nasib dua batang kayu itu sekarang. Batang kayu bakar mengeluarkan asap, seakan-akan sedang dibakar oleh api yang tidak kasat mata. Sementara yang demikian tidak terjadi pada gagang kayu yang lain.
"Celaka! Adya, kita harus segera memberi tahu Gusti Anom dan yang lainnya! Tempat ini adalah dapur para penjahat itu membuat senjata-senjata beracun!"
"Rupanya di tempat ini mereka membuat celurit dan arit-arit beracun itu!"
"Lebih buruk, Ngger. Saya yakin apa yang mereka buat di sini lebih mematikan daripada celurit dan arit-arit beracun tadi! Ayo kita segera kembali!"
Dan memang seharusnya Pak Oman dan Adya harus segera keluar dari tempat itu. Bau busuk sudah jadi semakin sengit, pun bau-bau yang lain sudah ikut menari di ruangan, tanda jika racun itu mulai menguap. Adya yang memegang obor sekarang jadi pandu jalan. Ia telusuri lorong panjang itu dengan hati-hati.
"Saya berpikir," ujar Pak Oman sambil berjalan. "apa mungkin kita dapat menggunakan racun itu untuk melawan balik para penjahat itu? Mereka tentu tidak akan menyangka. Ah, akan saya kabarkan juga perihal ini pada Gusti Anom!"
"Racun lawan racun?"
"Mereka pasti tidak akan menyangka, Ngger!"
"Memangnya, mempan?"
"Memangnya kamu punya gagasan lain?"
Yang ditanya tidak menjawab. Adya berjalan naik lalu berbelok pada persimpangan lorong gelap. Jalanan yang tadi memantulkan nyala lampu obor sekarang mulai meredup.
"Kenapa kamu diam saja? Katakan saja jika kamu punya gagasan, Ngger. Gagasan apapun akan membantu pada saat-saat seperti ini!" kata Pak Oman lagi.
"Racun seampuh itu, sampai-sampai bisa melarutkan kayu hingga tidak bersisa, aku baru pertama kali melihatnya. Biasanya, jika tidak sengaja aku menginjak ekor kadal lalu terkena semprotan ludahnya, hanya akan jadi gatal-gatal."
"Hah! Yang ini lebih dari gatal-gatal! Jangankan luka, kalau apes, bahkan mayatnya tidak akan berbekas lagi!"
"Yang seperti itu bisa menimpa mereka, atau juga kita, bukan?" kata Adya sedikit terbata.
"Kamu tidak perlu khawatir, Ngger! Saya akan pastikan jika kita semua akan baik-baik saja! Itu sumpah keprajuritanku! Melindungi Gusti Anom dan seluruh rakyat Argakencana! Jangan kamu remehkan tekad yang sudah membawa saya melewati banyak pertempuran!" seru Pak Oman berapi-api.
"Itulah,"
"Ada yang kamu katakan, Ngger?" tanya Pak Oman sambil berbelok mengikuti nyala obor.
"Kenapa harus ada pertempuran? Pak, apa sudah takdir manusia diciptakan untuk saling menyakiti?"
Sayang suaranya masih berbisik dalam gelap, terlebih dahulu hilang ditelan hening sebelum tiba pada telinga yang dituju. Ataukah mungkin, bukan yang berada di belakang yang jadi tujuan namun pada yang lainnya lagi? Hanya Adya yang tahu ingin hatinya. Teka-teki itu ia tinggalkan pada sebuah persimpangan baru, yang membawa langkahnya keluar lorong lalu masuk lorong yang lainnya lagi.
Rasanya jadi jenuh mendapati gelap yang itu-itu lagi, gelap yang itu-itu lagi, dan bau busuk yang masih juga enggan untuk pergi. Jika memang seisi persembunyian adalah lorong panjang dan bau, maka ingin hati juga dapat melesat dalam tanah. Dengan begitu tidak perlu lagi menghabiskan hari dengan perihal, yang sudahnya buruk dan busuk, jadi lebih membosankan. Apa yang nanti berada di balik lorong gelap itu, pada ruangan di mana ia tersembunyi, setidaknya jadi hal yang melepaskan pikiran dari rasa jenuh. Namun begitu, sayang sekali jika bukan rasa ingin tahu, atau rasa gairah terjebak dalam teka-teki, namun rasa jengkel dan geram yang menyambut.
Ruangan itu luas. Luasnya setengah tanah lapang istana keraton tempat para prajurit berlatih bela-diri. Bolak-balik berlari dari satu ujung menuju ujung yang lainnya lagi, mampu membuat tubuh basah oleh keringat. Namun bukan itu yang Ginanjar dan Parikesit lakukan. Mereka memeriksa setiap sisi ruangan di kanan dan kiri, pada sisi bau busuk itu berasal. Di dindingnya menjuntai rantai berbelenggu, mereka berpasang-pasangan dalam kawanannya yang puluhan. Pada belenggu itu juga menjuntai mayat-mayat manusia, yang beruntung tidak jatuh seperti para pendahulunya di atas lantai. Di atas lantai itu juga, curam menurun pada parit yang jadi wadah darah mereka-mereka yang malang.
"Bedebah! Bajingan!" maki Ginanjar sembari menghancurkan belenggu-belenggu itu dengan kepalan tangannya.
"Sabar, kang! Jangan lepas kendali!"
"Biadab!" seru Ginanjar sambil melemparkan rantai-rantai itu ke sembarang arah.
Nafas sang putra mahkota memburu. Betapa geram dan murkanya ia. Tidak terbayang kengerian yang telah terjadi di ruang penyiksaan itu.
"Setidaknya sekarang kita jadi tahu asal-muasal tengkorak-tengkorak di depan sana." kata Parikesit.
"Untuk apa, dimas?" sambar Ginanjar. "Untuk apa mereka melakukan semua ini? Rakyatku yang mana yang jadi korban kejahatan mereka? Katakan, dimas, apa kamu menemukan laporan jika ada desa yang disantroni penjahat?"
"Sabar, kang! Tenanglah dahulu! Kakang tidak akan bisa berpikir jernih jika masih mengumbar marah!" balas Parikesit sambil menepuk-nepuk pundak kakak sepupunya. "Saya juga geram melihat semua ini. Percayalah, saya juga ingin membawa mereka pada pengadilan. Ini, kang, minumlah. Semoga membuat Kakang Ginanjar jadi lebih baik." lanjut Parikesit sambil menyodorkan kantung airnya.
Ginanjar meraih kantung air itu lalu menenggak isinya dengan terburu-buru. Benar kata Parikesit, air membuat perasaannya jadi sedikit lebih baik.
"Apa kamu pikir semua mayat di sini adalah orang-orang yang dulunya tinggal di atas?" tanya Ginanjar lagi sambil menyeka mulut lalu memberikan kantung air kembali kepada adik sepupunya.
"Entahlah, kang. Sepertinya tidak tertinggal petunjuk mengenai hal itu di sini. Saya terka, jika di sini hanya tertinggal senjata-senjata saja." jawab Parikesit. "Marilah kita berpencar, saya akan memeriksa sisi kiri terlebih dahulu."
Sang putra mahkota Argakencana menuruti saran si adik sepupu. Ia tinggal di tempatnya sementara Parikesit menuju arah yang berseberangan. Melalui temaram lampu obor, Ginanjar terangi dinding dan lantai. Bau menjijikan yang sedari tadi mengganggu hidung sudah jelas sekarang, bau darah dan bagian dalam manusia yang membusuk. Semua yang ia dapati setelahnya juga serupa, pada baris ke dua hingga baris ke sepuluh. Jika ada yang membedakan maka hanyalah tumpukan mayat-mayat itu jadi semakin banyak. Juga, tertinggal segala peralatan yang akan jadi terlalu sadis jika harus disebutkan. Mendapati itu, rasa geram dalam hati berubah jadi rasa pilu dan sesal. Betapa selama ini rupanya Ginanjar telah lalai akan keselamatan rakyat-rakyatnya. Masih banyak sekali yang tidak ia ketahui, yang terjadi kala negeri terlelap.
Bunyi berdengung tanda jika lalat-lalat masih tinggal pada surganya di dalam parit penuh genangan darah. Tiada yang menyangka jika ada yang lebih menjijikan daripada tempat penjagalan sapi.
"Parit ini habis di sini, kang. Semua darah itu terkumpul di sini." kata Parikesit sambil menunjuk akhir parit yang berupa kubangan.
"Saya tidak dapat membayangkan apa yang para penjahat itu lakukan dengan darah sebanyak ini. Membayangkannya saja sudah ngeri."
"Setidaknya, sampai di sini saya sudah yakin jika Begal Bajag Lipan itu benar-benar ada. Tidak sangka dibalik desas-desusnya yang samar, mereka meninggalkan kegelapan seperti ini. Pantas saja Tuan Resi tidak mampu meraba tempat ini. Kasihan beliau."
"Tidak, kasihan para orang-orang malang ini. Saya bahkan tidak tahu siapa mereka dan dari mana mereka berasal." sahut Ginanjar sambil berbalik badan kemudian menuju tengah ruangan. "Mungkin dari mereka ada yang sedang bekerja dengan giatnya, atau mungkin juga ada dari mereka yang sedang menikmati tenang dengan keluarga dalam rumah mereka yang sederhana, tidak menyangka jika harus berakhir di tempat seperti ini. Saya merasa sangat berdosa jika saya menghabiskan hari-hari di tempat yang nyaman, tanpa pernah terbersit akan keadaan mereka."
"Kakang melakukan apa yang dapat Kakang Ginanjar lakukan. Jangan merasa terbebani."
"Bagaimana perasaanmu jika tahu nasib serupa juga menimpa Astina?" tanya Ginanjar sambil menoleh. "Bagaimana jika terdapat kawanan penjahat sadis seperti ini di Astina? Atau tempat-tempat lainnya?"
"Saya tahu perasaan Kakang Ginanjar. Percayalah, saya juga menyesali semua ini. Tidak hanya pada rakyat-rakyat Astina, atau Argakencana. Saya pasti akan merasa sedih jika mendapati ada orang-orang lain yang bernasib malang, entah dari mana mereka berasal." jawab Parikesit. "Tetapi semua sudah terjadi. Tidak ada yang dapat kita lakukan selain menegakkan keadilan teruntuk para korban ini. Setidaknya, yang begitu dapat menenangkan jiwa mereka."
Ginanjar berkacak-pinggang kemudian menghela nafas panjang. Ia cermati sekeliling sekali lagi, sekadar untuk mengukir pemandangan itu pada ingatannya. Jika nanti ia merasa goyah, kengerian malam itu akan jadi pecut hatinya untuk tegar kembali. Begitu tekad dalam hatinya.
"Cengkarbumi masih dapat diselamatkan, kang." kata Parikesit.
"Kamu ingat sebuah pelajaran yang pernah Guru Resi bagikan dahulu?"
"Yang mana, kang?"
"Jika inti dari mahluk hidup adalah darah. Darah dapat menyelamatkan sesama, namun darah pula..."
"Dapat menebar penyakit! Benar! Saya ingat sekarang!"
"Meski terdengar ganjil, tetapi darah yang kotor penuh penyakit sama artinya dengan racun. Saya tidak akan heran para penjahat itu memiliki cara untuk membuat racun dari darah orang mati. Senjata yang Jaka temukan di atas, mungkin saja racun pada bilahnya terbuat dari darah."
"Racun mematikan yang tidak meninggalkan bekas," gumam Parikesit. "jika ada bentuk racun yang paling sempurna, mungkin yang seperti itu. Sungguh celaka! Jika caranya demikian, maka tidak akan ada yang menyadari jika telah terpapar racun, bahkan Eyang Arjuna sekali pun!"
"Menurutmu begitu?"
"Kang, coba Kakang Ginanjar cermati baik-baik," kata Parikesit. "jika celurit dan arit itu dilumuri racun, maka artinya, atau setidaknya, racun itu berbentuk cairan. Dan cairan, dapat larut pada cairan lainnya."
"Air minum para penduduk! Celaka! Kamu benar, dimas!" sekarang ganti Ginanjar yang menyambar kata-kata adik sepupunya.
"Mereka tentu memiliki cara untuk menyamarkan baunya. Kang, kita harus bergegas kembali dan mengabarkan semuanya, terutama Tuan Resi! Semoga saja beliau memiliki petunjuk untuk mencegah hal ini!"
Keduanya melesat bergegas dalam satu tarikan nafas. Baik Ginanjar dan Parikesit tidak mengindahkan langkah kaki yang basah karena menginjak genangan darah. Biarlah bau busuk itu tinggal dan terbawa, toh, bau busuk serupa sudah sedari tadi mengisi udara. Atau malah, sudah sedari dahulu. Lagi, basah di bawah akan segera tertimpa debu dari derap kaki yang menindih tanah dengan kuatnya.
"Tenanglah! Jangan berkeliaran seperti itu!" gerutu Panji. "Kamu bisa saja menghilangkan jejak yang penting!"
"Jejak, apa? Ruangan ini hanya ruang tidur!" balas Jaka. Tidak salah ia berkata seperti itu. Karena sekarang, si kembar berada dalam ruang besar di mana terdapat dipan-dipan kayu di sisi kanan dan kiri. Jumlah mereka banyak, dalam ruangan itu saja ada lima belas dipan kayu. "Aku yakin di ruangan lain juga seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, lihat," lanjut Jaka sambil berpindah pada ruangan lain. "benar apa kataku, bukan?"
"Heh. Tidak sangka ada tempat tidur di dalam tanah seperti ini."
"Kamu lebih heran kalau penjahat-penjahat itu tidur? Mereka juga manusia, Panji. Bahkan Tuan Resi, yang juga seperti Guru Rakata dan Guru Rajawa, tetap butuh tidur."
"Sepertinya mereka tidak hanya tidur." sahut Panji sambil mengambil kendi arak yang tergeletak di atas tanah.
"Ranjang, arak, tempat luas," gumam Jaka. "yah, tidak heran, sih."
"Ada yang terlintas dalam benakmu?"
"Heh? Kamu sungguh-sungguh bertanya itu padaku? Kamu benar-benar tidak tahu?" tanya Jaka yang dijawab anggukan Panji. "Wanita, Panji. Pelacur."
"Wa...wanita? Lacur?" sahut Panji gelagapan.
"Kita pernah mendengar pembicaraan para penjahat itu tempo hari, bukan?"
"Sa-saya tidak mendengar, lagi waktu itu saya bertugas memancing mereka, bukan? Tetapi di tempat seperti ini? Ramai terlihat orang banyak?"
"Menurutmu mereka melakukannya di tempat yang besar seperti balairung, atau tempat bersih seperti kamarmu? Hehehe! Kamu konyol, Panji. Jika mereka tega merampok dan membunuh, kenapa tidak berhubungan seperti binatang di hadapan orang banyak?"
"Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Memangnya kamu tahu?"
"Tidak juga, sih. Aku juga tidak pernah membaca yang seperti itu." jawab Jaka enteng sambil mengangkat dipan kayu, kalau-kalau dibaliknya tersembunyi senjata juga. "Tetapi mereka orang jahat, Panji. Cukup bayangkan hal-hal yang mengerikan dan menjijikan, besar kemungkinan mereka melakukannya juga."
Sudah habis enam ruangan keduanya periksa. Namun begitu, yang mereka dapati masih juga sama. Rasa jengkel tidak dapat menemukan petunjuk mulai membuat hati jadi resah. Belum lagi, rasa cemas mengkhawatirkan keadaan yang lainnya ikut mengganggu. Lirih dalam hati berharap jika terhadap mereka yang sedang berkeliaran dalam gelap, perlindungan Sang Pencipta terus mengiringi.
"Benar-benar menjijikan," geram Panji sambil melihat lantai, yang penuh dengan robekan baju yang tercecer. Dari corak dan bentuk pakaiannya, kesemuanya pakaian wanita. "penjahat-penjahat itu sudah bukan lagi manusia."
"Omong-omong tentang bukan manusia," sahut Jaka sambil mengambil satu potongan baju itu, yang robekan dari kebaya, lalu kemudian meniliknya lekat-lekat. "suara yang muncul ketika kita tidak sadarkan diri bukan suara manusia."
"Hmmm..." gumam Panji.
"Ayolah, aku tahu kamu mengalaminya juga."
"Salah satu suara itu adalah suara yang pernah kita dengar dalam mimpi, ketika dahulu kita berkemah. Kakang Ginanjar dan Kakang Parikesit berkata jika suara yang mereka dengar adalah suara guru resi keduanya, sementara kita mendengar seperti suara Guru Rakata."
"Ternyata bukan. Lalu, menurutmu suara siapa? Seseorang yang kita kenal?"
"Entahlah." jawab Panji sambil mengangkat bahu. "Saya bahkan masih tidak mengerti kenapa kita dapat melalui mimpi-mimpi seperti itu."
"Heh. Apa mungkin ulah kutukan Romo karena kita meninggalkan Kincir Ametu?"
"Ngaco." sambar Panji sambil menoyor kepala saudara kembarnya. Yang ditoyor hanya terkekeh-kekeh sembari menyeringai lebar. "Dan ketika engkau temui duka yang teramat dalam, ketahuilah jika sebenar-benarnya obat penolong adalah hati yang rela. Maka lapangkanlah, relakanlah kobar Baramasa menjadi pelita yang akan menuntun hatimu berpulang."
"Wahai hening yang bersembunyi dalam sunyi, bangkit dan gemuruhkanlah lagi badai yang telah lama terlelap." susul Jaka melengkapi kata-kata saudara kembarnya. "Kamu mengerti arti kalimat-kalimat itu?"
"Tidak." jawab Panji menggeleng. "Kalimat-kalimat itu terdengar sebuah cangkriman untukku. Ada pesan yang terselubung didalamnya. Lagi, ada kata Baramasa, yang saya tidak tahu artinya. Apakah benda, tempat, ataukah hal yang lainnya lagi?"
"Aku tidak terpikir jika kalimat-kalimat itu sebuah cangkriman. Jika pesan, mungkin aku sependapat. Jika pesan, tentu ada orang di mana pesan itu tertuju, bukan?"
"Menurutmu, kepada siapa pesan itu ditujukan?"
"Siapa lagi? Kita." jawab Jaka pendek sambil membuka kedua tangannya. "Kita yang mendengar kalimat itu, maka tentu kepada kita pesan itu tertuju. Tentunya kepada Kakang Ginanjar dan Kakang Parikesit pula."
"Hmmm..."
"Pikir saja, tidak sulit, apalagi untuk orang secerdas kamu," kata Jaka lagi. "tidakkah kita merasa sedih melihat semua kejahatan ini? Nasib malang orang-orang yang jadi korban kejahatan Bajag Lipan? Menurutku, masuk akal jika kita menjernihkan pikiran dari pikiran-pikiran buruk yang menggelapkan mata. Karena, jika kita menuruti nafsu, maka kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa di sini."
"Lalu, arti kalimat kedua dan ketiga?"
"Aku tidak tahu persis. Tetapi, ada kata-kata kobaran api," lanjut Jaka sambil mengangkat obor dalam genggaman. "kita tidak menyangka jika tempat ini begitu gelap. Anggap saja kalimat itu sebuah peringatan agar tetap menyalakan lampu, agar kita tidak tersesat. Sementara pada kalimat ketiga, adalah pertanda jika ada sesuatu yang tertimbun di sini, yang jika kita dapat menemukannya, maka akan jadi pertolongan besar untuk menumpas penjahat-penjahat itu!"
"Hmmm..."
"Kamu kedengarannya tidak terlalu yakin?"
"Tidak, tidak seperti itu. Kata-katamu masuk akal." kata Panji. "Tetapi entah mengapa saya merasa ada sesuatu yang mengganjal hati saya."
"Ganjalan itu pasti akan terbayar jika kita dapat menemukan apapun yang tersembunyi di sini! Marilah, kita periksa ruangan yang lainnya lagi!"
Maka akhirnya, keduanya bergegas lagi. Berpindah lagi menuju ruangan-ruangan lainnya. Pemandangan yang sama berulang lagi hingga tujuh kali banyaknya.
"Seratus sembilan puluh lima!" seru Panji tanpa mengurangi cepat lesat larinya. "Sedikitnya ada seratus sembilan puluh lima penjahat bersenjatakan racun akan menyerang Cengkarbumi!"
"Dan mereka memiliki kesaktian menembus bumi, mungkin yang lainnya lagi! Terus berlari, Panji!"
Pintu terakhir yang mereka dobrak tidak menghadirkan Panji dan Jaka pada ruang peristirahatan melainkan lorong yang lain lagi. Pada lorong itu lurus menuju satu pintu. Penuh kehati-hatian Jaka buka perlahan-lahan. Nyala lampu obor membuka ruang dan jalan. Menerangi lantai dan sekelilingnya. Permukaan tanah tumpukan bebatuan yang jadi lantai. Tidak nampak lagi ceceran robek pakaian pelacur seperti sebelumnya. Namun yang mengganti jauh lebih buruk. Ceceran darah. Bau busuknya menyengat hidung bukan main. Segera saja Panji dan Jaka menaikkan penutup wajah mereka.
"Panji, kemari." bisik Jaka sambil memberi isyarat tangan.
Bersama saudara kembarnya, Jaka berpindah menuju ke arah depan. Kecurigaannya pada sekelebat bayangan kala ia mengibaskan lampu obor, membuatnya berpikir jika ada sesuatu di sana. Terbelalak kedua mata si kembar kala mendapati yang menjadi bayangan tadi adalah seonggok mayat. Mayat manusia itu mati mengenaskan. Pakaiannya terkoyak-koyak. Bentuk tubuhnya sudah tidak karuan lagi. Jika bukan berlubang, maka penuh luka. Ususnya terburai, pada lengan dan pahanya putus. Malahan, satu dari kakinya putus.
"Apa yang terjadi pada orang ini?" gumam Jaka sambil berjongkok. "Ini bukan bekas luka benda tajam, ini bekas luka cakar." lanjutnya sambil menunjuk dada, leher hingga telinganya yang putus. "Ini luka gigitan. Panji, apa mungkin seperti ini juga yang menimpa tengkorak-tengkorak di depan tadi?"
Yang dituju tidak menjawab. Panji teralih oleh cipratan darah di sekeliling, yang mulanya terlihat acak-seperti seharusnya-namun rupanya tidak demikian. Terdapat garis-garis lain, yang teratur, bersembunyi di tengah cipratan.
"Kusni." gumam Panji.
"Apa katamu?"
"Nama orang ini Kusni." jawab Panji. "Lihat, ada yang menuliskan namanya di sini."
Panji menerangi satu petak lantai tempat nama itu tertulis agar Jaka dapat melihat. Kemudian, keduanya berpindah menerangi petak-petak lantai yang berada di sebelahnya. Nama Kusni bermunculan lagi. Setiap dari mereka muncul pada tulisan-tulisan yang berisini makian dan caci-maki. Lebih buruk lagi, kesemuanya ditulis dengan darah Kusni sendiri.
"Entah Kusni ini orang yang mereka culik, sekap dan siksa,"
"Atau mungkin kawan mereka sendiri." pungkas Jaka. "Mereka orang-orang jahat, bukan? Tidak akan terdengar ganjil olehku jika penjahat membenci kawanannya sendiri."
"Semoga benar jika Kusni ini orang jahat, dan kematian ini setimpal dengan kejahatannya."
"Kata-katamu terdengar jahat." kekeh Jaka.
"Saya tahu." hela Panji. "Tetapi saya sudah terlalu lelah untuk merasa marah atas semua ini."
"Yah, aku juga merasa begitu. Tidak sanggup lagi aku membayangkan jika ada orang yang tidak bersalah mati seperti ini. Mati bagai binatang."
"Atau mati oleh binatang."
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sebuah suara. Dari sisi gelap yang belum si kembar singkap, terdengar suara menggeram. Mulanya terdengar pelan, namun kemudian jadi semakin jelas terdengar. Mulanya satu, lalu kemudian jadi dua, kemudian tiga, hingga akhirnya sepuluh. Sentak gonggoan kencang membuat Panji dan Jaka melompat mundur tiga langkah. Cemas membuat keduanya menjulurkan obor, hendak mencari tahu suara apa yang begitu mengejutkan mereka. Didapatinya sepuluh ekor anjing hitam besar. Kesemuanya memburu ganas dengan taring tampil di muka. Air liur tidak sudahnya menetes membasahi lantai, belum lagi gonggong kencang memuncratkan air liur mereka kemana-mana. Bulunya yang hitam berdiri naik tidak beraturan, basah setiap ujungnya karena darah. Sontak saja Panji dan Jaka menggeser mundur pijak kaki mereka. Tidak ingin mencari tahu jika anjing-anjing gila itu dapat dijinakkan atau tidak. Malang bagi Panji dan Jaka, karena tidak hanya anjing-anjing itu gila, mereka juga peliharaan para penjahat. Tidak terbayang dengan cara apa mereka dilatih, dan hal mengerikan apa saja yang sudah mereka perbuat.
Satu ekor anjing melompat hendak menerkam. Jaka segera mengayunkan api obornya untuk mengahalu. Sementara Panji membuka jalan, mengawasi jika mereka sudah terkepung dari belakang pula. Beruntung, di belakang kosong. Pada satu tarikan nafas keduanya berlari sekuat tenaga menuju pintu luar. Anjing-anjing gila berlarian memburu dengan ganasnya. Terjangan mereka begitu kuatnya, meski sekarang dua punggung si kembar menahan mereka dari balik pintu.
"Cari sesuatu! Cepat!" seru Jaka.
"Cari apa?"
"Apa saja! Cepat, Panji! Kita bisa mati!"
Celingukan cemas Panji menilik kanan dan kiri, namun ia tidak menemukan apa-apa. Pada saat menegangkan seperti itu pikirannya berpikir keras, mencari cara, mencari senjata, mencari apa saja yang dapat menahan agar pintu itu tidak terbuka. Tiba-tiba sebuah sambaran halilintar dalam kepala membuat badannya bergerak. Dengan sengaja ia ambil obor milik saudara kembarnya, lalu kemudian berlari meninggalkan sisi pintu.
"Tahan, Jaka!"
"Bergegas! Aku tidak dapat bertahan lama!"
Di ruangan tidur para penjahat itu Panji kumpulkan kain-kain pakaian yang tercecer. Tidak pilih-pilih, ia ambil semua. Malahan, ia berpindah hingga dua ruangan lainnya agar kantung kain dadakan itu jadi penuh. Buru-buru Panji kembali ke tempat saudara kembarnya berada. Di sana, Jaka sudah menunggu dengan raut wajah ngeri sembari menahan lelah. Anjing-anjing gila yang hendak menerobos jadi semakin ganas sekarang.
"Cepat!" seru Jaka kencang.
Dengan tergesa-gesa Panji jatuhkan kantung penuh kain itu di atas tanah. Lalu, ia ratakan tumpukan kain itu agar jadi menutupi setiap sisi lantai dari dinding satu ke dinding satunya lagi. Ia lemparkan satu obor ke atas tumpukan kain agar tercipta api. Api yang tiba di atas kain kering mulai menyulut anak-anaknya. Agar lebih cepat, Panji gunakan juga lampu obor miliknya ke sisi hamparan kain lain yang belum tersulut. Sebentar kemudian terciptalah sebuah dinding api. Tidak perlu diberi tahu lagi, Jaka segera berlari menerjang dinding api itu sebelum kemudian jatuh berguling-guling.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Panji cemas.
"Gila! Gila betul!"
Di hadapan mereka sekarang terdapat dinding api yang lidahnya sudah menyulut langit-langit. Terang tempat mereka berada sekarang menampilkan kawanan anjing-anjing gila di seberang. Jelas wujud mereka sekarang semakin menggores ingatan akan menyeramkannya pemandangan itu. Gonggongan mereka semakin ramai, tanda bahaya, tanda maut, dan tanda agar si kembar segera pergi menyelamatkan diri.
Sambil berlari tak hentinya, tak lupa mereka tutup setiap pintu yang mereka lewati. Semakin banyak pintu tertutup, dan semakin jauh mereka berada sekarang, semakin terdengar melemah gonggongan anjing-anjing gila itu. Dinding api itu tidak akan bertahan lama, pun mudah untuk anjing-anjing gila itu mendobrak pintu-pintu itu. Harapan si kembar sekarang hanyalah panas dari api itu menyamarkan bau tubuh mereka, agar anjing-anjing gila itu kehilangan arah, lalu kemudian kembali pada tempat mereka tersembunyi di dalam gelap dan hening, mati bersama waktu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
