Selanjutnya
36
Panggung semesta menutup pentas pagelaran. Tiada penonton, jika ada maka mereka kecewa melihat awan tebal yang mewujud tirai langit. Redup malam menyamarkan sang biduan malam. Ia urung tampil, mungkin sedang murung atau malah tidak ingin sama sekali. Maka penjaja malam tetap pada lapaknya. Biar tiada ada pengunjung tetapi kehadiran harus tetap terasa. Ramai suara mereka bersahut-sahutan dari balik semak-semak. Kerlap-kerlip lentera malam yang berterbangan dalam kawanannya tidak mampu menyingkap di mana mereka sedang bersembunyi.Satu, dua ekor, pergi meninggalkan kebun dengan perasaan jengkel. Sudah hilang gairah bermain di malam hari sekarang yang seekor itu berkeliaran di depan pendaran hijau. Niken Mustikawati yang tersenyum akan kedatangan kunang-kunang menawarkan satu jemari. Mana tahu sayapnya pegal dan ingin beristirahat sejenak. Dan disanalah ia hinggap kemudian.“Pernah terpikir bagaimana jika kita berternak kunang-kunang, lalu kita gunakan mereka sebagai pengganti lampu minyak?” celetuk Jaka sambil melihati kunang-kunang yang masih hinggap pada jemari sang guru.“Lho, kenapa engkau sampai dapat berpikiran seperti itu?” tanya Niken Mustikawati mengikik geli.“Karena lebih baik daripada kita harus menyuling minyak ikan, bukan? Kunang-kunang ada dimana-mana. Sementara ikan hanya ada di dekat laut, sungai, atau danau?”“Hihihi. Hamba yakin jika pendaran kunang-kunang tidak akan cukup sebagai lentara yang terang, Jaka.”“Sudahlah, Bu. Tidak usah digubris. Pikiran ngaconya sedang kambuh.”“Hei, tidak konyol. Masuk akal, bukan?” balas Jaka tidak mau kalah.“Berapa banyak kunang-kunang yang kamu butuhkan sampai lentaramu itu terang seperti lampu minyak? Belasan? Atau bahkan puluhan? Lalu akan kamu kurung kunang-kunang sebanyak itu dalam ruang tertutup? Dalam semalam kamu sudah membunuh banyak kunang-kunang yang tidak bersalah.” papar Panji panjang lebar.“Ya...kalau kamu bilang seperti itu, ada benarnya juga. Maksudku, hanya sebagai pengganti untuk mereka yang hidup jauh dari air. Aku tidak terpikir apa yang kamu katakan.” kata Jaka dengan rasa bersalah.“Hihihi. Maksud Jaka baik, tetapi mungkin terlalu ceroboh.”“Sudah saya katakan jika tidak perlu digubris.” celetuk Panji lagi. “Kamu yakin Raden Ginanjar meminta kita datang ke sini malam-malam seperti ini?”“Iya. Tidak salah. Raden Ginanjar yang katakan langsung padaku.”Pintu perpustakaan ditutup. Penjaganya sudah kembali ke tempat peristirahatannya. Sementara lorong remang cahaya obor, tidak banyak yang dapat rombongan lakukan selain menunggu. Kirana masih bermain dengan kunang-kunang, yang sekarang datang tiga ekor. Panji berdiri bersandar di dinding sementara Jaka pada singgasananya-lubang jendela tepi lorong yang menghadap laut.Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki. Datangnya dari belokan arah tangga. Tidak lama kemudian tiba nyala obor, baru setelahnya dua orang laki-laki. Ginanjar tiba bersama Parikesit. Keduanya masih mengenakan busana kebesaran keraton meski hari sudah malam. Maka buru-buru Panji dan Jaka kembali bersiaga menyambut kedatangan. Sementara Niken Mustikawati menyusul setelah mendengar pamit kawanan kunang-kunang.“Sembah kami, hadirin Gusti Anom sekalian.” ujar Niken Mustikawati sambil menghaturkan salam.“Terima kasih, Ibu Niken, Panji, Jaka,” sahut Ginanjar ramah.“Kiranya hamba mendengar jika Gusti Raden Anom menitipkan pesan pada putra hamba Jaka? Kiranya adakah yang Gusti Anom sekalian kehendaki dari kami semua?” tanya Niken Mustikawati.“Memang saya menitipkan pesan pada Jaka, dan terima kasih rombongan sekalian telah datang memenuhi permintaan saya.” jawab Ginanjar. “Sesungguhnya, tidak ada perkara yang berat. Saya hanya ingin mengajak rombongan sekalian, terlebih pada Ibu Niken, untuk berjalan-jalan di Menara Rembulan.”“Hamba?”“Saya mendengar kabar jika Ibu Niken sedang bermurung? Saya berharap dapat meringankan perasaan Ibu Niken dengan melihat pemandangan malam ibukota.”“Oh!” Niken Mustikawati terkesiap. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya tanda terkejut. “Oh, sungguh kemuliaan untuk hamba! Tetapi, mohon ampun, Gusti Raden, hamba baik-baik saja! Sungguh! Sama sekali bukan perkara besar! Mohon maaf jika putra-putra hamba sudah berkata yang tidak-tidak sampai merepotkan Gusti Anom sekalian!” ujarnya lagi sambil membungkukkan badan. “Hamba merasa sangat bersalah sudah menganggu waktu istirahat Gusti Anom sekalian!”“Tidak apa-apa, Bu.” jawab Ginanjar mengekeh. “Kami sedang tidak memiliki kesibukan.”“Dan lagi, sepertinya jadi sebuah kebetulan yang istimewa. Karena sepertinya saya menemukan sesuatu yang dapat menyambung obrolan kita sore tadi.” susul Parikesit sambil melirik Panji.“Kiranya sebuah petunjuk yang baru, Gusti Raden?” tanya Panji.“Kira-kira. Saya yakin dengan bantuan pemikiranmu, kita akan menemukan lebih.” jawab Parikesit lagi.Panji tersenyum. Rasa ingin tahunya berbalas dengan rasa ingin tahu Parikesit. Maka segera saja Ginanjar memimpin rombongan untuk berpinda dari depan perpustakaan. Panji dan Parikesit berada di tengah, baru saja tiga langkah, keduanya sudah masuk dalam perbincangan yang dalam. Sementara di bagian paling belakang Jaka mengekeh sendiri meski Niken Mustikawati mengomeli dalam bisikan pelan.Nyala lampu obor membawa tamu-tamunya menuju sebuah percabangan. Ginanjar membawa rombongan berbelok ke kiri menuju sebuah pintu di mana rantai melintang didepannya. Tanpa perlu Ginanjar meminta pertolongan, Parikesit sudah terlebih dahulu membuka kaitan rantai. Sebuah ruangan kecil berukuran tujuh ubin memanjang dan tujuh ubin menyisi berada di baliknya. Tidak ada apa-apa di dalam sana terkecuali dinding dan langit-langit polos. Namun yang membuat pikiran bertanya-tanya adalah jika ada jeda dari daun pintu dan ubin pertamanya. Jeda itu hanya selebar satu ruas jari telunjuk namun dari celah sempit itu terasa ada udara yang berhembus naik.Parikesit mempersilahkan rombongan untuk masuk terlebih dahulu dan meminta untuk berdiri berbaris berjajar di bagian ujung ruangan. Setelahnya ia dan Ginanjar menyusul masuk.“Mohon agar rombongan sekalian tidak perlu cemas jika merasa ada sesuatu yang mendorong perut.” ujar Parikesit dengan senyum jahil.“Sesuatu yang mendorong perut?” tanya Panji.“Kita akan naik.” susul Ginanjar sembari mengekeh.Belum sempat Panji bertanya lagi, ia sudah mendapati Parikesit memindahkan sebuah palang besi berukuran kecil yang menempel pada tepi dinding depan berpindah menuju salah satu lubang yang berjajar di sana. Ruangan bergetar, seperti sedang menerima gempa. Sebentar kemudian terdengar bunyi berdesing dari kejauhan. Bersamaan dengan itu, sesuatu yang mendorong perut benar-benar mewujud entah darimana datangnya.Terkejut Panji, Jaka dan Niken Mustikawati sampai-sampai mereka berpegangan pada dinding.“Hehehe!” Ginanjar melirik ke belakang, menikmati raut wajah terkejut rombongan yang ia bawa.“I...ini, katrol, bukan?” kata Panji sambil terus berpegangan.“Ah, kamu sudah tahu? Abdi perpustakaan yang memberi tahu?”“Pak Oman! Pak Oman yang bilang!” susul Jaka, raut wajahnya masih belum terkendali.“Pak Oman, rupanya! Tidak seru! Hehehe!” celetuk Ginanjar.Berbeda dengan ketiga orang yang masih kesulitan berdiri tegak, Parikesit dan Ginanjar tampak biasa saja. Mereka berdiri tanpa berpegangan. Ginanjar, malahan sambil melipat kedua tangan di depan dada.Beruntung Panji dan Jaka pernah merasakan terbang menunggangi sembrani. Karena rasanya hampir mirip. Tenaga yang mendorong itu memang membuat perut bergejolak, namun tidak sekencang lesat kuda-kuda terbang. Maka, tidak perlu waktu lama bagi keduanya membiasakan diri.“Hehehe. Benar-benar bukan rombongan sembarangan. Bersabarlah, tidak lama lagi kita tiba.” kata Ginanjar.Tiba-tiba ruangan berhenti bergetar. Tenaga yang mendorong dari bawah itu lenyap seketika. Jika saja Panji, Jaka dan Niken Mustikawati belum terbiasa, maka pasti sekarang sudah merasa mual.Terdengar suara denting lonceng satu kali. Pintu ruang katrol terbuka, ada seorang prajurit yang membuka dari sisi yang berseberangan. Selain prajurit yang membuka pintu, ada dua orang lagi yang menyambut. Ketiganya membungkuk memberi salam kepada Ginanjar dan Parikesit yang berjalan keluar.Angin berhembus kencang. Begitu kencangnya hingga menyibak rambut hitam panjang Niken Mustikawati. Dan hembusan itu benar-benar kencang hingga ia juga harus memicingkan mata hanya untuk melihat. Dari sela-sela lipatan matanya, ia mendapati Panji dan Jaka sudah berada di tepi dinding.“Bu! Lihat! Tinggi sekali!” seru Jaka bersemangat.Dan ketika Niken Mustikawati mendekat, mengertilah ia apa yang membuat kedua putranya terbelalak takjub. Ada hamparan hitam tak terbatas yang membentang sejauh mata memandang. Dari hamparan hitam itu juga nampak kerlap-kerlip yang menyebar tidak tentu arah. Langit dan laut bagaikan cermin, mereka saling memantulkan satu sama lain.“Kita sedang berada di tingkat sebelas. Puncak dari Menara Rembulan.” ujar Ginanjar yang ikut mendekat tepi dinding. “Tempat paling tinggi yang ada di ibukota dan seantero Argakencana. Hehehe. Bagaimana, indah bukan? Sayang langit mendung, jika tidak...“Luar biasa, Gusti Raden!” sambar Jaka. “Rupanya ada tempat di puncak menara ini!”“Tentu saja. Hehehe! Apa Pak Oman tidak cerita jika salah satu kegunaan menara ini adalah sebuah mercusuar?”Panji dan Jaka terbengong-bengong sebentar. Tidak lama kemudian keduanya tersadarkan oleh kilat terang yang lewat pandangan mata. Di atap ruang katrol terdapat api nyang menyala besar. Di belakang api itu terdapat sebuah cermin cekung berukuran raksasa. Cermin itu yang memantulkan cahaya hingga jauh menuju samudera.“Oh, iya. Hehehe! Hamba lupa!” kekeh Jaka.“Terima kasih, Gusti Raden Ginanjar, Gusti Raden Parikesit,” kata Niken Mustikawati sambil berbalik badan. “sungguh perlakuan terhadap hamba teramat istimewa. Hamba tidak dapat membalas budi baik Gusti Anom sekalian selain dengan memanjatkan do’a kiranya kesejahteraan selalu mengiringi.” Ginanjar dan Parikesit yang medengarnya membalas dengan senyum puas.“Seperti tidak pernah berada di ketinggian saja?” bisik Panji dekat dengan telinga Niken Mustikawati.“Tidak pernah setinggi ini. Hihihi! Panji juga, bukankah sudah pernah naik sembrani?”“Hehehe. Entah, rasanya seperti berbeda saja.”Di tepi dinding itu lima orang berdiri bersandar. Saling melempar pandangan pada laut dan ibukota yang berada di bawah. Indahnya tidak dapat dilukiskan kata-kata. Betapa diri jadi merasa kecil jika sedang ada di tengah hamparan luas tidak berbatas seperti itu. Ingin hati agar waktu terhenti agar nyaman itu tidak segera pergi.“Betapa indahnya pemandangan pagi atau sore hari di sini, ya?”“Jika Ibu Niken ingin, saya dapat meminta tolong Paman Cepot dan Paman Dawala untuk mengantar.”“Oh, tidak! Tidak! Tidak demikian maksud hamba, Gusti Raden!” buru-buru Niken Mustikawati membetulkan kata-katanya. “Hamba hanya berandai-andai saja. Hamba hanya membayangkan, betapa banyak orang yang menyukai pemandangan di sini.”“Hehehe. Sayang sekali tempat ini tidak terbuka untuk umum.”“Eh, kenapa tidak?”“Menurut para sesepuh, pernah ada dua wanita yang melompat dari sini. Semenjak saat itu mendiang Eyang Prabu Suryasmara melarang umum untuk singgah di tempat ini.” terang Ginanjar.Panji dan Jaka bergidik ngeri. Mereka melirik arah bawah. Meski gelap namun pandangan seakan terhisap. Tidak terbayang jatuh dari ketinggian seperti itu.Sebelum Panji kembali pada pemandunya, ia sempat, hanya sekilas saja, melihat Niken Mustikawati mengikik.“Hei, Panji,” panggil Jaka.“Kamu melihatnya juga?”“Melihat apa?”“Melihat...ah, sudahlah. Ada apa?”“Aku semakin merasakannya!”“Merasakan apa?”“Sibu!”“Apa kamu mabuk gegara ketinggian? Sibu Niken Mustikawati di sebelah saya.”“Bukan! Sibu!”“Sibu...ah, lagi-lagi perasaanmu?”“Hei, coba rasakan baik-baik! Benar-benar terasa seperti ada hawa keberadaan sibu di sini! Lebih terasa daripada di depan perpustakaan!”“Sudah saya katakan, itu bukan bakatku. Syukur jika kamu merasakannya. Semoga saja sekarang Kanjeng Sibu sedang mendo’akan kita berdua.”“Ah, kamu tidak menarik!”“Nikmati saja sesukamu. Sepulangnya nanti ceritakan padaku apa yang kamu lihat.” kata Panji sambil menarik diri dari tepi dinding kemudian berpindah menuju tempat Parikesit. “Gusti Raden, kiranya puncak menara bagian mana yang dapat menjadi petunjuk? Kiranya ada bekas ukiran, atau apapun yang belum hamba lihat?”“Ah, ya,” sahut Parikesit teringat. “bukan. Bukan di sini. Ada di sisi yang lain.”Parikesit berputar menuju arah lain kemudian menunjuk dengan ibu jarinya. Sebuah arah, sebuah bangunan lain yang berada di belakang ruang katrol. Luput terlihat karena nyala lampu mercusuar begitu terangnya.“Kiranya tempat apakah itu, Gusti Raden?”“Sasono.” jawab Parikesit pendek.“Sasono? Sasono Pusaka terletak menyendiri di tempat seperti ini?” celetuk Jaka.“Hehehe. Kalian benar-benar telah belajar seluk-beluk istana keraton. Bukan, bukan Sasono utama. Sasono utama terletak di wilayah dalam. Yang itu adalah Sasono Cilik. Ya, kira-kira seperti itu.” terang Ginanjar.“Dan di dalam ada...”“Biar saya tunjukkan agar kalian semua dapat tahu dengan jelas.”Sedikitnya ada delapan orang penjaga yang berjaga di setiap sisi tingkat sebelas. Ada dua lagi yang menjaga pintu gerbang gudang pusaka kerajaan. Keduanya segera membuka kunci gerbang dan membuka dua daun pintunya yang berhiaskan ukir-ukiran indah.Angin berhembus dari dua buah jendela kecil yang berada di tinggi dinding kanan dan kiri. Meski begitu, membuat dalam Sasono dingin. Dalam remang nyala obor terlihat tumpuk-tumpukan kotak-kotak kayu yang berjajar di empat sisi Sasono. Namun bukan pada mereka si kembar dan Niken Mustikawati tertuju, melainkan pada sebuah benda yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Benda itu tertancap pada sebuah batu yang bentuknya mirip alas sebuah lingga. Benda itu hitam, panjangnya satu lengan orang dewasa. Pada setengah bagian atasnya mengembang menjadi tiga batang yang lain. Tiga batang itu bagaikan sebuah cakar yang hendak mencengkram. Ditengah-tengahnya terdapat tiga batang lain, yang ukurannya lebih kecil, sampai nanti bertemu di tengah-tengah. Setengah bagian bawahnya yang lain seperti gagang. Dari kejauhan Panji dan Jaka membuka satu tangan, mengira-ngira jika ukurannya cukup dalam genggaman tangan. Dan sepertinya cukup. Ada ukir-ukiran yang merajah benda besi itu. Jika saja tidak ada bantuan pantulan bayangan dari nyala obor, tentu sulit melihat karena hitamnya legam.“Benda apakah ini, Gusti Raden?” tanya Panji.“Benda ini namanya Pusaka Gada Inten. Gada Inten ini-lah yang hendak kuperlihatkan padamu.” jawab Parikesit.“Gada? Benda ini sebuah gada? Eh, kenapa bentuknya tidak umum, ya?”“Kamu pernah melihat gada sebelumnya, Jaka?” tanya Parikesit.“Ya...mengira-ngira saja dari cerita orang-orang. Hehehe!” jawab Jaka salah tingkah.“Tetapi benar apa katamu. Memang bentuk gada ini tidak umum. Tetapi, begitu pula dengan keris, bukan? Setidaknya kamu tahu ada jenis keris yang jumlah luknya berbeda-beda?” tanya Ginanjar yang dijawab anggukan Panji dan Jaka.“Gada ini adalah sebuah tanda jika sebuah benda dapat membawa ciri sebuah tempat atau bahkan peradaban.” ujar Parikesit lagi.“Ya,” sahut Panji sambil mendekatkan tatapannya pada Gada Inten. “gada ini tentu memiliki sejarah, cerita yang panjang dan dalam. Gusti Raden, kiranya apa yang dapat kita ketahui dari gada ini?” tanya kemudian dengan penuh semangat.“Pertama-tama, adalah Eyang Arjuna yang membawa gada ini kemari.” jawab Parikesit tidak kalah bersemangatnya. “Gada ini dibawa dari Astina.”Mendengar nama Astina, Panji dan Jaka jadi tersenyum lebar. Astina saja sudah menjadi petunjuk baru untuk mereka berdua.“Gada ini tua, seperti yang kalian lihat dari penampilannya,” lanjut Parikesit sambil menunjuk bagian-bagian gada yang sudah tampak usang. “dan gada ini tidak akan dipakai lagi sebagai sebuah senjata.”“Tidak?”“Tidak. Gada ini akan digunakan pada perhelatan nanti sebagai perlambang ikatan antara Astina dan Argakencana.” jawab Ginanjar.“Kiranya pada upacara penobatan Gusti Raden Anom Ginanjar dan Gusti Raden Anom Parikesit?” tanya Niken Mustikawati.“Hehehe. Entah saya sudah siap atau tidak memangku prabu.” kekeh Ginanjar.“Hamba yakin jika langit dan bumi akan merestui. Tidak peduli di mana hamba berada, doa senantiasa akan selalu terpanjat agar Gusti Anom sekalian sehat dan berjaya.”“Terima kasih, Bu. Sungguh terima kasih.”Panji dan Jaka semakin mendekatkan pandangan mereka pada Gada Inten. Parikesit memberi isyarat jika tidak apa-apa untuk menyentuh. Maka Panji dan Jaka menempelkan jemari mereka pada gagang gada itu. Permukaan jadi hitam, seperti terkena noda arang.“Tetapi bukankah Astina dan Argakencana telah terikat saudara? Bukankah ayahanda Gusti Raden Ginanjar, Gusti Raden Bambang Sumitra, adalah salah seorang putra Gusti Arjuna?” tanya Panji.“Oh, kamu tahu?”“Hanya dari buku yang kami baca dan cerita yang kami dengar. Kiranya bagaimanakah kabar beliau?”Ditanya seperti itu menguapkan senyum Ginanjar dan membuat Panji jadi menatap Panji dengan tatapan bertanya-tanya. Diperlakukan seperti itu malah membuat Panji dan Jaka jadi tidak nyaman.“Ki...kiranya hamba salah berucap?”“Kamu tidak tahu?” tanya Parikesit.“Tahu...tentang?” tanya Panji takut-takut.“Paman Bambang Sumitra, ayahanda Kakang Ginanjar, telah tiada.”Terkejut Panji dan Jaka. Tidak dapat berkata-kata lagi keduanya. Salah tingkah.“Mo...mohon ampun, Gusti Raden. Hamba sungguh tidak tahu.” ujar Panji dan Jaka sambil membungkukkan tubuh. “Ijinkan hamba turut memanjatkan do’a agar Tuang Romo tenang jiwanya.”“Tidak apa-apa.” sahut Ginanjar ramah sambil menepuk pundak Panji dan Jaka. “Panjatkan do’a pula untuk Dimas Parikesit. Ayahanda Parikesit, Uak Abimanyu, juga telah tiada.”“Benarkah? Oh, Gusti Raden! Maafkan kami yang tidak tahu apa-apa.”“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih, Panji, Jaka.” sahut Parikesit buru-buru. Melihat tingkah gugup si kembar menjadi isyarat jika mereka memang berbicara jujur. “Saya hanya terkejut masih ada yang belum mengetahui berita Baratayudha.”“Baratayudha?”“Mohon ampun, Gusti Anom sekalian,” potong Niken Mustikawati tiba-tiba. “adalah salah hamba yang tidak mengajarkan sejarah mengenai Baratayudha. Hamba berpikir jika perihal Baratayudha cukup rumit, dan hamba tidak percaya diri jika dapat menjelaskannya dengan runut dan jelas.”“Memang benar perihal Baratayudha panjang dan rumit. Ketika peristiwa itu terjadi kami berdua belum lahir. Kami hanya mendengar cerita dari para sesepuh dan guru. Sejujurnya, kami juga belum dapat memahami dengan sempurna. Hehehe!” sahut Ginanjar sambil manggut-manggut. “Tidak perlu meminta maaf, Bu. Maklum warga desa tidak terlalu peduli dengan urusan kerajaan lain. Malahan, saya turut merasa prihatin kepada keluarga yang ditinggal mati para pahlawan tanah air.”“Singkat cerita, Baratayudha adalah perang saudara antara sedulur Pandawa melawan sedulur Kurawa. Pada perang besar itu Argakencana termasuk dalam sekutu Pandawa. Dan pada perang itu juga mendiang Paman Sumitra menjadi kusir kereta kuda mendiang Romo Abimanyu. Keduanya gugur bersama-sama.” terang Parikesit dengan nada penuh kebanggaan.“Romo Sumitra dan mendiang Uak Abimanyu, keduanya adalah putra-putra Arjuna, ksatria-ksatria Madukara. Dan gada ini,” ujar Ginanjar sambil memegang gagang Gada Inten. “adalah milik Madukara. Sejatinya Argakencana adalah mantu Astina, maka pemberian pusaka ini adalah perlambang ikatan kami yang cucu Madukara.”Panji dan Jaka yang menyimak baik-baik penjelasan itu menjadi berdebar-debar. Membayangkan ada perang besar pernah terjadi membuat bulu kuduk berdiri. Tidak terbayang betapa ngeri, menegangkan dan mendebarkannya peristiwa itu. Si kembar tidak ambil pusing pada kenyataan Niken Mustikawati yang mengetahui, karena toh, sudah tidak mengejutkan sama sekali.“Kalau begitu, pusaka ini tentu sudah melewati perang yang sangat besar, ya?” tanya Jaka semakin bersemangat. “Hebat sekali!”“Kiranya peninggalan siapakah pusaka ini? Kiranya warisan mendiang Gusti Bambang Sumitra ataukah mendiang Gusti Abimanyu?” tanya Panji menyusul.“Hehehe. Ini yang masih belum saya pahami.” sahut Ginanjar. “Dari cerita Sibu Utari, pusaka ini malah belum turun perang sama sekali!”“Dan pusaka ini bukan peninggalan Romo Abimanyu atau mendiang Paman Sumitra.” susul Parikesit. “Eyang Arjuna berkata jika pusaka ini adalah milik putra Madukara yang lain. Gada Inten adalah pusaka peninggalan mendiang Paman Wisanggeni.”“Ah, ya, saya pernah mendengar cerita tentang beliau. Katanya, dari semua putra Arjuna, mendiang Paman Wisanggeni adalah orang yang urakan, ya?” celetuk Ginanjar.“Saya juga mendengar cerita yang serupa. Sepertinya memang benar seperti itu.” jawab Parikesit.“Tapi biar begitu, saya masih belum paham kenapa malah pusaka peninggalan mendiang Paman Wisanggeni yang jadi persembahan untuk Argakencana? Kamu tahu, Dimas?” tanya Ginanjar lagi sembari melipat kedua tangan di depan dada.“Kakang belum dengar? Sibu Utari bercerita jika sesungguhnya mendiang Paman Wisanggeni tidak ingin memiliki pusaka ini. Pusaka ini dibuang oleh mendiang Paman Wisanggeni lalu kemudian dipungut kembali oleh Eyang Arjuna agar tidak disalahgunakan. Namun begitu, mendiang Paman Wisanggeni berwasiat agar pusaka ini boleh berada di mana saja terkecuali di Astina dan Madukara.” terang Parikesit.“Tetapi selama ini berada di Madukara, bukan?”“Memangnya ada tempat aman yang lain lagi?” balas Parikesit balik bertanya. “Hanya sementara. Dan sekarang pusaka ini akan jadi persembahan, yang artinya Argakencana adalah tempat terakhirnya.”“Dengan begitu wasiat Paman Wisanggeni terjaga, ya? Hehehe! Benar-benar orang yang urakan! Sayang sekali kita tidak sempat berjumpa beliau. Saya yakin sekali orangnya sangat menarik!” kekeh Ginanjar.“Lebih baik kita teruskan nanti saja, Kang. Kasihan yang mendengar jadi kebingungan.”Namun nyatanya, yang nampak kebingungan adalah Parikesit. Karena sekarang ia mendapati Panji dan Jaka berdiri mematung di depan Gada Inten dengan mata terbelalak dan nafas yang tercekat.“Panji? Jaka?”Semakin jadi terheran-heran sekarang Parikesit dan Ginanjar karena Niken Mustikawati melangkah berat menuju Gada Inten. Hendak meraih gagang si gada dengan jemari yang gemetaran namun kaki jatuh di depan batu alasnya. Niken Mustikawati tertunduk, satu tangannya bersandar pada batu alas, air mata jatuh bersama isak tangis yang tersedu-sedu.